• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat kehilangan air

Dalam dokumen Tinjauan Partisipasi Swasta dalam Penyed (Halaman 36-39)

Bab IV Kinerja PDAM Tirta Pakuan dan Adhya Tirta Batam

IV.1. Kinerja Aspek Teknis

IV.1.1. Tingkat kehilangan air

Secara umum tingkat kehilangan air yang tinggi masih menjadi persoalan yang serius di banyak PDAM di Indonesia. Ini bisa dilihat dari data BPPSPAM (2007) yang menunjukkan tingkat kehilangan air rata-rata secara nasional pada tahun 2007 yang mencapai 39%, atau sedikit mengalami peningkatan dibanding tahun 2006 yang mencapai 38,61%. Jika melihat angka tersebut maka tingkat kehilangan air yang dialami oleh PDAM Tirta Pakuan maupun ATB tentu masih lebih baik. Seperti terlihat pada Gambar IV.1, dalam sepuluh tahun terakhir (1998 – 2007), tingkat kehilangan air di kedua perusahaan tidak pernah melebihi angka rata-rata secara nasional pada tahun 2006 dan 2007.

20.0% 22.5% 25.0% 27.5% 30.0% 32.5% 35.0% 37.5% 40.0% 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 T in g ka t ke h il a n g a n a ir (% )

PDAM Tirta Pakuan PT. ATB

Gambar IV.1. Tingkat kehilangan air PDAM Tirta Pakuan vs ATB (Sumber: PDAM Tirta Pakuan dan ATB)

BAB

4

Perlu dicermati dari grafik pada Gambar IV.1, ada perbedaan kecenderungan tingkat kehilangan air yang terjadi di PDAM Tirta Pakuan dan ATB. PDAM Tirta Pakuan terlihat stabil dalam kisaran 29,7% – 31,7%, sedangkan ATB meskipun sangat fluktuatif tapi menunjukkan kecenderungan penurunan. Secara umum perbedaan kecenderungan tersebut bisa saja terjadi karena ketidak-samaan karakteristik NRW pada kedua perusahaan. Dari keterangan yang diperoleh diketahui bahwa NRW yang dikontribusikan oleh illegal

connection sangat dominan di ATB. Sedangkan di PDAM Tirta Pakuan,

sumber kehilangan terbesar disebabkan kebocoran fisik atau kehilangan secara teknis yang porsinya bisa mencapai 70%. Namun pihak manajemen PDAM Tirta Pakuan menyatakan bahwa mereka memilih mempertahankan tingkat kehilangan tersebut dengan maksud menjaga kontinuitas pengaliran kepada pelanggan tetap berlangsung selama 24 jam penuh dengan tekanan pengaliran air yang cukup.

Kebijakan PDAM Tirta Pakuan tersebut mungkin terlihat relevan mengingat pilihan untuk menurunkan tekanan pengaliran air memiliki kemungkinan akan mengundang usaha-usaha penyedotan air (oleh pelanggan) menggunakan pompa secara berlebihan. Jika hal itu sampai terjadi maka dampak negatifnya tentu menjadi lebih kompleks, misalnya saja kehilangan air menjadi semakin bertambah dan terjadi kontaminasi air akibat penyedotan yang berlebihan oleh pelanggan. Namun secara umum beberapa penyebab masih tingginya tingkat kehilangan air secara teknis di PDAM Tirta Pakuan adalah6:

 Masih banyaknya usia pipa yang sudah tua, yang berasal dari zaman Belanda (1918) dan Colombo Plan (1975)

 Pekerjaan pihak ketiga seperti galian yang dilakukan pihak di luar PDAM yang menyebabkan kebocoran pipa

 Kebocoran pada pipa distribusi dan pipa dinas

 Topografi Kota Bogor

Dalam rangka mengatasi kehilangan air secara teknis tersebut, PDAM Tirta Pakuan memutuskan untuk melakukan pengaturan terhadap tekanan air dengan cara memasang PRV (Pressure Reducer Valve) di daerah-daerah tertentu yang bertekanan ekstrim dengan menggunakan double setting. Penggunaan double setting bertujuan untuk mengatur tekanan tertentu sesuai dengan kebutuhan. Sebagai catatan bahwa tekanan ekstrim sangat mungkin terjadi karena kondisi topografi Kota Bogor yang memang berbukit.

6

Namun demikian penerapan PRV juga memerlukan biaya yang sangat mahal sehingga pihak PDAM Tirta Pakuan memutuskan untuk menerapkannya secara bertahap.

Adapun kehilangan air secara teknis di ATB tidak terlalu signifikan karena sistem distribusi yang dimiliki relatif lebih baru dibanding PDAM Tirta Pakuan. Terkait usaha-usaha penyambungan air ATB secara ilegal yang marak terjadi di Kota Batam, ATB dengan izin Otorita Batam (OB), mengambil inisiatif untuk mengembangankan program Kios Air guna melayani masyarakat yang tinggal di perumahan-perumahan ilegal (RULI), dengan menggandeng tokoh-tokoh masyarakat setempat. Program yang dirintis sejak tahun 2003 tersebut cukup menuai kesuksesan. Pada tahun 2006, NRW ATB telah menurun hingga 26%. Dampak signifikan dari program Kios Air tersebut sangat terlihat pada tahun 2004 karena NRW ATB pernah mencapai angka 25% setelah mencapai titik tertingginya di tahun 2002 dan 2003.

Kotak 4. Program Kios Air ATB

Tidak semua penduduk Kota Batam bisa mendapatkan air yang berkualitas baik, terutama yang diproduksi oleh ATB. Peraturan setempat (sesuai perjanjian konsesi) tidak membolehkan ATB mengalirkan air ke rumah-rumah yang ada di kawasan ilegal yang dikenal dengan sebutan RULI alias ”rumah liar”. Hal itu tentu menimbulkan polemik karena setidaknya puluhan ribu jiwa yang tinggal di RULI juga membutuhkan air seperti halnya para warga yang tinggal di kawasan legal.

Pada dasarnya penduduk RULI sudah berusaha mendapatkan air dengan cara menampung air hujan (tidak selalu karena dilakukan hanya saat hujan saja) atau membeli air lori (truk penjual air) yang kualitasnya sangat tidak memadai. Sebagai catatan, beberapa warga menyatakan bahwa tidak jarang air lori berasal dari parit-parit yang memang banyak ditemukan di Kota Batam. Akibatnya, muncul aksi-aksi pencurian air. Warga yang tinggal

di kawasan ruli membuat

sambungan-sambungan liar

ataupun merusak pipa ATB demi mendapatkan air.

Kotak 4. Program Kios Air ATB

Aksi pencurian tersebut tentu merugikan ATB karena jumlah air yang hilang (NRW) disebabkan air yang dicuri tersebut pasti tidak tertagih. Menyikapi hal ini, ATB bersama dengan OB mencoba mencari jalan keluar. Kepentingan bisnis untuk mengurangi NRW bukan menjadi satu-satunya pertimbangan pertimbangan. Termasuk untuk tujuan pemerataan pelayanan, kebutuhan air bersih warga ruli juga menjadi salah satu pertimbangan sehingga ATB dan Otorita memutuskan membangun kios-kios air (water kiosk) di dekat kawasan-kawasan ruli. Kios-kios ini diserahkan kepada pihak tertentu untuk dikelola.

Setidaknya ada dua syarat untuk bisa mengelola kios air, yaitu pertama, institusinya harus berbadan hukum, seperti misalnya koperasi atau CV, sehingga institusi itu bisa menjadi pelanggan legal ATB. Kedua, pengelola Kios Air harus mendapat dukungan dari penduduk ruli sekitarnya (biasanya tokoh masyarakat setempat). Selain bertujuan untuk mengurangi konflik di masa datang juga untuk memastikan bahwa penduduk ruli membeli air dari kios itu.

Ket: dari berbagai sumber

Dalam dokumen Tinjauan Partisipasi Swasta dalam Penyed (Halaman 36-39)

Dokumen terkait