• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perluasan Pelayanan

Dalam dokumen Tinjauan Partisipasi Swasta dalam Penyed (Halaman 79-88)

Bab V Review Kinerja Dengan Atau Tanpa Implementasi KPS

V.1. Perluasan Pelayanan

Klaim Pemerintah bahwa tidak tersedianya cukup anggaran untuk membiayai investasi infrastruktur air minum telah memberi alasan yang kuat bagi dipilihnya konsesi sebagai cara untuk melibatkan sektor swasta. Inisiatif untuk melibatkan investasi swasta melalui konsesi menjadi semakin mendesak mengacu pada tekanan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs), terutama target kesepuluh yang menetapkan untuk mengurangi hingga setengah di tahun 2015, proporsi penduduk dunia yang tidak memiliki akses pada layanan air minum yang aman secara berkesinambungan.

Konsesi mejadi pilihan yang paling menjanjikan mengingat hanya skema inilah yang menawarkan investasi pembangunan tidak hanya pada sistem produksi tapi juga distribusi. Relevansinya bahwa konsesi tidak seperti management

contract yang tidak akan pernah melibatkan investasi swasta ataupun lease

yang hanya memungkinkan perbaharuan fasilitas tapi tidak untuk memperluas sistem yang ada (Hall dan Lobina, 2002). BOT memiliki karakteristik yang sangat dekat dengan konsesi. Selain jangka waktu yang sama-sama panjang, BOT juga mampu memobilisasi investasi swasta dalam skala yang besar. Namun seperti yang dikemukakan oleh Budds dan McGranahan (2003), implementasi BOT lebih terfokus pada greenfield project seperti fasilitas pengolahan (treatment plant) dan reservoar pengaliran.

BAB

5

Uraian-uraian tadi mengindikasikan bahwa hanya konsesi saja yang mampu mengkombinasikan dua pendekatan dasar dalam pemilihan KPS yang disebutkan oleh Abdel-Aziz (2007): finance-based approach untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dan service-based approach untuk optimasi proses dan meningkatkan efisiensi dalam deliveri layanan.

KPS memperluas pelayanan?

Pada tahun 2007, cakupan pelayanan ATB telah mencapai 86%. Angka ini setara dengan 619.459 penduduk yang telah terlayani. Catatan: ATB telah mengklarifikasi angka 86% dengan menyatakan bahwa cakupan nyata di lapangan adalah 94% - 95% dengan memasukkan masyarakat yang dilayani oleh Kios Air dan adanya dormitory yang dihuni sekitar 80 ribu jiwa dan hanya dilayani oleh dua buah sambungan di kawasan Industri Batamindo.

Namun terlepas dari polemik “persentase cakupan” yang sesungguhnya, pencapaian ATB terlihat kontras dengan pencapaian cakupan PDAM Tirta Pakuan pada tahun yang sama yang baru mencapai 46%. Angka ini setara dengan jumlah penduduk 406.435 jiwa. Sebagaimana terlihat pada gambar V.1, pada tahun 1998 hingga 2001, jumlah pelanggan PDAM Tirta Pakuan lebih banyak dari ATB. Tapi sesudah tahun-tahun tersebut, pertumbuhan PDAM Tirta Pakuan cenderung bergerak perlahan, sebaliknya ATB meningkat sangat pesat. 0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 1998 1999 2000* 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Ju m la h p e la n g g a n a k ti f

PDAM Tirta Pakuan PT. ATB

Timpangnya indikator kinerja jumlah penduduk dilayani antara PDAM Tirta Pakuan dengan ATB ini sebenarnya bisa ditelusuri dari histori investasinya, dimulai dari sejarah bahwa Kota Bogor pada dasarnya telah mempunyai sistem pelayanan air minum sejak tahun 1918. Sistem yang dibangun oleh Pemerintah Belanda saat itu, dengan nama Gemente Waterleiding Buitenzorg, memanfaatkan sumber mata air Kota Batu yang berkapasitas 70 L/det. Pada tahun 1930 – 1950, telah dilakukan penambahan kapasitas sebanyak 30 L/det, yang berasal dari Mata Air Ciburial milik PAM Jaya. Histori investasi yang selanjutnya tercatat pada tahun 1967, Departemen PUTL (Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik) merencanakan penambahan kapasitas air dari mata air Bantar Kambing melalui Reservoir Cipaku. Namun investasi yang diperlukan untuk pipa transmisi sangat besar, maka Pemerintah Pusat mengusahakan bantuan dari luar negeri.

Pada tahun 1970 berhasil diperoleh hibah (grant) dari Pemerintah Australia, yang dikenal dengan Proyek Colombo Plan. Selain peralatan perpipaan dan

accessories-nya, bantuan juga termasuk feasibility study, perencanaan dan

supervisi. Di tahun 1983 PDAM Kota Bogor merintis kerjasama dengan salah satu perusahaan air minum Belanda, NV. PWN – yang memberi bantuan seperangkat peralatan berupa peralatan teknik perpipaan dan bengkel meter yang belakangan berkontribusi besar dalam menurunkan NRW PDAM Tirta Pakuan. Pada tahun 1988 PDAM Tirta Pakuan berhasil menambah kapasitas produksi sebesar 120 L/det, dengan membangun IPA dengan air baku dari Sungai Cisadane yang nilainya Rp. 12 Milyar (tidak termasuk biaya pembebasan lahan). Biaya tersebut diambil dari tabungan PDAM, yang berhasil disisihkan dari pembayaran rekening air minum pelanggan selama kurun waktu 10 tahun (PKP – DPU, 2008).

Pada tahun 1994, PDAM Tirta Pakuan membangun tambahan kapasitas produksi 60 L/det dengan memanfaatkan sumber air dari sungai Cisadane. Investasi diambil dari modal sendiri senilai Rp. 904 Juta. Hasilnya, pada tahun 1996, jumlah pelanggan telah mencapai 7000 sambungan dengan NRW yang mencapai 50 %. Sebagai catatan bahwa tingginya kehilangan air ditengarai karena kurang baiknya pipa dinas (sebelum meter air) dan kondisi pipa distribusi yang sudah tua. Dalam kelanjutannya, ternyata butuh waktu yang tidak singkat untuk merealisasikan investasi yang berikutnya. Pada tahun 2007 (PKP – DPU, 2008), PDAM melakukan penambahan jaringan dan sarana penunjang lainnya melalui proyek pengembangan prasarana terpadu

(P3KT), berupa bangunan penangkap air yang memiliki kapasitas hingga 2000 L/det, bangunan IPA dengan kapasitas maksimal 600 L/det, serta reservoar dan jaringan transmisi dan distribusi.

Kotak 8.

Histori PDAM Tirta Pakuan 1918 Gemente Waterleiding Buitenzorg [70 L/det]

1930 - 1950 Ada tambahan kapasitas 30 L/det

1967 Dep. PUTL merencanakan menambah kapasitas tapi investasi pipa transmisi sangat besar [diupayakan bantuan luar negeri]

1970

Dapat hibah (grant) dari Pemerintah Australia [Colombo Plan – bantuan peralatan perpipaan dan accessories-nya, termasuk feasibility study, perencanaan dan supervisi]

1983

Kerjasama dengan perusahaan air minum Belanda, NV. PWN [dapat bantuan seperangkat peralatan berupa peralatan teknik perpipaan dan bengkel meter yang belakangan berkontribusi besar dalam menurunkan NRW]

1988

PDAM berhasil menambah kapasitas 120 L/det, Rp. 12 Milyar (tidak termasuk biaya pembebasan lahan), diambil dari tabungan PDAM yang berhasil disisihkan dari pembayaran rekening air minum pelanggan selama kurun waktu 10 tahun.

1994 PDAM menambah kapasitas 60 L/det, investasi diambil dari modal sendiri Rp. 904 Juta

1996 Jumlah pelanggan telah mencapai 7000 SL dengan NRW mencapai 50 %

2007

PDAM menambah jaringan dan sarana penunjang lainnya melalui proyek pengembangan prasarana terpadu (P3KT), in-take kapasitas hingga 2000 L/det dan IPA kapasitas max 600 L/det, serta reservoar dan jaringan transmisi dan distribusi

Dari ulasan singkat di atas maka corak investasi sistem pelayanan air minum di kedua perusahaan tidaklah bisa dikatakan tipikal. ATB memiliki sejarah yang “lebih singkat” dibanding PDAM Tirta Pakuan yang hampir seabad jika dihitung sejak 1918 (sebagai catatan bahwa berbagai versi cerita tentang PDAM Tirta Pakuan selalu bermula dari kisah tersebut). Jauh sebelum ATB terlibat, pelayanan air minum di Kota Batam telah diselenggarakan oleh Otorita Batam (OB) sejak tahun 1978, dengan cara membangun dan memelihara waduk-waduk tangkapan air. Hal itu harus dilakukan karena Pulau Batam memang tidak memiliki sumber air secara melimpah seperti halnya PDAM Tirta Pakuan di Kota Bogor.

Adapun ATB baru mulai beroperasi penuh di Kota Batam sejak tahun 1995 (proses penjajakan hingga penandatanganan perjanjian konsesi berjalan antara tahun 1993 – 1995).

Di masa-masa awal konsesi, ATB memang diisyaratkan agar mampu menyediakan pelayanan air minum yang minimal bisa menyaingi pelayanan air minum di negara tetangga Singapura, untuk mendukung daya tarik Batam sebagai pusat industri. Pengakuan ATB bahwa di fase-fase awal pelaksanaan kerjasama, kelompok pelanggan industri lebih mendominasi kelompok pelanggan domestik dengan komposisi 70:30. Namun beberapa tahun belakangan komposisi tersebut telah berbalik secara drastis sebagai dampak nyata ledakan pertumbuhan penduduk yang tidak biasa di Kota Batam. Jika pada tahun 1995 penduduk Batam baru mencapai 196.080 jiwa, maka per Juli 2008 jumlah tersebut telah meningkat lebih dari 300% atau 791.608 jiwa (OB, 2008). ATB melaporkan bahwa total investasi aktual mereka pada tahun 1996 – 1997 adalah Rp. 26,48 Milyar, dengan alokasi-alokasi terbesar pada

refurbishment WTP (water treatment plant), distribution mains dan investasi

WTP baru. Investasi-investasi ATB pada tahun-tahun selanjutnya cenderung fluktuatif, namun seperti yang terlihat pada Gambar V.2, ATB melaporkan bahwa investasi mereka dalam rangka konsesi pelayanan air minum di Kota Batam hingga tahun 2006 telah mencapai Rp. 256 Milyar atau Rp. 270 Milyar jika memasukkan tahun 2007.

0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Ju ta a n r u p ia h

Annual investmet Cummulative investment

Gambar V.2. Total investasi ATB tahun 1997 – 2006 (Sumber: ATB)

Dari uraian-uraian di atas, terlihat bahwa ATB telah menunjukkan konsesi memang mampu meningkatkan perluasan pelayanan. Sebagai catatan, laporan ATB yang terakhir menyebutkan bahwa jumlah pelanggan mereka pada tahun 2008 sudah mencapai 141.311 SL.

KPS memobilisasi investasi swasta?

Indikator jumlah penduduk yang dilayani menunjukkan bahwa cakupan pelayanan ATB telah meningkat pesat dibanding pada masa-masa awal konsesi. Sejak awal konsesi hingga tahun 2007, ATB telah menginvestasikan sebesar Rp. 270 Milyar. Dari keterangan-ketarangan yang diperoleh, ATB selalu mengkombinasikan sumber-sumber pembiayaan investasi dari modal sendiri (equity) dan hutang (debt). PDAM Tirta Pakuan sendiri sebenarnya juga melakukan investasi dalam perluasan pelayanan, namun jumlahnya tentu tidak sebanding dengan ATB. Dalam hal ini, akses pada pinjaman menjadi sangat penting, karena ATB mungkin terlihat lebih mudah mendapatkan pinjaman Bank sedangkan PDAM Tirta Pakuan baru dalam pengajuan pinjaman kepada Bank Dunia dalam beberapa tahun belakangan ini. Sebagai catatan tambahan bahwa persetujuan kenaikan tarif ATB di bulan Desember 2007 telah berdampak pada meningkatnya pendapatan sekitar 20%, sehingga ATB bisa memperlihatkan arus kas positif kepada Bank untuk mendapatkan fasilitas pinjaman (ATB Annual Review Report, 2007). Dengan demikian studi ini mengindikasikan bahwa ATB memang mampu memobilisasi modal swasta yang bersumber dari pinjaman24, tapi dengan syarat bahwa aspek-aspek yang membuat suatu proyek “bankable” memang bisa dipenuhi25.

Pada dasarnya cara membiayai proyek dengan memobilisasi dana melalui pinjaman bisa dan telah dilakukan juga oleh PDAM Tirta Pakuan26. Namun seperti halnya ATB, PDAM Tirta Pakuan juga perlu memastikan bahwa proyek yang diusulkannya memang layak dibiayai dengan pinjaman. Dalam konteks ini tingkat pengembalian yang biasanya diukur dengan IRR (internal rate of

return) memegang peranan yang penting. Investasi ATB, misalnya, telah

dijamin dengan IRR sebesar 26,5% dalam perjanjian konsesi dan itulah yang membuat proyek-proyek ATB, seperti pembangunan IPA Duriangkang menjadi “bankable” dan bisa mengakses pinjaman Bank.

24

Studi ini mengindikasikan bahwa argumen Hall dan Lobina (2007) bahwa kontrak dengan pihak swasta gagal menghasilkan investasi untuk membangun infrastruktur baru tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus.

25

European International Contractor (2003) menyatakan bahwa para penawar (bidders) dan investor harus bisa memastikan bahwa risiko-risiko proyek bisa dimitigasi dengan baik (properly) atau minimal

ada keseimbangan antara jaminan (guarantees) dengan manfaat-manfaat yang ditawarkan, sebab jika

tidak maka proyek tidak bankable karena dianggap tidak viable. Isu ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kepastian persetujuan tarif ATB yang menjadi pertimbangan Bank dalam meyetujui pinjaman bagi ATB.

26

Pinjaman dari Bank Dunia akan digunakan untuk melakukan perluasan jaringan dan penambahan pelanggan baru, dengan perkiraan kebutuhan dana sebesar Rp 86,975 miliar. Rencana pinjaman sudah disetujui DPRD Kota Bogor, tinggal menunggu negosiasi antara pemerintah pusat dengan Pemko Bogor (http://newspaper.pikiran-rakyat.com)

Kompetitor alam

Terkait perluasan pelayanan – isu tersebut memang merupakan persoalan sangat krusial terkait pencapaian MDGs – namun strategi mengubah pilihan- pilihan masyarakat dalam mengakses air untuk kebutuhan konsumsi sehari- hari juga perlu diperhatikan. Studi ini menemukan sebagian besar masyarakat (jumlah sampel 75 KK) yang bukan pelanggan, tidak berminat menjadi pelanggan PDAM Tirta Pakuan. Kondisi yang terjadi di Kota Bogor jelas berbeda dengan di Kota Batam karena air merupakan “harga mati” bagi masyarakat Kota Batam. Pertanyaan-pertanyaan tentang sumber air utama yang diakses selama ini telah dijawab dengan baik oleh para warga yang menjadi sampel. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk keperluan makan dan minum sehari-hari mereka, masyarakat Kota Batam lebih nyaman menggunakan air minum dalam kemasan (AMDK) dibanding mengolah air dari sumber-sumber yang tersedia di alam seperti melalui sumur, dan sebagainya. Sebaliknya, seperti terlihat pada Gambar V.3, lebih dari setengah masyarakat (sampel) Kota Bogor memilih memanfaatkan sumber air dari sumur pompa. Sebagian kecil yang menggunakan AMDK lebih dimotivasi kepraktisan dan penghematan bahan bakar minyak (BBM) dibanding pertimbangan kesehatan. Terlihat juga bahwa 60% sampel non-pelanggan ATB lebih memilih AMDK sebagai sumber air minum. Bahkan dari hasil interview, sebagian besar dari mereka juga menggunakan AMDK untuk keperluan memasak makanan. Dari sisi ekonomi, kecenderungan masyarakat Kota Batam menggunakan AMDK tidak terlalu mengherankan karena AMDK yang dikonsumsi adalah AMDK isi ulang yang harganya relatif terjangkau dengan harga berkisar antara Rp. 3500 hingga Rp. 4000 per galonnya.

53% 12% 24% 0% 11% 13% 11% 60% 2% 13% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% Sumur Pompa Sumur Dangkal AMDK Mobil Tangki Lain-lain S u m b e r a ir

% Responden yang menjawab

PDAM Tirta Pakuan PT. ATB

Gambar V.3. Sumber air yang diakses masyarakat non-pelanggan PDAM Tirta Pakuan dan ATB untuk kebutuhan makan dan minum

Demikian pula dengan kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para penghuni rumah seperti mandi, cuci dan gelontor toilet, sebagian besar masyarakat (sampel) Kota Bogor juga mengunakan sumber air dari sumur pompa yang kualitasnya relatif baik, berbeda dengan sumur dangkal yang diakses oleh masyarakat Kota Batam yang memiliki tingkat kekeruhan tinggi – lebih banyak digunakan dalam keadaan “terpaksa”.

76% 15% 0% 0% 8% 24% 43% 1% 16% 16% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% Sumur Pompa Sumur Dangkal Air Hujan Mobil Tangki Lainnya S u m b e r a ir

% Responden yang menjawab

PDAM Tirta Pakuan PT. ATB

Gambar V.4. Sumber air yang diakses masyarakat non-pelanggan PDAM Tirta Pakuan dan ATB untuk kebutuhan mandi, cuci dan gelontor toilet

Terkait sumber air untuk memenuhi kebutuhan harian seperti mandi dan mencuci, masyarakat yang belum mendapat air dari ATB juga memanfaatkan air lori yang dijual dengan drum yang diangkut memakai truk. Para warga menyatakan bahwa air lori tidak jelas sumbernya, bisa diperoleh dari waduk- waduk OB, dan ada yang beranggapan air tersebut diambil begitu saja dari parit-parit. Para responden juga diminta untuk memberikan pendapat mereka tentang sumber air yang mereka akses seperti yang tergambarkan pada Gambar V.3. Terlihat hampir 100% mayarakat Kota Bogor yang belum menjadi pelanggan PDAM Tirta Pakuan relatif sudah merasa puas dengan sumber air air yang mereka akses hingga saat ini. Sebaliknya, lebih dari 80% sampel non-pelanggan ATB yang umumnya tinggal di kawasan-kawasan perumahan liar di Kota Batam belum merasa puas dengan dengan sumber air yang baru bisa mereka akses hingga saat ini. Ini telah dibahas sebelumnya bahwa kualitas sumber air mereka sangat buruk – misal, tingkat kekeruhan yang tinggi. Gambar V.5 menyajikan persepsi masyarakat (sampel) yang bukan pelanggan PDAM Tirta Pakuan dan ATB terhadap sumber air minum yang mereka akses hingga saat ini.

96% 1% 3% 11% 6% 83% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

Sudah puas dengan sumber air saat ini dan relatif mudah

memperolehnya

Sudah cukup puas dengan sumber air saat ini tapi masih

sulit memperolehnya

Belum puas dengan sumber air saat ini

% Responden yang menjawab

PDAM Tirta Pakuan PT. ATB

Gambar V.5. Kepuasan terhadap sumber air yang diakses masyarakat non-pelanggan PDAM Tirta Pakuan dan ATB

Studi ini juga memperdalam interview dengan menanyakan kepada para warga terkait keinginan mereka mendapatkan akses air yang disediakan PDAM Tirta Pakuan atau ATB. Hasil yang diperoleh memberikan peringatan yang jelas kepada pihak manajemen PDAM Tirta Pakuan bahwa dari 75 sampel non-pelanggan yang diinterview, lebih dari 70% menyatakan ketidak- inginan mereka untuk menjadi pelanggan PDAM. Sebaliknya, hampir semua masyarakat (sampel) yang belum menjadi pelanggan ATB pada umumnya memang mendambakan air yang kualitasnya lebih baik, dalam hal ini yang disuplai oleh ATB. Gambar V.6 memperlihatkan perbandingan persentasi warga non-pelanggan PDAM Tirta Pakuan vs ATB yang ingin dan tidak ingin menjadi pelanggaan. 21% 79% 94% 6% 0% 20% 40% 60% 80% 100%

Ya, ingin menjadi pelanggan

Tidak ingin menjadi pelanggan

% Responden yang menjawab

PDAM Tirta Pakuan PT. ATB

Gambar V.6. Keinginan masyarakat non-pelanggan PDAM Tirta Pakuan vs ATB yang ingin menjadi pelanggan

Dengan demikian, studi ini mengindikasikan bahwa tantangan yang dihadapi PDAM Tirta Pakuan dalam memperluas cakupan pelayanannya tidak hanya terletak pada kendala untuk mengakses sumber-sumber pembiayaan untuk investasi, tapi juga perlu meningkatkan inovasi dan strategi pemasaran mereka agar bisa mengubah pola akses air sebagian masyarakat Kota Bogor, yang umumnya telah merasa nyaman dengan sumber air yang mereka dapatkan hingga saat ini.

Dalam dokumen Tinjauan Partisipasi Swasta dalam Penyed (Halaman 79-88)

Dokumen terkait