• Tidak ada hasil yang ditemukan

(%) Status gizi berdasar

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

4.4.3 Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gagal Konversi

4.4.3.1 Aspek Internal Penderita yang Berhubungan dengan Kejadian Gagal Konversi

Aspek internal penderita TB yang berhubungan dengan kejadian gagal konversi adalah tingkat pendapatan, pendidikan, status gizi, penyakit penyerta, kepatuhan berobat dan kebiasaan merokok.

Tingkat pendapatan yang kurang berhubungan dengan gagal konversi dapat dijelaskan dari penelusuran informasi yang diberikan responden dimana dengan sosioekonomi yang kurang maka biaya transportasi untuk mengambil obat terlalu berat sehingga kadang tidak datang ke unit pelayanan karena masalah biaya, demikian juga untuk membeli makanan bergizi untuk memperbaiki status gizinya kadang tidak rutin walaupun sudah mendapat informasi dan penyuluhan dari PMO maupun petugas kesehatan perihal pentingnya perbaikan gizi untuk kesembuhan penyakitnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Robert (2002) yang menyatakan kegagalan konversi dipengaruhi pendapatan karena dengan kondisi keuangan yang kurang baik maka orang akan sulit membayar biaya berobat, transport, memperbaiki pola makan dan sebagainya sehingga pengobatan dihentikan sendiri karena kehabisan dana. Peneliti juga mendapatkan data dari hasil wawancara penderita TB paru yang berobat ke rumah sakit H.Adam Malik, meskipun obat diperoleh secara gratis namun diperlukan dana yang cukup besar untuk biaya mengambil obat karena cukup jauh dari rumahnya, sedangkan informasi bahwa obat bisa diambil di puskesmas dekat rumahnya belum diketahuinya.

Pendidikan penderita TB paru yang rendah juga dinyatakan berhubungan dengan gagal konversi, dapat dijelaskan dari pengamatan peneliti bahwa pendidikan responden yang rendah, selain berakibat mempunyai pekerjaan dengan pendapatan rendah sesuai dengan kemampuan dan pendidikannya, juga dengan pendidikan yang rendah ternyata informasi maupun penyuluhan yang diberikan PMO maupun petugas kesehatan ternyata tidak dijalankannya dengan baik dengan alasan lupa dan kurang paham. Hal ini dapat diketahui peneliti dari wawancara kepada responden, mereka mengaku lupa bahwa penyakit TB paru tidak sembuh bila tidak teratur minum obat selama 6 bulan dan menganggap sekali-kali tidak 58

minum obat tidak akan menyebabkan kegagalan pengobatannya, padahal sudah beberapa kali mendengar penyuluhan dari petugas kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan mempengaruhi ketuntasan atau kesuksesan pengobatan penderita. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin baik penerimaan informasi tentang pengobatan penyakitnya, sehingga akan semakin berhasil pengobatan dan penyembuhannya.

Status gizi yang kurang juga berhubungan dengan kejadian gagal konversi, ini dapat dijelaskan dimana status gizi yang kurang mengakibatkan imunitas atau daya tahan tubuh menjadi lemah sehingga gampang terinfeksi kuman penyakit, hal ini sesuai dengan penelitian S.F Priyadi (2003) yang mendapatkan hasil bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian TB dan kegagalan dalam pengobatan TB paru adalah status gizi dengan IMT < 18,5. Penelitian ini juga mendapatkan hasil bahwa dari 114 responden ternyata lebih banyak responden yang menderita TB dengan status baik, namun dari keseluruhan yang gagal konversi ternyata yang gagal konversi lebih banyak status gizi kurang. Pasien dengan status gizi kurang ini, sebelum didiagnosa menderita TB sering mengeluh gampang sakit seperti batuk, influenza dan lekas lelah. Ini sesuai dengan teori kepustakaan sebelumnya dimana dengan status gizi kurang maka daya tahan tubuh menurun dan gampang terinfeksi kuman penyakit. Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan, daya tahan dan respon imunologis terhadap penyakit dari keracunan (Soemirat, 2000). Keadaan malnutrisi atau kekurangan gizi akan menurunkan daya tahan atau resistensi terhadap penyakit tuberkulosis (Garcia et al., 2009). Semua orang yang keadaan tubuhnya lemah, kurang gizi, kurang protein, kurang darah, dan kurang istirahat memudahkan basil tuberkulosis menyerang (Nadesul, 1998). Djuanda (2000) menyatakan bahwa status gizi menurun berakibat menurunnya kekebalan tubuh terhadap infeksi yaitu melalui gangguan imunitas humoral yang disebabkan oleh menurunnya komplemen protein, dan menurunnya aktivitas leukosit untuk memfagosit maupun membunuh kuman. Pudjiadi (2001) menyatakan lain, bahwa malnutrisi akan menurunkan imunitas seluler, kelenjar timus dan tonsil menjadi atrofik dan jumlah sel T-limfosit berkurang sehingga tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi.

59

Demikian juga bahwa penyakit penyerta berhubungan dengan kejadian gagal konversi, hasil penelitian ini membuktikan bahwa beberapa penyakit penyerta seperti diabetes dan atau HIV-AIDS berisiko terjadi gagal konversi, karena penyakit-penyakit tersebut mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah terinfeksi oleh kuman. Menurut Askandar Tjokroprawiro (2007), diantara komplikasi kronis penderita Diabetes Mellitus (DM), TB paru merupakan peringkat ke-7 dengan angka kekerapan sebesar 12,8%. Pendapat lain menyatakan sebaliknya bahwa DM sebagai ko-morbiditas pada TB paru dengan case fatality rate (CFR) sebesar 13% (Hendromartono, 2002). Penderita TB paru yang diamati, ada menyatakan bahwa setelah didiagnosa TB paru, baru mengetahui menderita DM setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium menyeluruh dan ada yang menyatakan setelah menderita DM dan tidak teratur minum obat gula, kemudian karena sering demam dan batuk-batuk, akhirnya memeriksakan diri dan didiagnosa menderita TB paru. Keluhan penderita DM ini, gampang lelah, kurang selera makan dan berat badan makin menurun mengakibatkan sering mengalami penyakit influenza, demam dan batuk. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan penderita DM mudah mengalami infeksi pada saluran nafas bagian atas maupun bawah. Darmono (2000) juga menyatakan bahwa infeksi paru yang biasa dijumpai pada penderita DM adalah pneumonia, TB dan infeksi oleh fungi coccidiodes immitis. DM merupakan keadaan hiperglikemia kronik yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya yang selalu mengakibatkan komplikasi kronik pada organ tubuh (mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah) dimana infeksi TB paru dengan DM biasanya disebabkan oleh reaktifasi focus yang lama daripada melalui kontak langsung. TB paru merupakan infeksi oportunistik yang potensial untuk penderita DM, karena kondisi gangguan pertahanan imunitas akibat hiperglikemi dan asidosis, salah satunya adalah menghambat gerakan sel-sel fagosit kearah daerah infeksi dan menekan aktifitas sel-sel tersebut yang terjadi pada penderita DM dan mempermudah penyebaran infeksi. Sebaliknya TB paru pada penderita DM akan memperberat hiperglikemi dan terpacunya ketoasidosis (Darmono, 2000).

Perokok berhubungan dengan kejadian gagal konversi. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang mengatakan kebiasaan merokok mempunyai beberapa

60

dampak bagi kesehatan akibat partikel asap rokok (benzopiren, dibenzopiren dan tar) yang dihirup ke paru-paru dan masuk melalui aliran pembuluh darah. Gangguan tersebut antara lain pada paru-paru terjadi perubahan struktur dan fungsi saluran napas dimana sel mukosa membesar (hipertrofi), kelenjar lendir bertambah banyak (hiperplasia), terjadi peradangan jaringan paru, terjadi penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir, serta terjadi kerusakan atau kekakuan alveoli. Hal ini mengakibatkan paru gampang terinfeksi dengan kuman penyakit. Responden yang gagal konversi dengan kebiasaan merokok ada sebanyak 24 orang (66,7%) dari 36 orang gagal konversi. Wawancara yang dilakukan peneliti pada responden perokok, menyatakan ada yang masih aktif merokok sampai didiagnosa menderita TB paru dan ada responden yang mengaku bahwa sudah setahun bahkan ada yang lebih sudah tidak merokok lagi, dan baru 2 bulan ini didiagnosa TB paru dan mendapat pengobatan TB kategori I. Penelusuran wawancara terhadap penderita TB paru perokok, ada yang merupakan perokok ringan yaitu sudah 1 tahun merokok dengan jumlah isap < 10 batang dalam sehari, ada perokok sedang dengan jumlah isap 10-20 batang rokok dalam sehari dan ada yang perokok berat dengan jumlah isap > 20 batang dan sudah merokok selama lebih 10 tahun. Semua penderita TB paru yang perokok mengaku sejak merokok sering menderita batuk, gampang terkena influenza ini menandakan daya tahan tubuhnya melemah.

Kepatuhan berobat berhubungan dengan kejadian gagal konversi. Penelitian ini mendapatkan hasil 29 orang (80,6%) dari 36 orang gagal konversi ternyata tidak patuh berobat. Ini sesuai hasil penelitian menurut Cuneo dan Snider yang disitasi Burman dan Cohn (1997) yang menyatakan pengobatan yang memerlukan jangka waktu panjang akan memberikan pengaruh pada penderita yaitu menurunnya kepatuhan pasien untuk berobat. Pasien TB paru tidak patuh berobat ini, diperoleh keterangan bahwa datang ke tempat pengobatan selain waktu yang melelahkan, juga motivasi untuk datang semakin menurun sejalan dengan lamanya waktu pengobatan, mengaku bosan menunggu antrian di rumah sakit dan pekerjaannya banyak yang terbengkalai karena berulang kali harus ke rumah sakit untuk mengambil obat. Ada juga beberapa pasien TB paru yang mengeluh banyak menderita mual, muntah dan kepala terasa berat setelah minum

61

obat secara rutin dan walaupun sudah diberi obat untuk mengatasi efek samping tersebut tetapi hanya sedikit berkurang, sehingga membuat penderita menghentikan pengobatannya. Penderita TB lainnya tidak patuh berobat karena transportasi yang berulangkali membutuhkan biaya yang besar dan terasa berat, sedangkan pendapatannya kurang, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang membutuhkan biaya besar untuk sekolah anaknya, biaya sandang dan pangan.

Jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian gagal konversi, dapat dijelaskan bahwa tidak ada pengaruh faktor jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan dapat mengalami gagal konversi. Penderita TB paru laki-laki lebih banyak yang gagal konversi ada sebanyak 22 orang (61,1%), lebih banyak dari perempuan. Kepekaan untuk terinfeksi penyakit ini adalah semua penduduk, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tua-muda, bayi dan balita.

Hasil penelitian juga menyatakan bahwa faktor umur juga tidak berhubungan dengan kejadian gagal konversi. Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan teori Nugroho (2005), yang menyatakan proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan memepertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.

4.4.3.2 Aspek Eksternal Penderita yang Berhubungan dengan Kejadian