• Tidak ada hasil yang ditemukan

(%) Status gizi berdasar

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

4.4.2 Gambaran Deskriptif

a) Gambaran Karakteristik Sosiodemografi Penderita TB Paru Menurut

Umur, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan

Pada hasil penelitian ini diperoleh gambaran bahwa dari 114 penderita TB paru kategori I fase akhir intensif di kota Medan, sebagian besar pasien TB paru usia muda (18- 45 tahun) dengan data 64 orang (56,1%). Hasil penelitian ini sesuai dengan data Depkes RI tahun 2007 pada Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis yang menyatakan bahwa penderita TB terbanyak pada kelompok usia muda (15-45 tahun). Usia muda merupakan usia produktif, dengan proporsi yang bekerja lebih banyak dan mobilitasnya sehari-hari sangat tinggi sehingga kemungkinan lebih banyak terpapar kuman penyakit.

Sebagian besar penderita TB paru berjenis kelamin laki-laki dengan data tabel menunjukkan 70 orang (61,4%) berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai

52

dengan laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2010) bahwa status kesehatan masyarakat berbasis gender dari hasil survei kesehatan nasional, proporsi laki-laki (57%) lebih banyak dari perempuan (43%) yang menderita TB. Menurut WHO (2010a) proporsi laki-laki lebih banyak karena kebiasaan merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh sehingga lebih mudah terpapar dengan agen penyebab TB paru.

Berdasarkan tingkat pendidikannya, pada penelitian diperoleh gambaran bahwa dari 114 orang pasien TB paru kategori I di kota Medan pada pengobatan fase akhir intensif , terdapat 58 orang (50,9%) berpendidikan tinggi diantaranya Sekolah Menengah Atas, berpendidikan diploma, berpendidikan sarjana, dan berpendidikan sarjana strata 2. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Widagdo tahun 2002 mengenai faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita TB dimana sebagian besar responden berpendidikan rendah (53,1%). Penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Triyo Rachmadi (2009) perihal hubungan pengetahuan PMO tentang pengobatan Tb Paru dengan kepatuhan pasien berobat menyatakan lebih banyak responden TB paru yang berpendidikan tinggi (SMA) karena tingkat pendidikan SMA lebih mudah bergaul dengan orang-orang yang perokok aktif, bekerja di lokasi dengan asap, debu dan bahan-bahan yang merusak saluran pernapasan, sehingga lebih mudah terpapar dengan kuman penyakit.

Berdasarkan tingkat pendapatannya, pada penelitian diperoleh gambaran bahwa terdapat 64 orang (56,1%) penderita TB paru berpendapatan tinggi di atas UMR (Upah Minimum Regional) yaitu berkisar antara Rp 2.000.000 sampai dengan Rp 3.000.000. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Desmon (2006) yang menyatakan pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada kemampuan menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan makanan yang bergizi. Menurut pengamatan peneliti, tren di perkotaan dimana waktu diluar rumah lebih banyak daripada waktu di dalam rumah akibat rutinitas pekerjaan di perkotaan mengakibatkan lebih banyak interaksi dan kontak antar teman, rekan kerja dan orang lain sehingga

53

kemungkinan tertular kuman penyakit lebih kerap terjadi, selain itu orang yang bekerja biasanya bekerja di lingkungan kantor yang penuh asap rokok, dimana hingga saat ini peraturan kawasan bebas asap rokok belum diterapkan di perkantoran dan di tempat-tempat umum.

b) Gambaran Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi

Berdasar IMT dan Penyakit Penyerta pada Penderita TB Paru di Kota Medan

Dari hasil penelitian ini meyatakan bahwa dari 114 pasien TB paru kategori I fase akhir intensif di kota Medan, sebagian besar dengan status gizi baik bahkan ada yang lebih dengan data tabel menunjukkan 77 orang (67,5%), sedangkan penderita TB paru dengan status gizi kurang (kurus) hanya 37 orang (32,5%) saja. Hal ini tidak sesuai dengan Crofton (2002) dan Hernila (2006) yang menyatakan status gizi buruk pada masyarakat baik dewasa maupun pada anak akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi kuman tuberculosis, Ini membuktikan bahwa tren masalah gizi di perkotaan saat ini mengalami perubahan, karena dari beberapa penderita TB paru juga diukur status gizi lebih atau obesitas namun belum tentu dengan status gizi lebih, dapat mencegah orang tersebut tertular dari kuman penyakit. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan peneliti bahwa pada pasien TB paru kategori I dengan status gizi normal dan lebih, ternyata kemungkinan berhasil sembuh setelah diobati, daripada pasien dengan status gizi kurang.

Pada penelitian ini diperoleh gambaran bahwa ternyata 74 orang (64,9%) tidak mempunyai penyakit penyerta dimana penyakit penyerta yang diteliti adalah penyakit Diabetes Mellitus (DM) dan atau penyakit HIV-AIDS. Penyakit penyerta HIV-AIDS tidak peneliti temukan pada responden, sehubungan peneliti mendapati kasus TB paru yang juga menderita HIV-AIDS di RSHAM, sudah dirujuk di Posyansus (Poliklinik Pelayanan Khusus), demikian juga ketika peneliti menelusuri kasus tersebut di atas di puskesmas Padang Bulan, ternyata pasien tersebut sudah dirujuk ke RSHAM. DM merupakan salah satu faktor risiko terpenting dalam hal terjadinya perburukan TB paru. Hal ini sesuai pernyataan

54

Alius Cahyadi (2011) bahwa peningkatan prevalensi DM di Indonesia disertai dengan peningkatan prevalensi TB paru. Dalam hal manifestasi klinis, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara pasien TB paru yang juga menderita DM dengan yang tidak DM, hanya saja gejala yang muncul cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk pada yang menderita DM. Prinsip pengobatan DM pada TB atau non TB tidak berbeda, tetapi harus diperhatikan adanya efek samping dan interaksi antara antituberkulosis dan obat oral untuk DM. Pengontrolan gula darah yang baik merupakan hal terpenting dan utama yang harus diperhatikan demi keberhasilan pengobatan TB paru pada pasien DM.

c) Gambaran Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kebiasaan

Merokok dan Kepatuhan Berobat pada Penderita TB Paru di Kota Medan

Pada penelitian ini diperoleh gambaran bahwa dari 114 orang pasien TB paru kategori I di kota Medan yang mendapat pengobatan fase akhir intensif lebih banyak responden adalah perokok yaitu 61 orang (53,5%) perokok. Rokok dapat mengakibatkan daya tahan tubuh orang menjadi lemah dan gampang tertular kuman penyakit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Leung (2010) bahwa asap rokok merupakan faktor penting yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, menyebabkan sistem imun di paru menjadi lemah sehingga mudah untuk perkembangan kuman mycobacterium.

Pada penelitian ini diperoleh gambaran bahwa dari 114 orang penderita TB paru ada 81 orang (71,1%) patuh berobat, berarti lebih banyak responden yang patuh berobat. Sudah banyak penelitian yang menghubungkan kepatuhan berobat dengan kegagalan pengobatan, dimana kuman dapat mudah resisten bila obat tidak diminum secara teratur. Kemenkes (2011b) menyatakan bahwa kepatuhan menjalani pengobatan secara teratur selama enam bulan dan rutin meminum obat justru menjadi kunci keberhasilan penyembuhan pasien TB. Nursiswati (2009) mendapatkan hasil penelitian bahwa lebih banyak penderita TB tidak patuh berobat (68,42%) di puskesmas Cimalaka, Situ dan Pasek kabupaten Sumedang.

55

d) Gambaran Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Peran PMO dan Petugas Kesehatan pada Penderita TB Paru di Kota Medan

Pada penelitian ini diperoleh gambaran bahwa dari 114 orang pasien TB paru kategori I di kota Medan pada pengobatan fase akhir intensif ternyata PMO lebih banyak yang baik dalam menjalankan tugasnya yaitu pada 74 orang (64,9%) dan peran petugas kesehatan bahkan lebih banyak lagi yang dinilai baik dalam menjalankan tugasnya yaitu pada 89 orang (78,1%). PMO dan petugas kesehatan sangat penting perannya dalam menjamin keberhasilan pengobatan. Kita ketahui bahwa selain penyakit TB ini sebagai penyakit kronis, pengobatannya yang sangat lama sampai 6 bulan bahkan lebih, juga efek samping dari obat-obat TB sering membuat pasien putus asa dan menghentikan pengobatannya sebelum selesai. Peran petugas kesehatan yang ramah, mau mendengar keluhan pasien, memberi semangat dan motivasi, menerangkan tentang bahaya penyakit sangatlah membantu, dibantu oleh PMO sebagai pengawas dari kelanjutan pengobatannya, mendukung dan mendampingi pasien, akan bersinergi didalam keberhasilan pengobatan pasien tersebut. Hal ini sesuai dengan pedoman penanggulangan TB (Depkes, 2007) yang menyatakan strategi penanggulangan TB di Indonesia harus dengan DOTS, dimana peranan PMO harus ditingkatkan di setiap UPK. Seseorang dapat menjadi Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan memenuhi syarat sebagai berikut :

• Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui oleh penderita dan lebih baik lagi dikenal dan disetujui oleh petugas kesehatan, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.

• Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita • Bersedia membantu penderita dengan sukarela

• Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita

Tugas seorang PMO dapat diperinci sebagai berikut :

• Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan

• Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat secara teratur

56

• Mengingatkan penderita untuk segera menemui petugas kesehatan (dokter atau petugas kesehatan lain) yang memberikan obat, jika terjadi gejala efek samping atau kondisi penyakit yang bertambah parah atau ada kelainan lain. • Mengingatkan penderita, tindakan untuk segera meneruskan meminum obat,

jika lupa meminum obat

• Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan

• Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala seperti TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan

Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan adalah : • TB bukan penyakit keturunan atau kutukan

• TB dapat disembuhkan dengan berobat secara teratur

• Tata laksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan lanjutan • Pentingnya berobat secara teratur, karena itu pengobatan perlu diawasi

• Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut

• Cara penularan dan mencegah penularan