• Tidak ada hasil yang ditemukan

(%) Status gizi berdasar

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

4.4.4 Faktor yang Dominan Mempengaruhi Kejadian Gagal Konversi

Faktor yang dominan mempengaruhi kejadian gagal konversi pada pasien TB paru kategori I setelah menjalani pengobatan fase intensif di kota Medan adalah faktor PMO dengan PR 65,478 (95% C.I.: 11,306-379,219) dan kepatuhan berobat dengan PR 13,51 (95% C.I.: 2,439-74,836).

Hasil analisis ini menjelaskan bahwa peran PMO merupakan variabel yang paling berpengaruh yang menunjukkan peran PMO yang kurang mempunyai kemungkinan kejadian gagal konversi sebanyak 65,478 kali dibanding dengan yang baik PMO-nya. PMO sebaiknya orang yang disegani dan dekat dengan pasien TB, misalnya keluarga, tetangga, atau kader kesehatan. PMO bertanggung jawab untuk memastikan pasien TB meminum obat sesuai anjuran petugas puskesmas atau UPK. Berdasarkan wawancara dari responden dan keterangan dari petugas puskesmas, petugas TB di rumah sakit H.Adam Malik dan klinik Jemadi, didapatkan gambaran umum tentang partisipasi pengawas menelan obat dan sikap penderita tuberkulosis paru rata-rata masih kurang. Hal ini ditandai dengan PMO yang berasal dari keluarga, kurang mengawasi penderita TB dalam minum obat, dikarenakan kesibukan yang dimiliki masing-masing PMO. PMO dipilih dari keluarga pasien namun PMO tersebut sebagian besar kurang aktif didalam menjalankan tugasnya seperti penderita TB gagal konversi menyatakan bahwa PMO nya tidak secara teratur setiap hari mengawasi penderita minum obat, tidak memberikan penyuluhan tentang bahaya penyakit TB kepada sanak keluarga lainnya dan tidak mengingatkan penderita untuk berobat dan memeriksakan dahak pada waktu yang telah ditentukan. Peneliti menelusuri penjelasan penderita dengan mewawancarai PMO yang mendampingi pada saat berobat, diperoleh penjelasan dari PMO, bahwa tugasnya tidak bisa setiap saat mendampingi penderita karena kesibukannya didalam tugas dan pekerjaannya sehari-hari dan menganggap penderita sudah ingat akan waktu kontrol berobat selanjutnya dan tidak perlu diingatkannya lagi. Ketika peneliti menanyakan apa sebenarnya tugas dan fungsi seorang PMO, ternyata dari penjelasan PMO tersebut, peneliti mengambil kesimpulan bahwa PMO tersebut kurang mengerti akan tugasnya secara lengkap, dan PMO tersebut juga menyatakan bahwa petugas kesehatan tidak pernah secara khusus memberikan pendidikan bagaimana tugas dan fungsi

64

seorang PMO. Kurang aktifnya PMO mempengaruhi motivasi berobat penderita TB, terlebih ketika penderita setelah beberapa kali minum obat TB dan mengeluhkan efek samping obat, karena kurang aktifnya PMO memberi dukungan dan perhatian agar tidak berhenti minum obat, membuat penderita mengambil tindakan sendiri seperti memutuskan tidak minum obat lagi, dengan demikian efek samping obat dengan sendirinya menghilang , padahal diketahui bahwa efek samping obat dapat diatasi dengan pemberian obat suportif sedangkan obat TB dapat terus diminum. Alasan mengapa pasien mempunyai tingkat kepatuhan yang rendah adalah:

• Pemakaian obat jangka panjang

• Jumlah obat uang dikonsumsi per harinya • Efek samping yang mungkin timbul

• Kurangnya kesadaran pasien akan penyakitnya • Daya ingat yang kurang baik

• Regimen obat yang kompleks • Ukuran obat yang relative besar

• Komunikasi yang buruk antara dokter, apoteker dan pasien

Bentuk ketidakpatuhan pasien diantaranya: • Tidak mengambil obatnya

• Minum obat dengan dosis yang salah • Minum obat pada waktu yang salah • Lupa minum obat

• Berhenti minum obat sebelum waktunya

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori kepustakan dan hasil penelitian sebelumnya bahwa program TB dengan DOTS merupakan strategi yang paling tepat dan harus diterapkan di setiap UPK, dimana strategi DOTS diantaranya adalah peran PMO. Memang kita ketahui bahwa pengendalian TB sangat memerlukan strategi DOTS didalam penanggulangannya, dan sudah diketahui dari data Dinas Kesehatan Kota Medan bahwa belum semua unit pelayanan kesehatan di kota Medan sudah ikut DOTS, dimana salah satu strategi DOTS adalah peran PMO yang mempengaruhi peningkatan kepatuhan berobat penderita. Bentuk

65

intervensi untuk meningkatkan kepatuhan pasien adalah pemberian informasi sesuai kebutuhan penderita sehingga penderita :

• Memahami kondisi dan resiko kesehatannya

• Memahami resiko kalau tidak patuh akan menyebabkan resistensi • Memahai efektifitas obat

• Yakin bahwa penderita dapat melibatkan diri dalam proses penyembuhan

Penelitian Rijja Rajana (2008) mendapatkan hasil yang lain dari penelitian ini, dimana yang mempengaruhi gagal konversi paling dominan adalah penyakit penyerta odds ratio 5,860 dengan CI 95%. Sebaliknya, penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ritha Tahitu & Amiruddin (2007) pada penderita TB paru BTA positif baru yang mengalami gagal konversi (BTA dahaknya tetap positif) pada akhir pengobatan fase intensif dengan usia 15 tahun keatas menunjukkan bahwa responden yang tidak patuh minum obat akan berisiko 41,8 kali mengalami kegagalan konversi dibanding responden yang patuh minum obat dan responden yang Pengawas Menelan Obat atau PMO-nya tidak rutin dalam mengawasi penderita akan berisiko 48,0 kali mengalami kegagalan konversi dibanding responden yang PMO mengawasinya secara rutin untuk minum obat. Hubungan kedekatan / kekeluargaan, kepercayaan dan ketelatenan PMO terhadap pasien TB Paru juga sangat mempengaruhi kepatuhan pasien berobat. Penelitian Riwidikdo (2008) & Frida Ani Noor (2008) dengan analisis bivariat chi square diperoleh hasil yang signifikan hubungan antara pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru jenis FDC dengan kepatuhan pasien berobat. Hal ini sama dengan penelitian Bambang Andri Hadiansyah (2010) menyatakan dari hasil penelitian diperoleh faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian gagal konversi antara lain : pengetahuan (p = 0,000; OR = 20,8; 95% CI : 3,453 – 125,295), pendapatan (p=0,003; OR = 17,0; 95% CI : 1,849 – 156,267), kepatuhan menelan obat (p = 0,002; OR = 2,8; 95% CI : 1,703 – 4,602); efek samping obat (p=0,005; OR = 10,0; 95% CI : 1,756 – 56,933); peran PMO (p=0,000; OR = 17,5; 95% CI : 3,312 – 92,475). Kita ketahui bahwa selain penyakit TB ini sebagai penyakit kronis, pengobatannya yang sangat lama sampai 6 bulan bahkan lebih, juga efek samping dari obat-obat TB sering membuat pasien putus asa dan menghentikan 66

pengobatannya sebelum selesai, maka itu peran PMO sebagai pengawas dari kelanjutan pengobatan, mendukung dan mendampingi pasien sangat dibutuhkan didalam keberhasilan pengobatan pasien tersebut.

Penderita TB paru yang tidak patuh berobat juga mempunyai kemungkinan mengalami gagal konversi sebanyak 13,51 kali dibanding yang patuh berobat. Kepatuhan atau ketaatan (compliance / adherence) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain. (Smet, 1994). Menurut Cuneo dan Snider yang disitasi Burman dan Cohn pada penelitiannya menyatakan bahwa pengobatan yang memerlukan jangka waktu panjang akan memberikan pengaruh pada penderita, antara lain:

1. Merupakan suatu tekanan psikologis bagi seorang penderita tanpa keluhan atau gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan harus menjalani pengobatan sekian lama

2. Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah menjalani pengobatan sekian lama, keluhan akan segera berkurang atau hilang sama sekali, penderita akan merasa sembuh dan malas untuk meneruskan kembali pengobatannya

3. Datang ke tempat pengobatan selain waktu yang melelahkan, juga motivasi untuk datang akan semakin menurun sejalan dengan lamanya waktu pengobatan

4. Pengobatan yang lama merupakan beban ,dilihat dari segi biaya yang harus dikeluarkan

5. Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan rasa tidak enak terhadap penderita, apalagi bila efek samping berat.

Penelitian ini mendapatkan hasil 29 orang (80,6%) dari 36 orang gagal konversi ternyata tidak patuh berobat. Pasien TB paru yang tidak patuh berobat ini, diperoleh keterangan bahwa datang ke tempat pengobatan selain waktu yang melelahkan, juga motivasi untuk datang semakin menurun sejalan dengan lamanya waktu pengobatan, mengaku bosan menunggu antrian di rumah sakit dan pekerjaannya banyak yang terbengkalai karena berulang kali harus ke rumah sakit untuk mengambil obat. Ada juga beberapa pasien TB paru yang mengeluh banyak 67

menderita mual, muntah dan kepala terasa berat setelah minum obat secara rutin dan walaupun sudah diberi obat untuk mengatasi efek samping tersebut tetapi hanya sedikit berkurang, sehingga membuat penderita menghentikan pengobatannya. Penderita TB lainnya tidak patuh berobat karena transportasi yang berulangkali membutuhkan biaya yang besar dan terasa berat, sedangkan pendapatannya kurang, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang membutuhkan biaya besar untuk sekolah anaknya, biaya sandang dan pangan. Alasan lain mengapa minum obat tidak teratur adalah merasa sudah baik, sehingga ketika penyakitnya dirasanya muncul kembali barulah kembali ke unit pelayanan kesehatan. Kita ketahui dari teori kepustakaan sebelumnya, ketidak patuhan penderita TB ini berobat menyebabkan ketidak teraturan minum obat padahal kuman TB sangat mudah mengalami resistensi, sehingga dengan pengobatan yang tidak adekuat mengakibatkan setelah 2 bulan menjalani pengobatan TB kategori I, hasil konversi menjadi negative (gagal konversi) dan hal ini bisa selanjutnya mengakibatkan kuman TB resisten dengan OAT kategori I dan kelompok penderita yang berulang kali berobat secara tidak teratur akan dikelompokkan sebagai suspek TB MDR.

68

BAB V