• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Pelayanan

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 30-45)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/Menkes/Per/X/1993, pelayanan apotek meliputi (Umar, 2007):

a. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab APA, sesuai dengan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

b. Apotek wajib menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan absah.

c. Apotek tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat bermerek dagang, namun resep dengan obat bermerek dagang atau obat paten boleh diganti dengan obat generik.

d. Apotek wajib memusnahkan perbekalan farmasi yang tidak memenuhi syarat mengikuti ketentuan yang berlaku, dengan membuat berita acara. Pemusnahan ini dilakukan dengan cara dibakar atau dengan ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Badan POM.

e. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang diresepkan, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

f. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat.

g. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib melaksanakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.

h. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.

i. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun.

j. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan, atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

k. Apoteker diizinkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) tanpa resep.

Menurut Standar Pelayanan Farmasi di Apotek, kegiatan pelayanan di apotek, meliputi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004):

2.3.1. Pelayanan Resep 2.3.1.1. Skrining Resep

Apoteker melakukan kegiatan skrining resep yang meliputi (Umar, 2007): a. Memeriksa kelengkapan persyaratan administrasi: nama dokter, nomor SIP,

alamat dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis kelamin pasien, berat

badan pasien, nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta, cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya.

b. Memeriksa kesesuaian farmasetik seperti bentuk sediaan, dosis, inkompatibilitas, stabilitas, cara dan lama pemberian.

c. Melakukan pertimbangan klinis seperti adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

2.3.1.2. Penyiapan Obat

Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Suatu prosedur tetap harus dibuat untuk melaksanakan peracikan obat, dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. Etiket harus jelas dan dapat dibaca. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. Pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep harus dilakukan sebelum obat diserahkan kepada pasien. Penyerahan obat dilakukan oleh asisten apoteker atau apoteker disertai pemberian informasi obat atau konseling kepada pasien.

2.3.1.3. Informasi Obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, jangka waktu pengobatan, cara penyimpanan obat, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

2.3.1.4. Konseling

Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

2.3.1.5. Monitoring Penggunaan Obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya.

2.3.2. Pelayanan Swamedikasi

Pengobatan sendiri (swamedikasi) adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan obat tanpa resep (golongan obat bebas dan bebas terbatas) yang dilakukan secara tepat guna dan bertanggung jawab. Hal ini mengandung makna bahwa walaupun oleh dan untuk diri sendiri, pengobatan sendiri harus dilakukan secara rasional. Tindakan pemilihan dan penggunaan produk yang bersangkutan sepenuhnya merupakan tanggung jawab para penggunanya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

Pemerintah juga turut berperan serta dalam meningkatkan upaya pengobatan sendiri dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 347/Menkes/SK/VII/ 1990 tentang Obat Wajib Apotek. Obat Wajib Apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker di apotek (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1990). Kriteria obat yang diserahkan tanpa resep dokter, harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004):

a. Tidak dikontraindikasikan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun, dan orang tua diatas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko akan kelanjutan penyakit.

c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Jenis obat wajib apotek didasarkan pada tiga surat keputusan menteri kesehatan yaitu:

a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek No. 1 yang terdiri dari 7 kelas terapi yaitu, oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut dan tenggorokan, obat saluran napas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, antiparasit, dan obat topikal.

b. Keputusan Menkes Republik Indonesia No. 924/Menkes/PER/IX/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 yang terdiri dari 34 jenis obat generik sebagai tambahan lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek No. 1. Daftar obat wajib apotek No. 2 tersebut terdiri dari Albendazol, Basitrasin, Karbinoksamin, Klindamisin, Deksametason, Dekspantenol, Diklofenak, Diponium, Fenoterol, Flumetason, Hidrokortison Butirat, Ibuprofen, Isokonazol, Ketokonazol, Levamizol, Metilprednisolon, Niklosamid, Noretisteron, Omeprazol, Oksikonazol, Pipazetat, Piratiasin Kloroteofilin, Pirenzepin, Piroksikam, Polimiksin B Sulfat, Prednisolon, Skopolamin, Silver Sulfadiazin, Sukralfat, Sulfasalazin, Tiokonazol, dan Urea.

c. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3 yang terdiri dari 6 kelas terapi yaitu, saluran pencernaan dan metabolisme, obat kulit, antiinfeksi umum, sistem muskuloskeletal, sistem saluran pernafasan, dan organ-organ sensorik.

Penggunaan OWA perlu dicatat tetapi tidak perlu dilaporkan. Beberapa kewajiban apoteker dalam penyerahan obat wajib apotek yaitu:

a. Memenuhi ketentuan dan batasan yang tercakup dalam tiap-tiap jenis obat wajib apotek tersebut.

b. Membuat catatan pasien dan obat yang telah diserahkan.

c. Memberikan informasi tentang obat, meliputi dosis, aturan pakai, efek samping dan informasi lain yang dianggap perlu.

2.3.3. Promosi dan Edukasi

Apoteker harus memberikan edukasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan, dengan memilihkan obat yang sesuai. Apoteker juga harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi antara lain dengan penyebaran leaflet atau brosur, poster, penyuluhan dan lain-lain.

2.3.4. Pelayanan Residensial (Home Care)

Apoteker sebagai pemberi pelayanan (care giver) diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lanjut usia (lansia) dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

2.3.5. Pelayanan Obat Keras, Narkotika, dan Psikotropika 3.3.5.1. Definisi dan Penggolongan

Obat keras merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter dan dapat diulang tanpa resep baru bila dokter menyatakan pada resepnya “boleh diulang“. Obat-obat golongan ini antara lain antibiotika, obat jantung, hormon, obat diabetes, beberapa obat ulkus lambung, dan semua obat suntik. Salah satu obat keras yaitu psikotropika.

Menurut UU No.5 Tahun 1997 definisi psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.Penggolongan dari psikotropika adalah (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1997):

a. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: etisiklidina, tenosiklidina, dan metilendioksi metilamfetamin (MDMA).

b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin, dan fensiklidin.

c. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital, pentabarbital, dan siklobarbital.

d. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: diazepam, estazolam, etilamfetamin, alprazolam.

Pengertian narkotika menurut UU No. 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Obat narkotika ditandai dengan simbol palang medali atau palang swastika. Narkotika dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kokain, opium, heroin, dan ganja.

b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: fentanil, metadon, morfin, dan petidin

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kodein, norkodeina, dan etilmorfina.

3.3.5.2. Pengelolaan Obat Non Narkotika-Psikotropika dan Narkotika a. Pemesanan Obat Non Narkotika-Psikotropika

Petugas pembelian menyiapkan surat pesanan berdasarkan daftar permintaan barang apotek. Petugas memilih supplier yang dapat memberikan harga relatif lebih murah dibandingkan dengan supplier lainnya. Petugas mengirimkan SP yang telah disetujui oleh APA ke supplier melalui telpon, fax, atau diambil sendiri oleh salesman supplier.

b. Penyimpanan Obat Non Narkotika-Psikotropika

Berbeda dengan obat narkotika dan psikotropika, penyimpanan obat ini tidak memliki peraturan yang baku. Cara menyimpan obat ini dapat disesuaikan dengan sifat bahan obat, kelembaban, dan bahan wadah. Selain hal tersebut, penyimpanan dapat diefisienkan dengan menggunakan lemari yang dibuat seperti sarang tawon dan memperhatikan estetika.

c. Pengelolaan Narkotika

Narkotika merupakan bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Pengendalian dan pengawasan narkotika di Indonesia merupakan wewenang Badan POM. Untuk mempermudah pengendalian dan pengawasan narkotika maka pemerintah Indonesia hanya memberikan izin kepada PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. untuk mengimpor bahan baku, memproduksi sediaan, dan mendistribusikan narkotika di seluruh Indonesia. Hal tersebut dilakukan mengingat narkotika adalah bahan berbahaya yang penggunaannya dapat disalahgunakan. Secara garis besar pengelolaan narkotika meliputi pemesanan, penyimpanan, pelayanan, pelaporan dan pemusnahan (Umar, 2011):

1) Pemesanan Narkotika

Untuk memudahkan pengawasan maka apotek hanya dapat memesan narkotika ke PBF PT. Kimia Farma dengan menggunakan Surat Pesanan (SP), yang ditandatangani oleh APA, dilengkapi dengan nama jelas,

stempel apotek, nomor SIK dan SIA. Surat pesanan dibuat rangkap 4 serta satu SP untuk satu jenis narkotika (Umar, 2011).

2) Penyimpanan Narkotika

Apotek harus mempunyai tempat khusus untuk menyimpan narkotika dan harus dikunci dengan baik. Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978):

a) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat. b) Harus mempunyai kunci yang kuat.

c) Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan. Bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika yang dipakai sehari-hari. d) Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari

40×80×100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat melekat pada tembok atau lantai.

e) Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.

f) Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh pegawai yang dikuasakan.

g) Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.

3) Pelayanan Resep yang Mengandung Narkotika

Hal yang harus diperhatikan dalam pelayanan resep yang mengandung narkotika antara lain :

a) Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan atau ilmu pengetahuan.

b) Narkotika hanya dapat diserahkan kepada pasien untuk pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter.

c) Apotek dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar salinan resep dokter.

d) Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali.

e) Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep asli.

f) Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Dengan demikian dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada resep yang mengandung narkotika.

4) Pelaporan Narkotika

Apotek berkewajiban membuat dan mengirimkan laporan mutasi narkotika berdasarkan penerimaan dan pengeluarannya sebelum tanggal 10 setiap bulan. Laporan narkotika ditandatangani oleh APA, dibuat rangkap empat, ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota setempat dengan tembusan kepada kepala Balai Besar POM setempat dan arsip apotek. 5) Pemusnahan Narkotika

APA dapat memusnahkan narkotika yang rusak, kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan. Apoteker Pengelola Apotek dan dokter yang memusnahkan narkotika harus membuat berita acara pemusnahan narkotika yang sekurang-kurangnya memuat:

a) Nama, jenis, sifat, dan jumlah narkotik yang dimusnahkan.

b) Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan pemusnahan.

c) Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.

6) Cara pemusnahan

Berita Acara Pemusnahan Narkotika dikirim kepada Dinas Kesehatan Kota setempat dengan tembusan kepada Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Balai Besar POM setempat, dan untuk arsip apotek. Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan pelaporan

narkotika dapat dikenai sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan yang berupa teguran, peringatan, denda administratif, penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin.

d. Pengelolaan Psikotropika

Ruang lingkup pengaturan psikotropika adalah segala hal yang berhubungan dengan psikotropika yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Tujuan pengaturan psikotropika yaitu:

1) Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan.

2) Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika. 3) Memberantas peredaran gelap psikotropika.

Secara garis besar pengelolaan psikotropika meliputi (Departemen Kesehatan, 1997):

1) Pemesanan Psikotropika

Kegiatan ini memerlukan surat pesanan (SP), dimana satu SP bisa digunakan untuk beberapa jenis obat psikotropika. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pasien dengan resep dokter. Tata cara pemesanan adalah dengan menggunakan SP yang ditandatangani oleh APA dilengkapi dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIK dan SIA. Surat pesanan dibuat rangkap 2, serta satu SP untuk beberapa jenis obat psikotropika.

2) Penyimpanan Psikotropika

Kegiatan ini belum diatur oleh perundang-undangan karena kecenderungan penyalahgunaan psikotropika, maka disarankan untuk obat golongan psikotropika diletakkan tersendiri dalam suatu rak atau lemari khusus.

3) Pelaporan Psikotropika

Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan pemakaiannya setiap bulan. Laporan ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

dengan tembusan kepada Kepala Balai Besar POM setempat dan 1 salinan untuk arsip apotek.

4) Pemusnahan Psikotropika

Pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi, kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

BAB 3

TINJAUAN KHUSUS 3.1. PT. Kalbe Farma, Tbk.

3.1.1. Sejarah dan Profil Perusahaan (Kalbe, 2010)

PT. Kalbe Farma, Tbk. (Kalbe), didirikan pada tahun 1966, tepatnya pada tanggal 10 September, oleh enam orang bersaudara yang dipimpin dr. Boenjamin Setiawan, Ph. D. (yang lebih dikenal sebagai dokter Boen) dan Fransiskus Bing Aryanto dengan tekad membantu manusia Indonesia meningkatkan kesadaran akan kesehatan dan kesejahteraan mereka. PT. Kalbe Farma, Tbk., berawal dari sebuah bisnis farmasi yang beroperasi di sebuah garasi rumah yang berlokasi di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Visi yang tajam, jiwa wirausaha yang tinggi, serta kerja keras para pendiri dan seluruh karyawan telah menyebabkan Kalbe terus berkembang dan menjadi perusahaan yang sukses. Saat ini, setelah lebih dari 40 tahun beroperasi, PT. Kalbe Farma, Tbk., diakui pada tingkat regional sebagai perusahaan farmasi terbesar se-Asia Tenggara.

Meskipun telah beroperasi selama lebih dari 40 tahun, Kalbe masih memiliki banyak tujuan yang ingin dicapai. Pengembangan usaha telah gencar dilakukan melalui akuisisi strategis terhadap perusahaan farmasi lain, membangun merek produk yang unggul dan menjangkau pasar internasional, dalam rangka transformasi Kalbe menjadi perusahaan produk kesehatan serta nutrisi yang terintegrasi dengan daya inovasi, strategi pemasaran, pengembangan merek, distribusi, kekuatan keuangan, keahlian riset dan pengembangan serta produksi yang sulit ditandingi dalam mewujudkan misinya untuk meningkatkan kesehatan untuk kehidupan yang lebih baik.

Grup Kalbe telah menangani portofolio merek yang handal dan beragam untuk produk obat resep, obat bebas, minuman energi dan nutrisi, yang dilengkapi dengan kekuatan bisnis usaha kemasan dan distribusi yang menjangkau lebih dari satu juta outlet. Kalbe telah berhasil memposisikan merek-mereknya sebagai pemimpin di dalam masing-masing kategori terapi dan segmen industri, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai pasar internasional, dengan produk-produk kesehatan dan obat-obatan yang telah senantiasa menjadi andalan keluarga seperti Promag®, Mixagrip®, Woods®, Komix®, Prenagen® dan Extra Joss®.

Pembinaan dan pengembangan aliansi dengan mitra kerja internasional telah mendorong pengembangan usaha Kalbe di pasar internasional. Pada akhir tahun 2005, pangsa pasar internasional Kalbe telah meluas hingga Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Myanmar, Sri Lanka, dan Afrika Selatan. Kerja sama internasional juga dimanfaatkan untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek riset dan pengembangan yang canggih, serta memberi kontribusi dalam penemuan terbaru di dalam bidang kesehatan dan farmasi, termasuk riset sel punca.

Pelaksanaan konsolidasi Grup pada tahun 2005 telah memperkuat kemampuan produksi, pemasaran dan keuangan Perseroan sehingga meningkatkan kapabilitas dalam rangka memperluas usaha Kalbe, baik di tingkat nasional maupun internasional. Saat ini, sebagai salah satu perusahaan farmasi terbesar di Asia Tenggara, Kalbe memiliki saham yang telah tercatat di bursa efek dengan nilai kapitalisasi pasar di atas US$ 1 miliar dan penjualan melebihi Rp 7 triliun. Posisi kas yang sangat baik saat ini juga memberikan fleksibilitas yang luas dalam pengembangan usaha Kalbe di masa mendatang. Dengan dukungan finansial yang kuat dan sumber daya yang berkualitas, Kalbe akan terus berinovasi dan berkembang untuk mencapai cita-cita perusahaan, menjadi pemimpin dalam sektor bisnis farmasi di Indonesia, serta mempersiapkan diri menghadapi tantangan global.

3.1.2. Nama dan Logo

Logo Kalbe menggunakan double helix DNA yang melambangkan komitmen dalam mengabdikan ilmu untuk kesehatan dan kesejahteraan. Warna hijau sebagai warna dasar digunakan untuk melambangkan kehidupan, pertumbuhan, dan inovasi. Pada bulan Maret 2007, Kalbe memperkenalkan logo baru dan pada logo baru tersebut, Kalbe tetap mempertahankan simbol double

helix DNA tetapi penggambarannya diperbaharui sebagai wujud dua manusia. Hal

ini menunjukkan bahwa Kalbe yang baru lebih dinamis, siap menghadapi hal-hal baru, serta mempertegas fokus Kalbe kepada masyarakat, kepedulian, dan rasa berbagi. Adapun logo Kalbe dapat dilihat pada Gambar 3.1.

3.1.3. Visi , Misi, Moto, dan Core Value (Laporan Tahunan,2009)

PT. Kalbe Farma, Tbk. memiliki visi sebagai berikut: Menjadi perusahaan yang dominan dalam bidang kesehatan di Indonesia dan memiliki eksistensi di pasar global dengan merek dagang yang kuat, didasarkan oleh manajemen, ilmu dan teknologi yang unggul. Misi yang diusung adalah Meningkatkan kesehatan untuk kehidupan yang lebih baik.

PT. Kalbe Farma, Tbk. mempunyai moto “The Scientific Pursuit of Health

for a Better Life” atau penelusuran ilmiah terhadap dunia kesehatan untuk

kehidupan yang lebih baik. PT. Kalbe Farma, Tbk. juga memiliki Core Value atau nilai inti yang dianut oleh PT. Kalbe Farma, Tbk. antara lain:

1. Memberikan Pelayanan Terbaik kepada Pelanggan. 2. Gigih untuk Mencapai yang Terbaik.

3. Kerjasama yang Kokoh. 4. Inovasi.

5. Lincah. 6. Integritas.

3.1.4. Struktur Organisasi Perseroan

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 30-45)

Dokumen terkait