• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5. Aspek Teknis Budidaya Laut

4.5.1. Ketersediaan Bibit

Ketersediaan bibit adalah salah satu faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan pengembangan usaha budidaya. Pengembangan usaha budidaya rumput laut membutuhkan pembaruan dan pengadaan bibit pada setiap empat periode masa tanam rumput laut. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas dan kuantitas produksinya. Dengan demikian, dalam satu tahun mesti dilakukan pengadaan bibit baru untuk mendukung usaha budidaya rumput laut yang dikembangkan. Saat ini kebutuhan bibit rumput laut belum ada ditingkat lokal, dan pengadaannya masih tergantung dari luar daerah. Kebutuhan bibit rumput laut saat ini dapat didatangkan dari Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan. Pengembangan budidaya ikan kerapu di Pulau Lingayan akan membutuhkan ketersediaan sumber bibit dalam jumlah yang cukup besar. Pada saat ini di Kabupaten Tolitoli dan Provinsi Sulawesi Tengah belum terdapat balai pembenihan yang mampu menyediakan bibit ikan kerapu untuk mendukung pengembangan usaha budidaya laut. Dengan demikian sumber bibit ikan kerapu dapat dipenuhi dari luar daerah yang umumnya didatangkan dari Balai Pembenihan di Gondol, Bali atau Situbondo, Jawa Timur.

Ketergantungan dalam hal pemenuhan kebutuhan bibit dari luar daerah menjadi kelemahan tersendiri dalam pengembangan budidaya rumput laut dan ikan kerapu di Pulau Lingayan. Hal ini karena harga pengadaan dan penyediaan bibit akan menjadi lebih tinggi karena ditambah dengan ongkos transportasi. Untuk pengadaan bibit rumput laut dari Kabupaten Pangkep atau Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan, membutuhkan biaya sebesar Rp.1.500,- sampai Rp.2.000,- tiap kilogramnya, sedangkan untuk bibit ikan kerapu tikus ukuran 20 – 50 gram/ekor dari Balai Pembenihan Gondol, Bali atau Situbondo, Jawa Timur, membutuhkan biaya sebesar Rp 20.000 – Rp. 25.000 tiap ekornya. Dengan demikian, biaya investasi dan produksi untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA menjadi lebih tinggi.

4.5.2. Ketersediaan Bahan

Pengembangan budidaya laut di Pulau Lingayan dilakukan dalam unit-unit budidaya yang membutuhkan ketersediaan alat dan bahan. Untuk 1 unit usaha

budidaya rumput laut membutuhkan bahan-bahan utama berupa kayu/bambu, tali nilon, tali rapia, pelampung dan waring. Sedangkan untuk pengembangan budidaya ikan kerapu sistem KJA membutuhkan bahan-bahan utama berupa: kayu kaso (8x12) dan (5x7), papan, pelampung drum, Jaring PE:D-12(0,5"), tali

PE:D-8mm dan PE:D-12mm, jangkar, styrofoam boks dan bak penampung.

Bahan-bahan tersebut banyak tersedia di wilayah Kabupaten Tolitoli sehingga tidak akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan pengembangan budidaya rumput laut kedepan.

4.5.3. Ketersediaan Pakan

Ketersediaan pakan lebih ditekankan pada peruntukannya pada budidaya ikan kerapu. Pakan merupakan salah satu aspek yang memerlukan perhatian cukup besar sehingga harus direncanakan dengan matang yaitu menekan anggaran pengeluaran serendah mungkin, tetapi hasilnya tetap optimal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pemilihan jenis pakan yang tepat namun tetap mempertimbangkan kualitas nutrisi, selera ikan, dan harga yang murah. Dalam penerapannya pada skala usaha, tujuan untuk mendapatkan hasil yang baik dengan pengeluaran yang relatif rendah adalah dengan memberikan pakan dari jenis ikan-ikan yang banyak terdapat di pasaran dan relatif memiliki nilai jual yang rendah, yaitu ikan-ikan yang digolongkan sebagai ikan rucah seperti ikan tembang, rebon, selar dan sejenisnya yang banyak terdapat di sekitar lokasi.

Pakan untuk mendukung pengembangan usaha budidaya ikan kerapu sistem KJA di Kabupaten Tolitoli yaitu berupa ikan rucah dapat dengan mudah ditemukan di Kabupaten ini. Nilai produksi ikan rucah berupa ikan layang, ikan tembang dan ikan selar pada Tahun 2006 masing-masing mencapai 1.431,2 ton, 803,3 ton dan 99,1 ton. Dari jumlah tersebut, di Kecamatan Dampal Utara, produksi ikan layang, ukan tembang dan ikan selar mencapai 187,8 ton, 58,5 ton dan 2,2 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tolitoli 2006). Pemilihan pakan ikan kerapu yang berasal dari ikan rucah ini, selain harganya murah dan mudah diperoleh, juga karena pakan buatan khusus ikan kerapu belum terdapat di pasaran.

Pakan dari jenis ikan rucah tetap harus dijaga kualitasnya, setidaknya kondisinya tetap dipertahankan dalam keadaan segar, misalnya disimpan dalam

turunnya kualitas nutrisi berupa asam lemak esensial yang sangat dibutuhkan oleh ikan kerapu, yang dapat hilang karena proses oksidasi.

Pemberian pakan yang ideal tergantung pada ukuran ikan kerapu. Ikan yang berukuran 20 - 50 gr, dapat diberikan pakan sebesar 15% per hari dari bobot biomassa. Selanjutnya persentase diturunkan seiring dengan pertumbuhan ikan. Setelah mencapai ukuran 100 gr, pakan diberikan sebanyak 10% per hari, dan kemudian dikurangi setiap 1 (satu) bulan pemeliharaan, hingga akhirnya diberikan sebanyak 5 % per hari saat ikan kerapu telah mencapai ukuran > 500 gr.

4.5.4. Aksesibilitas dan Keterjangkauan Pasar

Kabupaten Tolitoli hingga saat ini mengembangkan program perdagangan internasional yang dikenal dengan nama/istilah TOTATA (Tolitoli-Tarakan- Tawao) dan TOSAMIN (Tolitoli-Tarakan-Samarinda). Pengembangan perdagangan ini membuka akses pasar yang cukup baik bagi berbagai komoditas utama yang berasal dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan. Akan tetapi untuk komoditas perikanan seperti rumput laut dan ikan kerapu, masih belum terserap di pasaran pulau Kalimantan (Tawao atau Samarinda) dan lebih utama dipasarkan di kota Makassar, Sulawesi Selatan dan Kota Surabaya, Jawa Timur melalui Kota Palu. Hal ini karena telah adanya jaringan pasar tersendiri yang sudah dibangun oleh para punggawa/pengusaha hasil laut di sebagian besar desa-desa nelayan.

Komoditas hasil laut berupa rumput laut jenis Eucheuma sp dan ikan

kerapu hidup dalam berbagai jenis di lokasi relatif mudah dan dapat dijangkau oleh masyarakat Pulau Lingayan. Secara garis besar, rantai pasar dalam penjualan hasil laut ini mencakup tiga komponen utama, yaitu (1) produsen/nelayan; (2) pengusaha pengumpul; dan (3) eksportir. Dalam prakteknya, pengusaha pengumpul terdiri dari pengusah pengumpul kecil dan pengumpul besar. Umumnya penjualan hasil-hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi atau memiliki pasar ekspor relatif mudah dipasarkan di lokasi ini, akan tetapi panjangnya rantai pemasaran menyebabkan tidak stabilnya harga penjualan di tingkat produsen/nelayan

Penjualan rumput laut dilakukan dengan kondisi rumput laut sudah kering 70% atau setelah penjemuran 2 hingga 3 hari. Penjualan dilakukan di Kota Kecamatan Dampal Utara kepada pengusaha pengumpul rumput laut dengan harga pembelian yang sering berfluktuatif antara Rp. 2.000 hingga Rp. 3.000 per kilogram. Pengusaha pengumpul rumput laut selanjutnya mengirim atau menjual rumput laut tersebut ke pengumpul besar di Kota Palu dengan kisaran harga antara Rp. 3.000 hingga Rp. 4.000 per kilogramnya. Pengusaha pengumpul rumput laut di kota Palu biasanya mengirim rumput laut ke eksportir di Kota Makassar atau di Kota Surabaya dengan kisaran harga antara Rp. 4.500 hingga Rp. 5.000 per kilogramnya.

Pemasaran beberapa jenis ikan kerapu hidup di Pulau Lingayan masih dimonopoli oleh punggawa, yang merupakan pengusaha penampung ikan hidup lokal yang beroperasi di Pulau Lingayan. Masyarakat nelayan di pulau ini memiliki keterikatan ekonomi dengan punggawa pengusaha ikan hidup yang berada di kota Kecamatan. Dalam operasinya, pengusaha mempekerjakan dua orang masyarakat pulau untuk melakukan pembelian dan penampungan ikan hidup. Dengan demikian pembelian ikan kerapu hidup masih dimonopoli oleh punggawa pengusaha ikan hidup. Ikan kerapu yang dijual dan dibeli yaitu yang memiliki ukuran diatas 400 gram per ekornya dimana harganya cukup bervariasi sesuai ukuran dan jenis ikannya. Selain itu harga ikan kerapu juga cukup bervariasi pada kelompok pembeli/pengumpul lokal dan eksportir (Tabel 11).

Tabel 11 Harga ikan kerapu di pengumpul lokal dan eksportir

No. Jenis Ikan Lokal

(Rp/Kg) Eksportir (Rp/Kg) 1 Kerapu Sunu (Plectropomus spp) 70.000 140.000 2 Kerapu Lumpur (Epinephelus suillus) 35.000 70.000 3 Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) 55.000 90.000 4 Kerapu Tikus (Chromileptes altivelis) 130.000 240.000

Sumber: Hasil survey dan Dskanlut Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2006

Punggawa pengusaha ikan hidup telah memiliki jalur pasar tersendiri, dimana Ikan kerapu yang telah dikumpulkan diangkut atau dijemput menuju kota Palu oleh kapal pengumpul ikan hidup. Berdasarkan informasi punggawa/pengusaha dan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi

Sulawesi Tengah, ikan kerapu hidup selanjutnya dikirim kepada eksportir di Kota Makassar. Menurut data Diskanlut propinsi Sulawesi Tengah, khusus ikan kerapu, sebagian besar diekspor ke luar negeri dalam bentuk ikan hidup dan ikan segar dengan tujuan negara-negara utama seperti Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia dan AS.

4.5.5. Kelembagaan Ekonomi

Perkembangan kelembagaan menjadi sangat penting untuk kesuksesan pembangunan secara keseluruhan. Kelembagaan biasanya merujuk kepada suatu badan, seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi dan berbagai betuk organisasi yang memiliki beragam tujuan. Kondisi ekonomi masyarakat Pulau Lingayan saat ini masih berada dalam kondisi memprihatinkan dimana hal ini terlihat cukup kontras dengan melimpahnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada di Pulau Lingayan. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan potensi dan peluang yang ada dan lebih lanjut berkorelasi terhadap masih rendahnya kemampuan sumberdaya manusia yang ada.

Pengembangan usaha perikanan oleh masyarakat Pulau Lingayan yang merupakan mata pencaharian utama mereka masih terbentur pada beberapa permasalahan, antara lain seperti sulitnya mengembangkan usaha karena keterbatasan modal usaha dan belum terbukanya akses pada sumber-sumber permodalan yang ada seperti di Bank dan Koperasi. Beberapa lembaga keuangan seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan koperasi telah terdapat di Kecamatan Dampal Utara dan telah memiliki mekanisme pemberian kredit untuk pengembangan usaha dengan bunga kredit antara 12% – 16%. Akan tetapi hal ini belum menyentuh pada penyediaan kebutuhan modal usaha masyarakat Pulau Lingayan, karena adanya hambatan seperti syarat penjaminan untuk peminjaman kredit usaha yang sebagian besar masih merupakan usaha-usaha perikanan yang bersifat individual dan lebih penting lagi karena ketidaktahuan masyarakat dalam mengakses modal usaha dari lembaga keuangan ini. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam bentuk pembinaan, pendampingan dan bantuan modal untuk pengembangan usaha perikanan masyarakat pulau menjadi usaha perikanan yang lebih produktif menjadikan keterbatasan dalam hal pengembangan perekonomian masyarakat Pulau Lingayan.

Usaha perikanan yang dilakukan masyarakat Pulau Lingayan masih bersifat individual dan belum terorganisir dalam suatu kelompok usaha, sehingga menjadikan nilai tawar anggota masyarakat pulau untuk mengakses permodalan dan bantuan masih sangat lemah.

Dokumen terkait