• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL POLA PENGELUARAN WISATAWAN ASING ALA “BACKPACKER” DI YOGYAKARTA

TINJAUAN PUSTAKA

E. Industri Dalam Pariwisata

2. Atraksi Wisata

Atraksi Wisata ini dapat di bagi lagi menjadi (Yoeti, 2008):

a.Natural Attraction, antara lain terdiri dari : Landscape, Mountain,

Beaches, Flora, Fauna, dan sebagainya.

b.Built Attraction, antara lain terdiri dari : historic & modern building,

mosques, castles, monuments, gardens & parks dan sebagainya.

c.Cultural Attractions, antara lain terdiri dari: Museums, Theatres, Art &

commit to user 3.Superstruktur

Superstruktur adalah segala fasilitas pendukung yang dibutuhkan oleh wisatawan selama bekunjung ke sebuah DTW. Berbeda dengan infrastruktur, yang dimaksud dengan superstructure adalah semua perusahaan yang

sesungguhnya tidak begitu penting bagi mereka yang bukan wisatawan, akan tetapi sangat berarti bagi wisatwan. Komponen yang termasuk dalam supersructure adalah accomodation, restaurant, transportation equipment, TIC

(Tourist Information Centre) , Bank/MC, Retail Outlet, dan sebagainya (Yoeti, 2008).

F. Backpacker dalam pariwisata

1. Sejarah dan Pengertian backpacker

Menurut wikipedia, backpacking secara historis diartikan sebagai perjalanan wisata yang berbiaya rendah. Bermula di tahun 1970an, pada awal mulanya backpacker ini adalah mereka kaum hippie di benua Eropa yang melakukan dan

menikmati perjalanan jauh dalam rangka mencari Tuhan serta jati diri mereka dalam interaksi mereka selama perjalanan dengan orang- orang di sekitarnya.Terkadang perjalanan yang mereka lakukan sampai melintasi benua.

Karena perjalanan yang jauh, uang menjadi salah satu hal yang tidak pernah cukup jika menggunakan transportasi yang mahal. Oleh karena itu umumnya para backpacker mencari transportasi dengan biaya termurah dan penginapan termurah

yang bisa didapat. Perjalanan ala backpacker ini pada intinya terdapat tiga unsur , yaitu :

commit to user

a. Menikmati alam (menikmati perjalanan) b. Mengenal diri sendiri

c. Menikmati komunikasi dengan sang pencipta.

Penelitian awal mengenai backpacker ini demulai ketika Cohen (1972) membedakan wisatawan menjadi dua yaitu non-institutionalized dan institutionalized (Markward 2008). Non-institutionalized tourist terdiri dari

drifter dan eksplorer yang menggambarkan tentang wisatawan dengan interaksi

dengan masyarakat lokal tinggi serta penggunaan fasilitas lokal. Sementara Institutionalized tourist terdiri dari Individual Mass Tourism dan Organized Mass

tourism yang menggambarkan wisatawan dengan standar fasilitas tertentu.

Seiring dengan berkembangnya jaman, penelitian mengenai

non-institutionalized terus berkembang. Akan tetapi, pada akhir dekade penelitian

menyebut bentuk baru dari non-institutionalized tourist tersebut sebagai

backpackers hinga saat ini (Pearce 1990a, Loker 1993, and Loker-Murphy and

Pearce 1995 dalam Ian dan Musa 2005). Pearce mendifinisikan backpacker

sebagai wisatawan yang melakukan hal – hal di bawah ini : a. Pemilihan dalam akomodasi yang murah

b. Interaksi sosial dengan wisatawan lain

c. Independen dan fleksibilitas dalam rencana wisata

d. Lama melakukan perjalanan wisata lebih dari wisatawan konvensional e. Ketertarikan pada kegiatan informal

Mereka menggambarkan backpacker itu sebagai seorang wisatawan muda, dengan budget yang terbatas, fleksible, independent, dan dengan perencanaan

commit to user

perjalanan yang terorganisir. Para backpacker ini mempunyai sedikit kontak

dengan industri pariwisata dan berusaha membagi gaya hidup mereka pada siapa mereka berinteraksi. Para backpacker itu sendiri mempunyai karakteristik sebagai berikut :

a. Melakukan perjalanan dalam waktu yang panjang, tidak mempunyai rencana yang kaku (Cohen 1972,1973, 1982; Vogt 1976; Riley 1988 dalam Nathan, Yonai dan Dalit 2006).

b. Keterbatasan pada dana yang akan mereka belanjakan (Teas 1974; Riley 1988 dalam Nathan, Yonai dan Dalit 2006)

c. Mereka makan di restoran murah, tidak tinggal di hotel yang mahal (Cohen 1972, 1973; Vogt 1976; Riley 1988; Pearce 1990a, Loker 1993, and Loker-Murphy and Pearce 1995 dalam Nathan, Yonai dan Dalit 2006).

d. Mencari petualangan, keaslian, dan pengalaman yang mendalam (Nathan, Yonai dan Dalit 2006)

Walaupun dari literatur – literatur tersebut membagi karakteristik tertentu yang berbeda dari wisatawan institusional, mereka (backpacker) bukanlah kelompok yang homogen. Faktanya karakteristik dari kelompok ini juga di susun dari waktu ke waktu untuk mencerminkan perubahan nilai dari masyarakat.

2. Backpacker Tourism dan Pengembangan Ekonomi Lokal

Hubungan antara pariwisata dan pengembangan ekonomi dari sebuah negara telah banyak di bahas dalam berbagai literatur seperti Hampton (1998), Hamzah (1997), Jarvis (2004), Riley (1988), Scheyvens (2002), Spreitzhofer (2002) and Visser (2004) dalam Ian dan Musa (2005).

commit to user a. Dampak Ekonomi

Segmen wisata ala backpacker, mempunyai banyak dampak positif terutama bagi perekonomian masyarakat lokal. Hampton (2009) memberikan beberapa dampak ekonomi yang ditimbukan dari backpacker seperti di bawah ini :

a. Devisa dan Kebocoran ( Foreign Exchange and Leakages)

Meskipun jika dibandingkan dengan wisatawan konvensional backpacker menghasilkan devisa yang lebih kecil, akan tetapi backpacker

lebih unggul dalam rata – rata lama tinggal (Longer Average Length of Stay ) sehingga backpacker mempunyai pengeluaran yang lebih tinggi di sebuah

negara per wisatawan. Wisatawan konvensional mengalami tingkat kebocoran hingga 70% sedangkan backpacker hanya sekitar 30% (Hampton

2009).

b. Hubungan dengan Ekonomi Lokal (Lingkages with Local Economic)

Wisatawan konvensional lebih suka menggunakan barang – barang impor (bermerk), akan tetapi backpacker menggunakan produk – produk lokal (makanan,transportasi, dan sebagainya)(Hampton, 2009). Dengan kata lain, segmen backpacker mempunyai hubungan yang lebih kuat dengan

perkembangan ekonomi lokal dari pada wisatawan konvensional (Hampton 2009) .

b. Infrastruktur dan Kepemilikan

Sering menjadi perdebatan, bahwa backpacker hanya membutuhkan infrastruktur yang “minimalis” yang berarti akan menjadikan investasi berkurang (Ian dan Musa 2005). Riley (1998) dalam Ian dan Musa 2005 mengatakan :

commit to user

“Thus, this category of traveler is not so concerned about amenities (e.g. plumbing), restaurants (e.g. westernized food), and transportation (e.g. air conditioning) geared specifically to the tastes of the mass tourist. If a budget traveler place has an appeal to Western tastes (e.g.banana pancakes), it requires minimal infrastructure”(Riley 1988 dalam Ian dan Musa 2005).

Infrastruktur yang biasa digunakan wisatawan konvensional biasanya dibangun dengan investasi pihak asing. Sebaliknya, industri – industri kecil yang digunakan oleh para backpacker biasanya didirikan/dimiliki oleh masyarakat lokal dan memperkerjakan masyarakat lokal/keluarga mereka (Ian dan Musa 2005).

Itu berarti, ketika backpacker menggunakan fasilitas ini berarti para

backpacker ini ikut berkontribusi secara langsung terhadap pengembangan

ekonomi masyarakat lokal. Lebih jauh Hampton (2009) mengatakan walaupaun infrastruktur yang digunakan wisatawan konvensinal lebih banyak menghasilkan lapangan kerja langsung, akan tetapi mana yang lebih baik menjadi cleaning

service di Hotel berbintang atau memiliki sebuah guest house ? Industri Low

capital needs seperti ini akan lebih banyak memunculkan kepemilikan – kepemilikan lokal. Biasanya penghasilan yang di dapat lenih tinggi dari pada pertanian, perikanan, atau sektor informal lainya (Hampton, 2009).

Regina Scheyvens (2002) mengelompokkan menjadi dua kriteria bagaimana backpacker dapat memfasilitasi pengembangan masyarakat lokal. Dua kriteria

tersebut adalah :

a) Economic Development Criteria

(1) Menghabiskan lebih banyak uang karena mempunyai waktu tinggal yang lebih lama.

commit to user

(2) Lebih banyak destinasi wisata yang dikunjungi sehingga uang yang

dihabiskan menyebar ke area yang lebih luas, daerah yang lebih jauh, daerah dengan ekonomi yang kurang bagus, atau daerah yang terasing. (3) Lebih banyak menggunakan produk – produk lokal, misalnya makanan,

hotel murah (kepemilikan pada masyarakat lokal), transportasi, dan sebagainya.

(4) Keuntungan ekonomi dapat lebih menyebar ke masyarakat bahkan individu dengan modal yang kecil dan pelatihan (trainning) yang sederhana akan tetapi akan menghasilkan produk barang dan jasa. (5) Pemanfaatan sumber daya lokal dapat meminimalsasi barang – barang

impor, misalnya : penggunaan bambu untuk furniture hotel.

(6) Significant Multlipier Effect sebagai gambaran dari kemampuan sumber

daya lokal.

b) Non-Economic Development Criteria

(1) Perusahaan yang berhubungan dengan backpacker biasanya usaha kecil sehingga dan kepemilikan dan kontrrol dapat dilakukan secara lokal. (2) Masyarakat lokal dapat meningkatkan perekonomianya dengan

memiliki usaha mereka sendiri dan bukan hanya menjadi pekerja rendah (ex : cleaning service) di perusahaan orang lain.

(3) Karena masyarakat lokal mengoperasikan usaha mereka sendiri, masyarakat lokal dapat membentuk organisasi yang dapat mepromosikan pariwisata lokal, memberikan masyarakat kekuatan

commit to user

dalam menegakan ketertarikan mereka dan juga untuk bernegoisasi dengan pihak luar.

(4) Ketertarikan backpacker dalam berinteraksi dan belajar dari masyarakat lokal dapat mendorong ke arah revitalisasi kebudayaan tradisional, menghormati kepercayaan dari masyarakat, dan kebanggaan terhadap aspek tradisional yang dimiliki oleh seseorang.

(5) Backpacker menggunakan lebih sedikit sumber daya , seperti lebih

memilih menggunakan shower dan kipas angin dari pada bath tub dan AC, yang mana ini berarti lebih ramah lingkungan.

(6) Pelayanan dari masyarakat lokal akan dapat bersing dengan dominasi perusahaan – perusahaan yang berhubungan dengan pariwisata oleh pihak asing.

c. Backpacker dan pembangunan kembali perkotaan (urban redevelopment)

Permintaan akan infrastruktur yang “minimalis” tidak hanya berdampak pada sisi permintaan di daerah pedesaan akan tetapi juga di daerah perkotaan. Dibeberapa negara, backpacker dijadikan sebagai bahan untuk menciptakan

pembangunan kembali daerah- daerah tertentu dalam sebuah kota (Jevis 2004 dikutip dari Ian dan Musa 2005).

Di Indonesia sendiri juga sudah ada pusat – pusat backpacker di kota – kota besar. Sebut saja Poppy Lane di Bali, Jl. Sosrowijayan di Yogyakarta, Jalan Jaksa di Kota Tua Jakarta, Monkey Forest di Ubud, dan Prawirotaman di Yogyakarta.

Lebih jauh lagi di St. Kilda Melbourne sebuah kawasan run-down red ligth yang

commit to user

G. PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian tentang backpacker di Indonesia sendiri masih sangat langka.

Berbeda dengan di luar negeri. Penelitian – penelitian yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ministry of tourism New

Zealand yang meneliti tentang permintaan dan penawaran terhadap akomodasi

backpacker di New Zealand tahun 2007. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa

backpacker menyumbang sebanyak 17% kapasitas akomodasi utama di tahun

2006. Ini menjadi termasuk 4 besar setelah holiday parks, hotels, dan motels.

Peneltian ini juga menghasilkan tingkat kepuasan para backpacker terhadap

akomodasi yang disediakan. Dari range 1 – 10 rata – rata tingkat kepuasan para backpacker ini sekitar 7.5.

Penelitian lain mengenai backpacker didapat dari Tourism of Queensland

yang meneliti tentang International Backpacker Market tahun 2006. Dalam

penelitian tersebut dapat diketahui bahwa backpacker yang mengunjungi

Queensland sebesar 356,600 atau 65% dari total backpacker yang mengunjungi

Australia. Dengan rata – rata tinggal 33.3 malam. Dari penelitian ini dapat diketahui adanya peningkatan jumlah backpacker internasional sebesar 10% dan

lama tinggal sebesar 27% selama 2005 – 2006. Dengan rata – rata para wisatawan backpacker berumur 15 -24 tahun, dan sebagian besar mereka mengunjungi

Queensland untuk berlibur.

Penelitian lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Departement Trade

and Industri Republic Of South Africa, tentang backpacker dan youth travel di

commit to user

range usia antara 21-30 tahun (70%).Sebagian besar para backpacker di SA

tinggal antara 20 -31 hari. Rata – rata pengeluran mereka adalah R 10 924.

Penelitian yang juga dijadikan acuan atau referensi dari penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh LEE TZE IAN and GHAZALI MUSA (2005) yang berjudul Uncovering International Backpacker to Malaysia. Peneltian

tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai sektor backpacker di

Malaysia. Karena sektor backpacker menjadi salah satu sektor yang masih belum dioptimalkan dalam perencanaan pariwisata. Hasil penelitian tersebut berupa mengenai profil demografik para backpacker internasioanl Malaysia, karakteristik travel mereka, serta pola konsumsi para backpacker tersebut. Rata – rata pengeluaran wisatawan backpackers di Malaysia setiap harinya sekitar USD

59,75. Rata – rata lama tinggal wisatawan di Malaysia menurut Tourism Malaysia tahun 2004 adalah 6,0 hari, sedangkan menurut penelitian ini rata – rata lama tinggal backpacker di Malaysia selama 19,5 hari. Perkiraan pengeluaran per orang dari wisatawan backpacker tersebut adalah sebesar USD 1.165. Penelitian tersebut menggunakan kuesioner dan menggunakan analisis statistika deskriptif.

commit to user BAB III