• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 : HASIL PENELITIAN

2.3 Attachment Style

2.3.1 Definisi Attachment

Konsep attachment berawal dari peneltian yang dilakukan oleh John Bowbly pada tahun 1969 mengenai interaksi antara bayi dengan pengasuhnya atau paling sering dengan ibu. Attachment style yang dimiliki seseorang akan berpengaruh pada individu dalam berteman, berinteraksi dengan orang lain, dan keberhasilan dalam membina hubungan sosial (Baron & Byrne, 2005). Attachment sebagai ikatan afeksional yang kuat yang dirasakan terhadap orang tertentu yang membawa kepada perasaan senang ketika berinteraksi dengannya dan nyaman bila berada di dekatnya selama saat-saat yang menekan (Berk, 1997).

Kemudian Collin (1996) menjelaskan bahwa setiap aspek dari definisi attachment itu penting. Oleh sebab itu, hal esensial yang terkandung dan terkait dengan definisi attachment akan dijelaskan sebagai berikut. Attachment merupakan ikatan emosional, bukan tingkah laku. Attachment merupakan hubungan berlangsung lama dan relatif stabil yang terjadi sepanjang hidup

seseorang yang ditujukan pada figure attachment-nya. Jadi, bukan kesenangan sementara yang didapat dari hubungan kebersamaannya dengan orang lain dalam waktu sesaat.

Sedangkan, dalam Baron, Branscombe & Byrne (2008) attachment style merupakan derajat keamanan yang dialami dalam hubungan interpersonal. Gaya-gaya yang berbeda pada awalnya dibangun pada saat masih bayi, tetapi perbedaan dalam kelekatan tampak mempengaruhi perilaku interpersonal sepanjang hidupnya. Kemudian Bartholomew (Bartholomew & Shaver, 1998) mendefinisikan attachment style yaitu kecenderungan perilaku lekat individu yang terdiri dari dimensi positif dan negatif pada dua sikap dasar yaitu sikap dasar mengenai self dan sikap dasar mengenai orang lain.

Konsep attachment meliputi apek sosial, emosional, kognitif dan perilaku dari manusia. Attachment adalah properti dari hubungan sosial dimana individu yang lemah, kurang terampil bergantung pada yang lebih kompeten dan kuat sebagai sebuah perlindungan. Setiap hubungan mengalami ikutan emosional dengan orang lain dan membentuk representasi internal (Bowlby menyebut working model) dari hubungan oleh dua orang yang terlibat dalan perilaku yang mencerminkan dan mempertahankan hubungan. Ini adalah hubungan yang dibawa selanjutnya dalam tahap perkembangan seseorang (Golberg, 2000).

Ervika (2005) kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan yang ditunjukkan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan

cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak terlihat dalam pandangan anak.

Dari pengertian yang telah dipaparkan, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa attachment style adalah ikatan secara emosional yang bertahan dalam waktu yang relatif lama terhadap figur tertentu misalnya pada orang tua dengan adanya keinginan untuk merasa senang, nyaman dan aman.

2.3.2 Dimensi Attachment Style (Gaya Kelekatan)

Bartholomew & Griffin (dalam Baron & Byrne, 2000) membagi gaya kelekatan menjadi empat tipe, yaitu:

1. Gaya kelekatan aman (secure attachment)

Seseorang dengan gaya kelekatan aman memiliki hubungan yang hangat dengan orang tua mereka dan mempersepsikan kehidupan keluarga mereka dimasa lampau dan masa sekarang secara positif. Menurut Mikulincer (dalam Baron & Byrne, 2000) mengungkapkan bahwa dibandingkan gaya kelekatan yang lain, individu dengan gaya kelekatan aman tidak mudah marah, lebih tidak mengatribusikan keinginan bermusuhan dengan orang lain dan mengharapkan hasil positif dan konstruktif dari konflik.

2. Gaya kelekatan takut-menghindar (Fearful Attachment style)

Memiliki self esteem yang rendah dan negatif terhadap orang lain dengan meminimalkan kedekatan interpersonal dan menghidari hubungan akrab, mereka berharap dapat melindungi diri mereka dari rasa sakit karena ditolak. Individu yang takut ditolak menggambarkan orang tua mereka secara negatif

memendam perasaan hostile dan marah tanpa menyadarinya (Baron & Byrne, 2000).

Remaja memiliki tingkat yang sangat tinggi dari rasa takut dan bingung. Ini mungkin akibat dari pengalaman traumatis seperti kematian orang tua atau penyalahgunaan oleh orang tua (Santrock, 2001).

3. Gaya kelekatan terpreokupasi (Preoccupied Attachment style)

Memiliki ketidakkonsistenan antara self image dengan image mengenai orang lain. Individu dengan gaya kelekatan ini mempunyai pandangan yang negatif mengenai self yang dikombinasikan dengan harapan positif bahwa orang lain akan mencintai dan menerima mereka.

Lopez, et. al. (dalam Baron & Byrne, 2000) mengungkpakan bahwa individu yang terpreokupasi mencari kedekatan dalam hubungan (kadang-kadang kedekatan yang berlebihan), tapi mereka juga mengalami kecemasan dan rasa malu karena merasa “tidak pantas” menerima cinta dari orang lain. Tekanan mengenai kemungkinan ditolak terjadi secara ekstrem. Kebutuhan untuk dicintai dan diakui ditambah adanya self cristism mendorong terjadinya suatu depresi setiap kali hubungan menjadi buruk (Baron & Byrne, 2000).

Preoccupied/ambivalen adalah suatu kategori insecure dimana remaja sangat bergantung pada pengalaman mengenai kelekatan (attachment). Ini diduga terjadi terutama ketika para orang tua tidak disamping mereka secara konsisten. Dapat mengakibatkan tingkat derajat tinggi dalam perilaku mencari kelekatan (attachment) dengan adanya perasaan marah. Konflik antara orang

tua dan remaja dalam jenis attachment ini mungkin terlalu tinggi dalam tahap perkembangan yang baik (Santrock, 2001).

4. Gaya kelekatan Menolak (Dismissing Attachment Style)

Memiliki self image yang sangat positif (kadang kala tidak realistis). Individu yang independen dan sangat layak mendapatkan hubungan yang dekat (Baron & Byrne, 2000). Orang lain mungkin lebih melihat mereka secara lebih tidak positif dan mendeskripsikan mereka orang yang tidak ramah dan terbatas keterampilan sosialmya.

Dismissing/avoidant attachment adalah suatu kategori insecure dimana individu menekankan pentingnya attachment. kategori ini dikaitkan dengan pengalaman yang konsisten dari penolakan kebutuhan attachment oleh pengasuh. Salah satu kemungkinan hasil dari dismissing/avoidant adalah bahwa orang tua dan remaja dapat saling menjauhkan diri dari satu sama lain, yang mengurangi pengaruh orang tua. Dalam sebuah penelitian, dismissing/avoidant attachment mempunyai hubungan dengan perilaku kekerasan dan perilaku agresif pada remaja (Santrock, 2001).

2.3.3 Perkembangan attachment dalam rentan hidup

Kebutuhan akan attachment cenderung stabil selama perjalanan hidup seseorang, yang berubah hanyalah tingkah laku attachment yang ditampilkan serta hakikat dari attachment itu sendiri (Collin, 1996). Hasrat dan kebutuhan untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman tetap menjadi alasan utama bagi manusia untuk mengembangkan attachment. akan tetapi kondisi yang meningkatkan aktivasi dari sistem attachment, jenis tingkah laku attachment yang

ditampilkan, serta derajat kedekatan akan berubah seiring bertambahnya usia (Collin, 1996).

a. Masa kanak-kanak

Sejak awal kehidupan sampai masa ini, frekuensi tingkah laku attachment yang nyata seperti menangis dan melekat pada figure attachment relatif menurun, seiring dengan meningkatnya kemampuan fisik, keterampilan sosial, dan pengetahuan. Anak akan menjadi lebih percaya pada dirinya sendiri, sedangkan kebutuhan akan kedekatan fisik dengan figure attachment berkurang.

b. Masa remaja

Ainsworth (dalam Collin, 1996). Perubahan hormonal, neurofiologis dan kognitif yang diasosiasikan pada remaja mungkin mendasari perubahan normatif dalam proses attachment. figure attachment tidak hanya meliputi ibu, ayah dan pengasuh lainnya. Saudara kandung yang lebih tua, saudara atau keluarga lain, guru dan teman-teman dapat menjadi figur tambahan. Pada masa ini, perilaku attachment mulai bersifat timbal balik, artinya kedua belah pihak (individu dan figure attachment) menyediakan perhatian dan perlindungan satu sama lain.

c. Masa dewasa

Hubungan attachment pada masa dewasa mempunyai kemiripan dengan hubungan yang terjadi pada masa kanak-kanak. Hal yang membedakan

attachment pada masa kanak-kanak dan dewasa adalah berubahnya figure

attachment pada masa dewasa, dimana figure attachment pada orang dewasa biasanya ditunjukkan pada sahabat, teman sebaya, atau pasangannya, sedangkan pada masa kanak-kanak lebih kepada pengasuhnya. Kedua, orang dewasa lebih

mampu mentolerir keterpisahan dengan figure attachment-nya daripada kanak-kanak.

2.3.4 Pembentukan tingkah laku lekat (attachment behavior)

Monks dan Knoers (2006) berpendapat bahwa attachment behavior atau tingkah laku lekat merupakan tingkah laku yang khusus bagi manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari kedekatan dengan orang lain, untuk mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang tersebut.

Schaffer (dalam Monks & Knoers, 2006) mengemukakan bahwa anak pada waktu dilahirkan mempunyai semacam struktur kognitif yang spesifik yaitu suatu struktur kognitif yang terarah pada jenisnya sendiri yang dapat menambah keinginan untuk mempertahankan hidupnya. Dalam tiga bulan pertama, akan timbul daya tarik terhadap manusia pada umumnya, kemudian struktur kognitif tersebut berubah arah akibat pengalaman dan belajar hingga anak lebih tertarik pada orang-orang tertentu saja. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Bowlby (dalam Meinz, 1997) bahwa keterikatan anak dengan orang tuanya berkembang dari hal yang tidak terarah, sedikit demi sedikit lebih terarah dan tertentu.

Menurut Monks dan Knoers (2006) ada dua macam tingkah laku yang menyebabkan seseorang dipilih sebagai objek kelekatan atau figur lekat, yaitu: 1. Sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku anak yang dimaksudkan

untuk mencari perhatian.

2. Sering membuat interaksi secara spontan dengan anak.

Berdasarkan hasil penelitian, Berk (2005) menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi secure attachment pada anak, diantaranya:

1. Kesempatan untuk membangun kelekatan. 2. Kualitas pengasuh.

3. Karakteristik bayi.

4. Model mental kelekatan orang tua.

Bowlby (dalam Monks & Knoers, 2006) berpendapat bahwa timbulnya kelekatan anak terhadap figur lekatnya adalah ikatan dari aktifnya sejumlah sistem tingkah laku (behavior systems) yang membutuhkan kedekatan dengan ibu. Bila anak ditinggalkan oleh ibu atau dalam keadaan takut, sistem tingkah laku tersebut menjadi aktif dan hanya bisa dihentikan oleh sentuhan, suatu kehadiran ibu.

2.3.5 Model mental kelekatan

Bowbly (dalam Baron & Byrne, 2003) mengajukan bahwa pada saat berlangsungnya interaksi antara bayi dan pengasuhnya tersebut, anak membentuk kognisi yang terpusat pada dua sikap yang sangat penting (istilah Bowbly terhadap sikap-sikap ini adalah model kerja atau working model atau dikenal juga dengan istilah model mental kelekatan). Salah satu sikap dasar adalah evaluasi terhadap diri sendiri, disebut juga self esteem yaitu perilaku dan reaksi emosional dari pengasuh kepada bayi bahwa ia dihargai, penting individu yang dicintai atau pada ujung ekstrim yang lainnya, relatif tidak berharga, tidak penting dan tidak dicintai.

Mc Cartney dan Dearing (2002) menyatakan bahwa pengalaman awal akan menggiring dan menentukan perilaku dan perasaan melalui internal working model. Adapun penjelasan mengenai konsep ini adalah, “Internal” : karena

disimpan dalam pikiran; “working” : karena membimbing persepsi dan perilaku dan “model” : karena mencerminkan representasi kognitif dari pengalaman dalam membina hubungan. Anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu hubungan, khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya. Sikap dasar dua yang diperoleh bayi adalah aspek social self yang terdiri dari belief dan harapan mengenai orang lain yang disebut kepercayaan interpersonal (interpersonal trust). Gagasan umumnya adalah bahwa bayi memperoleh pengalaman bahwa pengasuhnya dapat dipercaya, dapat diharapkan dan dapat diandalkan atau relatif tidak dapat dipercaya, tidak diharapkan dan tidak dapat diandalkan.

Selama bayi tumbuh dan berinteraksi dengan orang lain di dalam dan luar keluarga, sika dasar mengenai self tetap ada, sikap dasar mengenai pengasuh digeneralisasikan kepada individu lain. Jika Bowlby benar, jauh sebelum kita memperoleh keterampilan berbahasa, kita mampu membentuk skema dasar mengenai diri kita sendiri dan mengenai orang lain, skema yang membimbing perilaku interpersonal kita sepanjang hidup kita. Sebagai akibatnya, interaksi kita dengan anggota keluarga, orang asing teman sebaya dan sahabat, pasangan romantis, dan pasangan hidup hingga derajat tertentu dipengaruhi oleh apa yang kita pelajari pada awal masa bayi (Baron & Byrne, 2003).

Dapat disimpulkan bahwa model mental kelekatan adalah kognisi yang terpusat pada dua sikap penting yaitu sikap dasar terhadap diri sendiri yang terdiri dari evalusi terhadap diri sendiri dan sikap dasar terhadap orang lain yang terdiri

dari belief dan harapan mengenai orang lain. Model kelekatan ini akan mempengaruhi perilaku individu sepanjang rentan kehidupan..

2.3.6 Pengukuran Attachment style

Bäckstrӧm & Holmes (2001) membahas bahwa ada berbagai alat ukur yang dikembangkan untuk mengukur attachment, diantaranya:

1. Relationship Questionnaire (RQ)

RQ dikembangkan oleh Bartholomew dan Horowitz (dalam Bäckstrӧm & Holmes, 2001) yang digunakan untuk mengukur hubungan dekat antara teman sebaya. Alat ukur ini terdiri dari 4 paragraf singkat yang mendeskripsikan masing-masing attachment (secure, fearful, dismissing dan preoccupied). Responden diminta untuk memberikan rating skala 7 poin masing-masing paragraph dan diminta pula untuk memilih deskripsi mana yang paling sesuai atau menjelaskan diri mereka.

2. Relationship Scale Questionnaire (RSQ)

RSQ dikembangkan oleh Griffin dan Bartholomew (1994). RSQ digunakan untuk mengukur 4 attachment, yaitu secure, fearful, dismissing dan preoccupied attachment style. RSQ terdiri dari 30 item pernyataan, yang item-itemnya diambil dari alat ukur kelekatan milik Hazan dan Shaver (1987). Dari beberapa alat ukur diatas, peneliti memutuskan untuk mengadaptasi dan memodifikasi alat ukur RSQ (Relationship Scale Questionnaire) yang dikembangkan oleh Griffin dan Bartholomew (dalam Hofstra & Van Oudenhoven, 2004) dengan mengganti sasaran peneliti yaitu pada remaja dan attachment pada orang tua. Secara keseluruhan skala ini terdiri dari 24 item

namun oleh peneliti satu item tidak diikutsertakan dalam pengambilan data, yakni item dari dimensi preoccupied attachment karena tidak sesuai dengan yang akan diukur dan menambahkan satu item pada dimensi dismissing attachment style. Yang digunakan dalam penelitian ini tetap 24 item. Terdiri dari empat dimensi dalam skala ini yaitu, secure attachment, fearful attachment, preoccupied attachment dan dimissing attachment.

2.3.5 Attachment dan agresivitas

Gallarin & Alonso-Arbiol (2012) memaparkan bahwa keterkaitan parenting practices, parental attachment dengan agresivitas remaja. Parental attachment sebagai variable moderator antara parenting practices dan agresivitas remaja. Parenting practices memiliki pengaruh terhadap persepsi mengenai attachment secure/insecure pada orang tua, dan insecure attachment ayah akan berpengaruh terhadap agresivitas.

Menurut Dyka, Ziv dan Cassidy (dalam Gallarin & Alonso-Arbiol, 2012) menyatakan bahwa remaja yang secure attachment (kelekatan yang aman) dibandingkan dengan yang insecure attachment (kelekatan yang tidak aman) dianggap lebih prososial atau cenderung kurang berperilaku agresif. Journal of Youth and Adolescence (2000) juga menunjukkan bahwa attachment pada orang tua secara signifikan berhubungan dengan usia, depresi, dan agresi. Remaja yang tingkat attachment orang tua tinggi akan menunjukkan tingat agresi dan depresi yang rendah begitu pun sebaliknya (Laible, Carlo,& Raffaelli, 1999).

Pada penelitian diatas disimpulkan jika remaja yang mempunyai kelekatan yang positif dengan orang tuanya seperti rasa aman dan nyaman pada orang tua

yang akan membuat anak merasakan amat berharga, penuh dorongan dukungan sosial dan kasih sayang dari orang tuanya akan mengurangi agresivitas remaja, sedangkan insecure attachment style menimbulkan rasa tidak nyaman dalam sebuah kelekatan, sehingga anak memiliki persepsi yang selalu curiga kepada orang tuanya maupun pada orang lain serta menghindar dan selalu merasa cemas yang akan memunculkan perilaku agresi.

2.4 Kerangka Berpikir Dan Hipotesis