BAB 4 : HASIL PENELITIAN
2.4 Kerangka Berpikir Dan Hipotesis .1Kerangka Berpikir .1Kerangka Berpikir
Agresivitas merupakan perilaku agresi yang bertujuan untuk menyakiti dan melukai makhluk hidup (orang lain) dengan sengaja baik secara fisik dan psikis dan target menghindari perilaku tersebut. Seperti yang telah didefinisikan oleh Myers (1996) perilaku agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja denga maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Perilaku maladaptif ini sering terjadi pada masa remaja, terbukti fenomena-fenomena dapat kita lihat dalam berita-berita atau media massa yang menyoroti betapa banyaknya kasus kekerasan yang sampai saat ini sulit untuk ditangani seperti pada kasus tawuran antar pelajar yang banyak terjadi di sekolah-sekolah menengah atas. Oleh karena itu kasus tawuran antar pelajar pun sudah menjadi hal yang tidak asing lagi bahkan sudah menjadi pembicaraan umum dikalangan masyarakat dan belum ada solusi yang konkrit untuk mengatasinya yang sampai saat ini hal tersebut sudah semakin kompleks.
Agresivitas remaja bukan hanya dalam persoalan tawuran antar pelajar saja, namun banyak tindakan kekerasan lainnya seperti bullying yang juga dapat
dikategorikan dalam agresivitas fisik seperti menyakiti dan mendorong atau dalam bentuk verbal seperti mengancam, mencela dan sebagainya (Ylvisaker, 2006). Remaja/pelajar adalah fase pencarian jati diri, pencarian identitas diri ini adalah tugas perkembangan yang wajib dilalui remaja, remaja mulai mempertanyakan hakikat dirinya, dan esensi dari berbagai macam hal, mereka mencari apa yang menjadi potensinya dan menjadi seperti apakah pribadi yang mereka inginkan, kebanyakan remaja ingin diakui eksistensinya, ingin menjadi pusat perhatian.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan agresivitas pada remaja salah satunya adalah kepribadian big five personality yaitu kepribadian yang terdiri dari lima dimensi extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan openness to experiences. Contohnya, Individu yang semakin tinggi skornya pada dimensi extraversion yaitu cenderung penuh kasih sayang, suka bergabung menjadi anggota kelompok, banyak bicara, menyukai kesenangan, aktif, dan selalu bersemangat, semakin baik ia mengontrol emosinya sehingga akan mengurangi agresivitasnya. Pada dimensi agreeableness individu yang agresivitasnya rendah maka individu tersebut memiliki skor tinggi pada kepribadian agreeableness yaitu cenderung berhati lembut, mudah percaya, dermawan, ramah, toleransi, bersahabat dan baik hati. Pada dimensi conscientiousness, seseorang dengan kepribadian ini mampu mengontrol tingkah lakunya terhadap lingkungan sosialnya, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasaan, mengikuti peraturan dan norma yang berlaku. Oleh karena itu akan kecil kemungkinan untuk agresivitas. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi neuroticism akan cenderung gelisah/cemas, temperamental, sentimentil,
emosional, dan rentan terhadap kritikan orang lain yang besar kemungkinan akan bertindak agresif. individu mempunyai skor rendah pada openness yaitu tidak peduli pada orang lain maka akan tinggi tingkat agresivitasnya, sedangkan jika mempunyai skor tinggi pada openness yaitu mudah toleransi, fokus dan wapada pada berbagai perasaan maka akan rendah agresivitasnya.
Selain bigfive personality peneliti mengajukan variabel lain yang mempengaruhi agresivitas pada remaja, yaitu attachment (keterikatan). Karena dengan attachment yang baik seperti rasa aman, kasih sayang, mendapatkan dorongan yang positif (secure) dari orang tuanya anak akan mengurangi perilaku agresi daripada anak yang tidak mempunyai rasa aman (insecure) dari orang tuanya. Pada pola insecure anak akan merasa menolak, menghindari serta merasa dirinya dapat melakukan sesuatu hal tanpa perlu arahan dari orang tuanya sedangkan anak dengan pola secure dapat lebih aman dan nyaman untuk terbuka dan mau mengeluhkan perasaan-perasaan yang mereka rasakan di lingkungan sosialnya maupun di dalam dirinya sendiri.
Menurut Dyka, Ziv dan Cassidy (dalam Gallarin & Alonso-Arbiol, 2012) menyatakan bahwa remaja yang secure attachment (kelekatan yang aman) dibandingkan dengan yang insecure attachment (kelekatan yang tidak aman) dianggap lebih prososial atau cenderung kurang berperilaku agresif.
Selama ini, banyak peneliti menerima adanya tiga pola attachment seperti yang didefinisikan oleh Bowbly (secure attachment, insecure avoidant attachment, dan insecure-ambivalent attachment). Namun Bartholomew dan Horowitz (1991) mengembangkan empat dimensi attachment yaitu Secure
attachment, fearful attachment, preoccupied attachment, dan dismissing attachment. Misalnya, individu dengan gaya kelekatan aman (secure attachment) akan mampu melakukan kontrol, sehingga tidak mudah marah (anger). Individu yang tidak mudah marah akan kecil kemungkinan untuk agresivitas. Kemudian, fearful attachment (kelekatan rasa takut) individu yang takut ditolak menggambarkan orang tua mereka secara negatif memendam perasaan hostile dan marah tanpa menyadarinya yang kemudian besar kemungkinan untuk agresivitas. Selanjutnya, individu dengan gaya kelekatan terokupasi (preoccupied attachment) individu yang memiliki kecemasan dan rasa malu karena tidak pantas menerima kasih sayang ini diduga terjadi terutama ketika para orang tua tidak disamping mereka secara konsisten dan dapat mengakibatkan perilaku mencari kelekatan (attachment) dengan adanya perasaan marah yang kemungkinan akan menimbulkan agresivitas. Terakhir, gaya kelekatan menolak (dismissing attachment) dimana orang tua dan remaja dapat saling menjauhkan diri dari satu sama lain, yang mengurangi pengaruh orang tua. Kemungkinan hal ini dikarenakan individu melihat dirinya secara positif seperti independen (lebih mandiri), merasa layak mendapatkan hubungan yang layak, maka individu tersebut lebih peduli terhadap dirinya sendiri agar tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya, namun orang lain melihat individu tersebut sebagai orang yang tidak ramah yang akan menimbulkan perilaku kekerasan dan perilaku agresif.
Faktor lain juga diasumsikan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap agresivitas diantaranya jenis kelamin. Dalam hal ini laki-laki diduga lebih agresif
dibandingkan perempuan, karena laki-laki sangat memungkinkan untuk membalas dengan agresi fisik bila mereka di serang atau diganggu oleh orang lain, hal yang serupa telah diungkapkan dalam Taylor, Peplau, dan O’Sears (2009) yang menyatakan bahwa di seluruh dunia, pria cenderung lebih agresif ketimbang perempuan baik dimasa kanak-kanak sampai ke dewasa.
Dari permasalahan dan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka peneliti memfokuskan penelitian ini pada pengaruh bigfive personality dan attachment style terhadap agresivitas pada pelajar. Selain itu peneliti juga menambahkan variabel demografi seperti jenis kelamin.
Gambar 2.1 merupakan rangkuman kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini:
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Secure attachment Fearful attachment Preoccupied attachment Extraversion Agreeableness Conscientiousness Dismissing attachment