SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Oleh:
YUNIA SYUKMAWATI
(109070000200)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Oleh:
YUNIA SYUKMAWATI
(109070000200)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
v MOTTO
“
A person who never made a mistake never tried anything new
.”
“Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The
important thing is not to stop questioning
.”
– Albert Einstein –
“
When you talk, you repeat what you already know; when
you
listen, you often learn something.”
– Jared Sparks –
Persembahan
vi B) November 2014
C) Yunia Syukmawati
D) Pengaruh Big Five Personality dan Attachment Style terhadap Agresivitas (Studi pada pelajar di SMAN 6 Jakarta).
E) xiii + 111 Halaman + Lampiran
F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh big five personality dan attachment style terhadap agresivitas (studi pada pelajar di SMAN 6 Jakarta dengan menggunakan metode kuantitatif. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah probalility sampling dan diperoleh responden sebesar 250 orang yang merupakan siswa di SMAN 6 Jakarta. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Multiple Regression Analysis pada taraf signifikansi 0,05 yang diperoleh dari hasil perhitungan skala Aggression Questionnaire Scale, Big five
Personality Inventory (BFI), dan Relationship Attachment Scale
Questionnaire (RSQ).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan big five personality dan attachment style terhadap agresivitas. Hasil pengujian hipotesis minor menunjukkan bahwa extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness to experience, fearful attachment, dan jenis kelamin berpengaruh signifikan terhadap agresivitas. Sedangkan variabel secure attachment, preoccupied attachment dan dismissing attachment tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap agresivitas.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan menggunakan faktor-faktor lain yang mempengaruhi agresivitas untuk memperkaya hasil penelitian dan khususnya pada variabel dismissing attachment untuk mempertimbangkan menggunakan alat ukur yang lebih sesuai. Selain itu, bagi SMAN 6 Jakarta disarankan menyelenggarakan training atau seminar untuk para siswa dan orang tua dan mempertegas peraturan sekolah untuk mencegah agresivitas.
Kata kunci : Big Five Personality, Attachment style, Agresivitas, Pelajar SMA.
vi C) Yunia Syukmawati
D) The affects of the Big Five Personality and Attachment Style on Aggressiveness of an 6 high school students, Jakarta
E) xiii + 111 pages + Appendix
F) This research examines the affects of the big five personality and attachment style on aggressiveness of an 6 high school students, Jakarta by using quantitative methods. The sampling technique used in this study is a probalility sampling and obtained for 250 respondents who are students at 6 High School, Jakarta. The method of data analysis used in this study is the Multiple Regression Analysis on the significance level of 0.05, which is obtained from the calculation scale Aggression Questionnaire Scale, Big five Personality Inventory (BFI), and the Relationship Attachment Scale Questionnaire (RSQ).
The results of this study indicate that there is significant affects big five personality and attachment style on the aggressiveness. Test results indicate minor hypothesis that extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness to experience, Fearful attachment, and gender significantly affects aggressiveness. While variable secure attachment, preoccupied attachment and dismissing attachment does not have a significant affects on the aggressiveness of an high school students.
For further research, it is recommended to use other factors that affects the aggressiveness to enrich the research and especially in dismissing attachment variables to consider using a more appropriate measuring tool. In addition, for high school 6 Jakarta suggested conducting training or seminars for students and parents and then reinforce school rules to prevent aggression on the students.
Keywords: Big Five Personality, Attachment style, aggressiveness, high school students
vii
Alhamdulillahirabbil’alamiin puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kekuasaan-Nya, rahmat, karunia, anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarga, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Allahumma
shalli ‘alasaiyidinaa Muhammad wa’ala alisaiyidina Muhammad.
Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan jenjang pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penyelesaian skripsi ini peneliti tidak luput dari proses pembelajaran yang amat panjang. Peneliti telah melewati berbagai macam bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan Terima Kasih yang sebesar – besarnya kepada pihak yang telah membantu, yaitu sebagai berikut :
1. Prof. Abdul Mujib, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya yang selalu berjuang agar Fakultas Psikologi menjadi lebih baik dan menjadikan lulusan yang berkualitas.
2. Gazi Saloom, M.Si, dosen pembimbing skripsi yang sangat banyak memberikan masukan, kritik, wawasan, pemahaman dan dukungan dalam penulisan skripsi ini. Kemuliaan dalam membantu saya semoga mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT.
3. Dr. Achmad Syahid, M.A, penasihat akademik penulis yang telah banyak memberikan dukungan dan masukan selama masa perkuliahan berlangsung. 4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
selama ini memberikan ilmu, wawasan, pengetahuan dan pengalaman pada penulis dalam menjalani perkuliahan. Semoga Allah memberikan berlipat-lipat pahala dan rahmat-Nya atas ilmu dan amal yang telah Bapak/Ibu berikan.
5. Para staf bagian Akademik, Umum, Keuangan, dan Perpustakaan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan informasi dan bantuan selama proses melengkapi persyaratan skripsi.
dan Suhartono (om), terima kasih atas semangat, doa dan kesabarannya dalam mendengarkan keluh kesah penulis.
7. Seluruh siswa dan siswi SMA Negeri 6 Jakarta Selatan yang bersedia menjadi sampel penelitian ini, Bapak Purnomo selaku guru matematika dan Bapak Hamid selaku kepala bagian HUMAS, terima kasih telah memberi masukan dan bantuan dalam pengumpulan data di SMA Negeri 6 Jakarta Selatan.
8. Novieanty Nurul Utami, Iman Aji Herdaya, Muhammad Kahfi Ramadhani, Indah Puspita Rani, Lintang Rifai Widyatmoko Prawirodirjoe dan Edi Wibowo. Terima kasih sahabat-sahabat penulis, yang telah setia menemani, mendukung, membantu, menyemangati dalam canda dan tawa.
9. Hauria Nadhifa As-syadiah, Rizki Setyowati, kartika yuniarti, dan Kak Puti, terima kasih telah membantu dalam memberikan masukan, olah data dan menyemangati. Teman-teman Exclusive Class 2009 yang sangat kompak dalam segala hal. Peneliti sangat senang bisa menghabiskan waktu mengenyam pendidikan Psikologi ini bersama dengan mereka. Terutama Diana Mumpuni, Rosita Dewi, Keyko Asri Septiani, Irma Mahrifa, Tiara Maharani dan Suzan Zuhra yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi dan pengolahan data skripsi.
10.Kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulis. Mohon maaf tidak disebutkan satu per satu.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat dan inspirasi bagi banyak orang yang membaca. Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan, kritik dan saran demi perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.
Jakarta, 4 November 2014
ix
1.2 Pembatasan dan Perumusan masalah ………...… 12
1.2.1 Pembatasan masalah ……… 12
1.5 Sistematika Penulisan ………..… 14
BAB 2 LANDASAN TEORI……… 16
2.1 Agresivitas………. 16
2.1.1 Pengertian Agresivitas……… 16
2.1.2 Agresivitas pada pelajar ……… 18
2.1.3 Bentuk-bentuk agresivitas ……….... 19
2.1.4 Pengukuran agresivitas ……… 21
2.1.5 Faktor yang mempengaruhi agresivitas ……….. 23
2.2 Big five Personality………31
2.2.1 Definisi Big five Personality ……… 31
2.2.2 Dimensi Big five personality……….. 32
2.2.3 Pengukuran Big five personality ………... 33
2.2.4 Agresivitas dan Big five Personality ……… 35
2.3 Attachment style……… 37
2.3.1 Definisi Attachment Style………. 37
2.3.2 Dimensi Attachment style ……… 39
2.3.3 Perkembangan attachment dalam rentan hidup………. 41
2.3.4 Pembentukan tingkah laku lekat (attachment behavior)……43
2.3.5 Model mental kelekatan……….44
2.3.5 Pengukuran Attachment style……… 46
2.3.4 Attachment style dan agresivitas ……….. 47
2.4 Kerangka Berpikir ……….... 48
x
ata ……….. 57
3.4.1. Teknik pengumpulan data ……….. 57
3.4.2. Instrumen Penelitian. ……….. 59
3.5. Uji Validitas Konstruk………..………. 61
3.5.1 Uji Validitas Konstruk Agresivitas ... 64
3.5.2 Uji Validitas Konstruk Big five personality ……… 66
3.5.3 Uji Validitas Konstruk Attachment style ………. 75
3.6 Prosedur Pengumpulan Data ……… 81
3.7 Metode Analisis Data ……… 81
Bab 4 HASIL PENELITIAN……….…….. 84
4.1 Analisis Deskriptif……….... 84
4.2 Kategorisasi Hasil penelitian ………85
4.3 Uji Hipotesis Penelitian ………... 90
4.3.1. Analisis Regresi Variabel Penelitian ………... 90
4.3.2 Proporsi Varian Sumbangan Masing-masing IV………… 94
Bab 5 KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN ………...……... 97
5.1 Kesimpulan ……… .. ... 97
5.2 Diskusi ……….... 97
5.3 Saran ………... 105
5.3.1 Saran Teoritis ………... 105
5.3.2 Saran Praktis ………... 106
xi
Tabel 3.4.2.2 Blueprint Big Five Personality……… 60
Tabel 3.4.2.3 Blueprint Attachment style……….…... 61
Tabel 3.5.1.1 Muatan Faktor Agresivitas………... ………65
Tabel 3.5.1.2 Muatan Faktor Agresivitas setelah di drop……….. 66
Tabel 3.5.2.1 Muatan Faktor dimensi Extraversion……… 67
Tabel 3.5.2.2 Muatan Faktor dimensi Extraversion setelah di drop……… 68
Tabel 3.5.2.3 Muatan Faktor dimensi agreeableness ………... 69
Tabel 3.5.2.4 Muatan Faktor dimensi agreeableness setelah di drop ……….70
Tabel 3.5.2.5 Muatan Faktor dimensi conscientiousness……….71
Tabel 3.5.2.6 Muatan Faktor dimensi conscientiousness setelah di drop…………71
Tabel 3.5.2.7 Muatan Faktor dimensi Neuroticism………. 73
Tabel 3.5.2.8 Muatan Faktor dimensi openness to experiences………...74
Tabel 3.5.2.9 Muatan Faktor dimensi openeess to experiences setelah di drop… 74
Tabel 3.5.3.1 Muatan Faktor dimensi secure attachment……….76
Tabel 3.5.3.2 Muatan Faktor dimensi fearful attachment……… 77
Tabel 3.5.3.3 Muatan Faktor dimensi preoccupied attachment……… 78
Tabel 3.5.3.4 Muatan Faktor dimensi preoccupied setelah di drop……….79
Tabel 3.5.3.5 Muatan Faktor dimensi dismissing attachment………..80
Tabel 3.5.3.6 Muatan Faktor dimensi dismissing setelah di drop……… 80
Tabel 4.1.1 Gambaran Subjek...………... 84
Tabel 4.1.2 Nilai rata-rata agresivitas berdasarkan jenis kelamin………. 85
Tabel 4.2.1 Norma skor ...………... 86
Tabel 4.2.2 Tabel subjek berdasarkan tingkat agresivitas ...……… 86
Tabel 4.2.3 Tabel subjek berdasarkan tingkat agresivitas pria dan wanita ..… 86
Tabel 4.2.4 Tabel subjek berdasarkan tingkat extraversion……… 87
Tabel 4.2.5 Tabel subjek berdasarkan tingkat agreeableness……… 87
Tabel 4.2.6 Tabel subjek berdasarkan tingkat conscientiousness……… 87
Tabel 4.2.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat neuroticism... 88
Tabel 4.2.8 Tabel subjek berdasarkan tingkat openness to experiences... 88
Tabel 4.2.9 Tabel subjek berdasarkan tingkat secure attachment... 88
Tabel 4.2.10 Tabel subjek berdasarkan tingkat fearful attachment... 89
Tabel 4.2.11 Tabel subjek berdasarkan tingkat preoccupied attachment………. 89
Tabel 4.2.12 Tabel subjek berdasarkan tingkat dismissing attachment... 89
Tabel 4.3.1.1 Tabel Rsquare ……… 90
Tabel 4.3.1.2 Anova………... 91
Tabel 4.3.1.3 Koefisien Regresi……… 92
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Surat keterangan selesai penelitian
1
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta
sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang
Fenomena tawuran seakan tak pernah habis menjadi perhatian. Seperti kasus
tawuran pelajar yang semakin marak terjadi terutama pada pelajar sekolah
menengah, baik SMA maupun SMK/STM. Pemicunya seringkali hanya masalah
kecil, namun gengsi yang tinggi di mata pelaku tawuran seakan menjadi alasan yang
menguatkan para pelajar tersebut untuk melakukan aksi tawuran. Seperti yang
diungkapkan psikolog Polda Metro Jaya, AKBP Arif Nurcahyo, bahwa solidaritas
yang menimbulkan rasa keinginan untuk mendapatkan suatu identitas sebagai
seorang yang membela kelompok. Dan ketika ia merasa mempunyai kelompok, ia
ingin tampil sebagai seorang hero disana (Vivanews, 2013).
Selain dipicu oleh gengsi, aksi tawuran pelajar tersebut merupakan sebuah
ungkapan agresi dari para pelajar yang diwariskan secara turun-temurun oleh para
senior mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Taylor, Peplau, dan O’Sears (2009)
bahwa penguatan, imitasi, dan asumsi tentang motif orang lain semuanya
berkombinasi menjadi skema agresi. Dalam kasus agresi, orang mengembangkan
keyakinan yang terorganisir tentang ketepatan tindak agresi, situasi dimana agresi
mesti terjadi, dan cara agresi diekspresikan, misalnya melalui pemukulan atau
Hurlock (1980) menjelaskan bahwa fase perkembangan pelajar atau masa
remaja yaitu masa peralihan yang semula anak-anak mulai beranjak dewasa, pada
fase ini remaja tidak bisa dikatakan sebagai anak-anak, juga belum bisa dikatakan
dewasa, pada fase ini, mulai terjadi proses kematangan dari sisi fisik, psikis,
seksual, maupun intelektual, karena belum dianggap matang remaja seringkali salah
dalam upaya pengambilan keputusan, sehingga remaja dihadapkan pada faktor
resiko yang lebih luas terhadap perilaku-perilaku bermasalah. Pada fase
perkembangan remaja, pergaulan sosial lebih banyak pada peer group, teman
sebaya, sehingga nilai-nilai yang ada teman sebaya itulah yang menjadi nilai-nilai
pada remaja, sehingga bila nilai-nilai yang dijadikan acuan negatif, bisa langsung
berdampak pada remaja, kecuali bila ada hubungan yang baik antar orang tua dan
remaja, dengan adanya kedekatan orang tua dengan remaja, orang tua bisa menjadi
sahabat bagi remaja, remaja memiliki tempat sharing dan berkeluh kesah, remaja
akan memiliki wawasan lebih banyak mengenai nilai-nilai, berdampak pula pada
pengambilan keputusan yang akan mereka ambil.
Harlock (1980) menjelaskan bahawa remaja/pelajar adalah fase pencarian
jati diri, pencarian identitas diri ini adalah tugas perkembangan yang wajib dilalui
remaja, remaja mulai mempertanyakan hakikat dirinya, dan esensi dari berbagai
macam hal, mereka mencari apa yang menjadi potensinya dan menjadi seperti
apakah pribadi yang mereka inginkan, kebanyakan remaja ingin diakui
eksistensinya, ingin menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu mereka melakukan
segala sesuatu agar ia diakui eksistensinya, misalnya menjadi berprestasi dibidang
jalur berprestasi remaja cenderung melakukan perilaku-perilaku bermasalah agar
diakui eksistensinya terutama oleh teman sebayanya.
Tawuran pelajar seakan sudah menjadi masalah yang mengakar kuat pada
remaja yang tengah mencari jati diri, jika terus dibiarkan seperti ini jelas akan
menimbulkan kerugian yang besar bagi banyak pihak contohnya, rusaknya fasilitas
umum, seperti halte bis, telepon umum, warung-warung pinggir jalan, kendaraan
pribadi maupun kendaraan umum yang menyebabkan kerugian material yang cukup
besar dalam memperbaiki fasilitas umum akibat tawuran dan mengganti semua
kerugian yang ada, menggangu proses belajar-mengajar di sekolah. Bagi pelajar
yang ikut tawuran, kemungkinan akan menjadi korban, baik itu cidera ringan,
cidera berat, bahkan kematian. Selain itu, kerugian bagi pelajar lainnya adalah
kehilangan moralitas, berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi,
perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. konsekuensi jangka panjang terhadap
kelangsungan hidup bermasyarakat, bahkan akan kehilangan generasi penerus
bangsa Indonesia (Kompas, 2012).
Masih hangat diingatan kita mengenai kasus tawuran pelajar pada Senin, 24
September 2012 di Bundaran Bulungan, Jakarta Selatan yang melibatkan pelajar
SMAN 6 dan SMAN 70 Bulungan. Kepala Reserse Kepolisian Resor Jakarta
Selatan, Ajun Komisaris Besar Hermawan, menuturkan ada beberapa yang
luka-luka dan seorang siswa SMA 6 yang meninggal terkena luka-luka bacok di dada. Dan itu
bukan pertama kali, kedua SMA saling menyerang dengan korban jiwa. (Regional
Berkaitan dengan kasus tawuran yang melibatkan siswa SMAN 6 Jakarta,
sangat disayangkan karena SMAN 6 Jakarta merupakan salah satu sekolah
unggulan dengan banyak prestasi serta lulusan terbaik. Akan tetapi, dengan
banyaknya media massa yang memberitakan kasus tawuran, peneliti melihat ada
kecenderungan siswa dan siswi untuk berperilaku agresi. Seperti yang diungkapkan
dalam hasil wawancara pada tanggal 19 Mei 2014 yang dilakukan peneliti dengan
tiga siswa di SMAN 6 Jakarta yang mengaku sering melakukan tindakan tawuran
antar pelajar. Menurut siswa tersebut, mereka melakukan tawuran karena
pelanggaran terhadap batas wilayah kekuasaan, balas dendam dan ingin diakui
hebat oleh siswa lainnya. Permasalahan lainnya adalah melakukan tindakan
bullying meliputi mengejek, menghina, mengintimidasi sesama teman, membuat
kegaduhan di kelasnya sehingga teman-temannya merasa terganggu dan
permasalahan antara guru dengan siswanya atau sebaliknya, misalnya siswa yang
menghina gurunya atau guru yang menilai siswanya dengan tidak baik, padahal
belum tentu muridnya seperti yang dipikirkan oleh gurunya. Ironisnya lagi mereka
menganggap itu adalah hal yang biasa tanpa memikirkan bahwa mereka mungkin
akan menyakiti atau melukai orang lain. Kondisi ini sejalan dengan pendapat
Ylvisaker (2006) yang mengungkapkan bahwa dalam konteks sekolah, seringkali
agresivitas yang muncul adalah bentuk agresivitas fisik seperti menyakiti dan
mendorong atau dalam bentuk verbal seperti mengancam, mencela dan sebagainya.
Faktor lainnya adalah perbedaan antar jenis kelamin dalam menunjukkan
agresivitas pada remaja. Penelitian Eagly dan Steffen (1986) yang menunjukkan
lebih agresi dibandingkan perempuan. Pada penelitian terdahulu menurut Frodi et
al's (dalam Eagly & Steffen, 1986) menyatakan bahwa laki-laki tidak selalu lebih
agresif dibandingkan perempuan. Karena bisa saja wanita lebih agresif pada bentuk
agresif verbal daripada laki-laki yang lebih agresif pada fisik, hal ini sesuai dengan
yang diungkapkan oleh Bjӧrkqvist, sterman, dan Hjelt-Bäck (dalam Baron &
Byrne, 2005). Menurut mereka, pria lebih cenderung untuk menggunakan bentuk
langsung dari agresi, sedangkan wanita menggunakan bentuk tindak langsung dari
agresi misalnya pria dengan kekerasan fisik, sedangkan wanita lebih cenderung
melakukan agresi secara tidak langsung untuk menutupi identitasnya dari korban,
sehingga dalam beberapa kasus korban tidak mengetahui bahwa dirinya telah
menjadi korban agresi (seperti bergosip, menghasut untuk menjauhi korban, atau
memaki).
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap agresivitas remaja berasal dari
karateristik internal dan ekternal yang terkait agresivitas pada remaja diantaranya,
penelitian Bushman dan Cooper (1990) yang menemukan bahwa ada pengaruh
alkohol terhadap tindakan agresif seseorang. Penelitian lainnya mengenai pengaruh
self-esteem terhadap agresivitas diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Donnellan, Trzesniewski, Moffitt dan Caspi (2005) menunjukkan hasil bahwa
remaja yang memiliki self-esteem rendah menghasilkan agresivitas. Namun
menurut Ostrowsky; Walker dan Bright (dalam Canning, 2011) self esteem yang
tinggi berhubungan dengan agresivitas.
Penelitian lainnya mengenai agresivitas yaitu kepribadian. Seperti
Universitas Midwestern yang menunjukan bahwa agreeableness secara tidak
langsung berhubungan negatif dengan perilaku agresi namun terlebih dahulu
melalui emosi dan sikap agresi, neurotisisme secara tidak langsung berhubungan
dengan perilaku agresif namun terlebih dahulu melalui emosi agresif. Openness to
Experience secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku dan sikap agresi.
Sedangkan pada perilaku kekerasan, Agreeableness dan Openness to Experience
secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku kekerasan namun terlebih
dahulu melalui sikap agresi.
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa bigfive personality
mempunyai hubungan secara positif maupun secara negatif terhadap agresi dan
perilaku kekerasan. Contohnya, Agreeableness dan Conscientiousness
berhubungan negatif dengan dendam (agresi emosi), sedangkan menurut
McCullough, et al (dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan bahwa
Neurotism berhubungan positif dengan dendam. Penelitian Sharpe and Desai
(dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan bahwa Neurotism berhubungan
positif dengan anger dan holistility (agresi emosi) dan perilaku agresi, sedangkan
extraversion, agreeableness and conscientiousness berhubungan negatif dengan
emosi dan agresi, kemudian penelitian tersebut menemukan bahwa ada korelasi
antara self-reported agresi fisik dan hubungan Extraversion adalah negatif. Pada
penelitian Anderson et al (dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan juga
bahwa Agreeableness dan Conscientiousness berhubungan negatif dengan sikap
agresi dan kekerasan, karena Agreeableness ditandai dengan sifat baik hati, jujur
tertib dan dapat diandalkan, Neurotism ditandai dengan mudah marah, dan emosi
yang tidak stabil, Openness ditandai dengan intelektual, halus dan berpikir mandiri.
Sementara itu, menurut John dan Srivasta (dalam Barlett and Anderson, 2012)
Extraversion ditandai dengan pembicara aktif, asertif, dan energik dan mempunyai
hubungan dengan agresi. Gleason (dalam Barlett and Anderson, 2012) menyatakan
bahwa Agreeableness juga mempunyai hubungan negatif dengan self-report dan
peer-report perilaku agresif dan kekerasan. Sedangkan, Openness tidak mempunyai
hubungan dengan perilaku agresi. Sedangkan Gallo dan Smith (dalam Barlett and
Anderson, 2012) menemukan hubungan positif antara extraversion dengan agresi
fisik.
Penelitian pada sampel yang berbeda yang dilakukan oleh Trninić¹, et al
(2008) menemukan pada sampel para tahanan agresivitas secara signifikan
berkorelasi dengan bigfive personality yaitu agreeableness, conscientiousness dan
emotional stability, sedangkan pada atlet remaja berkorelasi signifikan dengan
extraversion, agreeableness dan emotional stability.
Pada sampel berbeda lainnya, misalnya di sekolah pilot penelitian yang
dilakukan oleh Anitei dan Dumitrache (2013) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara bigfive personality terhadap agresivitas sekolah
pilot. Tingkat kehati-hatian (conscientiousness) yang tinggi akan mengakibatkan
lebih cenderung untuk mengikuti aturan, melihat masalah dengan serius dengan
bertingkahlaku dan bekerja secara hati-hati. Secara khusus berdasarkan pada faktor
kehati-hatian itu sendiri self-discipline and personal management yang mewakili
kehati-hatian (conscientiousness) yang tinggi akan lebih baik dalam mengontrol
situasi serta lebih teliti dan disiplin.
Penelitian lainnya menyatakan bahwa bigfive personality mempunyai
hubungan dengan agresi yang ditemukan dalam Caprara, et al (dalam DeWall, et al,
2012) memaparkan bahwa dari lima kepribadian, hanya tiga yang paling terkait
dengan agresi, yaitu yang mempunyai hubungan positif adalah neuroticism
sedangkan yang mempunyai hubungan negatif, yaitu conscientiousness dan
agreeableness.
Penelitian Costa dan McRae sosial ( dalam Pervin, Cervone & John, 2010)
menjelaskan bahwa bigfive personality dibagi ke dalam lima dimensi yaitu
Neuroticism berlawanan dengan Emotional stability yang mencakup
perasaan-perasaan negatif seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang.
Openness to Experience menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari
aspek mental dan pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum
sifat-sifat interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada
orang lain. Yang terakhir Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian
tujuan dan kemampuan mengendalikan dorongan yang diperlukan dalam
kehidupan.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan maka peneliti memfokuskan
lebih dalam lagi penelitiannya pada bigfive personality dan agresivitas dengan
sampel remaja SMA karena melihat fenomena-fenomena yang sering terjadi di
Indonesia serta kecenderungan remaja melakukan tindakan agresi di sekolah juga
Perbedaan-perbedaan dari kepribadian tiap diri siswa tentunya dapat menimbulkan konflik
yang memicu terjadinya tinggi atau rendahnya tingkat agresivitas di kalangan para
remaja SMA.
Bigfive personality yang merupakan faktor internal, masih terdapat
variabel-variabel lain yang mempengaruhi agresivitas remaja, yaitu peran teman sebaya
dalam pembentukan perilaku dapat membentuk pribadi seseorang. Banyaknya
interaksi dengan rekan sebaya yang agresif memperbesar kemungkinan seseorang
melakukan tindakan agresi pula. Penelitian Nansel, et. al (dalam White, Gallup &
Gallup, 2010) mengemukakan bahwa korban dari agresi teman sebaya tersebar luas
pada anak-anak dan remaja antara 11 dan 16 tahun. The multi-national Health
Behavior in School Aged Children menunjukkan bahwa tidak kurang dari 9% dan
sebanyak 54% dari anak usia sekolah dari 25 negara yang diteliti terlibat dalam
tindakan agresif terhadap teman sebaya dan menjadi korban oleh teman sebayanya.
Journal of Youth and Adolescence (2000) menunjukkan bahwa attachment teman
sebaya secara signifikan berhubungan dengan simpati, english efficacy, depresi dan
agresi. Remaja yang tinggi attachment teman sebaya akan tinggi tingkat simpati dan
English efficacy dan yang tingkat yang rendah pada depresi dan agresi (Laible,
Carlo, & Raffaelli, 1999)
Selain faktor eksternal dari peran teman sebaya ada pula peran dari orang
tua dalam pembentukan perilaku yang dapat memunculkan tindakan agresif.
Journal of Youth and Adolescence (2000) menunjukkan bahwa attachment pada
orang tua secara signifikan berhubungan dengan usia, depresi, dan agresi. Remaja
depresi yang rendah begitu pun sebaliknya (Laible, Carlo, & Raffaelli, 1999). Hal
tersebut bisa disebabkan karena pada attachment teman sebaya, perilaku yang
dijadikan contoh anak belum tentu positif. Seperti yang diungkapkan Taylor,
Peplau, dan O’Sears (2009) anak tidak meniru secara sembarangan; mereka meniru
orang lain. Semakin disukai, berpengaruh, dan kuat orang lain itu, semakin besar
kemungkinan si anak akan meniru perilakunya. Juga, orang yang mereka lihat akan
semakin sering ditiru perilakunya. Dalam hal ini, yang menjadi role model dari
pelajar pelaku tindak tawuran adalah seniornya yang juga melakukan aksi tawuran.
Maka, perhatian orangtua melalui kelekatan yang positif sangat efektif untuk
memberikan contoh baik bagi remaja tersebut.
Dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Gallarin dan Alonso-Arbio
(2012) menempatkan attachment sebagai mediator diantara parenting practices dan
agresivitas remaja. Namun hanya kelekatan tidak nyaman (insecure attachment)
pada ayah yang berpengaruh terhadap agresivitas remaja. Dalam perilaku agresi,
individu dengan pola insecure attachment lebih menunjukkan perilaku agresi
daripada individu dengan pola secure attachment. Oleh karena itu dalam penelitian
ini peneliti menjadikan attachment sebagai variabel yang diteliti dan fokus pada
dimensi-dimensi yang terdapat pada attachment. ini ditujukan untuk melihat
apakah attachment orang tua berpengaruh secara signifikan terhadap agresivitas
pada remaja atau justru kebalikannya. Dengan empat pola dimensi attachment dari
Bartholomew dan Horowitz (1991) yaitu secure attachment (kelekatan rasa aman),
fearful attachment (kelekatan rasa takut), preoccupied attachment (kelekatan
Mikulincer (dalam Baron & Byrne, 2000) mengungkapkan bahwa individu dengan
gaya kelekatan aman (secure attachment) tidak mudah marah (anger). Kemudian,
pada penelitian yang dilakukan Pederson (1999) menunjukkan preoccupied
attachment secara signifikan mempunyai hubungan dengan agresi verbal dan
dimensi kekerasan. Selain itu, dalam sebuah penelitian, dismissing/avoidant
attachment mempunyai hubungan dengan perilaku kekerasan dan perilaku agresif
pada remaja (Santrock, 2001). Selanjutnya, fearful attachment (kelekatan rasa
takut) individu yang takut ditolak menggambarkan orang tua mereka secara negatif
memendam perasaan hostile dan marah tanpa menyadarinya (Baron & Byrne,
2000).
Santrock (2002) menjelaskan remaja yang dekat dengan orang tuanya maka
remaja mudah untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan seperti kecemasan sosial
dan perasaan depresi seperti yang ditemukan dalam suatu studi, bila remaja muda
memiliki suatu attachment yang kokoh (secure attachment) dengan orang tuanya,
mereka memahami keluarga mereka sebagai keluarga yang mempunyai hubungan
kebersamaan atau kohensif yang baik dan dapat mengeluhkan sedikit kecemasan
sosial atau perasaan-perasaan depresi.
Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah dikemukakan,
penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dijabarkan dan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya agresivitas maka hal tersebut mendorong penulis untuk menguji
pengaruh bigfive personality dan attachment style terhadap agresivitas pada remaja
ATTACHMENT STYLE TERHADAP AGRESIVITAS (studi pada pelajar di SMAN
6 Jakarta)”.
1.2 Batasan Masalah Dan Rumusan Masalah
1.2.1 Batasan Masalah
Masalah utama yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pengaruh big five
personality dan attachment style terhadap agresivitas (studi pada pelajar di SMAN
6 Jakarta). Untuk menghindari ketidakjelasan dan melebarnya permasalahan
penelitian ini, maka penulis perlu memberikan batasan penelitian sebagai berikut:
1. Agresivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu tindakan atau
perilaku bertujuan untuk menyakiti atau melukai orang. Bentuk agresivitas
yakni agresi fisik, agresi verbal, agresi marah (anger) dan permusuhan
(hostility).
2. Bigfive Personality yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu suatu
pendekatan yang digunakan peneliti untuk melihat kepribadian manusia
melalui trait yang tersusun dalam lima dimensi kepribadian yang telah
dibentuk melalui analisis faktor. Dimensi kepribadian meliputi:
extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan openness
to experiences.
3. Attachment style (gaya kelekatan) adalah kecenderungan perilaku lekat
individu yang terdiri dari dimensi positif dan negatif dua sikap dasar, yaitu
sikap mengenai self dan sikap terhadap orang lain maupun orang tuanya.
Attachment style diukur melalui empat gaya lekat yaitu secure attachment
menghindar), preoccupied attachment (gaya kelekatan terpreokupasi) dan
dismissing attachment (gaya kelekatan menolak).
4. Subjek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa-siswi/pelajar
bersekolah di SMAN 6 Jakarta yang berusia sekitar 15-18 tahun.
1.2.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “apakah ada pengaruh big five personality dan
attachment style terhadap agresivitas pelajar di SMAN 6 Jakarta?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh big five personality
dan attachment style terhadap agresivitas pelajar di SMAN 6 Jakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Untuk mengetahui dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu
psikologi mengenai pentingnya mengurangi perilaku kekerasan khususnya
agresivitas pada pelajar/ remaja. Selain itu, dapat dijadikan langkah awal bagi
penelitian selanjutnya, untuk tambahan literatur yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan khususnya dibidang psikologi sosial dan perkembangan.
1.4.2 Manfaat praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan
mengenai pengaruh bigfive personality dan attachment style terhadap
2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi orang tua
untuk lebih memberikan perhatian dan arahan yang baik (attachment style)
pada anak agar mengurangi kecenderungan berperilaku agresif dan bagi
sekolah yang menjadi pihak pendidik siswa-siswi untuk membantu
meningkatkan kualitas siswa dengan mengurangi dan menantisipasi
agresivitas pada siswa seperti fenomena besar di Indonesia yaitu tawuran
antar pelajar.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, akan digunakan APA style, yaitu kaidah penelitian
berdasarkan aturan yang dikeluarkan oleh APA (American Psychological
Association). Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini terdiri dari lima
BAB, meliputi :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah
Dan Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Serta
Sistematika Penulisan.
BAB 2 : LANDASAN TEORI
Berisi landasan teori tentang agresivitas, remaja, bigfive personality,
attachment style dan kerangka berpikir.
BAB 3 : METODE PENELITIAN
Berisi jenis penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian,
definisi operasional variabel, subjek penelitian, metode
BAB 4 : HASIL PENELITIAN
Berisi tentang analisis deskriptif dan pengujian hipotesis penelitian.
BAB 5 : PENUTUP
16
penelitian. Terlebih dahulu teori yang akan dibahas adalah mengenai teori-teori
agresivitas oleh beberapa tokoh. Setelah itu peneliti akan membahas
variabel-variabel yang dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi agresivitas. Kemudian
dalam bab ini juga terdapat kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.
2.1 Agresivitas
2.1.1 Pengertian Agresivitas
Dalam kamus psikologi J.P. Chaplin (2008) agresivitas merupakan
kecenderungan habitual (yang dibiasakan) seseorang untuk memamerkan
permusuhan. Pernyataan diri secara tegas, penonjolan diri, penuntutan atau
pemaksaan diri, pengejaran dengan penuh semangat suatu cita-cita. Dominasi
sosial, kekuasaan sosial, khususnya yang diterapkan secara ekstrim. sedangkan
perilaku agresi adalah satu serangan atau serbuan; tindakan permusuhan ditujukan
pada seseorang atau benda.
Agresi manusia adalah setiap perilaku diarahkan individu lain yang
dilakukan dengan yang terdekat (langsung) dengan maksud untuk menyebabkan
kerusakan. Selain itu, pelaku harus mengetahui bahwa perilaku tersebut akan
membahayakan target, dan target dimotivasi untuk menghindari perilaku
(Bushman & Anderson 2002).
Berkowitz (1993) menyatakan bahwa agresi merupakan segala bentuk
(dalam Geen, 2001) mendefinisikan agresivitas sebagai sebuah respon yang
melancarkan stimulus yang merugikan atau menyakiti pada individu lainnya.
Kemudian Buss dan Perry (1992) menyatakan bahwa agresi adalah tindakan yang
terdiri dari komponen agresi fisik, agresi verbal, rasa marah (anger) dan sikap
permusuhan (hostility). Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2005) menyatakan
bahwa agresi adalah tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti
makhluk hidup lain yang ingin mengindari perlakuan semacam itu. Selain itu,
Taylor, Peplau, dan O’sears (2009) berpendapat bahwa agresi adalah segala
perilaku yang diniatkan untuk melukai orang lain.
Selanjutnya, Myers (1988) menyatakan agresi sebagai perilaku fisik atau
verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
agresi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu hostility aggression and instrumental
aggression. Hostility aggression didorong oleh kemarahan dan bertujuan untuk
menyakiti orang lain. Sedangkan instrumental aggression merupakan kekerasan
yang dilakukan untuk mendapatkan tujuan lain disamping menyakiti orang lain.
DeWall, et.,al. (2012) menyatakan bahwa agresi memiliki ciri utama.
Pertama, agresi merupakan perilaku yang dapat dilihat/tampak. Agresi bukanlah
emosi seperti kemarahan dan pikiran, tetapi agresi adalah ”tindakan melakukan
sesuatu (by doing something)”. Kedua, agresi merupakan ”intentional” atau suatu kesengajaan, bukan ”accidental” atau kecelakaan tanpa disengaja. Tetapi agresi adalah suatu kesengajaan yang bertujuan untuk menyakiti. Ketiga, korban dari
Dari pengertian yang telah dipaparkan, maka peneliti mengambil
kesimpulan bahwa agresivitas adalah suatu tindakan atau perilaku bertujuan untuk
menyakiti atau melukai orang lain (target) atau objek dengan niat/sengaja yang
dapat menimbulkan konsekuensi yang negatif.
2.1.2 Agresivitas pada pelajar
Pada saat ini sebagian remaja khususnya para pelajar di sekolah menengah atas
menunjukkan perilaku negatif yang merupakan salah satu bentuk perwujudan dari
ketidakstabilan emosi remaja. Tanda bahaya dari ketidakmampuan diri pada
remaja, salah satu contohnya adalah perilaku agresif (Hurlock, 1980). Di
indonesia, perilaku agresif pada remaja menunjukkan gejala yang
memprihatinkan, bentuk perilaku agresif sangat beragam, mulai dari dengan
mencuri, merampok, menggunakan obat-obatan terlarang, berkelahi, membunuh,
pemerkosaan dan tindak kriminal lainnya. sedangkan agresi remaja yang di
salurkan melalui kata-kata ialah sering mengeluarkan kata-kata kotor, makian,
menghina, mengejek, dan berteriak yang tidak terkendali. Contoh tindakan
agresivitas remaja khususnya di kalangan para pelajar SMA dikenal dengan istilah
tawuran, tindakan bullying di sekolah yang dapat dikategorikan dalam agresivitas
verbal (memaki atau mengejek) atau dalam bentuk agresivitas fisik yaitu (pukulan
dan tendangan) serta perilaku kekerasan lainnya.
Nisfiannoor dan Yulianti (2005) menjelaskan bahwa bila remaja merasa
tidak bahagia dipenuhi banyak konflik batin, baik konflik yang berasal dari dalam
dirinya, pergaulannya maupun keluarganya. Dalam kondisi seperti itu remaja
berperilaku agresif pada remaja juga dikarenakan labilnya jiwa mereka, karena
mereka tengah mengalami banyak konflik dalam menjalani tugas
perkembangannya. Jika agresivitas remaja merasa tidak nyaman dengan kondisi
yang mereka rasakan, maka remaja tersebut akan mencari tempat yang akan
membuat mereka nyaman. Akibatnya, remaja akan mudah untuk berkembang
untuk membuat suatu perilaku yang membuat mereka merasa diakui seperti
perilaku antisosial dan kriminalitas.
2.1.3 Bentuk-bentuk agresivitas
Buss dan Perry (1992) berpendapat bahwa ada empat bentuk pola agresi yang
dilakukan oleh individu, yaitu agresi fisik, agresi verbal, agresi marah (anger) dan
agresi permusuhan (hostility).
a. Agresi fisik
Merupakan komponen dari perilaku motorik seperti melukai dan
menyakiti orang lain secara fisik misalnya dengan menyerang, memukul,
menendang atau mendorong.
b. Agresi verbal
Merupakan komponen motorik seperti melukai dan menyakiti orang lain,
hanya saja melalui verbalisasi, misalnya berdebat, menunjukan
ketidaksukaan dari ketidaksetujuan pada orang lain, kadang kala sering
menyebarkan gosip, membentak, menghina dan lain sebagainya.
c. Rasa Marah
Merupakan emosi atau efektif seperti keterbangkitan dan kesiapan
dan tidak mampu mengontrol rasa marah. Merupakan perasaan tidak
senang sebagai reaksi fisik atas cidera fisik maupun cidera psikis yang
diderita individu.
d. Sikap permusuhan
Merupakan perwakilan dari komponen perilaku kognitif seperti perasaan
benci dan curiga pada orang lain, merasa kehidupan yang dialami tidak
adil dan iri hati. Sikap negatif terhadap orang lain karena penilaian diri
yang negatif.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa keempat bentuk agresivitas
tersebut mewakili komponen perilaku manusia, yaitu komponen motorik,
afektif dan kognitif.
Selanjutnya, Taylor, Peplau, dan O’sears (2009) membagi agresi menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Prososial aggression (agresi prososial)
Adalah tindakan agresif yang mendukung norma sosial yang diterima
umum. Walaupun secara umum agresi adalah tindakan menyerang atau
melukai orang lain, tetapi tindakan tersebut tidak menimbulkan masalah,
bahkan terkadang mendukung. Misalnya, tindakan polisi menembak
perampok. Tindakan menembak itu sendiri adalah agresi, tetapi dikaitkan
dengan perampok sebagai korban, maka perilaku ini adalah prososial
agresi. Tujuan utama dari prososial agresi adalah menegakkan hukum atau
adat atau melindungi kepentingan bersama.
Adalah tindakan agresi yang melanggar norma sosial yang diterima secara
umum. Perilaku yang melukai atau menyerang orang lain yang tidak dapat
diterima oleh masyarakat atau tindakan agresi yang melanggar hokum.
Tujuan agresi ini lebih pada keuntungan sang pelaku agresi. Bukan untuk
kepentingan bersama atay kepentingan mulia lainnya.
3. Sanctioned aggression (agresi yang disetujui)
Adalah agresi yang dimaklumi sesuai dengan norma kelompok sosial
individu.
Jenis agresi ini termasuk tindakan yang tidak melanggar oleh norma sosial
tetapi ada di dalamnya batas-batasnya. Tindakan ini tidak melanggar
standar moral yang diterima luas. Misalnya, pelatih yang menghukum
pemain tim dengan menyuruh push-up biasanya dianggap bertindak sesuai
dengan haknya dan masih dalam batas yang diterima. Demikian juga
wanita yang menyerang pemerkosa.
Dalam penelitian ini bentuk agresivitas yang digunakan adalah teori Buss dan
Perry (1992). Hal ini dikarenakan keempat bentuk agresivitas Buss dan Perry
(1992) yaitu agresi fisik, verbal, marah dan permusuhan yang sering kali muncul
dalam perilaku agresivitas seseorang terutama pada pelajar/remaja.
2.1.4 Pengukuran agresivitas
Menurut Leon, et. al. (2002) ada beberapa pengukuran yang digunakan dalam
mengukur agresivitas, diantaranya adalah:
1. The Cook-Madley Hostility Scale. Skala ini terdiri dari 50
Inggris dan Spanyol antara 0,75 dan 0,80 dan reabilitas skala test-retest
menunjukkan nilai 0,75.
2. The Buss-Durkee Hostility Inventory. Instrumen ini terdiri dari 75
pernyataan benar-salah. Terdiri dari kriteria: assault, indirect, hostility,
irritability, negativism, resentment, suspicion, verbal hostility, and
gulit. Internal konsistensi antara 0,57 dan 0,78 dari versi original
sedangkan versi Spanyol sebesar 0,86.
3. The Jenkins Activiiy Scale-Form H. Instrumen ini untuk evaluasi
atau membandingkan tipe A secara global serta terdiri dari 32
pernyataan. Reabilitas versi Inggris dan Spanyol antara 0,75 dan 0,88
dan konsistensinya antara 0,84 dan 0,92.
4. The state-Trait Anger Expression Inventory. Instrumen ini terdiri
dari 47 pernyataan, skala ini digunakan pada populasi Spanyol dan
menghasilkan alpha cronbach antara 0, 63 dan 0,95.
5. Aggression Questionnaire (AQ). Instrument yang dikembangkan
Buss & Perry (1992) ini terdiri 29 item atau pernyataan, pada standar
psikometri menunjukkan reabilitas dan internal konsistensi yang
adekuat. Instrument ini memiliki konsistensi yang adekuat. Instrument
ini memiliki konsistensi internal antara 0,72 dan 0,89 dan reabilitas
test-retest antara 0,72 dan 0,80.
Dari beberapa alat ukur diatas, peneliti memutuskan untuk mengadaptasi alat ukur
agresivitas yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992). Dalam jurnal
agresi fisik, verbal, marah, dan permusuhan dan terangkum dalam 29 item skala
baku. Hal ini karena skala yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992)
memiliki validitas yang baik dan reabilitas serta internal konsistensi yang adekuat.
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas, yaitu :
1. Kepribadian
Banyak trait kepribadian yang secara signifikan berkaitan dengan agresivitas.
Sarwono (2002) dengan beberapa penelitian menyatakan bahwa salah satu
teori sifat (trait) mengatakan bahwa orang-orang dengan tipe kepribadian A
(yang bersifat kompetitif, selalu buru-buru, ambisius, cepat tersinggung, dan
sebagainya) lebih cepat menjadi agresif daripada orang dengan tipe
kepribadian B (ambisinya tidak tinggi, sudah puas dengan keadaannya yang
sekarang, cenderung tidak buru-buru, dan sebagainya). Kemudian pengaruh
lain dari sifat kepribadian terhadap agresif adalah sifat pemalu. Orang yang
bertipe pemalu cenderung menilai rendah diri sendiri, tidak menyukai orang
lain, dan cenderung mencari kesalahan orang lain. Oleh karena itu, tipe orang
pemalu cenderung lebih agresif daripada yang tidak pemalu.
Selain kepribadian tipe A dan tipe B, bigfive personality juga
mempengaruhi perilaku agresif seperti penelitian yang ditemukan dalam
Caprara, et. al. (dalam DeWall, et. al, 2012) memaparkan bahwa dari lima
kepribadian, hanya tiga yang paling terkait dengan agresi, yaitu yang
mempunyai hubungan positif adalah neuroticism sedangkan yang mempunyai
Penelitian yang dilakukan oleh Trninić¹, et. al. (2008) menemukan pada
sampel para tahanan agresivitas secara signifikan berkorelasi dengan bigfive
personality yaitu agreeableness, conscientiousness dan emotional stability,
sedangkan pada atlet remaja berkorelasi signifikan dengan extraversion,
agreeableness dan emotional stability.
2. Hostile Attributional Bias
Atribusi berperan pada reaksi kita terhadap perilaku orang lain, terutama
pada provokasi nyata yang mempengaruhi perilaku agresi. Hal ini mengacu
pada tendensi untuk mempersepsikan maksud atau motif hostile dalam
tindakan orang lain ketika tindakan ini dirasa ambigu. Ketika individu
memiliki bias atribusional hostile yang tinggi, ia jarang mempersepsikan
tindakan hostile yang dilakukan orang lain sebagai ketidaksengajaan, namun
mengasumsikan bahwa tindakan provokasi tersebut memang sengaja
dilakukan, dan individu tersebut segera melawan membalasnya (Baron &
Byrne, 2005).
3. Narsisme
Individu yang memiliki tingkat narsisme yang tinggi, dapat menunjukkan
perilaku agresi yang tinggi juga dibandingkan orang lain. Hal ini disebabkan
karena ia memiliki keraguan yang mengganggu mengenai kebenaran ego
mereka yang besar sehingga bereaksi pada tindakan kekerasan atau hinaan
4. Frustasi
Baron dan Byrne (2005) mengatakan bahwa Frustasi selalu memunculkan
bentuk tertentu dari agresi, dan agresi selalu berasal dari frustasi. Singkatnya,
orang yang frustasi selalu terlibat dalam suatu tipe agresi dan semua tindakan
agresi, dan sebaliknya..
Meskipun frustasi biasanya membangkitkan amarah, namun adakalanya
juga tidak, meningkatkan amarah tidak selalu menyebabkan orang berperilaku
lebih agresif (Sears, Freedman & Peplau, 1985). Temuan penelitian juga
menunjukan bahwa ketika merasa frustasi, individu tidak selalu merespons
dengan melakukan agresi. Sebaliknya, mereka memperlihatkan banyak reaksi
berbeda, mulai dari kesedihan, keputusasaan, dan depresi di satu sisi, sampai
pada usaha langsung untuk mengatasi sumber frustasi mereka di sisi yang lain.
Agresi bukanlah respons otomatis dari frustasi (Baron & Byrne, 2005).
5. Provokasi langsung
Baron & Byrne (2005) mendefinisikan provokasi merupakan tindakan oleh
orang lain yang cenderung memicu agresi pada diri si penerima, sering kali
karena tindakan tersebut dipersepsikan berasal dari maksud yang jahat. Kritik
yang kasar serta tidak sopan yang dapat menyerang diri sendiri dan bukan
merupakan kritik terhadap perilaku diri yang salah, merupakan provokasi
yang kuat sehingga dapat memunculkan perilaku agresi. Kita cenderung untuk
membalas, memberikan agresi sebanyak yang kita terima, terutama jika orang
6. Agresi yang Dipindahkan
Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa agresi yang dipindahkan
merupakan agresi terhadap seseorang yang bukan sumber dari provokasi yang
kuat; agresi dipindahkan terjadi karena orang yang melakukannya tidak ingin
atau tidak dapat melakukan agresi terhadap sumber provokasi. Agresi ini
merupakan hasil provokasi yang ia tahan, kemudian sewaktu-waktu ia luapkan
pada seseorang yang bukan sumber dari provokasi awal yang kuat.
7. Kekerasan pada Media
Baron & Byrne (2005) menyatakan bahwa makin banyak film atau program
televisi dengan kandungan kekerasan yang ditonton partisipan pada saat
kanak-kanak, makin tinggi tingkat agresi mereka ketika remaja atau dewasa.
Misalnya, makin tinggi kecenderungan mereka untuk ditangkap atas tuduhan
kriminal dengan kekerasan.
Selain film, dapat terjadi pula “copycat crimes”, dimana suatu kejahatan
yang dilaporkan di media kemudian ditiru oleh orang lain di lokasi yang jauh,
memperlihatkan bahwa dampak seperti itu nyata. Dampak lain dari kekerasan
pada media ialah timbulnya efek disensitisasi. Setelah individu menonton
banyak adegan kekerasan, individu tersebut menjadi acuh pada kesakitan dan
penderitaan orang lain; mereka menunjukkan reaksi emosional yang lebih
sedikit daripada yang seharusnya terhadap tanda-tanda kekerasan seperti itu.
Dan hal ini kemungkinan mengurangi pertahanan mereka sendiri menolak
Menurut Sarwono (2002) dengan beberapa penelitian menyatakan bahwa
siaran televisi dapat menjadi penyalur emosi agresi (katarsis) sehingga orang
tidak perlu lagi melampiaskan agresivitasnya kepada orang lain, khususnya
jika korban agresi tidak mempunyai kemungkinan untuk secara langsung
melampiaskan pembalasannya kepada aggressor sebagimana terungkap dari
sebuah penelitian di Jerman Barat.
8. Keterangsangan yang Meningkat
Keterangsangan dapat berasal dari sumber-sumber yang bervariasi seperti
partisipan dalam permainan kompetitif, jenis olahraga yang keras, serta musik
tertentu. Contoh lainnya adalah faktor keterangsangan seksual. Hubungan
antara keterangsangan seksual dengan agresi bersifat curvilinear.
Keterangsangan seksual ringan mengurangi agresi hingga tingkat yang lebih
rendah daripada yang ditunjukkan oleh tidak adanya keterangsangan,
sedangkan keterangsangan yang lebih tinggi malah meningkatkan agresi di
atas tingkat ketiadaan keterangsangan. Hal ini disebabkan karena materi erotis
yang ringan akan memunculkan perasaan-perasaan positif yang menghambat
agresi, sedangkan stimulus seksual yang lebih eksplisit akan memunculkan
perasaan negatif sehingga meningkatkan agresi (Baron & Byrne, 2005).
9. Alkohol
Dalam beberapa eksperimen, partsisipan yang mengonsumsi alcohol dengan
dosis tinggi yang dapat membuat mereka mabuk ditemukan bertindak lebih
agresif dan merespon provokasi secara lebih kuat, dibandingkan partsisipan
penelitian Bushman dan Cooper (1990) menemukan bahwa ada pengaruh
alkohol terhadap tindakan agresif seseorang.
Dalam Sarwono (2002) menjelaskan bahwa khusus pada negara-negara
maju yang teletak di wilayah-wilayah musim dingin, alcohol bukan
merupakan hanya saran penghangat tubuh, melainkan juga sebagai sarana
pergaulan. Akan tetapi, pengaruh alkohol dapat memicu agresivitas. Karena
itulah dalam kenyataannya bar-bar dan tempat-tempat minum lainnya
merupakan tempat yang memiliki angka kekerasan dan agresi sangat tinggi.
10.Kondisi lingkungan
Rasa sesak berjejal/suasana yang ramai juga dapat memicu seseorang
bertindak agresi. Sarwono (2002) dengan beberapa penelitian menyatakan
bahwa di daerah perkotaan yang padat penduduk selalu lebih banyak terjadi
kejahatan dan kekerasan serta peningkatan agresivitas di daerah yang sesak
berhubungan penurunan perasaan akan kemampuan diri untuk mengendalikan
lingkungan sehingga terjadi frustasi.
11.Attachment orang tua
Penelitian dalam journal of Youth and Adolescence (2000) menunjukkan
bahwa attachment pada orang tua secara signifikan berhubungan dengan usia,
depresi, dan agresi. Remaja yang tingkat attachment orang tua tinggi akan
menunjukkan tingat agresi dan depresi yang rendah begitu pun sebaliknya
(Laible, Carlo & Raffaelli, 1999). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Gallarin & Arbiol (2012) menyatakan bahwa faktor yang mampengaruhi
attachment (kelekatan) orang tua. Dari hasil penelitiannya hanya attachment
pada ayah yang signifikan terhadap agresivitas remaja.
12.Pengaruh kelompok dan teman sebaya
Penelitian White, Gallup dan Gallup (2010) mengemukakan bahwa korban
dari agresi teman sebaya tersebar luas pada anak-anak dan remaja antara 11
dan 16 tahun. Nansel, et. al. (dalam White, Gallup dan Gallup, 2010)
menunjukkan bahwa dalam The multi-national Health Behavior in School
Aged Children tidak kurang dari 9% dan sebanyak 54% dari anak usia sekolah
dari 25 negara yang diteliti terlibat dalam tindakan agresif terhadap teman
sebaya dan menjadi korban oleh teman sebayanya. Journal of Youth and
Adolescence (2000) menunjukkan bahwa Attachment teman sebaya secara
signifikan berhubungan dengan simpati, English efficacy, depresi dan agresi.
Remaja yang tinggi attachment teman sebaya akan tinggi tingkat simpati dan
English efficacy yang tingkat yang rendah pada depresi dan agresi.
Sarwono (2002) menyatakan bahwa gejala terpengaruh oleh kelompok
terdapat pada pelajar SMA yang saling berkelahi di Jakarta dengan alasan
membela teman. Inti dari agresivitas antarpelajar di Jakarta yaitu identitas
kelompok yang sangat kuat yang menyebabkan timbul sikap negatif dan
mengeksklusifkan kelompok lain.
13.Perbedaan Gender
Umumnya pria cenderung melakukan tindakan agresi secara langsung
ditujukan kepada targetnya, seperti memaki, mendorong, berteriak, dan lain
langsung, seperti bergunjing masalah orang lain. Tindakan ini memungkinkan
individu menutupi identitasnya dari target yang dituju. Sehingga, target tidak
dapat mengetahui siapa pelakunya (Baron & Byrne, 2005).
Penelitian serupa juga dijelaskan Sarwono (2002) yang menyatakan bahwa
pria yang maskulin pada umumnya lebih agresif daripada wanita yang
feminisim. Tentunya gejala ini ada hubungannya dengan faktor kebudayaan
yaitu pada umumnya wanita diharapkan oleh norma masyarakat untuk lebih
mengekang agresivitasnya. Namun, ada pergeseran peran jenis kelamin yang
pada gilirannya juga akan meningkatkan agresivitasnya pada wanita.
Contohnya dalam kehidupan sehari-hari, agresivitas wanita kita saksikan
misalnya pada pengemudi kendaraan pribadi wanita di Jakarta yang berani
menantang pengemudi Metro Mini (pria) yang menyerempet mobilnya. Makin
banyak wanita menjadi anggota ABRI dan polisi, atau makin banyaknya
wanita yang terlibat dalam berbagai jenis olahraga agresif (balap mobil, sepak
bola, karate, pencak silat atau gulat).
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas yang telah dijelaskan, maka
peneliti memutuskan untuk menggunakan faktor kepribadian dan attachment
sebagai variabel independen. Hal ini dilakukan karena kepribadian diprediksi
dapat mengetahui bagaimana tingkat agresivitas yang dialami oleh para remaja
yang melakukan tawuran atau tidak. Kemudian attachment (kelekatan) dengan
orang tua dianggap dapat mempengaruhi agresivitas karena seorang anak pertama
kali meniru perilaku orang tuanya dan membutuhkan dukungan serta arahan dari
2.2 Kepribadian (personality)
2.2.1 Definisi kepribadian
Definisi kepribadian menurut Allport (dalam Hall, Linzey & Campbell, 1997)
adalah organisasi atau susunan yang dinamis dari system psikofisik dalam diri
individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik (khas) terhadap
lingkungannya. Sedangkan Pervin, Cervone dan John (2010) mengungkapkan
bahwa kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya
konsistensi perasaan, pemikiran dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Larsen & Buss (2002) kepribadian adalah himpunan sifat-sifat
psikologis dan mekanisme dalam diri individu yang terorganisir dan relatif
bertahan serta mempengaruhi interaksi dan adaptasi terhadap lingkungan
(termasuk intrapsikis, fisik, dan lingkungan sosial).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian menurut
peneliti adalah karakteristik di dalam diri individu yang relatif menetap dan
bertahan, sehingga mempengaruhi penyesuaian dirinya dalam lingkungan.
Kepribadian memiliki beberapa trait, salah satu trait kepribadian yang populer
adalah kepribadian big five. Feist & Feist (2009) menyatakan bahwa big five
dikembangkan oleh Costa & McCrae dari H. Eysenk. Hasil pengembangan yang
dilakukan oleh Costa & McCrae menghasilkan lima trait kepribadian. faktor.
Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, neuroticism, openness to
experience, agreeableness, dan concientioueness. Model ini kemudian menjadi
suatu teori, yang dapat memprediksi perilaku dan menjelaskan perilaku (Feist &
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian big five
merupakan pendekatan psikologi yang memiliki lima trait kepribadian
extraversion, neuroticism, openness to experience, agreeableness, dan
concientioueness yang digunakan untuk menganalisis kepribadian seseorang.
2.2.2 Dimensi Kepribadian
Definisi kepribadian menurut masing-masing ahli berbeda-beda tetapi kepribadian
yang populer adalah the big five personality. Dimensi-dimensi kepribadian
menurut Costa dan McCrae (dalam Feis & Feist, 2010) adalah sebagai berikut :
1. Extraversion
Menyatakan bahwa individu yang memili skor tinggi pada dimensi ini
cenderung penuh kasih sayang, suka bergabung menjadi anggota kelompok,
banyak bicara, menyukai kesenangan, aktif, dan selalu bersemangat.
Sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada dimensi ini cenderung
tidak ramah dengan orang lain, suka menyendiri, pendiam, apa adanya, pasif,
dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.
2. Neuroticism
Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini akan
cenderung gelisah/cemas, temperamental, sentimentil, emosional, dan rentan
terhadap kritikan orang lain. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah
cenderung tenang, bangga dengan diri sendiri, terkadang temperamental,
3. Openness to experience
Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini (O)
cenderung imajinatif, kreatif, inovatif, selalu ingin tahu, menyukai sesuatu
yang berbeda, dan bebas. Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah
cenderung tidak kreatif, konventional, menyukai sesuatu yang menetap, tidak
peduli, dan konservatif.
4. Agreebleness
Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini (A)
akan cenderung berhati lembut, mudah percaya, dermawan, ramah, toleransi,
bersahabat dan baik hati. Sebaliknya individu dengan skor rendah akan
cenderung kejam, curiga, pelit, bersifat antagonis, kritis, dan mudah marah.
5. Conscientiousness
Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi cenderung teliti,
pekerja keras, teratur, disiplin, ambisius, dan gigih. Sedangkan pada individu
yang memiliki skor rendah cenderung ceroboh, malas, tidak teratur, suka
terlambat, dan tidak memiliki tujuan yang pasti.
2.2.3 Pengukuran Kepribadian
John dan Srivastava (1999) membahas bahwa ada berbagai alat ukur yang
dikembangkan untuk mengukur big five personality, diantaranya:
1. NEO-PI-R yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae pada tahun 1992,
NEO-PI-R adalah sebuah alat ukur yang dikembangkan oleh Costa dan
big five traits. Mereka membedakan masing-masing dari kelima dimensi
kepribadian tersebut.
2. Big five Inventory (BFI) yang dibuat oleh John, Donahue, dan Kentle (1991).
BFI sering digunakan dalam penelitian-penelitian dimana waktu subjek
terbatas dan format item yang singkat memberi lebih banyak konnteks
dibandingkan item tunggal Golberg sekaligus lebih sederhana dibandingkan
format kalimat yang digunakan dalam kuesioner NEO. Skala berjumlah 44
item.
Sedangkan, menurut Rammstedt dan John (2007) the big five personality
dapat diukur dengan menggunakan skala Big Five Inventory-10 (BFI-10).
BFI-10 merupakan turunan dari BFI-44 yang dikemukakan oleh John,
Donahue, & Kentle. Item pada instrument ini sebanyak 10 item, kurang dari
25% dari 44 tetapi mampu memprediksi 70% dari item yang ada di
BFI-44.
Dari beberapa alat ukur diatas, peneliti memutuskan untuk mengadaptasi alat ukur
Big Five Inventory (BFI) yang dikembangkan oleh John, dkk (1991). BFI
merupakan kuesioner self-report yang berisi 44 item. Hal ini dikarenakan sesuai
dengan teori yang peneliti gunakan pada penelitian ini dan BFI juga sudah banyak
digunakan dan teruji pada penelitian terdahulu, serta item-item dalam BFI telah
dibandingkan dengan inventory kepribadian yang sudah baku dan memiliki