• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh tipe kepribadian big five dan self-control terhadap agresivitas satuan polisi Pamong Praja Kota Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh tipe kepribadian big five dan self-control terhadap agresivitas satuan polisi Pamong Praja Kota Tangerang"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA

TANGERANG

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Disusun oleh:

Al-

ahmatillah

NIM: 106070002189

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv “Allah SWT Mengikuti Prasangka Hambanya”

“Kehidupan ini ibarat jalan satu arah, seberapa bannyakpun perubahan rute yang anda tempuh, tidak satupun membawa anda kembali. Begitu anda mengetahui dan menerima hal

itu, kehidupan akan tampak jauh lebih sederhana.”

(Isabel Moore)

“Jika semua yang kita inginkan harus kita miliki, lantas darimana kita bisa belajar ikhlas? Jika semua yang kita mau harus terpenuhi, lantas darimana kita bisa belajar sabar? Jika doa

kita langsung dikabulkan, bagaimana kita memaksimalkan kemampuan yang diberikan pada kita? Jika kehidupan kita selalu bahagia, darimana kita dapat mengenal Allah dekat?

Yakinlah bahwa segala kektentuan-Nya adalah yang TERBAIK untuk kita..”

PERSEMBAHAN:

(6)

v (C).Al-Jum’atu Rahmatillah

(D).Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five dan Self-Control Terhadap Agresivitas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang

(E).110 hal, 38 tabel, 10 gambar, lampiran

(F).Agresivitas dapat dilakukan oleh siapa saja. Bahkan pegawai pemerintah penegak hukum (seperti Satpol PP) berkecenderungan melakukan perilaku agresif. Hal ini terlihat dari beberapa pemberitaan tentang Satpol PP yang kerap kali berlaku anarkis. Perilaku tersebut tidak seharusnya dilakukan oleh Satpol PP, karena tugas utama Satpol PP yaitu melindungi dan mengayomi masyarakat. Namun mengapa agresivitas masih sering terjadi. Faktor yang mungkin menjadi penyebabnya adalah kepribadian masing-masing individu. Dimana individu yang memiliki kepribadian agresif akan lebih mudah memunculkannya dalam banyak situasi dibanding individu yang memiliki sifat agresif yang rendah. Salah satu tipe kepribadian adalah big five personality, yaitu suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yaitu neuoriticism, extraversion, openness to experiences, agreeableness, conscientiousneess. Selain itu, self control juga dapat mempengaruhi agresivitas seseorang. Self-control adalah kemampuan dalam mengatur tingkah laku, mengatur kognisi, dan membuat keputusan. Jika self control tinggi, maka kemungkinan individu itu mampu dalam mengendalikan emosi dan mampu menciptakan pola tingkah laku yang positif bagi lingkungannya juga dirinya, dan sebaliknya. Faktor usia, etnis juga dapat mempengaruhi munculnya agresivitas.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh trait big five, dimensi self control, usia, etnis terhadap agresivitas satpol pp Kota Tangerang.

(7)

vi

berbagai pelatihan seperti pelatihan peningkatan diri dan meminimalisir dalam merekruit anggota dengan kepribadian extraversion.

(8)

vii

segala rahmat dan karunia yang diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five dan Self Control

terhadap Agresivitas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang.” Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rosul tauladan, Nabi Muhammad SAW, kepada

keluarga, sahabat, dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya.

Penulisan laporan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama pengerjaan skripsi ini, penulis dihadapkan dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan, dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berarti bagi penulis. Penulis menyadari tidaklah mudah untuk

menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan, bimbingan, masukan, dorongan dan do’a dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi. Untuk itu dengan

segala ketulusan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Jahja Umar, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan arahan dan nasehat-nasehatnya.

2. Dra. Hj. Fadhilah Suralaga, M.Si, selaku Pembantu Dekan bagian Akademik, yang telah memberikan semangat dan masukan guna menyelesaikan skripsi ini.

3. Bambang Suryadi, Ph.D sebagai dosen penguji I, Ikhwan Luthfi, M.Psi sebagai dosen pembimbing I dan penguji II, atas motivasi, arahan, bimbingan dan masukan yang sangat membangun. Bapak Gazi Saloom, M.Si sebagai pembimbing II, yang dengan sabar dan

kebesaran hati dalam membimbing penulis. Terima kasih telah meluangkan waktu Bapak berdua untuk penulis agar dapat mewujudkan skripsi ini.

4. H. Alwani sebagai Kepala Bagian Perencanaan Operasi di Kantor Satpol PP Kota Tangerang dan para Stafnya yang telah memberikan informasi dan data yang dibutuhkan oleh penulis serta kesediaan waktunya untuk mendampingi penulis dalam menyebarkan kuesioner.

5. Ibunda dan Ayahanda tercinta, terimakasih atas doa yang tak henti-hentinya di panjatkan

(9)

viii

6. Teman-teman Kelompok Pencinta Alam (KPA) Arkadia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan inspirasi, pengalaman yang berharga dan berbagai cerita seru yang

unik dan lucu. Kebersamaan seperti awan yang berarak. Setiyawan, kekasihku tercinta, terimakasih atas motivasi dan dukungan yang selalu diberikan agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga atas kebersamaan yang takkan pernah dilupakan.

7. Sahabatku, Rikha, Ana, terimakasih atas dukungan, motivasi dan tumpangannya selama ini. Tanpamu skripsi ini tidak akan selesai dengan cepat. Mas Zaman, Zulfa, Baiti, Erlinda, ka Ega, Eja, Nur’aini, Kartika, Qiki terimakasih untuk motivasi, dan dukungannya.

8. Adiyo, ka Via, terimakasih telah banyak membantu penulis dalam menganalisa data. Teman-teman Psikologi UIN Jakarta khususnya kelas A angkatan 2006 dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terimakasih telah memberikan semangat dan dukungannya kepada penulis.

Hanya doa dan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya yang dapat penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu ataupun terlibat dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Tidak ada manusia yang sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak guna perbaikan untuk masa yang akan datang. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 10 Juni 2011

(10)

ix

Lembar Pengesahan ... ii

Lembar Pernyataan Orisinalitas... iii

Motto dan Persembahan ... iv

Abstrak ... v

Kata Pengantarv ... ii

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiv

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ... 9

1.2.1 Perumusan Masalah ... 9

1.2.2 Pembatasan Masalah ... 10

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.3.1 Tujuan ... 11

1.3.2 Manfaat ... 11

1.4 Sistematika Penulisan... 12

BAB II Landasan Teori ... 13

2.1 Agresivitas ... 13

2.1.1 Pengertian Agresivitas ... 13

2.1.2 Teori Agresi ... 14

2.1.3 Bentuk-bentuk Agresivitas ... 19

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas ... 22

2.2 Kepribadian Big Five ... 25

2.2.1 Pengertian Kepribadian Big Five ... 25

(11)

x

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri ... 37

2.4 Kerangka Berfikir ... 38

2.5 Hipotesis Penelitian... 44

BAB III Metode Penelitian ... 46

3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 46

3.1.1 Populasi ... 46

3.1.2 Sampel Penelitian ... 46

3.2 Variabel Penelitian ... 47

3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 48

3.4 Instrumen Pengumpulan Data ... 49

3.5 Uji Validitas ... 54

3.5.1 Variabel Konstruk Agresivitas ... 56

3.5.2 Validitas Konstruk Kepribadian Big Five ... 58

3.5.3 Validitas Konstruk Self Control ... 69

3.6 Prosedur Penelitian ... 75

3.7 Metode Analisis Data ... 75

BAB IV Hasil Penelitian ... 79

4.1 Gambaran Umum Responden ... 79

4.1.1 Responden Berdasarkan Usia ... 79

4.1.2 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 80

4.1.3 Responden Berdasarkan Etnis... 81

4.1.4 Responden Berdasarkan Masa Kerja ... 81

4.2 Analisis Deskriptif ... 82

4.2.1 Kategori Tipe Kepribadian ... 82

4.2.2 Kategori Self Control... 83

4.2.3 Kategori Agresivitas ... 85

(12)

xi

5.1 Kesimpulan ... 98

5.2 Diskusi ... 99

5.3 Saran ... 105

5.3.1 Saran Teoritis ... 105

5.3.2 Saran Praktis ... 106

Daftar Pustaka ... 107

(13)

xii

Tabel 3.3 Blue Print Skala Self Control Tabel 3.4 Item Valid Agresivitas

Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Neuroticism

Tabel 3.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Neuroticism

Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Extraversion

Tabel 3.8 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Extraversion

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Openness

Tabel 3.10 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Openness Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Agreeableness

Tabel 3.12 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Agreeableness

Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Conscientiousness

Tabel 3.14 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Conscientiousness

Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Behavior Control

Tabel 3.16 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Behavior Control Tabel 3.17 Muatan Faktor Item Cognitve Control

Tabel 3.18 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Cognitive Control Tabel 3.19 Muatan Faktor Item Decisional Control

Tabel 3.20 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Decisional Control Tabel 4.1 Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Usia

(14)

xiii

Tabel 4.6 Kategori Self Control Tabel 4.7 Self Control

Tabel 4.8 Kategori Agresivitas Tabel 4.9 Anova

Tabel 4.10 Model Summary Tabel 4.11 Koefisien Regresi

Tabel 4.12 Variabel Etnis Tabel 4.13 Model Summary Tabel 4.14 Uji Beda Variabel Etnis Tabel 4.15 Uji Beda Big Five

(15)

xiv

Gambar 3.1 Analisis Faktor Konfirmatori dari Agresivitas

Gambar 3.2 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Neuroticism Gambar 3.3 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Extraversion Gambar 3.4 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Openness

Gambar 3.5 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Agreeableness Gambar 3.6 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Conscientiousness

(16)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

1. 1. Latar Belakang Masalah

Agresivitas bukanlah masalah yang sederhana, bukan juga masalah yang baru karena

agresi merupakan tema yang kompleks dan mempunyai sejarah panjang. Kekerasan

yang meningkat baik pada skala nasional maupun internasional, telah menarik kaum

professional dan masyarakat ramai untuk mengajukan pertanyaan umum mengenai

sifat dan penyebab agresi. Tercatat (dalam http://www.who.int), lebih dari 1,6 juta

orang diseluruh dunia dengan rentang usia 15-44 tahun meninggal akibat kekerasan,

setiap tahunnya. Di Indonesia, peningkatan perilaku agresif dapat terlihat dibeberapa

kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan beberapa kota besar lainnya.

Aksi kekerasan ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Bukan hanya masyarakat sipil

biasa, bahkan pegawai pemerintah penegak hukum (seperti Satpol PP) sekalipun

berkecenderungan melakukan perilaku agresif. Hal ini terlihat dari beberapa

pemberitaan tentang Satpol PP yang kerap kali berlaku anarkis pada saat menjalankan

tugasnya. Menurut data Institute for Ecosoc Rights (solocybercity.com), pada tahun

(17)

42.498 warga. Pada tahun 2007 terjadi 99 penggusuran dengan 45.345 korban.

Hingga Februari 2008 terjadi 17 penggusuran dengan 5.704 korban. Tahun 2009,

Kontras mencatat kekerasan yang dilakukan Satpol PP sebanyak 9 kasus dengan

obyek penggusuran rumah 620 unit dan korban luka 2 orang. Dalam tindakan

penggusuran PKL, terjadi 11 kali. Sekitar 62 unit kios yang menjadi sasaran dan 11

orang luka-luka (www.solocybercity.com).

bentrok terjadi antara Satpol PP, TNI dan warga sipil menyebabkan 134 korban

luka-luka dan 2 orang tewas (http://rumahabi.info), belum lagi pemberitaan PKL

(Pedagang Kaki Lima) yang merugi hingga Rp 5 Juta dikarenakan ulah Satpol PP

yang mengambil paksa barang dagangannya dalam penggusuran PKL di Kawasan

Stadiun Teladan Medan, Sumatra Utara (http://www.waspada.co.id). Kemudian,

sebanyak lima warga Cina Benteng melaporkan oknum Satuan Polisi Pamong Praja

(Satpol PP) Kota Tangerang yang melakukan pengeroyokan saat penggusuran yang

terjadi senin 12 April 2010 (www.tempointeraktif.com).

Ditambah lagi dengan pemberitaan pencabulan remaja yang dilakukan Satpol PP di

kawasan Monas pada bulan Juli 2010

(http://rumahabi.info/satpol-pp-cabuli-gadis-di-bawah-umur.html). Pemberitaan tertangkapnya oknum Satpol PP yang sedang

menghisap ganja di sebuah warung kopi Dusun Brenggolo, Desa Dawuhan,

Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri pada bulan Juli 2010

(18)

keributan dengan salah satu satpam kantor Pikiran Rakyat pada malam tahun baru di

Bandung, Jawa Barat (http://bandung.detik.com) menambah panjang catatan buruk

Satpol PP.

Perilaku negatif diatas tidak seharusnya dilakukan oleh Satpol PP. Tentunya bukan

secara intitusional Satpol PP bersalah, tetapi keberadaan personil yang melakukan

tindakan kriminal tersebut mau tidak mau telah mencemarkan nama baik institusi.

Karena tugas utama Satpol PP yang adalah melindungi dan mengayomi masyarakat.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan perangkat daerah yang bertugas

dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan

daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan

peraturan daerah (id.wikipedia.org/wiki/ Polisi_Pamong_Praja). Menurut Peraturan

Pemerintah RI no.32 tahun 2004, Satpol PP dapat berkedudukan di daerah Provinsi

dan daerah Kabupaten/Kota. Standar pelayanan Satpol PP meliputi: pelaksanaan

ketentraman, pelaksanaan ketertiban, pelaksanaan penyidikan, pelaksanaan

penindakan, pengawasan pelaksanaan perda, pelaksanaan operasi pembongkaran,

penghentian dan penutupan.

Karena itu, menjadi aneh bila Satpol PP yang sudah memiliki peraturan tetap namun

masih terjadi tindakan agesif. Hal ini memunculkan pertanyaan, faktor-faktor apa saja

(19)

Setidaknya terdapat beberapa faktor munculnya agresivitas, antara lain faktor internal

dan eksternal. Faktor internal yaitu : frustasi, deindividualisasi, stress, hormon,

gender, dan kepribadian (personality). Faktor eksternal yaitu : kekuasaan dan

kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan obat-obatan, suhu udara, polusi

udara, media, dan budaya (Luthfi, 2009).

Penelitian-penelitian tentang perilaku agresif yang terkait dengan kepribadian telah

banyak dilakukan, diantaranya adalah penelitian Glass (dalam Baron & Byrne, 2005)

menyimpulkan bahwa faktor kepribadian berperan penting dalam perilaku agresif.

Menurut Glass, kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif dapat dilihat dari

kepribadiannya. Individu yang memilki kepribadian tipe A cenderung lebih agresif

dalam banyak situasi daripada individu dengan kepribadian tipe B.

Penelitian lain dilakukan Furnham dan Saipe (1993; dalam Tremblay, 2002)

mengenai hubungan antara agresi pengemudi dengan tiga model faktor (three factor

model) dari Eysenck (1990; dalam Trembley, 2002), menyimpulkan bahwa perilaku

agresif berkorelasi positif dengan tipe Extraversion dan Neuroticism dalam tiga

model faktor kepribadian dari Eysenck. Penelitian yang dilakukan oleh Juan J.

Bartemi (2005) mengenai agresivitas dan kepribadian big five yang dihubungkan

dengan prestasi belajar siswa, menyimpulkan bahwa adanya hubungan yang

signifikan antara agresivitas dan kepribadian big five dengan prestasi belajar pada

(20)

Kepribadian itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah organisasi dinamis di dalam

sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan

pikirannya (Allport, 1937; dalam Ghufron, 2010). Kepribadian seseorang

mempengaruhi cara individu dalam beraksi, berpikir, merasa, berinteraksi, dan

beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam bentuk perilaku agresif (Larsen &

Buss, 2005). Mischel (1968; dalam Friedman, 2008) menyimpulkan bahwa

kepribadian itu terdiri dari struktur, antara lain adalah trait dan tipe (type). Trait

adalah konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe

adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait,

tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar dibandingkan trait.

Faktor kepribadian adalah faktor manusia yang dianggap cukup berperan dalam

perilaku agresif, karena kepribadian merupakan salah satu variabel person yang dapat

menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Kepribadian dapat mempengaruhi kognisi

dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di dalam memori. Di dalam

memori tersebut, jaringan asosiatif menghubungkan pikiran, agresi, emosi dan

kecenderungan untuk bertingkah laku (Anderson & Bushman, 2002). Dengan

demikian individu yang memiliki sifat agresif hanya akan membutuhkan sedikit

energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi

tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses dan lebih siap untuk teraktivasi pada

situasi lain, yang dapat membimbing tingkah laku di masa yang akan datang.

(21)

agresi di dalam memori yang dapat mempengaruhi cognition, affect, dan arrousal

yang dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Moyer (dalam Luthfi, 2009)

beranggapan bahwa agresivitas merupakan suatu proses yang ada didalam otak dan

saraf pusat. Orang-orang yang memiliki kecenderungan agresivitas tinggi memiliki

struktur dan komponen otak yang berbeda dengan orang yang agresivitasnya rendah.

Dalam Anderson & Bushman (2002), Bushman menyatakan bahwa terdapat

perbedaan individual dalam merespon stimulasi agresif dan ambigu yang disebabkan

karena adanya perbedaan individu dalam struktur memorinya. Menurut Bushman, hal

ini disebabkan karena individu yang memiliki sifat agresi yang tinggi memiliki

jaringan asosiatif kognitif tentang agresi yang lebih banyak dan lebih berkembang

daripada individu yang memiliki sifat agresif rendah. Perbedaan jaringan asosiatif ini

menyebabkan individu dengan sifat agresif yang lebih tinggi lebih cepat mengakses

konsep-konsep agresi, yang dapat dengan mudah teraktivasi dengan hanya adanya

sedikit situasi yang tidak menyenangkan. Selain itu juga, individu dengan sifat agresi

tinggi dapat menginterpretasi hal-hal yang ambigu menjadi terasosiasi dengan konsep

agresi dibandingkan dengan individu yang memiliki sifat agresif rendah. Maksudnya

adalah individu dengan sifat agresif tinggi akan mengartikan hal-hal yang belum pasti

berhubungan dengan agresi, menjadi terkait dengan konsep-konsep agresi yang

dipunyainya.

Salah satu tipe kepribadian adalah big five personality, yaitu suatu pendekatan yang

(22)

tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan

menggunakan analisis faktor. Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion,

agreeableness, conscientiousness, neuoriticism, openness to experiences.

Selain tipe kepribadian, variabel lain yang juga mempengaruhi agresivitas seorang

individu adalah self control yang dimilikinya. Self-control bisa muncul karena adanya

perbedaan dalam pengelolaan emosi, cara mengatasi masalah, tinggi rendahnya

motivasi dan kemampuan mengolah segala potensi dan pengembangan

kompetensinya. Self-control berkaitan dengan bagaimana individu mampu

mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 2000).

Sel-Control dapat diartikan sebagai pengatur proses fisik, psikologis dan perilaku

seseorang. Self-Control juga berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan

emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Dengan adanya kontrol diri yang

baik, akibat yang tidak menyenangkan dari suatu situasi dapat diantisipasi (Luthfi,

2009).

Ketika seseorang memiliki self-control yang tinggi terhadap perubahan-perubahan

yang terjadi akan peran, nilai dan pola hidup yang baru, maka kemungkinan ia

berhasil dalam mengolah emosinya dan menciptakan pola tingkah laku yang positif

bagi lingkungan sekitar dan mengembalikan kebermaknaan hidup pada diri individu

tersebut. Namun sebaliknya, jika seseorang memiliki self-control yang rendah,

(23)

tingkah laku yang negatif bagi lingkungan sekitar. Dengan kata lain, seseorang yang

memiliki self-control rendah akan cenderung untuk melakuakan agresivitas.

Selain tipe kepribadian dan self-control, faktor usia, dan etnis/suku bangsa juga

mempengaruhi agresivitas. Penelitian Parry (1968; dalam Tremblay, 2002) yang

mengkaitkan usia dengan agresivitas menemukan, pengemudi yang lebih muda

mempunyai dorongan untuk melakukan agresi lebih besar dibandingkan pengemudi

yang lebih tua. Wiesenthal, dkk (2000; dalam Tremblay, 2002) juga menemukan

bahwa pengemudi yang lebih muda (usia 18-23) memiliki skor signifikan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan pengemudi yang lebih tua (usia 24-66) pada the Driving

Vengeance Questionnaire.

Pendapat ahli dari ilmu antropologi dan psikologi seperti Segall, Dasen, Berry dan

Poortinga, 1999; dalam Sarwono, 2009) menyebutkan bahwa lingkungan geografis

mempengaruhi agresivitas. Masyarakat yang hidup di pantai/pesisir, menunjukkan

karakter lebih keras daripada masyarakat yang hidup di pedalaman. Dalam penelitian

di Amerika Serikat, diketahui bahwa masyarakat di bagian selatan Amerika Serikat

mempunyai Agresivitas lebih tinggi. Hal ini diketahui melalui angka pembunuhan

yang tinggi (Taylor, Peplau, dan Sears, 2009). Penelitian Dewi Suryani Ekawati

(2007; dalam Nashori, 2008) juga menyatakan ada perbedaan perilaku agresif antara

mahasiswa etnis Jawa dan mahasiswa etnis Batak yang tinggal di Yogyakarta.

Dimana mahasiswa etnis Batak memiliki perilaku agresif yang lebih tinggi dibanding

(24)

Dari uraian diatas, faktor kepribadian big five, self-control, usia, dan etnis/ suku

bangsa dinilai dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membuat prediksi dan

estimasi efektivitas sikap dan perilaku Satpol PP saat sekarang dan akan datang.

Selain itu, bahwa selama ini pembahasan dan penelitian dengan tema permasalahan

agresivitas Satpol PP yang dikaitkan dengan faktor-faktor tersebut belum banyak

diteliti. Atas dasar inilah penulis dengan segala keterbatasan yang ada mencoba

mengungkap pengaruh kepribadian big five, self-control, usia, dan etnis/ suku bangsa

terhadap agresivitas pada Satpol PP.

Dari fenomena-fenomena yang ada dan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah

dilakukan, maka peneliti sangat tertarik untuk meneliti topik agresivitas. Dengan

demikian penelitian ini berjudul Big Five dan

Self-Control terhadap Agresivitas Satuan Polisis Pamong Praja Kota Tangerang

1.2.Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah

1.2.1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Variabel apa sajakah yang mempengaruhi agresivitas satpol pp Kota Tangerang?

2. Dari variabel-variabel yang dianalisis, manakah yang memiliki pengaruh paling

(25)

3. Bagaimanakah model persamaan regresi yang dapat dipakai untuk memprediksi

agresivitas satpol pp Kota Tanngerang?

1.2.2.Pembatasan Masalah

Untuk menghindari peninjauan yang terlalu luas terhadap masalah yang akan diteliti,

maka penulis melakukan pembatasan masalah sebagai berikut:

- Agresivitas merupakan kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif.

Sedangkan perilaku agresif adalah sebagai suatu cara untuk melawan dengan

sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang

lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk

melukai orang lain atau merusak milik orang lain (Baron, 2003).

- Big Five Personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi

untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah

domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor.

Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness,

conscientiousness, neuoriticism, dan openness to experiences.

- Self-control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri (behavior

control), kemampuan untuk mengolah informasi (cognitive control), dan

kemampuan untuk memilih suatu tindakan yang diyakininya (decisional control).

(26)

- Etnis/suku bangsa merupakan suku bangsa dari mana partisipan berasal. Data ini

diperoleh melalui identitas partisipan yang diisikan pada lembar kuesioner.

- Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan perangkat daerah yang

bertugas dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan

peraturan daerah di Kota Tangerang.

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1.Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh tipe

kepribadian, dan self control terhadap agresivitas Satpol PP.

1.3.2. Manfaat

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi

perkembangan ilmu psikologi, khususnya pada ranah psikologi sosial. Yang mana

hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber data tambahan bagi pengembangan studi

tentang agresivitas, self-control dan kepribadian Big Five mana yang lebih kuat

mempengaruhinya.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa, para

pendidik ataupun bagi instansi pemerintah dalam mengetahui kepribadian yang

semestinya dimiliki oleh petugas Satpol PP agar lebih dapat selektif dalam

(27)

1.4. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Di dalam bab ini akan dibahas sejumlah teori yang berkaitan dengan masalah yang akan

diteliti secara sistematis, beserta kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

BAB III : Metodelogi Penelitian

Bab ini meliputi, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, variabel penelitian,

definisi operasional variabel, instrument pengumpulan data, uji validitas, prosedur

penelitian, dan metode analisis data.

BAB IV : Analisis Hasil Penelitian

Dalam bab ini peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian meliputi, gambran

umum responden, analisis deskriptif, dan uji hipotesis.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan meyimpulkan hasil

penelitian. Dalam bab ini juga akan dimuat diskusi dan saran.

(28)

BAB II LANDASAN TEORI

Pada bab ini, akan dibahas mengenai agresivitas, kepribadian big five, self

control, satpol pp, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

2. 1. Agresivitas

2. 1. 1. Pengertian Agresivitas

Buss dan Perry (1992; juga lihat Anderson & Bushman, 2002; Berkowitz, 1995)

mendefinisikan agresivitas sebagai kecenderungan untuk terlibat dalam agresi fisik

dan verbal, permusuhan (Hostility), dan kemarahan (Anger). Dalam kamus Psikologi,

agresivitas adalah kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif (J.P. Chaplin,

2000).

Definisi agresif yang paling sederhana diungkapkan oleh Geen (1998; dalam Taylor,

2009), agresif adalah setiap tindakan yang menyakiti atau melukai orang lain.

Definisi ini mengabaikan niat orang yang melakukan tindakan. Pendekatan ini

didukung oleh pendekatan behavioris atau belajar.

Hal berbeda ditunjukkan oleh David O. Sears (1985; dalam Taylor, 2009),

menurutnya perilaku agresif adalah setiap perilaku yang bertujuan menyakiti orang

lain, dapat juga ditujukan kepada perasaan ingin menyakiti orang lain dalam diri

(29)

tingkah laku yang diarahkan kepada tunjuan untuk menyakiti makhluk hidup lain

yang ingin menghindari perlakuan semacam itu.

Aggressive behavior is relatively stable as an individual characteristic, and because

stable aggression predicts antisocial behavior during adolescence and adulthood for

males at least (Hartup, 2005).

Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa agresivitas merupakan

kecenderungan individu untuk berperilaku agresif, yaitu perilaku yang dimunculkan

seseorang yang sifatnya menyakiti lawannya baik secara fisik maupun psikis, dengan

rasa permusuhan (hostility), dan kemarahan (anger) dengan disertai tujuan maupun

tanpa tujuan.

2. 1. 2. Teori Agresi

Teori agresi memberi gambaran bagaimana perilaku agresi itu muncul. Pendekatan

untuk memberikan penjelasan kemunculan agresi terdiri dari 4 (empat), yaitu sebagai

berikut (Baron & Byrne, 2005):

1. Teori Bawaan

Teori bawaaan menekan pada kemunculan agresi sebagai sesuatu yang inheren/

(30)

a. Agresi sebagai instink

Kelompok ini beranggapan bahwa agresi sebagai dorongan naluriah/instingtif yang

dimiliki seseorang. Setiap orang memilki insting/naluri untuk agresi. Perbedaan

kemunculan agresivitas antar individu dipengaruhi dari control individu tersebut.

Agresi sebagai insting merujuk pada teori psikoanalisa dengan tokoh utama Sigmund

Freud. Dalam teorinya, Freud berpendapat bahwa setiap manusia memiliki insting

hidup dan insting mati. Agresi adalah bentuk dari insting mati (dalam Brehm &

Kassin, 1993).

Tokoh kedua adalah Koward Lorens (1966; dalam Luthfi, 2009) yang menyatakan

bahwa setiap orang memiliki survivial insting, yaitu dorongan/insting untuk

mempertahankan hidup dengan beradaptasi dengan lingkungan.

b. Genetis

Kelompok ini menganggap bahwa agresi adalah sesuatu yang terdapat dalam biologis

seseorang. Ada 2 tokoh yang mengembangkan pandangan ini. Yang pertama adalah

Moyer (dalam Davidoff, 1991) beranggapan bahwa agresivitas merupakan suatu

proses yang ada didalam otak dan saraf pusat. Orang-orang yang memiliki

kecenderungan agresivitas tinggi memiliki struktur dan komponen otak yang berbeda

dengan orang yang agresivitasnya rendah.pokok pikiran lainnya adalah bahwa agresi

terkait dengan hormon testosteron. Semakin tinggi hormone testosterone yang

(31)

Tokoh kedua adalah Lagerspetz (1979, dalam Luthfi, 2009) berpandangan bahwa

agresi adalah karakter atau sifat yang diturunkan dari orang tua ke anak dan

seterusnya. Orang tua yang agresif, maka anaknya akan agresif pula. Dasar pikiran

Lagerspetz adalah teori Mendell.

2. Teori Lingkungan

Agresi merukan perilaku yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Agresi adalah

reaksi terhadap stimulus lingkungan.

a. Frustasi Agresi Klasik

Frustasi agresi klasik menekankan pada munculnya perilaku agresi disebabkan karena

rasa frustasi yang dialami oleh seseorang. Rasa frustasi muncul bila seseorang tidak

dapat mencapai/mendapatkan apa yang didinginkannya. Ketidakberhasilan

mendatangkan frustasi yang kemudian memunculkan agresi. Dollard (1939) dan

Miller (1941) sebagai tokoh utamanya (Luthfi, 2009).

b. Neo Frustasi Agresi

Teori ini muncul sebagai usaha untuk mengevaluasi teori frustasi klasik. Burstein &

Worchel (1962; dalam Luthfi, 2009) menganggap bahwa frustasi mendapatkan

sesuatu tidaklah seta merta memunculkan agresi. Tetapi frustasi yang dimiliki

seseorang akan memicu kemarahannya. Dan kemarahan inilah yang akan

(32)

marah. Dan frustasi baru akan memunculkan marah bila ternyata tidak ada perilaku

lain yang dapat dijadikan alternative.

c. Deprivasi

Berkowitz (1995) memberikan istilah untuk kondisi kekurangan untuk deprivasi.

Keadaan kurang ini bersifat subjektif. Seseorang akan merasa kurang atau merasa

cukup dengan membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain. Kondisi

kekurangan yang bersifat objektif (benar-benar kekurangan) disebut deprivasi

absolute, sedangkan deprivasi relative adalah perasaan kurang yang dimiliki oleh

seseorang. Kondisi yang dianggap tidak sebandingkan atau tidak sama dengan yang

dimiliki oleh orang lain. Dan deprivasi relative lebih berpeluang memunculkan agresi

dibandingkan dengan deprivasi absolute (Myers, 2009). Tetapi yang perlu dicatat

adalah kondisi deprivasi tidak serta merta mendatangkan agresi. Tetapi masih

-hal yang dapat memicu adalah peluang,

kesempatan dan media massa.

d. Belajar Sosial

Teori belajar sosial menekankan pada faktor yang menimbulkan agresi berasal dari

luar. Tokoh utama teori belajar sosial tentang agresi adalah Albert Bandura (1979;

dalam Brehm & Kassin, 1993) yaitu perilaku agresif dipelajari dari model yang

(33)

Selain belajar sosial dengan modeling, reward dan punishment adalah faktor yang

juga memperkuat munculnya agresi. Seseorang yang merasa mendapatkan imbalan/

reward dengan agresi, tentunya dia akan mengulanginya lagi dikesempatan lain.

3. Teori Kognitif

Agresi menurut pendekatan kognisi adalah hasil penggolahan inform di level/ranah

kognisi. Proses kognisi menimbulkan agresi adanya kesalahan dalam melakukan

kategorisasi dan atribusi.

Teori kognitif yang lebih memberikan gambaran munculnya agresi adalah teori

excitation transfer. Teori ini menjelaskan bahwa agresi muncul karena interpretasi

terhadap stimulus atau kejadian. Kejadian yang akan memunculkan agresi adalah

kejadian yang interpretasi/atribusi sebagai awal dari sebuah kecelakaan atau kerugian.

Sebaliknya, kalau suatu kejadian yang menimpa seseorang diinterpretasi sebagai hal

4. Teori Afektif (GAAM; General Affective Aggression Model)

Dikemukakan oleh Anderson dkk (2002). Teori GAAM (General Affective

Aggression Model) adalah teori yang mencoba menjelaskan agresi dari sisi internal

maupun eksternal. Agresi akan muncul bila kondisi-kondisi yang berperan muncul

secara bersamaan. Faktor-faktor/kondisi tersebut adalah faktor internal sebagai

individual differences, yang meliputi trait, attitude, dan belief tentang kekerasan,

(34)

Sedangkan faktor eksternal meliputi situasi-situasi yang mendatangkan frustasi

seperti serangan dari pihak lain, munculnya model/provokator, keberadaan

cue/pencetus (seperti keberadaan senjata) dan ketidaknyamanan yang dirasakan

secara subjektif.

Agresi baru akan muncul bila seluruh faktor-faktor diatan muncul secara bersamaan.

Bila salah satu faktor ternyata tidak hadir, besar kemungkinan agresi tidak akan

[image:34.612.121.536.57.481.2]

dimunculkan seseorang.

Gambar 2.1 Proses episodic dari The General Aggression Model

(Anderson & Bushman, 2002)

2. 1. 3. Bentuk-bentuk Agresivitas

Bentuk agresivitas mengacu pada perilaku agresi. Buss dan Perry (1992)

mengelompokkan bentuk agresi tersebut kedalam empat bentuk agresi, yaitu agresi

(35)

kebencian (hostility). Keempat bentuk agresivitas ini mewakili komponen perilaku

manusia, yaitu komponen motorik, afektif dan kognitif.

a. Agresi Fisik, merupakan komponen dari perilaku motorik seperti melukai dan

menyakiti orang lain secara fisik misalnya dengan menyerang dan memukul.

b. Agresi Verbal, merupakan komponen motorik seperti melukai dan menyakiti orang

lain, hanya saja melalui verbalisasi, misalnya berdebat, menunjukkan

ketidaksukaan dari ketidaksetujuan pada orang lain, kadang kala sering

menyebarkan gossip.

c. Sikap Permusuhan, merupakan perwakilan dari komponen kognitif seperti perasaan

benci dan curiga pada orang lain, merasa kehidupan yang dialami tidak adil dan iri

hati.

d. Rasa Marah, merupakan emosi atau afektif seperti keterbangkitan dan kesiapan

psikologis untuk bersikap agresif, misalkan mudah kesal, hilang kesabaran dan

tidak mampu mengontrol rasa marah.

Taylor & Peplau (2009) membagi agresi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Prosoial Aggression (Agresi Prososial)

Agresi prososial adalah tindakan agresi yang sebenarnya diatur atau disetujui oleh

(36)

2. Antisocial Aggression (Agresi Antisosial)

Agresi antisosial adalah tindakan melukai orang lain dimana tindakan itu secara

normative dilarang oleh norma masyarakat, seperti orang yang mempunyai

kekuasaan bertindak sewenang-wenang terhadap warga miskin dan tak berdaya.

3. Sanctioned Aggression (Agresi yang disetujui)

Jenis agresi ini termasuk tindakan yang tidak diharuskan oleh norma sosial tetapi

ada di dalam batas-batasnya. Tindakan ini tidak melanggar standar moral yang

diterima luas. Misalnya, pelatih yang menghukum pemain tim dengan

menyuruhnya push-up biasanya dianggap bertindak sesuai dengan haknya dan

masih dalam batas yang diterima. Demikian juga wanita yang menyerang

pemerkosa.

Bond, dkk (1997) membagi agresi menjadi :

1. Affective Aggression atau Hostile Aggression (rasa benci), yaitu keungkapan

kemarahan yang ditandai dengan emosi yang tinggi. Agresi ini disebut juga

dengan agresi jenis panas.

2. Instrumental Aggression (agresi sebagai sarana mencapai tujuan), yaitu jenis

agresi ini tidak disertai emosi, misalnya polisi yang menembak kaki tahanan yang

(37)

2. 1. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas

Taylor, Peplau, dan Sears (1997) menyebutkan bahwa perilaku agresif disebabkan

oleh dua faktor utama yaitu adanya serangan serta frustasi. Serangan merupakan salah

satu faktor yang paling sering menjadi penyebab agresif dan muncul dalam bentuk

serangan verbal atau serangan fisik. Faktor penyebab agresi selanjutnya adalah

frustasi. Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu hal dalam mencapai suatu

tujuan, kebutuhan, keinginan, penghargaan atau tindakan tertentu.

Koeswara (1988; dalam Luthfi, 2009) menyebutkan bahwa faktor penyebab

seseorang berperilaku agresif bermacam-macam, sehingga dapat dikelompokkan

menjadi faktor internal (frustasi, deindividuasi, stres, dan kepribadian) dan faktor

eksternal (kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan

obat-obatan, suhu udara, media massa, budaya), yaitu:

1. Faktor Internal

a. Frustasi yakni suatu situasi yang menghambat individu dalam usaha mencapai

tujuan tertentu yang diinginkannya, dari frustasi maka akan timbul

perasaan-perasaan agresif

b. Deindividuasi adalah suatu keadaan dimana individu kehilangan kesadaran atas

dirinya (self awareness) yang diakibatkan oleh situasi yang merasa tertekan.

(38)

c. Stress, dalam istilah psikologi stress dikatakan sebagai stimulus, seperti ketakutan,

kesakitan, yang mengganggu atau menghambat mekanisme-mekanisme fisiologis

yang normal dari organisme.

d. Kepribadian. Orang dengan kepribadian otoriter memiliki kecenderungan agresi

yang lebih tinggi. Demikian juga halnya dengan orang-orang yang bertemperamen

pemarah, memiliki kecenderungan agresi lebih tinggi dibandingkan temperamen

bukan pemarah.

2. Faktor Eksternal

a. Kekuasaan dan kepatuhan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan yang

cenderung disalahgunakan dan penyalahgunaan tersebut merubah kekuasaan

menjadi kekuasaan yang memaksa, yang memiliki efek langsung maupun tidak

langsung terhadap perilaku agresif, seperti yang ditunjukkan oleh Hitler,

Mussolini, Stalin dan sejumlah besar manipulator kekuasaan lainnya.

b. Efek senjata. Dalam penelitian Berkowitz dan Lepage (1967; dalam Berkowitz,

1995) yang menguji tentang efek senjata api terhadap kecenderungan perilaku

agresi pada individu akan menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang

berhubungan dengan senjata api cenderung menjadi lebih agresif dari pada

individu yang tidak berhubungan dengan senjata api.

c. Provokasi yaitu oleh pelaku agresi provokasi dilihat sebagai ancaman yang harus

dihadapi dengan respon agersif untuk meniadakan bahaya yang diisaratkan oleh

(39)

d. Akohol dan obat-obatan. Ada petunjuk bahwa agresi berhubungan dengan kadar

alkhohol dan obat-obatan. Subyek yang menerima alkohol dalam takaran-takaran

yang tinggi menunjukkan taraf agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

subjek yang tidak menerima alkhohol atau menerima alkhohol dalam taraf yang

rendah. Alkhohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf

agresivitas juga tinggi (Myers, 2009).

e. Suhu, polusi udara, bau busuk dan kebisingan dilaporkan dapat menimbulkan

perilaku agresi. Clarsmith dan Anderson (1979; dalam Iska, 2008), menyimpulkan

bahwa musim panas terjadi lebih banyak tingkah laku agresif karena musim panas

hari-hari lebih panjang serta individu memiliki keleluasaan bertindak yang lebih

besar ketimbang pada musim-musim yang lain.

f. Media massa. Film dan TV dengan kekerasan dapat menimbulkjan agresi pada

seorang anak, makin banyak menonton kekerasan dalam acara TV makin besar

tingkat agresif mereka terhadap orang lain, makin lama mereka menonton, makin

kuat hubungannya tersebut.

g. Budaya. Beberapa daerah mengembangkan budaya kekerasan/agresi. Orang yang

lebih agresif mendapatkan penghargaan sosial yang lebih tinggi dalam suatu

(40)

2. 2. Kepribadian Big Five

2. 2. 1. Pengertian Kepribadian Big Five

Allport (1937; dalam Ghufron 2010) mendefinisikan kepribadian sebagai sebuah

organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan

karakteristik perilaku dan pikirannya. Allport menemukan ribuan kata sifat yang bisa

menggambarkan kepribadian dalam bahasa Inggris, tetapi ia mengasumsikan daftar

tersebut harus dikurangi dengan menghilangkan istilah yang memmilki arti yang

sama. Cattell kemudian mengembangkan metode leksikal (berdasarkan bahasa).

Sejumlah trait yang Allport temukan dikelompokkan, dinilai, dan dihitung

berdasarkan metode analisis faktor oleh Cattell (1966; dalam Friedman 2008), yang

mengemukakan adanya 16 trait kepribadian dasar. Dari analisis inilah mulai muncul

berbagai penelitian mengenai trait, dan kebanyakan penelitian menyimpulkan bahwa

pendekatan trait terhadap kepribadian dapat dilihat melalui lima dimensi, yang biasa

disebut big five personality (Friedman, 2008).

Secara modern bentuk dari taksonomi big five, diukur dengan dua pendekatan utama.

Cara pertama dengan berdasar pada self rating pada trait kata sifat tunggal, seperti

talkactive, warm, moody, dsb. Pendekatan lain dengan self rating pada item-item

(41)

2. 2. 2. Trait-Trait dalam Big Five Personality

Trait-trait dalam domain-domain dari Big Five Personality Costa & McCrae (1997;

dalam McCrae & John, tanpa tahun) :

1. Neuroticism (N)

Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang

negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional mereka labil,

seperti juga teman-temannya yang lain, mereka juga mengubah perhatian menjadi

sesuatu yang berlawanan. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah

cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan

seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi. Selain memiliki kesulitan

dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self

esteem yang rendah. Individu yang memiliki nilai atau skor yang tinggi di

neuroticism adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah,

depresi, dan memiliki kecenderungan emotionally reactive. Facet yang terdapat dalam

Neuroticism adalah sebagai berikut:

Anxiety ; Kecenderungan untuk gelisah, penuh ketakutan, merasa kuatir, gugup

dan tegang

Hostility ; Kecenderungan untuk mengalami amarah, frustasi dan penuh kebencian

Depression ; Kecenderungan untuk mengalami depresi pada individu normal

Self-consciousness ; Individu yang menunjukkan emosi malu, merasa tidak

(42)

Impulsiveness ; Tidak mampu mengotrol keinginan yang berlebihan atau dorongan

untuk melakukan sesuatu

Vulnerability ; Kecenderungan untuk tidak mampu menghadapi stress, bergantung

pada orang lain, mudah menyerah dan panik bila menghadapi sesuatu yang datang

mendadak.

2. Extraversion (E)

Faktor kedua adalah extraversion, atau bisa juga disebut faktor dominan-patuh

(dominance-submissiveness). Faktor ini merupakan dimensi yang penting dalam

kepribadian, dimana extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial.

Menurut penelitian, seseorang yang memiliki faktor extraversion yang tinggi, akan

mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang

dibandingkan dengan seseorang dengan tingkat extraversion yang rendah. Dalam

berinteraksi, mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan keintiman.

Peergroup mereka juga dianggap sebagai orang-orang yang ramah, fun-loving,

affectionate, dan talkative.

Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi,

senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal,

ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain. Extraversion memiliki tingkat

motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga

dominan dalam lingkungannya. Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari

(43)

lebih cepat berteman daripada seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang

rendah. Extraversion mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup,

tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan tingkat ekstraversion

rendah cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya. Facet yang

terdapat dalam extraversion adalah sebagai berikut:

Warmth ; Kecenderungan untuk mudah bergaul dan membagi kasih sayang

Gregariousness ; Kecenderungan untuk banyak berteman dan berinteraksi dengan

orang banyak

Activity ; Individu yang sering mengikuti berbagai kegiatan, memiliki energi dan

semangat yang tinggi

Assertiveness ; Individu yang cenderung tegas

Excitement-seeking ; Individu yang suka mencari sensasi dan suka mengambil

resiko

Positive emotion ; Kecenderungan untuk mengalami emosi-emosi yang positif

seperti bahagia, cinta, dan kegembiraan.

3. Openness to Experience (O)

Faktor openness terhadap pengalaman merupakan faktor yang paling sulit untuk

dideskripsikan, karena faktor ini tidak sejalan dengan bahasa yang digunakan tidak

seperti halnya faktor-faktor yang lain. Openness mengacu pada bagaimana seseorang

(44)

Openness mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi,

menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran

dan impulsivitas. Seseorang dengan tingkat openness yang tinggi digambarkan

sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi, broadmindedness, dan a world of

beauty. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness yang rendah memiliki

nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama, kemudian skor openess yang

rendah juga menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit,

konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.

Openness dapat membangun pertumbuhan pribadi. Pencapaian kreatifitas lebih

banyak pada orang yang memiliki tingkat openness yang tinggi dan tingkat

agreeableness yang rendah. Seseorang yang kreatif, memiliki rasa ingin tahu, atau

terbuka terhadap pengalaman lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk suatu

masalah. Facet yang terdapat dalam Opennes to Experience adalah sebagai berikut:

Fantasy ; Individu yang memiliki imajinasi yang tinggi dan aktif

Aesthetic ; Individu yang memiliki apresiasi yang tinggi terhadap seni dan

keindahan

Feelings ; Individu yang menyadari dan menyelami emosi dan perasannya sendiri

Action ; Individu yang berkeinginan untuk mencoba hal-hal baru

Ideas ; Berpikiran terbuka dan mau menyadari ide baru dan tidak konvensional

Values ; Kesiapan seseorang untuk menguji ulang nilai-nilai social politik dan

(45)

4. Agreeableness (A)

Agreebleness dapat disebut juga social adaptibility atau likability yang

mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah,

menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain.

Berdasarkan value survey, seseorang yang memiliki skor agreeableness yang tinggi

digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value suka membantu, forgiving, dan

penyayang. Sedangkan orang-orang dengan tingkat agreeableness yang rendah

cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif.

Namun, ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal orang yang

memiliki tingkat agreeableness yang tinggi, dimana ketika berhadapan dengan

konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun. Selain itu, menghindar dari

usaha langsung dalam menyatakan kekuatan sebagai usaha untuk memutuskan

konflik dengan orang lain merupakan salah satu ciri dari seseorang yang memiliki

tingkat aggreeableness yang tinggi. Pria yang memiliki tingkat agreeableness yang

tinggi dengan penggunaan power yang rendah, akan lebih menunjukan kekuatan jika

dibandingkan dengan wanita. Facet agreeableness adalah sebagai berikut:

Trust ; Tingkat kepercayaan individu terhadap orang lain

Straight-forwardness ; Individu yang terus terang, sungguh-sungguh dalam

menyatakan sesuatu

Altruism ; Individu yang murah hati dan memiliki keinginan untuk membantu

(46)

Compliance ; Karakteristik dari reaksi terhadap konflik interpersonal

Modesty ; Individu yang sederhana dan rendah hati

Tender-mindedness ; Simpatik dan peduli terhadap orang lain.

5. Conscientiousness (C)

Conscientiousness dapat disebut juga dependability, impulse control, dan will to

achieve, yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang.

Seseorang yang conscientious memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Orang-orang

tersebut biasanya digambarkan oleh teman-teman mereka sebagai seseorang yang

well-organize, tepat waktu, dan ambisius.

Conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir

sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana,

terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Disisi negatifnya trait kepribadian ini

menjadi sangat perfeksionis, kompulsif, workaholic, membosankan. Tingkat

conscientiousness yang rendah menunjukan sikap ceroboh, tidak terarah serta mudah

teralih perhatiannya. Facet conscientiousness adalah sebagai berikut:

Competence ; Kesanggupan, efektifitas dan kebijaksanaan dalam melakukan

sesuatu

Order ; Kemampuan mengorganisasi

Dutifulness ; Memegang erat prinsip hidup

(47)

Self-discipline ; Mampu mengatur diri sendiri

Deliberation ; Selalu berpikir dahulu sebelum bertindak

Berikut ini merupakan gambaran karakteristik individu ketika diukur dengan skor

tinggi rendah (Pervin, 2005):

Skala Trait Karakteristik Skor

Tinggi Rendah

Neuroticism (N)

Menggambarkan stabilitas emosional dengan cakupan-cakupan perasaan negatif yang kuat termasuk kecemasan, kesedihan, irritability dan nervous tension.

Cemas, gugup, emosional, merasa tidak aman, merasa tidak mampu, mudah panik

Tenang, santai, merasa aman, puas terhadap dirinya, tidak emosional, tabah.

Ekstraversion (E) Mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal, tingkatan aktivitas, kebutuhan akan dorongan, dan kapasitas dan kesenangan.

Agreeableness (A) Mengukur kualitas dari apa yang

dilakukan dengan orang lain dan apa yang dilakukan terhadap orang lain.

Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, aktif, banyak bicara, orientasi pada hubungan sesama, optimis, fun-loving, affectionate. Lembut hati, dapat dipercaya, suka menolong, pemaaf, penurut.

Tidak ramah, bersahaja, suka menyendiri, orientasi pada tugas, pendiam. Sinis, kasar, curiga, tidak kooperatif, pendendam, kejam, manipulatif.

Openness (O) Gambaran keluasan, kedalaman, dan kompleksitas mental individu dan pengalamannya.

Ingin tahu, minat luas, kreatif, original, imajinatif, untraditional.

Konvensional, sederhana, minat sempit, tidak artistik, tidak analitis.

Conscientiousness(C)

Mendeskripsikan perilaku yang diarahkan pada tugas dan tujuan dan kontrol dorongan secara sosial.

Teratur, pekerja keras, dapat diandalkan, disiplin, tepat waktu, rapi, hati-hati.

Tanpa tujuan, tidak dapat diandalkan, malas, sembrono, lalai, mudah

(48)

2. 3. Self-Control

2. 3. 1. Definisi Self-Control

Averill (1973) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan untuk membimbing

tingkah laku sendiri (behavior control), kemampuan untuk mengolah informasi

(cognitive control), dan kemampuan untuk memilih suatu tindakan yang diyakininya

(decisional control).

Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri (self-control) sebagai

pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain

serangkaian proses yang mebentuk dirinya sendiri. Golfried dan Merbaum (dalam

Lazaruz, 1976) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk

menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat

membawa individu kearah konsekuensi positif. Kontrol diri juga menggambarkan

keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku

yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang

diinginkan.

Dalam Chaplin (2000), self-control diartikan sebagai kemampuan untuk membimbing

tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau

tingkah laku impulsive.

Synder dan Ganested (1986; dalam Ghufron, 2010) mengatakan bahwa konsep

(49)

pribadi dengan lingkungan masyarakat dalam mengatur kesan masyarakat yang sesuai

dengan isyarat situasional dalam bersikap dan berpendirian yang efektif.

Hurlock (2000) menyebutkan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana

individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Menurut

konsep ilmiah, pengendalian emosi berarti mengarahkan energy emosi ke saluran

ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara social. Konsep ilmiah

menitikberatkan pada pengendalian. Tetapi, tidak sama artinya dengan penekanan.

Ada dua criteria yang menentukan apakah kontrol emosi dapat diterima secara social

atau tidak. Kontrol emosi dapat diterima bila reaksi masyarakat terhadap

pengendalian emosi adalah positif. Namun, reaksi positif saja tidaklah cukup

karenanya perlu diperhatihkan kriteria lain, yaitu efek yang muncul setelah

mengontrol emosi terhadap kondisi fisik dan psikis. Kontrol emosi seharusnya tidak

membahyakan fisik dan psikis individu. Artinya, dengan mengontrol emosi kondisi

fisik dan psikis individu harus membaik.

Hurlock (2000) menyebutkan tiga kriteria emosi, yaitu dapat melakukan kontrol diri

yang bisa diterima secara sosial, dapat memahami seberapa banyak kontrol yang

dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarkat,

dan dapat menilai secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara beraksi

(50)

Berdasarkan penjelasan diatas, maka kontrol diri dapat diartikan sebagai kemampuan

untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku,

kemampuan untuk mengolah informasi, dan kemampuan untuk memilih hasil atau

suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.

2. 3. 2. Aspek-Aspek Self-control

Averill (1973) menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu :

1. Kontrol perilaku (behavior control)

Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat secara

langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.

Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu:

a. Mengatur pelaksanaan (regulated administration), merupakan kemampuan

individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan.

Apakah dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan

dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakn sumber eksternal.

b. Kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability), merupakan

kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak

dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah

atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggangbwaktu diantara rangkaian

stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya

(51)

2. Kontrol kognitif (cognitive control)

Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang

tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu

kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi

tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu:

a. Memperoleh informasi (information gain), maksudnya dengan informasi yang

dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan,

individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan.

b. Melakukan penilaian (appraisal), berarti individu berusaha menilai dan

menafsirkan suatu keadaaan atau peristiwa dengan cara memerhatikan segi-segi

positif secara subjektif.

3. Mengontrol keputusan (decisional control)

Mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau

suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri

dalam menentukan pilihan akan berfungsi, baik dengan adanya suatu kesempatan,

kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih kemungkinan

(52)

Menurut Block dan Block (1952; dalam Lazarus, 1991) ada tiga jenis kualitas kontrol

diri, yaitu:

1. Over Control, merupakan kontrol diri yang dilakuakan oleh individu secara

berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam bereaksi

terhadap stimulus.

2. Under Control, merupakan suatu kecenderuangan individu untuk melepaskan

impulsivitas dengan bebas tapa perhitungan yang masak.

3. Appropriate Control, merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan

impuls secara tepat.

2. 3. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Sebagaimana faktor psikologis lainnya, kontrol diri dipengaruhi oleh faktor internal

(dari diri individu) dan faktor ekternal (lingkungan individu).

1. Faktor Internal

Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah

usia seseorang, maka semakin baik kemampuan mengontrool diri seseorang itu.

2. Faktor Ekternal

Faktor ekternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga, terutama orang tua

menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Hasil penelitian

Nasichah (2000; dalam Ghufron, 2010) menunjukkan bahwa persepsi remaja

(53)

tingginya kemampuan mengontrol dirinya. Oleh sebab itu, bila orang tua menerapkan

sikap disiplin kepada anaknya secara intens sejak dini, dan orang tua tetap konsisten

terhadap semua konsekuensi yang dilakukan anak bila ia menyimpang dari yang

sudah ditetapkan, maka sikap kekonsistenan ini akan didinternalisasi anak. Di

kemudian akan menjadi kontrol diri baginya.

2.4. Kerangka Berfikir

Agresivitas dapat dilakukan oleh siapa saja, bukan hanya masyarakat sipil biasa.

Bahkan pegawai pemerintah penegak hukum (seperti Satpol PP) sekalipun

berkecenderungan melakukan perilaku agresif. Tindakan ini biasanya dilakukan

satpol pp saat menjalankan tugasnya. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah RI

no.32 tahun 2004, standar pelayanan Satpol PP meliputi: pelaksanaan ketentraman,

pelaksanaan ketertiban, pelaksanaan penyidikan, pelaksanaan penindakan,

pengawasan pelaksanaan perda, pelaksanaan operasi pembongkaran, penghentian dan

penutupan. Namun, tampaknya standar pelayanan ini belum dipahami betul sehingga

perilaku agresi masih sering dilakukan oleh oknum satpol pp.

Karena itu, menjadi aneh bila Satpol PP yang sudah memiliki peraturan tetap namun

masih terjadi tindakan agesif. Hal ini memunculkan pertanyaan, faktor-faktor apa saja

yang mempengaruhi agresivitas Satpol PP?

Setidaknya terdapat beberapa faktor munculnya agresivitas, antara lain faktor internal

(54)

gender, dan kepribadian. Faktor eksternal yaitu: kekuasaan dan kepatuhan, efek

senjata, provokasi, alcohol dan obat-obatan, suhu udara, polusi udara, media, dan

budaya (Luthfi, 2009; Baron&Byrne, 2005; Krahe, 2005).

Penelitian-penelitian tentang penyebab munculnya perilaku agresif telah banyak

dilakukan, diantaranya adalah penelitian Glass (dalam Baron & Byrne, 2005) yang

menyimpulkan bahwa faktor kepribadian berperan penting dalam perilaku agresif.

Menurutnya bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif dapat dilihat

dari kepribadiannya. Individu yang memilki kepribadian tipe A cenderung lebih

agresif dalam banyak situasi daripada individu dengan kepribadian tipe B.

Penelitian yang dilakukan oleh Juan J. Bartemi (2005) mengenai agresivitas dan

kepribadian big five yang dihubungkan dengan prestasi belajar siswa, menyimpulkan

bahwa adanya hubungan yang signifikan antara agresivitas dan kepribadian big five

dengan prestasi belajar pada siswa tingkat delapan (setara dengan SMP).

Kepribadian itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah organisasi dinamis di dalam

sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan

pikirannya (Allport, 1937; dalam Ghufron, 2010). Kepribadian seseorang

mempengaruhi cara individu dalam beraksi, berpikir, merasa, berinteraksi, dan

beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam bentuk perilaku agresif (Larsen &

Buss, 2005). Mischel (1968; dalam Friedman, 2008) menyimpulkan bahwa

(55)

adalah konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe

adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait,

tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar dibandingkan trait.

Faktor kepribadian adalah faktor manusia yang dianggap cukup berperan dalam

perilaku agresif, karena kepribadian merupakan salah satu variabel person yang dapat

menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Kepribadian dapat mempengaruhi kognisi

dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di dalam memori (Anderson &

Bushman, 2002). Individu yang memiliki sifat agresif hanya akan membutuhkan

sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep

agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses dan lebih siap untuk teraktivasi

pada situasi lain. Kepribadian juga dapat mengaktivasi konsep-konsep yang

berhubungan dengan agresi di dalam memori yang dapat mempengaruhi cognition,

affect, dan arrousal yang dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Moyer

(dalam Luthfi, 2009) beranggapan bahwa agresivitas merupakan suatu proses yang

ada didalam otak dan saraf pusat. Orang-orang yang memiliki kecenderungan

agresivitas tinggi memiliki struktur dan komponen otak yang berbeda dengan orang

yang agresivitasnya rendah.

Salah satu tipe kepribadian adalah big five personality, yaitu suatu pendekatan yang

digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang

(56)

menggunakan analisis faktor. Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion,

agreeableness, conscientiousness, neuoriticism, openness to experiences.

Neuroticism menggambarkan stabilitas emosional dengan cakupan-cakupan perasaan

negatif yang kuat termasuk kecemasan, kesedihan, irritability dan nervous tension.

Ekstraversion mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal,

tingkatan aktivitas, kebutuhan akan dorongan, dan kapasitas dan kesenangan.

Openness mengukur gambaran keluasan, kedalaman, dan kompleksitas mental

individu dan pengalamannya. Agreeableness mengukur kualitas dari apa yang

dilaku

Gambar

Gambar 2.1 Proses episodic dari The General Aggression Model
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berfikir
Tabel 3.2 Blue Print Skala Big Five
Tabel 3.3 Blue Print Skala Self control
+7

Referensi

Dokumen terkait

TIPE KEPRIBADIAN BIG FIVE DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT PADA KARYAWAN DI KANTOR PUSAT SEBUAH PERUSAHAAN PENYEDIA JASA TRANSPORTASI DARAT DI KOTA BANDUNG Universitas Pendidikan Indonesia |

multiple regression. Hasil penelitian ini adalah adanya hubungan tipe kepribadian neuroticism, agreeableness, dan conscientiousness dengan problem-focused coping, dan adanya

Hasil analisa data menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan OCB ditinjau dari jenis kepribadian big-five (F = 1.138, p > 0.05), akan tetapi terdapat perbedaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tipe kepribadian berdasarkan Big Five Personality dengan kecenderungan Nomophobia pada mahasiswa

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya penelitian ini dapat terselesaikan dengan judul “Pengaruh Tipe Kepribadian Locus of Control dan Self

Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan tipe kepribadian big five dengan kepercayaan diri berbicara di depan umum pada mahasiswa semester

Berdasarkan hasil koefisien korelasi antara burnout dan Big Five Personality pada karyawan yang menjalani WFH di era pandemi, terdapat hubungan antara burnout dengan dimensi