SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA
TANGERANG
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun oleh:
Al-
ahmatillah
NIM: 106070002189
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
iv “Allah SWT Mengikuti Prasangka Hambanya”
“Kehidupan ini ibarat jalan satu arah, seberapa bannyakpun perubahan rute yang anda tempuh, tidak satupun membawa anda kembali. Begitu anda mengetahui dan menerima hal
itu, kehidupan akan tampak jauh lebih sederhana.”
(Isabel Moore)
“Jika semua yang kita inginkan harus kita miliki, lantas darimana kita bisa belajar ikhlas? Jika semua yang kita mau harus terpenuhi, lantas darimana kita bisa belajar sabar? Jika doa
kita langsung dikabulkan, bagaimana kita memaksimalkan kemampuan yang diberikan pada kita? Jika kehidupan kita selalu bahagia, darimana kita dapat mengenal Allah dekat?
Yakinlah bahwa segala kektentuan-Nya adalah yang TERBAIK untuk kita..”
PERSEMBAHAN:
v (C).Al-Jum’atu Rahmatillah
(D).Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five dan Self-Control Terhadap Agresivitas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang
(E).110 hal, 38 tabel, 10 gambar, lampiran
(F).Agresivitas dapat dilakukan oleh siapa saja. Bahkan pegawai pemerintah penegak hukum (seperti Satpol PP) berkecenderungan melakukan perilaku agresif. Hal ini terlihat dari beberapa pemberitaan tentang Satpol PP yang kerap kali berlaku anarkis. Perilaku tersebut tidak seharusnya dilakukan oleh Satpol PP, karena tugas utama Satpol PP yaitu melindungi dan mengayomi masyarakat. Namun mengapa agresivitas masih sering terjadi. Faktor yang mungkin menjadi penyebabnya adalah kepribadian masing-masing individu. Dimana individu yang memiliki kepribadian agresif akan lebih mudah memunculkannya dalam banyak situasi dibanding individu yang memiliki sifat agresif yang rendah. Salah satu tipe kepribadian adalah big five personality, yaitu suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yaitu neuoriticism, extraversion, openness to experiences, agreeableness, conscientiousneess. Selain itu, self control juga dapat mempengaruhi agresivitas seseorang. Self-control adalah kemampuan dalam mengatur tingkah laku, mengatur kognisi, dan membuat keputusan. Jika self control tinggi, maka kemungkinan individu itu mampu dalam mengendalikan emosi dan mampu menciptakan pola tingkah laku yang positif bagi lingkungannya juga dirinya, dan sebaliknya. Faktor usia, etnis juga dapat mempengaruhi munculnya agresivitas.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh trait big five, dimensi self control, usia, etnis terhadap agresivitas satpol pp Kota Tangerang.
vi
berbagai pelatihan seperti pelatihan peningkatan diri dan meminimalisir dalam merekruit anggota dengan kepribadian extraversion.
vii
segala rahmat dan karunia yang diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five dan Self Control
terhadap Agresivitas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang.” Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rosul tauladan, Nabi Muhammad SAW, kepada
keluarga, sahabat, dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya.
Penulisan laporan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama pengerjaan skripsi ini, penulis dihadapkan dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan, dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berarti bagi penulis. Penulis menyadari tidaklah mudah untuk
menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan, bimbingan, masukan, dorongan dan do’a dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi. Untuk itu dengan
segala ketulusan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Jahja Umar, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan arahan dan nasehat-nasehatnya.
2. Dra. Hj. Fadhilah Suralaga, M.Si, selaku Pembantu Dekan bagian Akademik, yang telah memberikan semangat dan masukan guna menyelesaikan skripsi ini.
3. Bambang Suryadi, Ph.D sebagai dosen penguji I, Ikhwan Luthfi, M.Psi sebagai dosen pembimbing I dan penguji II, atas motivasi, arahan, bimbingan dan masukan yang sangat membangun. Bapak Gazi Saloom, M.Si sebagai pembimbing II, yang dengan sabar dan
kebesaran hati dalam membimbing penulis. Terima kasih telah meluangkan waktu Bapak berdua untuk penulis agar dapat mewujudkan skripsi ini.
4. H. Alwani sebagai Kepala Bagian Perencanaan Operasi di Kantor Satpol PP Kota Tangerang dan para Stafnya yang telah memberikan informasi dan data yang dibutuhkan oleh penulis serta kesediaan waktunya untuk mendampingi penulis dalam menyebarkan kuesioner.
5. Ibunda dan Ayahanda tercinta, terimakasih atas doa yang tak henti-hentinya di panjatkan
viii
6. Teman-teman Kelompok Pencinta Alam (KPA) Arkadia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan inspirasi, pengalaman yang berharga dan berbagai cerita seru yang
unik dan lucu. Kebersamaan seperti awan yang berarak. Setiyawan, kekasihku tercinta, terimakasih atas motivasi dan dukungan yang selalu diberikan agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga atas kebersamaan yang takkan pernah dilupakan.
7. Sahabatku, Rikha, Ana, terimakasih atas dukungan, motivasi dan tumpangannya selama ini. Tanpamu skripsi ini tidak akan selesai dengan cepat. Mas Zaman, Zulfa, Baiti, Erlinda, ka Ega, Eja, Nur’aini, Kartika, Qiki terimakasih untuk motivasi, dan dukungannya.
8. Adiyo, ka Via, terimakasih telah banyak membantu penulis dalam menganalisa data. Teman-teman Psikologi UIN Jakarta khususnya kelas A angkatan 2006 dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terimakasih telah memberikan semangat dan dukungannya kepada penulis.
Hanya doa dan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya yang dapat penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu ataupun terlibat dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Tidak ada manusia yang sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak guna perbaikan untuk masa yang akan datang. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 10 Juni 2011
ix
Lembar Pengesahan ... ii
Lembar Pernyataan Orisinalitas... iii
Motto dan Persembahan ... iv
Abstrak ... v
Kata Pengantarv ... ii
Daftar Isi ... ix
Daftar Tabel ... xii
Daftar Gambar ... xiv
BAB I Pendahuluan ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ... 9
1.2.1 Perumusan Masalah ... 9
1.2.2 Pembatasan Masalah ... 10
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
1.3.1 Tujuan ... 11
1.3.2 Manfaat ... 11
1.4 Sistematika Penulisan... 12
BAB II Landasan Teori ... 13
2.1 Agresivitas ... 13
2.1.1 Pengertian Agresivitas ... 13
2.1.2 Teori Agresi ... 14
2.1.3 Bentuk-bentuk Agresivitas ... 19
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas ... 22
2.2 Kepribadian Big Five ... 25
2.2.1 Pengertian Kepribadian Big Five ... 25
x
2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri ... 37
2.4 Kerangka Berfikir ... 38
2.5 Hipotesis Penelitian... 44
BAB III Metode Penelitian ... 46
3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 46
3.1.1 Populasi ... 46
3.1.2 Sampel Penelitian ... 46
3.2 Variabel Penelitian ... 47
3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 48
3.4 Instrumen Pengumpulan Data ... 49
3.5 Uji Validitas ... 54
3.5.1 Variabel Konstruk Agresivitas ... 56
3.5.2 Validitas Konstruk Kepribadian Big Five ... 58
3.5.3 Validitas Konstruk Self Control ... 69
3.6 Prosedur Penelitian ... 75
3.7 Metode Analisis Data ... 75
BAB IV Hasil Penelitian ... 79
4.1 Gambaran Umum Responden ... 79
4.1.1 Responden Berdasarkan Usia ... 79
4.1.2 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 80
4.1.3 Responden Berdasarkan Etnis... 81
4.1.4 Responden Berdasarkan Masa Kerja ... 81
4.2 Analisis Deskriptif ... 82
4.2.1 Kategori Tipe Kepribadian ... 82
4.2.2 Kategori Self Control... 83
4.2.3 Kategori Agresivitas ... 85
xi
5.1 Kesimpulan ... 98
5.2 Diskusi ... 99
5.3 Saran ... 105
5.3.1 Saran Teoritis ... 105
5.3.2 Saran Praktis ... 106
Daftar Pustaka ... 107
xii
Tabel 3.3 Blue Print Skala Self Control Tabel 3.4 Item Valid Agresivitas
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Neuroticism
Tabel 3.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Neuroticism
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Extraversion
Tabel 3.8 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Extraversion
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Openness
Tabel 3.10 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Openness Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Agreeableness
Tabel 3.12 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Agreeableness
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Conscientiousness
Tabel 3.14 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Conscientiousness
Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Behavior Control
Tabel 3.16 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Behavior Control Tabel 3.17 Muatan Faktor Item Cognitve Control
Tabel 3.18 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Cognitive Control Tabel 3.19 Muatan Faktor Item Decisional Control
Tabel 3.20 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Decisional Control Tabel 4.1 Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Usia
xiii
Tabel 4.6 Kategori Self Control Tabel 4.7 Self Control
Tabel 4.8 Kategori Agresivitas Tabel 4.9 Anova
Tabel 4.10 Model Summary Tabel 4.11 Koefisien Regresi
Tabel 4.12 Variabel Etnis Tabel 4.13 Model Summary Tabel 4.14 Uji Beda Variabel Etnis Tabel 4.15 Uji Beda Big Five
xiv
Gambar 3.1 Analisis Faktor Konfirmatori dari Agresivitas
Gambar 3.2 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Neuroticism Gambar 3.3 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Extraversion Gambar 3.4 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Openness
Gambar 3.5 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Agreeableness Gambar 3.6 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Conscientiousness
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
1. 1. Latar Belakang Masalah
Agresivitas bukanlah masalah yang sederhana, bukan juga masalah yang baru karena
agresi merupakan tema yang kompleks dan mempunyai sejarah panjang. Kekerasan
yang meningkat baik pada skala nasional maupun internasional, telah menarik kaum
professional dan masyarakat ramai untuk mengajukan pertanyaan umum mengenai
sifat dan penyebab agresi. Tercatat (dalam http://www.who.int), lebih dari 1,6 juta
orang diseluruh dunia dengan rentang usia 15-44 tahun meninggal akibat kekerasan,
setiap tahunnya. Di Indonesia, peningkatan perilaku agresif dapat terlihat dibeberapa
kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan beberapa kota besar lainnya.
Aksi kekerasan ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Bukan hanya masyarakat sipil
biasa, bahkan pegawai pemerintah penegak hukum (seperti Satpol PP) sekalipun
berkecenderungan melakukan perilaku agresif. Hal ini terlihat dari beberapa
pemberitaan tentang Satpol PP yang kerap kali berlaku anarkis pada saat menjalankan
tugasnya. Menurut data Institute for Ecosoc Rights (solocybercity.com), pada tahun
42.498 warga. Pada tahun 2007 terjadi 99 penggusuran dengan 45.345 korban.
Hingga Februari 2008 terjadi 17 penggusuran dengan 5.704 korban. Tahun 2009,
Kontras mencatat kekerasan yang dilakukan Satpol PP sebanyak 9 kasus dengan
obyek penggusuran rumah 620 unit dan korban luka 2 orang. Dalam tindakan
penggusuran PKL, terjadi 11 kali. Sekitar 62 unit kios yang menjadi sasaran dan 11
orang luka-luka (www.solocybercity.com).
bentrok terjadi antara Satpol PP, TNI dan warga sipil menyebabkan 134 korban
luka-luka dan 2 orang tewas (http://rumahabi.info), belum lagi pemberitaan PKL
(Pedagang Kaki Lima) yang merugi hingga Rp 5 Juta dikarenakan ulah Satpol PP
yang mengambil paksa barang dagangannya dalam penggusuran PKL di Kawasan
Stadiun Teladan Medan, Sumatra Utara (http://www.waspada.co.id). Kemudian,
sebanyak lima warga Cina Benteng melaporkan oknum Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) Kota Tangerang yang melakukan pengeroyokan saat penggusuran yang
terjadi senin 12 April 2010 (www.tempointeraktif.com).
Ditambah lagi dengan pemberitaan pencabulan remaja yang dilakukan Satpol PP di
kawasan Monas pada bulan Juli 2010
(http://rumahabi.info/satpol-pp-cabuli-gadis-di-bawah-umur.html). Pemberitaan tertangkapnya oknum Satpol PP yang sedang
menghisap ganja di sebuah warung kopi Dusun Brenggolo, Desa Dawuhan,
Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri pada bulan Juli 2010
keributan dengan salah satu satpam kantor Pikiran Rakyat pada malam tahun baru di
Bandung, Jawa Barat (http://bandung.detik.com) menambah panjang catatan buruk
Satpol PP.
Perilaku negatif diatas tidak seharusnya dilakukan oleh Satpol PP. Tentunya bukan
secara intitusional Satpol PP bersalah, tetapi keberadaan personil yang melakukan
tindakan kriminal tersebut mau tidak mau telah mencemarkan nama baik institusi.
Karena tugas utama Satpol PP yang adalah melindungi dan mengayomi masyarakat.
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan perangkat daerah yang bertugas
dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan
daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan
peraturan daerah (id.wikipedia.org/wiki/ Polisi_Pamong_Praja). Menurut Peraturan
Pemerintah RI no.32 tahun 2004, Satpol PP dapat berkedudukan di daerah Provinsi
dan daerah Kabupaten/Kota. Standar pelayanan Satpol PP meliputi: pelaksanaan
ketentraman, pelaksanaan ketertiban, pelaksanaan penyidikan, pelaksanaan
penindakan, pengawasan pelaksanaan perda, pelaksanaan operasi pembongkaran,
penghentian dan penutupan.
Karena itu, menjadi aneh bila Satpol PP yang sudah memiliki peraturan tetap namun
masih terjadi tindakan agesif. Hal ini memunculkan pertanyaan, faktor-faktor apa saja
Setidaknya terdapat beberapa faktor munculnya agresivitas, antara lain faktor internal
dan eksternal. Faktor internal yaitu : frustasi, deindividualisasi, stress, hormon,
gender, dan kepribadian (personality). Faktor eksternal yaitu : kekuasaan dan
kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan obat-obatan, suhu udara, polusi
udara, media, dan budaya (Luthfi, 2009).
Penelitian-penelitian tentang perilaku agresif yang terkait dengan kepribadian telah
banyak dilakukan, diantaranya adalah penelitian Glass (dalam Baron & Byrne, 2005)
menyimpulkan bahwa faktor kepribadian berperan penting dalam perilaku agresif.
Menurut Glass, kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif dapat dilihat dari
kepribadiannya. Individu yang memilki kepribadian tipe A cenderung lebih agresif
dalam banyak situasi daripada individu dengan kepribadian tipe B.
Penelitian lain dilakukan Furnham dan Saipe (1993; dalam Tremblay, 2002)
mengenai hubungan antara agresi pengemudi dengan tiga model faktor (three factor
model) dari Eysenck (1990; dalam Trembley, 2002), menyimpulkan bahwa perilaku
agresif berkorelasi positif dengan tipe Extraversion dan Neuroticism dalam tiga
model faktor kepribadian dari Eysenck. Penelitian yang dilakukan oleh Juan J.
Bartemi (2005) mengenai agresivitas dan kepribadian big five yang dihubungkan
dengan prestasi belajar siswa, menyimpulkan bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara agresivitas dan kepribadian big five dengan prestasi belajar pada
Kepribadian itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah organisasi dinamis di dalam
sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan
pikirannya (Allport, 1937; dalam Ghufron, 2010). Kepribadian seseorang
mempengaruhi cara individu dalam beraksi, berpikir, merasa, berinteraksi, dan
beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam bentuk perilaku agresif (Larsen &
Buss, 2005). Mischel (1968; dalam Friedman, 2008) menyimpulkan bahwa
kepribadian itu terdiri dari struktur, antara lain adalah trait dan tipe (type). Trait
adalah konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe
adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait,
tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar dibandingkan trait.
Faktor kepribadian adalah faktor manusia yang dianggap cukup berperan dalam
perilaku agresif, karena kepribadian merupakan salah satu variabel person yang dapat
menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Kepribadian dapat mempengaruhi kognisi
dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di dalam memori. Di dalam
memori tersebut, jaringan asosiatif menghubungkan pikiran, agresi, emosi dan
kecenderungan untuk bertingkah laku (Anderson & Bushman, 2002). Dengan
demikian individu yang memiliki sifat agresif hanya akan membutuhkan sedikit
energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi
tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses dan lebih siap untuk teraktivasi pada
situasi lain, yang dapat membimbing tingkah laku di masa yang akan datang.
agresi di dalam memori yang dapat mempengaruhi cognition, affect, dan arrousal
yang dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Moyer (dalam Luthfi, 2009)
beranggapan bahwa agresivitas merupakan suatu proses yang ada didalam otak dan
saraf pusat. Orang-orang yang memiliki kecenderungan agresivitas tinggi memiliki
struktur dan komponen otak yang berbeda dengan orang yang agresivitasnya rendah.
Dalam Anderson & Bushman (2002), Bushman menyatakan bahwa terdapat
perbedaan individual dalam merespon stimulasi agresif dan ambigu yang disebabkan
karena adanya perbedaan individu dalam struktur memorinya. Menurut Bushman, hal
ini disebabkan karena individu yang memiliki sifat agresi yang tinggi memiliki
jaringan asosiatif kognitif tentang agresi yang lebih banyak dan lebih berkembang
daripada individu yang memiliki sifat agresif rendah. Perbedaan jaringan asosiatif ini
menyebabkan individu dengan sifat agresif yang lebih tinggi lebih cepat mengakses
konsep-konsep agresi, yang dapat dengan mudah teraktivasi dengan hanya adanya
sedikit situasi yang tidak menyenangkan. Selain itu juga, individu dengan sifat agresi
tinggi dapat menginterpretasi hal-hal yang ambigu menjadi terasosiasi dengan konsep
agresi dibandingkan dengan individu yang memiliki sifat agresif rendah. Maksudnya
adalah individu dengan sifat agresif tinggi akan mengartikan hal-hal yang belum pasti
berhubungan dengan agresi, menjadi terkait dengan konsep-konsep agresi yang
dipunyainya.
Salah satu tipe kepribadian adalah big five personality, yaitu suatu pendekatan yang
tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan
menggunakan analisis faktor. Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion,
agreeableness, conscientiousness, neuoriticism, openness to experiences.
Selain tipe kepribadian, variabel lain yang juga mempengaruhi agresivitas seorang
individu adalah self control yang dimilikinya. Self-control bisa muncul karena adanya
perbedaan dalam pengelolaan emosi, cara mengatasi masalah, tinggi rendahnya
motivasi dan kemampuan mengolah segala potensi dan pengembangan
kompetensinya. Self-control berkaitan dengan bagaimana individu mampu
mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 2000).
Sel-Control dapat diartikan sebagai pengatur proses fisik, psikologis dan perilaku
seseorang. Self-Control juga berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan
emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Dengan adanya kontrol diri yang
baik, akibat yang tidak menyenangkan dari suatu situasi dapat diantisipasi (Luthfi,
2009).
Ketika seseorang memiliki self-control yang tinggi terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi akan peran, nilai dan pola hidup yang baru, maka kemungkinan ia
berhasil dalam mengolah emosinya dan menciptakan pola tingkah laku yang positif
bagi lingkungan sekitar dan mengembalikan kebermaknaan hidup pada diri individu
tersebut. Namun sebaliknya, jika seseorang memiliki self-control yang rendah,
tingkah laku yang negatif bagi lingkungan sekitar. Dengan kata lain, seseorang yang
memiliki self-control rendah akan cenderung untuk melakuakan agresivitas.
Selain tipe kepribadian dan self-control, faktor usia, dan etnis/suku bangsa juga
mempengaruhi agresivitas. Penelitian Parry (1968; dalam Tremblay, 2002) yang
mengkaitkan usia dengan agresivitas menemukan, pengemudi yang lebih muda
mempunyai dorongan untuk melakukan agresi lebih besar dibandingkan pengemudi
yang lebih tua. Wiesenthal, dkk (2000; dalam Tremblay, 2002) juga menemukan
bahwa pengemudi yang lebih muda (usia 18-23) memiliki skor signifikan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pengemudi yang lebih tua (usia 24-66) pada the Driving
Vengeance Questionnaire.
Pendapat ahli dari ilmu antropologi dan psikologi seperti Segall, Dasen, Berry dan
Poortinga, 1999; dalam Sarwono, 2009) menyebutkan bahwa lingkungan geografis
mempengaruhi agresivitas. Masyarakat yang hidup di pantai/pesisir, menunjukkan
karakter lebih keras daripada masyarakat yang hidup di pedalaman. Dalam penelitian
di Amerika Serikat, diketahui bahwa masyarakat di bagian selatan Amerika Serikat
mempunyai Agresivitas lebih tinggi. Hal ini diketahui melalui angka pembunuhan
yang tinggi (Taylor, Peplau, dan Sears, 2009). Penelitian Dewi Suryani Ekawati
(2007; dalam Nashori, 2008) juga menyatakan ada perbedaan perilaku agresif antara
mahasiswa etnis Jawa dan mahasiswa etnis Batak yang tinggal di Yogyakarta.
Dimana mahasiswa etnis Batak memiliki perilaku agresif yang lebih tinggi dibanding
Dari uraian diatas, faktor kepribadian big five, self-control, usia, dan etnis/ suku
bangsa dinilai dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membuat prediksi dan
estimasi efektivitas sikap dan perilaku Satpol PP saat sekarang dan akan datang.
Selain itu, bahwa selama ini pembahasan dan penelitian dengan tema permasalahan
agresivitas Satpol PP yang dikaitkan dengan faktor-faktor tersebut belum banyak
diteliti. Atas dasar inilah penulis dengan segala keterbatasan yang ada mencoba
mengungkap pengaruh kepribadian big five, self-control, usia, dan etnis/ suku bangsa
terhadap agresivitas pada Satpol PP.
Dari fenomena-fenomena yang ada dan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah
dilakukan, maka peneliti sangat tertarik untuk meneliti topik agresivitas. Dengan
demikian penelitian ini berjudul Big Five dan
Self-Control terhadap Agresivitas Satuan Polisis Pamong Praja Kota Tangerang
1.2.Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah
1.2.1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Variabel apa sajakah yang mempengaruhi agresivitas satpol pp Kota Tangerang?
2. Dari variabel-variabel yang dianalisis, manakah yang memiliki pengaruh paling
3. Bagaimanakah model persamaan regresi yang dapat dipakai untuk memprediksi
agresivitas satpol pp Kota Tanngerang?
1.2.2.Pembatasan Masalah
Untuk menghindari peninjauan yang terlalu luas terhadap masalah yang akan diteliti,
maka penulis melakukan pembatasan masalah sebagai berikut:
- Agresivitas merupakan kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif.
Sedangkan perilaku agresif adalah sebagai suatu cara untuk melawan dengan
sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang
lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk
melukai orang lain atau merusak milik orang lain (Baron, 2003).
- Big Five Personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi
untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah
domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor.
Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness,
conscientiousness, neuoriticism, dan openness to experiences.
- Self-control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri (behavior
control), kemampuan untuk mengolah informasi (cognitive control), dan
kemampuan untuk memilih suatu tindakan yang diyakininya (decisional control).
- Etnis/suku bangsa merupakan suku bangsa dari mana partisipan berasal. Data ini
diperoleh melalui identitas partisipan yang diisikan pada lembar kuesioner.
- Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan perangkat daerah yang
bertugas dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan
peraturan daerah di Kota Tangerang.
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1.Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh tipe
kepribadian, dan self control terhadap agresivitas Satpol PP.
1.3.2. Manfaat
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi
perkembangan ilmu psikologi, khususnya pada ranah psikologi sosial. Yang mana
hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber data tambahan bagi pengembangan studi
tentang agresivitas, self-control dan kepribadian Big Five mana yang lebih kuat
mempengaruhinya.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa, para
pendidik ataupun bagi instansi pemerintah dalam mengetahui kepribadian yang
semestinya dimiliki oleh petugas Satpol PP agar lebih dapat selektif dalam
1.4. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Di dalam bab ini akan dibahas sejumlah teori yang berkaitan dengan masalah yang akan
diteliti secara sistematis, beserta kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
BAB III : Metodelogi Penelitian
Bab ini meliputi, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, variabel penelitian,
definisi operasional variabel, instrument pengumpulan data, uji validitas, prosedur
penelitian, dan metode analisis data.
BAB IV : Analisis Hasil Penelitian
Dalam bab ini peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian meliputi, gambran
umum responden, analisis deskriptif, dan uji hipotesis.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan meyimpulkan hasil
penelitian. Dalam bab ini juga akan dimuat diskusi dan saran.
BAB II LANDASAN TEORI
Pada bab ini, akan dibahas mengenai agresivitas, kepribadian big five, self
control, satpol pp, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
2. 1. Agresivitas
2. 1. 1. Pengertian Agresivitas
Buss dan Perry (1992; juga lihat Anderson & Bushman, 2002; Berkowitz, 1995)
mendefinisikan agresivitas sebagai kecenderungan untuk terlibat dalam agresi fisik
dan verbal, permusuhan (Hostility), dan kemarahan (Anger). Dalam kamus Psikologi,
agresivitas adalah kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif (J.P. Chaplin,
2000).
Definisi agresif yang paling sederhana diungkapkan oleh Geen (1998; dalam Taylor,
2009), agresif adalah setiap tindakan yang menyakiti atau melukai orang lain.
Definisi ini mengabaikan niat orang yang melakukan tindakan. Pendekatan ini
didukung oleh pendekatan behavioris atau belajar.
Hal berbeda ditunjukkan oleh David O. Sears (1985; dalam Taylor, 2009),
menurutnya perilaku agresif adalah setiap perilaku yang bertujuan menyakiti orang
lain, dapat juga ditujukan kepada perasaan ingin menyakiti orang lain dalam diri
tingkah laku yang diarahkan kepada tunjuan untuk menyakiti makhluk hidup lain
yang ingin menghindari perlakuan semacam itu.
Aggressive behavior is relatively stable as an individual characteristic, and because
stable aggression predicts antisocial behavior during adolescence and adulthood for
males at least (Hartup, 2005).
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa agresivitas merupakan
kecenderungan individu untuk berperilaku agresif, yaitu perilaku yang dimunculkan
seseorang yang sifatnya menyakiti lawannya baik secara fisik maupun psikis, dengan
rasa permusuhan (hostility), dan kemarahan (anger) dengan disertai tujuan maupun
tanpa tujuan.
2. 1. 2. Teori Agresi
Teori agresi memberi gambaran bagaimana perilaku agresi itu muncul. Pendekatan
untuk memberikan penjelasan kemunculan agresi terdiri dari 4 (empat), yaitu sebagai
berikut (Baron & Byrne, 2005):
1. Teori Bawaan
Teori bawaaan menekan pada kemunculan agresi sebagai sesuatu yang inheren/
a. Agresi sebagai instink
Kelompok ini beranggapan bahwa agresi sebagai dorongan naluriah/instingtif yang
dimiliki seseorang. Setiap orang memilki insting/naluri untuk agresi. Perbedaan
kemunculan agresivitas antar individu dipengaruhi dari control individu tersebut.
Agresi sebagai insting merujuk pada teori psikoanalisa dengan tokoh utama Sigmund
Freud. Dalam teorinya, Freud berpendapat bahwa setiap manusia memiliki insting
hidup dan insting mati. Agresi adalah bentuk dari insting mati (dalam Brehm &
Kassin, 1993).
Tokoh kedua adalah Koward Lorens (1966; dalam Luthfi, 2009) yang menyatakan
bahwa setiap orang memiliki survivial insting, yaitu dorongan/insting untuk
mempertahankan hidup dengan beradaptasi dengan lingkungan.
b. Genetis
Kelompok ini menganggap bahwa agresi adalah sesuatu yang terdapat dalam biologis
seseorang. Ada 2 tokoh yang mengembangkan pandangan ini. Yang pertama adalah
Moyer (dalam Davidoff, 1991) beranggapan bahwa agresivitas merupakan suatu
proses yang ada didalam otak dan saraf pusat. Orang-orang yang memiliki
kecenderungan agresivitas tinggi memiliki struktur dan komponen otak yang berbeda
dengan orang yang agresivitasnya rendah.pokok pikiran lainnya adalah bahwa agresi
terkait dengan hormon testosteron. Semakin tinggi hormone testosterone yang
Tokoh kedua adalah Lagerspetz (1979, dalam Luthfi, 2009) berpandangan bahwa
agresi adalah karakter atau sifat yang diturunkan dari orang tua ke anak dan
seterusnya. Orang tua yang agresif, maka anaknya akan agresif pula. Dasar pikiran
Lagerspetz adalah teori Mendell.
2. Teori Lingkungan
Agresi merukan perilaku yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Agresi adalah
reaksi terhadap stimulus lingkungan.
a. Frustasi Agresi Klasik
Frustasi agresi klasik menekankan pada munculnya perilaku agresi disebabkan karena
rasa frustasi yang dialami oleh seseorang. Rasa frustasi muncul bila seseorang tidak
dapat mencapai/mendapatkan apa yang didinginkannya. Ketidakberhasilan
mendatangkan frustasi yang kemudian memunculkan agresi. Dollard (1939) dan
Miller (1941) sebagai tokoh utamanya (Luthfi, 2009).
b. Neo Frustasi Agresi
Teori ini muncul sebagai usaha untuk mengevaluasi teori frustasi klasik. Burstein &
Worchel (1962; dalam Luthfi, 2009) menganggap bahwa frustasi mendapatkan
sesuatu tidaklah seta merta memunculkan agresi. Tetapi frustasi yang dimiliki
seseorang akan memicu kemarahannya. Dan kemarahan inilah yang akan
marah. Dan frustasi baru akan memunculkan marah bila ternyata tidak ada perilaku
lain yang dapat dijadikan alternative.
c. Deprivasi
Berkowitz (1995) memberikan istilah untuk kondisi kekurangan untuk deprivasi.
Keadaan kurang ini bersifat subjektif. Seseorang akan merasa kurang atau merasa
cukup dengan membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain. Kondisi
kekurangan yang bersifat objektif (benar-benar kekurangan) disebut deprivasi
absolute, sedangkan deprivasi relative adalah perasaan kurang yang dimiliki oleh
seseorang. Kondisi yang dianggap tidak sebandingkan atau tidak sama dengan yang
dimiliki oleh orang lain. Dan deprivasi relative lebih berpeluang memunculkan agresi
dibandingkan dengan deprivasi absolute (Myers, 2009). Tetapi yang perlu dicatat
adalah kondisi deprivasi tidak serta merta mendatangkan agresi. Tetapi masih
-hal yang dapat memicu adalah peluang,
kesempatan dan media massa.
d. Belajar Sosial
Teori belajar sosial menekankan pada faktor yang menimbulkan agresi berasal dari
luar. Tokoh utama teori belajar sosial tentang agresi adalah Albert Bandura (1979;
dalam Brehm & Kassin, 1993) yaitu perilaku agresif dipelajari dari model yang
Selain belajar sosial dengan modeling, reward dan punishment adalah faktor yang
juga memperkuat munculnya agresi. Seseorang yang merasa mendapatkan imbalan/
reward dengan agresi, tentunya dia akan mengulanginya lagi dikesempatan lain.
3. Teori Kognitif
Agresi menurut pendekatan kognisi adalah hasil penggolahan inform di level/ranah
kognisi. Proses kognisi menimbulkan agresi adanya kesalahan dalam melakukan
kategorisasi dan atribusi.
Teori kognitif yang lebih memberikan gambaran munculnya agresi adalah teori
excitation transfer. Teori ini menjelaskan bahwa agresi muncul karena interpretasi
terhadap stimulus atau kejadian. Kejadian yang akan memunculkan agresi adalah
kejadian yang interpretasi/atribusi sebagai awal dari sebuah kecelakaan atau kerugian.
Sebaliknya, kalau suatu kejadian yang menimpa seseorang diinterpretasi sebagai hal
4. Teori Afektif (GAAM; General Affective Aggression Model)
Dikemukakan oleh Anderson dkk (2002). Teori GAAM (General Affective
Aggression Model) adalah teori yang mencoba menjelaskan agresi dari sisi internal
maupun eksternal. Agresi akan muncul bila kondisi-kondisi yang berperan muncul
secara bersamaan. Faktor-faktor/kondisi tersebut adalah faktor internal sebagai
individual differences, yang meliputi trait, attitude, dan belief tentang kekerasan,
Sedangkan faktor eksternal meliputi situasi-situasi yang mendatangkan frustasi
seperti serangan dari pihak lain, munculnya model/provokator, keberadaan
cue/pencetus (seperti keberadaan senjata) dan ketidaknyamanan yang dirasakan
secara subjektif.
Agresi baru akan muncul bila seluruh faktor-faktor diatan muncul secara bersamaan.
Bila salah satu faktor ternyata tidak hadir, besar kemungkinan agresi tidak akan
[image:34.612.121.536.57.481.2]dimunculkan seseorang.
Gambar 2.1 Proses episodic dari The General Aggression Model
(Anderson & Bushman, 2002)
2. 1. 3. Bentuk-bentuk Agresivitas
Bentuk agresivitas mengacu pada perilaku agresi. Buss dan Perry (1992)
mengelompokkan bentuk agresi tersebut kedalam empat bentuk agresi, yaitu agresi
kebencian (hostility). Keempat bentuk agresivitas ini mewakili komponen perilaku
manusia, yaitu komponen motorik, afektif dan kognitif.
a. Agresi Fisik, merupakan komponen dari perilaku motorik seperti melukai dan
menyakiti orang lain secara fisik misalnya dengan menyerang dan memukul.
b. Agresi Verbal, merupakan komponen motorik seperti melukai dan menyakiti orang
lain, hanya saja melalui verbalisasi, misalnya berdebat, menunjukkan
ketidaksukaan dari ketidaksetujuan pada orang lain, kadang kala sering
menyebarkan gossip.
c. Sikap Permusuhan, merupakan perwakilan dari komponen kognitif seperti perasaan
benci dan curiga pada orang lain, merasa kehidupan yang dialami tidak adil dan iri
hati.
d. Rasa Marah, merupakan emosi atau afektif seperti keterbangkitan dan kesiapan
psikologis untuk bersikap agresif, misalkan mudah kesal, hilang kesabaran dan
tidak mampu mengontrol rasa marah.
Taylor & Peplau (2009) membagi agresi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Prosoial Aggression (Agresi Prososial)
Agresi prososial adalah tindakan agresi yang sebenarnya diatur atau disetujui oleh
2. Antisocial Aggression (Agresi Antisosial)
Agresi antisosial adalah tindakan melukai orang lain dimana tindakan itu secara
normative dilarang oleh norma masyarakat, seperti orang yang mempunyai
kekuasaan bertindak sewenang-wenang terhadap warga miskin dan tak berdaya.
3. Sanctioned Aggression (Agresi yang disetujui)
Jenis agresi ini termasuk tindakan yang tidak diharuskan oleh norma sosial tetapi
ada di dalam batas-batasnya. Tindakan ini tidak melanggar standar moral yang
diterima luas. Misalnya, pelatih yang menghukum pemain tim dengan
menyuruhnya push-up biasanya dianggap bertindak sesuai dengan haknya dan
masih dalam batas yang diterima. Demikian juga wanita yang menyerang
pemerkosa.
Bond, dkk (1997) membagi agresi menjadi :
1. Affective Aggression atau Hostile Aggression (rasa benci), yaitu keungkapan
kemarahan yang ditandai dengan emosi yang tinggi. Agresi ini disebut juga
dengan agresi jenis panas.
2. Instrumental Aggression (agresi sebagai sarana mencapai tujuan), yaitu jenis
agresi ini tidak disertai emosi, misalnya polisi yang menembak kaki tahanan yang
2. 1. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas
Taylor, Peplau, dan Sears (1997) menyebutkan bahwa perilaku agresif disebabkan
oleh dua faktor utama yaitu adanya serangan serta frustasi. Serangan merupakan salah
satu faktor yang paling sering menjadi penyebab agresif dan muncul dalam bentuk
serangan verbal atau serangan fisik. Faktor penyebab agresi selanjutnya adalah
frustasi. Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu hal dalam mencapai suatu
tujuan, kebutuhan, keinginan, penghargaan atau tindakan tertentu.
Koeswara (1988; dalam Luthfi, 2009) menyebutkan bahwa faktor penyebab
seseorang berperilaku agresif bermacam-macam, sehingga dapat dikelompokkan
menjadi faktor internal (frustasi, deindividuasi, stres, dan kepribadian) dan faktor
eksternal (kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan
obat-obatan, suhu udara, media massa, budaya), yaitu:
1. Faktor Internal
a. Frustasi yakni suatu situasi yang menghambat individu dalam usaha mencapai
tujuan tertentu yang diinginkannya, dari frustasi maka akan timbul
perasaan-perasaan agresif
b. Deindividuasi adalah suatu keadaan dimana individu kehilangan kesadaran atas
dirinya (self awareness) yang diakibatkan oleh situasi yang merasa tertekan.
c. Stress, dalam istilah psikologi stress dikatakan sebagai stimulus, seperti ketakutan,
kesakitan, yang mengganggu atau menghambat mekanisme-mekanisme fisiologis
yang normal dari organisme.
d. Kepribadian. Orang dengan kepribadian otoriter memiliki kecenderungan agresi
yang lebih tinggi. Demikian juga halnya dengan orang-orang yang bertemperamen
pemarah, memiliki kecenderungan agresi lebih tinggi dibandingkan temperamen
bukan pemarah.
2. Faktor Eksternal
a. Kekuasaan dan kepatuhan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan yang
cenderung disalahgunakan dan penyalahgunaan tersebut merubah kekuasaan
menjadi kekuasaan yang memaksa, yang memiliki efek langsung maupun tidak
langsung terhadap perilaku agresif, seperti yang ditunjukkan oleh Hitler,
Mussolini, Stalin dan sejumlah besar manipulator kekuasaan lainnya.
b. Efek senjata. Dalam penelitian Berkowitz dan Lepage (1967; dalam Berkowitz,
1995) yang menguji tentang efek senjata api terhadap kecenderungan perilaku
agresi pada individu akan menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang
berhubungan dengan senjata api cenderung menjadi lebih agresif dari pada
individu yang tidak berhubungan dengan senjata api.
c. Provokasi yaitu oleh pelaku agresi provokasi dilihat sebagai ancaman yang harus
dihadapi dengan respon agersif untuk meniadakan bahaya yang diisaratkan oleh
d. Akohol dan obat-obatan. Ada petunjuk bahwa agresi berhubungan dengan kadar
alkhohol dan obat-obatan. Subyek yang menerima alkohol dalam takaran-takaran
yang tinggi menunjukkan taraf agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
subjek yang tidak menerima alkhohol atau menerima alkhohol dalam taraf yang
rendah. Alkhohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf
agresivitas juga tinggi (Myers, 2009).
e. Suhu, polusi udara, bau busuk dan kebisingan dilaporkan dapat menimbulkan
perilaku agresi. Clarsmith dan Anderson (1979; dalam Iska, 2008), menyimpulkan
bahwa musim panas terjadi lebih banyak tingkah laku agresif karena musim panas
hari-hari lebih panjang serta individu memiliki keleluasaan bertindak yang lebih
besar ketimbang pada musim-musim yang lain.
f. Media massa. Film dan TV dengan kekerasan dapat menimbulkjan agresi pada
seorang anak, makin banyak menonton kekerasan dalam acara TV makin besar
tingkat agresif mereka terhadap orang lain, makin lama mereka menonton, makin
kuat hubungannya tersebut.
g. Budaya. Beberapa daerah mengembangkan budaya kekerasan/agresi. Orang yang
lebih agresif mendapatkan penghargaan sosial yang lebih tinggi dalam suatu
2. 2. Kepribadian Big Five
2. 2. 1. Pengertian Kepribadian Big Five
Allport (1937; dalam Ghufron 2010) mendefinisikan kepribadian sebagai sebuah
organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan
karakteristik perilaku dan pikirannya. Allport menemukan ribuan kata sifat yang bisa
menggambarkan kepribadian dalam bahasa Inggris, tetapi ia mengasumsikan daftar
tersebut harus dikurangi dengan menghilangkan istilah yang memmilki arti yang
sama. Cattell kemudian mengembangkan metode leksikal (berdasarkan bahasa).
Sejumlah trait yang Allport temukan dikelompokkan, dinilai, dan dihitung
berdasarkan metode analisis faktor oleh Cattell (1966; dalam Friedman 2008), yang
mengemukakan adanya 16 trait kepribadian dasar. Dari analisis inilah mulai muncul
berbagai penelitian mengenai trait, dan kebanyakan penelitian menyimpulkan bahwa
pendekatan trait terhadap kepribadian dapat dilihat melalui lima dimensi, yang biasa
disebut big five personality (Friedman, 2008).
Secara modern bentuk dari taksonomi big five, diukur dengan dua pendekatan utama.
Cara pertama dengan berdasar pada self rating pada trait kata sifat tunggal, seperti
talkactive, warm, moody, dsb. Pendekatan lain dengan self rating pada item-item
2. 2. 2. Trait-Trait dalam Big Five Personality
Trait-trait dalam domain-domain dari Big Five Personality Costa & McCrae (1997;
dalam McCrae & John, tanpa tahun) :
1. Neuroticism (N)
Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang
negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional mereka labil,
seperti juga teman-temannya yang lain, mereka juga mengubah perhatian menjadi
sesuatu yang berlawanan. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah
cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan
seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi. Selain memiliki kesulitan
dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self
esteem yang rendah. Individu yang memiliki nilai atau skor yang tinggi di
neuroticism adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah,
depresi, dan memiliki kecenderungan emotionally reactive. Facet yang terdapat dalam
Neuroticism adalah sebagai berikut:
Anxiety ; Kecenderungan untuk gelisah, penuh ketakutan, merasa kuatir, gugup
dan tegang
Hostility ; Kecenderungan untuk mengalami amarah, frustasi dan penuh kebencian
Depression ; Kecenderungan untuk mengalami depresi pada individu normal
Self-consciousness ; Individu yang menunjukkan emosi malu, merasa tidak
Impulsiveness ; Tidak mampu mengotrol keinginan yang berlebihan atau dorongan
untuk melakukan sesuatu
Vulnerability ; Kecenderungan untuk tidak mampu menghadapi stress, bergantung
pada orang lain, mudah menyerah dan panik bila menghadapi sesuatu yang datang
mendadak.
2. Extraversion (E)
Faktor kedua adalah extraversion, atau bisa juga disebut faktor dominan-patuh
(dominance-submissiveness). Faktor ini merupakan dimensi yang penting dalam
kepribadian, dimana extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial.
Menurut penelitian, seseorang yang memiliki faktor extraversion yang tinggi, akan
mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang
dibandingkan dengan seseorang dengan tingkat extraversion yang rendah. Dalam
berinteraksi, mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan keintiman.
Peergroup mereka juga dianggap sebagai orang-orang yang ramah, fun-loving,
affectionate, dan talkative.
Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi,
senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal,
ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain. Extraversion memiliki tingkat
motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga
dominan dalam lingkungannya. Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari
lebih cepat berteman daripada seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang
rendah. Extraversion mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup,
tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan tingkat ekstraversion
rendah cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya. Facet yang
terdapat dalam extraversion adalah sebagai berikut:
Warmth ; Kecenderungan untuk mudah bergaul dan membagi kasih sayang
Gregariousness ; Kecenderungan untuk banyak berteman dan berinteraksi dengan
orang banyak
Activity ; Individu yang sering mengikuti berbagai kegiatan, memiliki energi dan
semangat yang tinggi
Assertiveness ; Individu yang cenderung tegas
Excitement-seeking ; Individu yang suka mencari sensasi dan suka mengambil
resiko
Positive emotion ; Kecenderungan untuk mengalami emosi-emosi yang positif
seperti bahagia, cinta, dan kegembiraan.
3. Openness to Experience (O)
Faktor openness terhadap pengalaman merupakan faktor yang paling sulit untuk
dideskripsikan, karena faktor ini tidak sejalan dengan bahasa yang digunakan tidak
seperti halnya faktor-faktor yang lain. Openness mengacu pada bagaimana seseorang
Openness mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi,
menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran
dan impulsivitas. Seseorang dengan tingkat openness yang tinggi digambarkan
sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi, broadmindedness, dan a world of
beauty. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness yang rendah memiliki
nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama, kemudian skor openess yang
rendah juga menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit,
konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.
Openness dapat membangun pertumbuhan pribadi. Pencapaian kreatifitas lebih
banyak pada orang yang memiliki tingkat openness yang tinggi dan tingkat
agreeableness yang rendah. Seseorang yang kreatif, memiliki rasa ingin tahu, atau
terbuka terhadap pengalaman lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk suatu
masalah. Facet yang terdapat dalam Opennes to Experience adalah sebagai berikut:
Fantasy ; Individu yang memiliki imajinasi yang tinggi dan aktif
Aesthetic ; Individu yang memiliki apresiasi yang tinggi terhadap seni dan
keindahan
Feelings ; Individu yang menyadari dan menyelami emosi dan perasannya sendiri
Action ; Individu yang berkeinginan untuk mencoba hal-hal baru
Ideas ; Berpikiran terbuka dan mau menyadari ide baru dan tidak konvensional
Values ; Kesiapan seseorang untuk menguji ulang nilai-nilai social politik dan
4. Agreeableness (A)
Agreebleness dapat disebut juga social adaptibility atau likability yang
mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah,
menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain.
Berdasarkan value survey, seseorang yang memiliki skor agreeableness yang tinggi
digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value suka membantu, forgiving, dan
penyayang. Sedangkan orang-orang dengan tingkat agreeableness yang rendah
cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif.
Namun, ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal orang yang
memiliki tingkat agreeableness yang tinggi, dimana ketika berhadapan dengan
konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun. Selain itu, menghindar dari
usaha langsung dalam menyatakan kekuatan sebagai usaha untuk memutuskan
konflik dengan orang lain merupakan salah satu ciri dari seseorang yang memiliki
tingkat aggreeableness yang tinggi. Pria yang memiliki tingkat agreeableness yang
tinggi dengan penggunaan power yang rendah, akan lebih menunjukan kekuatan jika
dibandingkan dengan wanita. Facet agreeableness adalah sebagai berikut:
Trust ; Tingkat kepercayaan individu terhadap orang lain
Straight-forwardness ; Individu yang terus terang, sungguh-sungguh dalam
menyatakan sesuatu
Altruism ; Individu yang murah hati dan memiliki keinginan untuk membantu
Compliance ; Karakteristik dari reaksi terhadap konflik interpersonal
Modesty ; Individu yang sederhana dan rendah hati
Tender-mindedness ; Simpatik dan peduli terhadap orang lain.
5. Conscientiousness (C)
Conscientiousness dapat disebut juga dependability, impulse control, dan will to
achieve, yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang.
Seseorang yang conscientious memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Orang-orang
tersebut biasanya digambarkan oleh teman-teman mereka sebagai seseorang yang
well-organize, tepat waktu, dan ambisius.
Conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir
sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana,
terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Disisi negatifnya trait kepribadian ini
menjadi sangat perfeksionis, kompulsif, workaholic, membosankan. Tingkat
conscientiousness yang rendah menunjukan sikap ceroboh, tidak terarah serta mudah
teralih perhatiannya. Facet conscientiousness adalah sebagai berikut:
Competence ; Kesanggupan, efektifitas dan kebijaksanaan dalam melakukan
sesuatu
Order ; Kemampuan mengorganisasi
Dutifulness ; Memegang erat prinsip hidup
Self-discipline ; Mampu mengatur diri sendiri
Deliberation ; Selalu berpikir dahulu sebelum bertindak
Berikut ini merupakan gambaran karakteristik individu ketika diukur dengan skor
tinggi rendah (Pervin, 2005):
Skala Trait Karakteristik Skor
Tinggi Rendah
Neuroticism (N)
Menggambarkan stabilitas emosional dengan cakupan-cakupan perasaan negatif yang kuat termasuk kecemasan, kesedihan, irritability dan nervous tension.
Cemas, gugup, emosional, merasa tidak aman, merasa tidak mampu, mudah panik
Tenang, santai, merasa aman, puas terhadap dirinya, tidak emosional, tabah.
Ekstraversion (E) Mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal, tingkatan aktivitas, kebutuhan akan dorongan, dan kapasitas dan kesenangan.
Agreeableness (A) Mengukur kualitas dari apa yang
dilakukan dengan orang lain dan apa yang dilakukan terhadap orang lain.
Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, aktif, banyak bicara, orientasi pada hubungan sesama, optimis, fun-loving, affectionate. Lembut hati, dapat dipercaya, suka menolong, pemaaf, penurut.
Tidak ramah, bersahaja, suka menyendiri, orientasi pada tugas, pendiam. Sinis, kasar, curiga, tidak kooperatif, pendendam, kejam, manipulatif.
Openness (O) Gambaran keluasan, kedalaman, dan kompleksitas mental individu dan pengalamannya.
Ingin tahu, minat luas, kreatif, original, imajinatif, untraditional.
Konvensional, sederhana, minat sempit, tidak artistik, tidak analitis.
Conscientiousness(C)
Mendeskripsikan perilaku yang diarahkan pada tugas dan tujuan dan kontrol dorongan secara sosial.
Teratur, pekerja keras, dapat diandalkan, disiplin, tepat waktu, rapi, hati-hati.
Tanpa tujuan, tidak dapat diandalkan, malas, sembrono, lalai, mudah
2. 3. Self-Control
2. 3. 1. Definisi Self-Control
Averill (1973) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan untuk membimbing
tingkah laku sendiri (behavior control), kemampuan untuk mengolah informasi
(cognitive control), dan kemampuan untuk memilih suatu tindakan yang diyakininya
(decisional control).
Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri (self-control) sebagai
pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain
serangkaian proses yang mebentuk dirinya sendiri. Golfried dan Merbaum (dalam
Lazaruz, 1976) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk
menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat
membawa individu kearah konsekuensi positif. Kontrol diri juga menggambarkan
keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku
yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang
diinginkan.
Dalam Chaplin (2000), self-control diartikan sebagai kemampuan untuk membimbing
tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau
tingkah laku impulsive.
Synder dan Ganested (1986; dalam Ghufron, 2010) mengatakan bahwa konsep
pribadi dengan lingkungan masyarakat dalam mengatur kesan masyarakat yang sesuai
dengan isyarat situasional dalam bersikap dan berpendirian yang efektif.
Hurlock (2000) menyebutkan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana
individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Menurut
konsep ilmiah, pengendalian emosi berarti mengarahkan energy emosi ke saluran
ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara social. Konsep ilmiah
menitikberatkan pada pengendalian. Tetapi, tidak sama artinya dengan penekanan.
Ada dua criteria yang menentukan apakah kontrol emosi dapat diterima secara social
atau tidak. Kontrol emosi dapat diterima bila reaksi masyarakat terhadap
pengendalian emosi adalah positif. Namun, reaksi positif saja tidaklah cukup
karenanya perlu diperhatihkan kriteria lain, yaitu efek yang muncul setelah
mengontrol emosi terhadap kondisi fisik dan psikis. Kontrol emosi seharusnya tidak
membahyakan fisik dan psikis individu. Artinya, dengan mengontrol emosi kondisi
fisik dan psikis individu harus membaik.
Hurlock (2000) menyebutkan tiga kriteria emosi, yaitu dapat melakukan kontrol diri
yang bisa diterima secara sosial, dapat memahami seberapa banyak kontrol yang
dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarkat,
dan dapat menilai secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara beraksi
Berdasarkan penjelasan diatas, maka kontrol diri dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku,
kemampuan untuk mengolah informasi, dan kemampuan untuk memilih hasil atau
suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
2. 3. 2. Aspek-Aspek Self-control
Averill (1973) menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu :
1. Kontrol perilaku (behavior control)
Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat secara
langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.
Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu:
a. Mengatur pelaksanaan (regulated administration), merupakan kemampuan
individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan.
Apakah dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan
dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakn sumber eksternal.
b. Kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability), merupakan
kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak
dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah
atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggangbwaktu diantara rangkaian
stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya
2. Kontrol kognitif (cognitive control)
Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang
tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu
kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi
tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu:
a. Memperoleh informasi (information gain), maksudnya dengan informasi yang
dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan,
individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan.
b. Melakukan penilaian (appraisal), berarti individu berusaha menilai dan
menafsirkan suatu keadaaan atau peristiwa dengan cara memerhatikan segi-segi
positif secara subjektif.
3. Mengontrol keputusan (decisional control)
Mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau
suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri
dalam menentukan pilihan akan berfungsi, baik dengan adanya suatu kesempatan,
kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih kemungkinan
Menurut Block dan Block (1952; dalam Lazarus, 1991) ada tiga jenis kualitas kontrol
diri, yaitu:
1. Over Control, merupakan kontrol diri yang dilakuakan oleh individu secara
berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam bereaksi
terhadap stimulus.
2. Under Control, merupakan suatu kecenderuangan individu untuk melepaskan
impulsivitas dengan bebas tapa perhitungan yang masak.
3. Appropriate Control, merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan
impuls secara tepat.
2. 3. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri
Sebagaimana faktor psikologis lainnya, kontrol diri dipengaruhi oleh faktor internal
(dari diri individu) dan faktor ekternal (lingkungan individu).
1. Faktor Internal
Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah
usia seseorang, maka semakin baik kemampuan mengontrool diri seseorang itu.
2. Faktor Ekternal
Faktor ekternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga, terutama orang tua
menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Hasil penelitian
Nasichah (2000; dalam Ghufron, 2010) menunjukkan bahwa persepsi remaja
tingginya kemampuan mengontrol dirinya. Oleh sebab itu, bila orang tua menerapkan
sikap disiplin kepada anaknya secara intens sejak dini, dan orang tua tetap konsisten
terhadap semua konsekuensi yang dilakukan anak bila ia menyimpang dari yang
sudah ditetapkan, maka sikap kekonsistenan ini akan didinternalisasi anak. Di
kemudian akan menjadi kontrol diri baginya.
2.4. Kerangka Berfikir
Agresivitas dapat dilakukan oleh siapa saja, bukan hanya masyarakat sipil biasa.
Bahkan pegawai pemerintah penegak hukum (seperti Satpol PP) sekalipun
berkecenderungan melakukan perilaku agresif. Tindakan ini biasanya dilakukan
satpol pp saat menjalankan tugasnya. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah RI
no.32 tahun 2004, standar pelayanan Satpol PP meliputi: pelaksanaan ketentraman,
pelaksanaan ketertiban, pelaksanaan penyidikan, pelaksanaan penindakan,
pengawasan pelaksanaan perda, pelaksanaan operasi pembongkaran, penghentian dan
penutupan. Namun, tampaknya standar pelayanan ini belum dipahami betul sehingga
perilaku agresi masih sering dilakukan oleh oknum satpol pp.
Karena itu, menjadi aneh bila Satpol PP yang sudah memiliki peraturan tetap namun
masih terjadi tindakan agesif. Hal ini memunculkan pertanyaan, faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi agresivitas Satpol PP?
Setidaknya terdapat beberapa faktor munculnya agresivitas, antara lain faktor internal
gender, dan kepribadian. Faktor eksternal yaitu: kekuasaan dan kepatuhan, efek
senjata, provokasi, alcohol dan obat-obatan, suhu udara, polusi udara, media, dan
budaya (Luthfi, 2009; Baron&Byrne, 2005; Krahe, 2005).
Penelitian-penelitian tentang penyebab munculnya perilaku agresif telah banyak
dilakukan, diantaranya adalah penelitian Glass (dalam Baron & Byrne, 2005) yang
menyimpulkan bahwa faktor kepribadian berperan penting dalam perilaku agresif.
Menurutnya bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif dapat dilihat
dari kepribadiannya. Individu yang memilki kepribadian tipe A cenderung lebih
agresif dalam banyak situasi daripada individu dengan kepribadian tipe B.
Penelitian yang dilakukan oleh Juan J. Bartemi (2005) mengenai agresivitas dan
kepribadian big five yang dihubungkan dengan prestasi belajar siswa, menyimpulkan
bahwa adanya hubungan yang signifikan antara agresivitas dan kepribadian big five
dengan prestasi belajar pada siswa tingkat delapan (setara dengan SMP).
Kepribadian itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah organisasi dinamis di dalam
sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan
pikirannya (Allport, 1937; dalam Ghufron, 2010). Kepribadian seseorang
mempengaruhi cara individu dalam beraksi, berpikir, merasa, berinteraksi, dan
beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam bentuk perilaku agresif (Larsen &
Buss, 2005). Mischel (1968; dalam Friedman, 2008) menyimpulkan bahwa
adalah konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe
adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait,
tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar dibandingkan trait.
Faktor kepribadian adalah faktor manusia yang dianggap cukup berperan dalam
perilaku agresif, karena kepribadian merupakan salah satu variabel person yang dapat
menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Kepribadian dapat mempengaruhi kognisi
dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di dalam memori (Anderson &
Bushman, 2002). Individu yang memiliki sifat agresif hanya akan membutuhkan
sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep
agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses dan lebih siap untuk teraktivasi
pada situasi lain. Kepribadian juga dapat mengaktivasi konsep-konsep yang
berhubungan dengan agresi di dalam memori yang dapat mempengaruhi cognition,
affect, dan arrousal yang dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Moyer
(dalam Luthfi, 2009) beranggapan bahwa agresivitas merupakan suatu proses yang
ada didalam otak dan saraf pusat. Orang-orang yang memiliki kecenderungan
agresivitas tinggi memiliki struktur dan komponen otak yang berbeda dengan orang
yang agresivitasnya rendah.
Salah satu tipe kepribadian adalah big five personality, yaitu suatu pendekatan yang
digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang
menggunakan analisis faktor. Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion,
agreeableness, conscientiousness, neuoriticism, openness to experiences.
Neuroticism menggambarkan stabilitas emosional dengan cakupan-cakupan perasaan
negatif yang kuat termasuk kecemasan, kesedihan, irritability dan nervous tension.
Ekstraversion mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal,
tingkatan aktivitas, kebutuhan akan dorongan, dan kapasitas dan kesenangan.
Openness mengukur gambaran keluasan, kedalaman, dan kompleksitas mental
individu dan pengalamannya. Agreeableness mengukur kualitas dari apa yang
dilaku