• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RUANG LINGKUP SANAD HADIS

C. Autentisitas Sanad dalam Kesahihan Hadis

Kritik terhadap sanad dalam kajian hadis ditujukan untuk mengetahui sisi autentisitas sebuah hadis. Apakah suatu hadis memang benar-benar

42Zulheldi, “Eksistensi Sanad Dalam Hadis” dalam jurnal Miqot, Vol. XXXIV, No.

2 Juli-Desember 2010, 3.

bersumber dari Nabi ataukah diragukan bersumber dari Nabi atau bahkan perkataan palsu yang diatributkan pada Nabi saja. Dari aspek sanad lah, seseorang dapat pertama kali mengklaim sisi autentisitas hadis yang ditelitinya. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa autentisitas sanad merupakan suatu kemutlakan dalam memahami hadis lebih jauh. Pandangan seperti inilah yang dipegangi oleh mayoritas ulama hadis.43 Menurut M.

Syuhudi Ismaʻil dalam bukunya Kaidah Kesahihan Sanad Hadis terdapat kaidah dan metode keilmuan hadis. Maka dengan kaidah dan metode inilah para ulama menyeleksi setiap periwayatan dan menentukan autentisitas hadis tersebut/ kualitas ke-sahih-annya.44 Di antara kaidah yang mereka rumuskan adalah sebagai berikut:

1. Ittiṣal al-Sanad (Sanad bersambung)

Maksud dari kaedah ini adalah para perawi yang terdapat dalam suatu sanad menerima langsung hadis tersebut dari perawi sebelumnya, begitu seterusnya hingga akhir sanad.45 Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sebuah sanad, biasanya para ulama hadis melakukan hal sebagai berikut:

a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.

b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.

c. Memperhatikan Ṣighat al-Taḥammul wa al-Adā’ yaitu kata-kata periwayatan yang digunakan periwayat untuk menegaskan proses periwayatan hadis.46

Jadi, suatu sanad baru dapat dinyatakan bersambung apabila ia memenuhi unsur kebersambungan yang ditunjukkan dengan adanya

43‘Abd Raḥmān b. Abī Bakr al-Suyūti, Tadrīb al-Rawi (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadisah, t.th), 70.

44M. Syuhudi Ismaʻil, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2014), 123.

45Subḥi al-Ṣalih, ʻUlūm al-Hadis wa Muṣṭalahuhu (Beirut: Dār al-‘Ilmi al-‘Ilmiyyah, 1977), 145.

46M. Syuhudi Ismaʻil, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, 132-133.

kesezaman antar perawi (muʻasharah) dan hubungan periwayatan hadis berupa pertemuan dalam penyampaian hadis sebagai guru – murid (liqa’).

2. Periwayat Bersifat Adil

Kata adil (al-‘adl) dalam istilah ilmu hadis, dipahami sebagai suatu sifat yang timbul dalam jiwa seseorang yang mampu mengarahkan orang tersebut kepada perbuatan takwa dan memelihara muruʻah hingga ia dipercaya karena kejujurannya, terpelihara dari dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil, dan menjauhi hal-hal mubah yang dapat menghilangkan muruʻah.47 Dalam buku Kaidah Kesahihan Hadis karya Syuhudi Ismaʻil, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang persyaratan bagi perawi yang dikatakan adil. Dari berbagai perbedaan tersebut, ia menyatakan bahwa syarat adil mengacu kepada kualitas keberagamaan perawi dan mencakup 4 (empat) persyaratan, yaitu:

beragama Islam, mukallaf, takwa (menjalankan kewajiban agama), dan memelihara muruʻah. Adapun cara untuk mengetahui keadilan seorang perawi adalah berdasarkan kepada popularitas keutamaan perawi, penilaian dari ulama kririkus hadis, dan penerapan kaidah al-jarh wa al-taʻdīl jika para ulama tidak sepakat tentang kualitas seorang perawi. Adapun untuk para sahabat Nabi, hampir seluruh para ulama menilai mereka bersifat adil.48

3. Periwayat bersifat ḍabiṭ

Menurut Ibn Ḥajar al-‘Asqalanī dan al-Sharkawī, seperti dijelaskan oleh Syuhudi Ismaʻil dalam karyanya, ḍabiṭ adalah orang yang kuat hafalan terhadap apa yang didengar dan mampu menyampaikannya kapan saja ia mengkehendakinya.49 Maka dapat dipahami bahwa pada hakekatnya sifat ḍabiṭ bukan hanya sekedar kekuatan hafalan seorang perawi, tetapi juga mensyaratkan kemampuan memahami hadis tersebut. Sebagian ulama juga

47Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan Dalam Studi Hadis”, Esensia, Vol.

16, No. 2, Oktober 2015, 3.

48M. Syuhudi Ismaʻil, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, 139.

49M. Syuhudi Ismaʻil, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, 140.

mengatakan bahwa orang yang ḍabiṭ ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, memahaminya dengan pemahaman yang mendetail, kemudian hafal secara sempurna, mulai dari saat dia mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.50

Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keḍabiṭ-an, jika keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi, maka ke ḍabiṭ-an berkenaan dengan kualitas intelektual. Oleh karena itu, menurut ulama hadis, antara adil dan ḍabiṭ memiliki hubungan yang sangat erat, kemudian dijadikan satu dengan istilah thiqah, jadi periwayat yang thiqah ialah periwayat yang adil dan ḍabiṭ.51 4. Terhindar dari Shadh (kejanggalan)

Menurut pendapat al-Shafiʻī dalam bukunya Muhammad Syuhudi Ismaʻil ialah suatu hadis dinyatakan mengandung shadh apabila hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi thiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang juga bersifat thiqah. Dan hadis tidak dinyatakan mengandung shadh, apabila hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat thiqah, sedang periwayat lain yang thiqah tidak meriwayatkannya.52 5. Terhindar dari ‘Illat

Pengertian ‘illat menurut istilah ilmu hadis, sebagaimana yang dipaparkan oleh ibn al-Ṣalah ialah sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis, sehingga hadis yang lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak sahih.53

‘Illat disini bukanlah cacat pada hadis yang dapat diketahui secara kasat mata oleh seorang peneliti, seperti perawi pendusta atau tidak kuat hafalan. Melainkan cacat di sini ialah cacat tersembunyi yang membutuhkan

50Subḥi al-Ṣaliḥ, ‘Ulūm al-Hadis wa Muṣṭalahuhu, 128.

51Idri, Studi Hadis, 164.

52M. Syuhudi Ismaʻil, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, 144.

53Abū ‘Amr ‘Uthmān b. ‘Abd Raḥmān Ibn Ṣalah, ‘Ulūm Hadis (Al-Madinah al-Munawwaroh: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), 81.

kecermatan ulama kritikus hadis, karena akan mengakibatkan lemahnya sanad.

Bahkan menurut ‘Abdurraḥman al-Mahdī (w. 194 H/814 M) menyatakan, untuk mengetahui ‘illat diperlukan intuisi (ilham) untuk mengetahui cacat tersembunyi tersebut.54

Adapun menurut ‘Alī b. al-Madinī dan al-Kaṭīb al-Baghdādī mengatakan, untuk mengetahui ‘illat hadis, terlebih dahulu menghimpun semua sanad yang berkaitan dengan hadis yang sedang diteliti. Lalu seluruh rangkaian dan kualitas periwayat dalam sanad itu diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat. Maka dengan jalan demikian itu, baru dapat ditentukan apakah hadis tersebut mengandung ‘illat atau tidak.55

Demikianlah kelima syarat yang harus dipenuhi oleh suatu hadis untuk dapat dinyatakan berkualitas sahih. Apabila salah satu dari kelima syarat ini tidak terpenuhi, maka derajat hadis tersebut jatuh kepada peringkat yang lebih rendah (ḍa’īf), dan hadis yang mendapat penilaian seperti ini tidak dapat diterima dan menjadi hujjah.

D. Metode Analisis Hadis

Dokumen terkait