• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RUANG LINGKUP SANAD HADIS

D. Metode Analisis Hadis

Takhrīj al-Hadis adalah kata bahasa arab yang terdiri dari dua suku kata, takhrīj dan hadis. Secara bahasa kata “takhrīj” adalah bentuk maṣdar dari kata "kharraja" yang memiliki arti mengeluarkan.56 Kata tersebut juga dapat diartikan dengan makna al-Istinbāṭ (mengeluarkan),57 atau at-Tadārīb (meneliti),58 dan at-Tawjīh (menerangkan).59 Sedangkan kata “kharraja”

54M. Syuhudi Ismaʻil, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, 153.

55M. Syuhudi Ismaʻil, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, 153.

56Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 115.

57A. J. Wensink, Qāmus Munjid fi Lughah wa I’lam (Beirut: Maktabah al-Syarqiyah, 1986), 172.

58Mahmud Thahhan, Uṣul al-Takhrīj wa al-Dirasah al-Asānid, terj. Ridwan Nasir (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), 2.

59ʻAbdul Qādir b. ʻAbdul Hadi, Ṭuruq al-Takhrīj al-Hadis, terj. Said Aqil Husain (Semarang: Dina Utama, 1994), 2.

sendiri merupakan fiʻil maḍī mazīd yang berasal dari fiʻil maḍī thulāthī mujarrad, yakni “kharaja”60 yang berarti keluar.61 Sedangkan takhrīj menurut istilah dikemukakan oleh beberapa tokoh, di antaranya Mahmud Thahhan dan Syuhudi Ismaʻil yakni:

a. Mahmud Thahhan mendefinisikannya sebagai menunjukkan tempat hadis pada sumber-sumber aslinya, di mana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan.62

b. M. Syuhudi Isma’il mengemukakan definisi takhrīj dalam bukunya sebagai penelusuran atau pencarian hadis di berbagai kitab hadis sebagai sumbernya yang asli yang di dalamnya dikemukakan secara lengkap dengan matan dan sanad hadisnya.63

Dari definisi takhrīj di atas, dapat disimpulkan bahwa takhrīj memiliki arti sebagai usaha dalam penelurusan atau pencarian sanad dan matan hadis secara lengkap, yang telah disusun atau dikumpulkan oleh para ulama di dalam karya-karya hadis mereka.

Adapun kata “Hadis” secara bahasa memiliki banyak makna, yaitu al-Jadīd (baru),64 Qarīb (dekat),65 dan Khabar (warta atau berita).66 Dari ketiga makna hadis secara bahasa tersebut, makna khabar-lah yang paling mendekati atau sesuai dengan makna istilah, karena yang dimaksud dengan khabar di sini bisa mencakup ucapan, perbuatan, dan pengakuan Nabi atau yang lainnya,

60M. Maʻṣum ʻAlī, Al-Amthilatu At-Taṣrifiyyah, 12.

61Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, 115.

62Mahmud Thahhan, Metode Takhrīj Dan Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridlwan Nasir, Cet. 1 (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1995), 5.

63M. Syuhudi Ismaʻil, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 43.

64Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), 11.

65Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, 3.

66M. Abdurrahman & Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2013), 192.

seperti sahabat, tabiʻin atau yang lainnya. Oleh karena itu, ulama menyatakan bahwa setiap hadis adalah khabar, tetapi tidak setiap khabar adalah hadis.67

Sedangkan hadis menurut istilah ialah:

ٍةَفِّص ْوَأ ٍرْيِّرْقَ ت ْوَأ ٍلْعِّف ْوَأ ٍلْوَ ق ْنِّم َمَّلَسَو ِّهْيَلَع ٌالله ىَّلَص ِّ ِّبَِّنلا َلَِّإ َفْيِّضُأ اَم .

68

“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw., baik berupa ucapan, perbuatan, sifat maupun ketetapan”.

Adapun definisi takhrīj hadis menurut ulama hadis, di antaranya:

1. Ibn al-Ṣalāḥ (w. 643 H), mengartikan takhrīj hadis dengan mengeluarkan hadis dan menjelaskan kepada orang lain dengan menyebutkan mukharrīj (penyusun kitab hadis).69

2. Al-Sakhawī (w. 902 H), mendefinisikannya dengan muḥaddiṣ (orang yang ahli hadis) mengeluarkan hadis dari sumber kitab. Baik dari kitab-kitab hadis asli, guru-gurunya atau sejenisnya serta semua hal yang terkait dengan hadis tersebut.70

3. ʻAbd al-Raūf al-Manāwī (w. 1031 H) mendefenisikannya dengan mengkaji dan melakukan ijtihad untuk membersihkan hadis dan menyandarkannya kepada mukharrīj-nya, baik dari kitab-kitab Jamiʻ, sunan dan al-musnad setelah melakukan penelitian dan pengkritikan terhadap keadaan hadis dan perawinya.71

Maka, dari beberapa pendapat ulama mengenai definisi takhrīj hadis di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa takhrīj hadis ialah mengeluarkan hadis

67M. Abdurrahman, dkk, Metode Kritik Hadis, 192.

68Mahmud Tahhan, Taysīr Musṭalah al-Hadis (Riyadh: Maktabah al-Maʻārif, 2002), 13

69Abū ʻAmr ʻUthmān b. ʻAbd al-Raḥmān al-Shayrāzī b. Ṣalāḥ, ’Ulūm al-Hadis, Cet.

II (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-ʻIlmiyah, 1973), 228.

70Shams al-Dīn Muḥammad b. ʻAbd al-Raḥmān al-Sakhāwī, Fatḥ al-Mugīth Syarḥ Alfiah al-Hadis (Beirut: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyah, 1403), 10.

71ʻAbd Raūf Manāwī, Faiḍ Qadīr Syarḥ Jāmi Ṣagīr, Juz I (Mesir: al-Maktabah al-Tijāriyah al-Kubrā, 1356), 17.

secara lengkap, baik dari sanad, matan hingga menyebutkan mukharrīj nya, yang diambil dari kitab-kitab hadis asli.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa dalam men-takhrīj suatu hadis perlu adanya rujukan ke berbagai sumber kitab hadis. Maka dalam penelusurannya, diperlukan metode-metode yang dapat membantu dalam penelusuran tersebut. Adapun metode-metode men-takhrīj hadis menurut Mahmud Thahhan ada 5 macam, yaitu (a) takhrīj dengan indeks nama sahabat (bi ar-rawi al-aʻla); (b) takhrīj dengan permulaan matan (bi awwal al-matan);

(c) takhrīj dengan indeks kata (bi lafẓi); (d) takhrīj dengan tema (bi al-Maudū’i); (e) takhrīj dengan penelusuran berdasarkan kondisi sanad dan matan.72

Dalam penelitian ini, yang digunakan hanyalah tiga metode dari lima metode di atas sesuai kebutuhan atas konteks hadis yang diteliti. Adapun metode tersebut ialah:

1. Takhrīj dengan indeks nama sahabat (bi ar-rawi al-aʻla)

Metode ini adalah pengenalan nama periwayat pertama di tingkat Sahabat. Maka metode ini akan berfungsi jika nama Sahabat disebutkan dalam hadis, sebaliknya jika tidak terdapat nama Sahabat dalam hadis, maka metode ini tidak dapat dilakukan.73 Adapun kitab yang dipakai dalam penelitian ini dengan menggunakan metode takhrīj bi ar-rawi al-aʻla (dengan nama sahabat) adalah kitab Musnad Aḥmad b. Ḥanbal dan al-Mu’jam al-Kabīr.

2. Takhrīj dengan permulaan matan (bi awwal al-matan)

72Mahmud Thahhan, Metode Takhrīj, terj. Ridlwan Nasir, Cet. 1, 25.

73Ali Akhbar Abaib Mas Rabbani Lubis, Ilmu Takhrij al-Hadis Dalam Sorotan:

Seputar Perkembangan Penggambaran Teori dan Praktik, Jurnal Universum, Vol. 13, No. 2, Juli 2019, 7.

Metode ini digunakan ketika mengetahui dengan pasti atau menetapkan pengetahuan ungkapan awal dalam matan hadis.74 Adapun kitab yang dipakai, yang dapat membantu dalam penelitian ini dengan menggunakan metode takhrīj bi awwal al-matan (dengan permulaan matan) adalah kitab Mawsuʻah Aṭraf al-Hadis an-Nabawī as-Sharīf karya Abū Ḥajar Muḥammad as-Saʻīd b. Basyuni Zaglul.

3. Takhrīj dengan kata (bi al-lafẓi).

Metode ini didasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa isim (nama benda) ataupun fiʻil (kata kerja). Para penyusun kitab takhrīj menitikberatkan peletakan hadis menurut lafal-lafal asing (gharib). Semakin gharib, maka pencarian hadis akan semakin mudah dan efisien.75 Adapun kitab yang dipakai, yang dapat membantu dalam penelitian ini dengan menggunakan metode takhrīj bi lafẓi (dengan kata) adalah kitab Muʻjam al-Mufaḥras li Alfāẓ al-Hadis al-Nabawi karya A.J. Wensinck.

2. Naqd al-Hadis

Kata naqd merupakan bentuk fiʻil maḍi yakni

َدَقَ ن

yang artinya kritik.76 Dalam pandangan umum orang Indonesia, kata “kritik” berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.77 Maka dari arti bahasa tersebut, kata kritik bisa diartikan sebagai upaya membedakan antara yang benar (asli) dan yang salah (tiruan/palsu).

74Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadis: Kajian Tentang Metodologi Takhrij dan Kegiatan Penelitian Hadis (Bandung: Tafakur, 2012), 12.

75Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadis, 28

76Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, 295.

77Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 466.

Kata kritik dalam ilmu Hadis sering dinisbatkan pada kegiatan penelitian hadis yang disebut dengan al-Naqd. Sementara pengertian kritik hadis secara terminologi adalah upaya membedakan antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis ḍaʻīf dan menentukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya.78 Penetapan status cacat atau adil pada perawi hadis dengan mempergunakan idiom khusus berdasarkan bukti-bukti yang mudah diketahui oleh ahlinya, dan mencermati matan-matan hadisnya,79 salah satunya dengan mengetahui celaan dan pujian terhadap periwayat hadis, yang istilah tersebut dalam ilmu hadis disebut dengan al-Jarḥ wa at-Taʻdīl.80

Menurut Ash-Shiddieqy kaidah naqd al-hadis dibagi menjadi dua macam81, yaitu:

1. Naqd al-Khariji (kritik sanad hadis)

Pada kaidah naqd al-Khariji atau naqd as-Sanad ini membahas tentang cara-cara periwayatan hadis, sahnya periwayatan, keadaan rawi, dan kadar kepercayaan kepada mereka. Kritik sanad hadis pada umumnya berkisar di sekitar persoalan ketersambungan sanad, ke-thiqah-an rawi dan penyelidikan terhadap kejujuran rawi menyampaikan sumber hadis yang didapat.82

Adapun langkah untuk melihat ketersambungan sanad (ittiṣa al-sanad), keadaan rawi dan lainnya, sudah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya.83

78Rahman Fatur, Ihtisar Musthalahul Hadis, Cet Ke 1 (Bandung: Almaʻrif, 1974), 40.

79Hasyim Abbas, Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin Dan Fuqaha (Yogyakarta:

Teras, 2004), 10.

80M. Syuhudi Ismaʻil, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 70.

81M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, 79-80.

82Hatta Abdul Malik, Naqd al-Hadits Sebagai Metode kritik Kredibilitas Informasi Islami, Journal Of Islamic Studies and Humanities, Vol. 1, No. 1, 2016, 22.

83Lihat pada halaman 29-30.

2. Naqd al-Dakhili (Kritik Matan Hadis)

Naqd al-Dakhili atau naqd al-Matn yaitu menilai hadis dari sisi internalnya dengan mempertimbangkan terhindarnya matan dari shadh dan ʻillat. Dalam melakukan kritik hadis dari sisi internal, dapat digunakan beberapa metode/ilmu, antara lain:

a. Dengan mengetahui sisi pengucapannya. Metode ini menilai kesahihan hadis dengan melihat apakah hadis itu tergolong kepada hadis qudsi, hadis marfu’, hadis mauquf, ataukah hadis maqṭu’. Ketika sudah diketahui posisi hadis itu, maka dapatlah diketahui kesahihannya.

b. Dengan mengetahui segi-segi cara periwayatannya. Kritik dengan metode ini mempertimbangkan beberapa aspek, diantaranya adalah sebab-sebab keluarnya hadis, nasikh-mansukh hadis, perbedaan nash hadis dan muhkam al-hadis.84

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik hadis (Naqd al-Hadis) adalah usaha untuk menguji kelayakan sanad dan matan hadis dengan tujuan mengakui kelemahan dan kekuatan sanad dan menetapkan kebenaran dan kesalahan matan. Adapun yang dilakukan saya dalam penelitian ini hanya berfokus pada naqd al-khariji atau naqd as-Sanad saja, tidak dengan Naqd al-dakhili atau naqd al-matn.

84M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, 79-80.

39 BAB III

DESKRIPSI KITAB IRSHĀD AL-ʻIBĀD

Pada bab III ini, mencantumkan pembahasan mengenai dinamika intelektual Zain al-Dīn al-Malībārī dan tinjauan tentang kitab Irshād al-ʻIbād yang meliputi gambaran umum kitab Irshād al-‘Ibād, isi kitab dan hadis-hadis yang ada dalam kitab Irshād al-‘Ibād. Adapun pembahasan tersebut sebagai berikut:

A. Dinamika Intelektual Zain Al-Dīn Al-Malībārī

Nama lengkap Zain al-Dīn adalah Ahmad Zain al-Dīn b. ʻAbd al-‘Azīz b. Zain al-Dīn Abī Yaḥyā b. ‘Alī b. Aḥmad al-Maʻbarī al-Malībārī al-Fannānī as-Shāfiʻī,1 seorang ulama karismatik yang berasal dari India.

Kata al-Malībārī dalam namanya merupakan kata nisbah yang menunjukkan wilayah asalnya yakni Malibar, nama sebuah wilayah besar yang melingkup banyak kota di India Selatan.2 Az-Ziriklī dalam kitabnya al-Aʻlam mengucapkan kata tersebut dengan al-Mallībārī, dengan mentasydidkan huruf Lam nya. Adapun Ibnu Baṭuṭah dalam kitabnya yang berjudul Tuḥfat an-Nuẓār fī Gharāib Amṣār wa ‘Ajāib Asfār mengucapkan kata tersebut dengan al-Mulaibār.3

Sedangkan kata al-Maʻbari disandarkan pada daerah bernama Maʻbar, daerah yang ada di sebelah timur Malabar. Dan kata al-Fannānī disandarkan pada daerah yang bernama Ponnani, daerah yang masih termasuk dalam wilayah Malabar.4

1Ahmad Zain Dīn Maʻbari Malībārī, Tuḥfat Mujāhiddīn fi Aḥwali al-Burtughāliyyīn (Beirut: Muassasat al-Wafa, 1985), 5.

2Shihab al-Dīn Abī ‘Abdillah Yaqut, Muʻjām al-Buldān, Jilid 5 (Beirut: Dār Ṣādīr, t.th), 196.

3Ahmad Zain al-Dīn, Tuḥfat al-Mujāhiddīn, 5-6.

4Ahmad Zain al-Dīn, Tuḥfat al-Mujāhiddīn, 6.

Mengenai tanggal dan bulan kelahiran Zain al-Dīn al-Malībārī, saya tidak menemukan di berbagai literatur-literatur yang ada. Namun, menurut Umar Riḍa Kahālah dalam karyanya yakni Muʻjam Al-Muallifīn bahwa beliau hidup pada masa abad ke-16 M.5 Maka jika dilihat dari sudut sejarah peradaban islam, masa abad tersebut adalah masa pemerintahan Dinasti Mughal India yakni abad ke-16 M, tepatnya pada masa pemerintahan Zahiruddin Babur (1482-1530 M), Humayun (1530-1539 M) dan Akbar Agung (1556-1604).6 Maka dapat diprediksikan bahwa tahun kelahiran Zain al-Dīn al-Malībārī sekitar tahun kelahiran Zahiruddin babur, Humayun sampai Akbar Agung.

Zain al-Dīn al-Malībārī berasal dari keluarga yang agamis, keturunan ahli ilmu, adab, dan dakwah. Sehingga menjadikan keluarganya di hormati dan disegani karena keilmuan yang dimiliki oleh keluarganya.7 Ayahnya bernama

‘Abd al-‘Azīz b. Zain al-Dīn merupakan seorang tokoh dan ulama di India yang terkenal sebagai seorang fakih, ahli kalam, hadis dan tafsir, sehingga ia menjadi salah satu guru di Malibar. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Maslak al-Atqiyyā’ wa Minhaj al-Aṣfiyā’, syarh dari kitab ayahandanya sendiri yakni Hidāyat al-Adhkiyā’ ilā Ṭarīq al-Awliyā’. Kitab ini merupakan salah satu kitab ilmu akhlak yang sangat banyak dibaca oleh kalangan pelajar di Malibar, sehingga ulama-ulama di kalangan mazhab Shafiʻī menganjurkan agar kitab ini dipelajari sampai Mesir. Dan kitab ini selesai ditulis pada tahun 993 H.8 Adapun biografi ibunda Zain al-Dīn al-Malībārī tidak ditemukan di dalam literatur-literatur yang sudah saya telaah.

Nama kakek Zain al-Dīn al-Malībārī adalah Zain al-Dīn ibn ‘Alī, seorang ulama besar dan karismatik di kotanya yang dianggap sebagai ulama

5‘Umar Riḍa Kahalah, Muʻjam Muallifīn, Juz 3 (Beirut: Dār Ihya At-Turāth

Al-‘Arabī, t.th), 193.

6Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2013), 147-149.

7Ahmad Zain al-Dīn, Tuhfat al-Mujāhiddīn, 5.

8Ahmad Zain al-Dīn, Tuhfat al-Mujāhiddīn, 8.

ahli di bidang ilmu hukum, sejarah, dan sastra. Ia juga merupakan seorang ulama Mujahidin terdepan yang melawan Portugis yang masuk ke India.9 Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut:

1. Irshād Qāṣidīn, ringkasan dari kitab Minhāj ‘Ābidīn karya Imam al-Ghazali. Kitab ini dicetak di Ponnan.

2. Sirāj al-Qulūb wa ‘ilāj az-Ẓunūb 3. Shams al-Hudā

4. Aṣ-Ṣafā min as-Shifā, ringkasan dari kitab As-Shifā lil Qāḍī 5. Kifayat al-Farāiḍ fī Ikhtiṣār al-Kāfī fī al-Farāiḍ

6. Murshīd aṭ-Ṭulāb ilā al-Karīm al-Wahhāb 7. Hidayat al-Adhkiya ilā Ṭarīq al-Auliyā’10

Zain Dīn Malībārī juga termasuk ke dalam sebutan keluarga al-Makhdūm, yakni julukan yang diberikan oleh orang-orang muslim di Malabar khususnya Ponnan, atas bentuk penghormatan dan kemuliaan kepada tiga ulama yang memiliki nama Zain al-Dīn. Adapun tiga ulama di sini ialah Zain al-Dīn b. Ahmad (paman kakeknya), Zain al-Dīn b. ‘Alī (Kakeknya) dan Zain al-Dīn al-Malībārī. Julukan “al-Makhdūm” ini masih digunakan di negara tersebut untuk cucu dan penerusnya.11

Adapun paman kakeknya yang bernama Zain al-Dīn b. Ahmad adalah seorang Qaḍī12 yang berilmu, hafal al-Qur’an dan seorang fakih.13 Maka tidak heran jika sebutan Zain Dīn Makhdūm membuat keliru, karena Zain al-Dīn al-Makhdūm di sini dinisbatkan kepada tiga orang ulama.

9Ahmad Zain al-Dīn, Tuḥfat al-Mujāhiddīn, 9.

10Ahmad Zain al-Dīn, Tuḥfat al-Mujāhiddīn, 12-13.

11Ahmad Zain al-Dīn, Tuḥfat al-Mujāhiddīn, 6.

12Kata Qaḍī merupakan kata Bahasa arab yakni يضاق yang artinya seorang hakim yang membuat keputusan berdasarkan syari’at Islam. Lihat Wael B. Hallaq, Suatu Pengantar Hukum Islam (Oxford University Press, 2009), 175.

13Ahmad Zain al-Dīn, Tuḥfat al-Mujāhiddīn, 9.

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dialami seorang anak manusia ketika dilahirkan ke dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, keluarga juga merupakan lingkungan utama dalam pembentukan kepribadian seorang anak, termasuk masa-masa awal pertumbuhannya. Maka segala bentuk perilaku keluarga, khususnya kedua orang tua, baik lisan maupun perbuatan, baik yang bersifat pengajaran, keteladanan maupun kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan di dalam kehidupan sosial keluarga, akan mempengaruhi pola perkembangan perilaku anak selanjutnya.14 Proses inilah yang dialami oleh Zain al-Dīn al-Malībārī dalam perkembangan masa kecilnya. Ia mendapatkan pendidikan pertamanya dari kedua orang tuanya, baik itu pendidikan agama, akhlak, sosial dan lainnya. Setelah pondasi ilmu agama selesai diajarkan kedua orangtuanya, Zain al-Dīn al-Malībārī diserahkan kepada saudara Ayahnya yang bernama Syekh ‘Abd al-Azīz yang mengajar di masjid Ponnan, masjid yang dibangun oleh kakek Zain al-Malībārī.15 Di masjid16 tersebutlah Zain al-Dīn al-Malībārī belajar dan menghafal al-Qur’an serta memperdalam ilmu-ilmu agama, di antaranya ilmu tafsir dan hadis.17

Setelah beliau belajar keilmuan di wilayahnya yakni masjid Ponnan, ia melanjutkan pengembaraan ke beberapa negara yang menjadi destinasi para pelajar untuk memperdalam dan mematangkan keilmuannya, di antaranya Jazirah Arab dan Hijaz.18 Di antara guru-guru Zain al-Dīn al-Malībārī adalah:

14Hasbi Wahyi, Keluarga sebagai basis pendidikan pertama dan utama, Jurnal Ilmiah Didaktika Februari 2012, Vol. XII, No. 2, 1.

15Faiqotul Fauziah, Skripsi: “Analisis Konsep Nafkah Menurut Syaikh Zayn Ad-Dīn Al-Malibarī Dan Hukum Perkawinan Di Indonesia” (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2018), 20.

16Masjid adalah tempat beribadah umat Islam. Dalam sejarahnya, masjid memiliki arti penting dalam kehidupan umat Islam, karena sejak masa Rasulullah saw., masjid menjadi sentra utama seluruh aktivitas umat Islam generasi awal, baik itu musyawarah, menuntut ilmu bahkan masjid menjadi fasilitas umat Islam mencapai kemajuan peradaban. Lihat, Syamsul Kurniawan, Masjid Dalam Lintasan Sejarah Umat Islam, Jurnal of Islamic Studies, Vol. 4, No. 2, 2014, 1.

17Aḥmad Zain al-Dīn, Tuhfat al-Mujāhiddīn, 6.

18Aḥmad Zain al-Dīn, Tuhfat al-Mujāhiddīn, 7.

a. Orang tua Zain al-Dīn al-Malībārī b. Syekh ‘Abd al-Azīz (saudara Ayahnya)

c. Aḥmad b. Muḥammad b. ‘Alī b. Ḥajar (Ibnu Ḥajar Al-Haitamī) (909-974 H/1504-1567 M).

d. Ibnu Ziyād (900-975 H/1494-1567 M).

e. ‘Abd al-‘Azīz b. ‘Ali b. ‘Abd al-‘Azīz b. ‘Abd as-Salām as-Shairozī, yang dikenal dengan nama Shaikhul Islām Izzuddin ʻAbdul ʻAzīz az-Zamzamī (900-976 H/1494-1567 M).

f. Muḥammad b. Abī al-Ḥasan Muḥammad b. Muḥammad al-Bakrī as-ṣadīqī, Abū Bakr Zain al-Dīn (930-994 H/1523-1586 M).19

Setelah beliau menguasai ilmu-ilmu agama yang ia pelajari dari berbagai gurunya, ia lebih condong dan menguasai di bidang fikih. Keahlian tersebutlah yang menjadikan ia terkenal bahkan harum namanya sebagai ahli fikih selama ia hidup bahkan setelah ia meninggal.20 Kemahiran yang ia miliki tentu dampak dari guru-gurunya yang dilatarbelakangi oleh madzhab Shafiʻī.

Maka tidak heran jika Syekh Zain al-Dīn al-Malībārī ahli di bidang fikih khususnya madzhab Shafiʻī dan ke-shafiʻī-annya di-laqab-kan pada namanya.

Adapun salah satu karya fikih beliau yang menandakan bahwa beliau ulama ahli fikih adalah kitab Fatḥ al-Mu’īn bi Sharḥ Qurrat al-‘Aini bi Muhimmat al-Dīn, kitab monumental dan bermutu tinggi yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Selain dikaji di berbagai penjuru dunia, kitab ini juga di ḥāsyiyah21-i oleh beberapa ulama, di antaranya kitab I’ānaṭ aṭ-Ṭālibīn karya Sayyid Abū

19Ahmad Zain al-Dīn al-Ma’bari al-Malībārī, Fath al-Mu’īn bi Syarh Qurrati al-‘Aini bimuhimmāti al-Dīn (Beirut: Dār Ibn Hazm, 2004), 6-7.

20Zain al-Dīn, Tuhfat al-Mujāhiddīn, 5.

21Secara bahasa, Hāsyiyah memiliki arti pinggir atau samping. Secara istilah Hāsyiyah identik dengan ta’liqah yang berarti ungkapan/penjelasan untuk sisi kitab atau terhadap syarh kitab. Lihat, Irfan Salim, Tradisi Penulisan Hāsyiyah di Dunia Islam, AL-Qalam Vol. 29 No. 2, 2012, 3.

Bakr ‘Uthmān b. Muḥammad Shaṭa, kitab hasyiah yang paling popular.22 Dan kitab Tarshīḥ al-Mustafīdīn karya Sayyid ‘Alawi b. Sayyid Aḥmad as-Saqāf.23

Seperti kebanyakan ulama lainnya, Syekh Zain al-Dīn al-Malībārī juga dikenal sebagai ulama yang tegas, kritis, konsisten, dan memiliki pendirian yang teguh. Bahkan ia pernah menjadi seorang hakim, penasehat kerajaan dan diplomat.24 Dalam menuangkan pemikiran dan pemahamannya tentang agama, Zain al-Dīn al-Malībārī tidak hanya menyampaikan lewat lisan saja, akan tetapi dalam bentuk tulisan. Dan tulisan-tulisan tersebut termaktub dalam sebuah kitab, mulai dari bidang Akidah, Fikih, Tasawwuf, Sejarah hingga Sastra. Di antara tulisan yang dihasilkannya adalah:

a. Al-Ajwibatu al-‘Ajībatu ‘an al-As-ilati al-Gharībati. Kitab ini merupakan kumpulan fatwa masalah fikih.25

b. Fatḥ al-Muʻīn bi sharḥ Qurrat al-‘Aini bi Muhimmāti al-Dīn. Kitab ini patut mendapatkan penghargaan, karena kitab ini merupakan kitab yang monumental di kalangan pesantren-pesantren seluruh Indonesia sebagai suatu kitab Fiqih, bahkan bisa dikatakan bahwa kitab ini merupakan standart minimal bagi para santri dalam penguasaannya terhadap ilmu fiqih menurut madzhab Imam as-Shafiʻī.26

c. Irshād al-‘Ibād ilā Sabīl al-Rashād berisi tentang masalah akidah, fikh dan akhlak.27

22Abū Bakr ‘Uthman b. Muḥammad Shaṭa, I’ānat aṭ-Ṭālibīn (Dār Iḥya Kutub

al-‘Arabiyyah, t.th).

23Sayyid ‘Alawi b. Sayyid Aḥmad as-Saqāf, Tarshīh Mustafīdīn (Dār Iḥya al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th).

24Abdul Aziz, Skripsi: “Studi Kualitas Sanad Hadis”, 13.

25Aḥmad Zain al-Dīn al-Ma’bari al-Malībārī, Fath al-Mu’īn, 7.

26Alī Asʻad, Terjemah Fath al-Muʻin Jilid 1 (Kudus: Menara, 1980), 1.

27Ahmad Zain al-Dīn al-Ma’bari al-Malībārī, Fath al-Muʻīn, 7.

d. Tuḥfat al-Mujāhidīn Fi Ba’d Ahwāl Al-Burtughaliyyīn. Kitab ini berisikan tentang perjuangan antara Muslim Mappila Malabar dan Pasukan Kolonial

d. Tuḥfat al-Mujāhidīn Fi Ba’d Ahwāl Al-Burtughaliyyīn. Kitab ini berisikan tentang perjuangan antara Muslim Mappila Malabar dan Pasukan Kolonial

Dokumen terkait