• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RUANG LINGKUP SANAD HADIS

B. Sejarah dan Urgensi Sanad

Muḥammad Muṣṭafa Aʻẓamī menuturkan dalam bukunya bahwa sanad telah digunakan secara insidental dalam sejumlah literatur pra-Islam, misalnya terdapat dalam kitab Yahudi yakni Mishna dan penukilan syair-syair jahiliyah, akan tetapi urgensi metode sanad ini baru tampak dalam periwayatan hadis.16

Adapun tradisi penggunaan sanad dalam islam sudah ada sejak masa Nabi Saw., yakni pada periode pertama. Pada periode I ini dimulai pada masa

‘Aṣr al-Waḥyi wa al-Taqwīn, masa ini merupakan masa wahyu turun dari Nabi Muhammad Saw.,17 pada masa ini pusat studi hadis masih berpusat kepada Nabi Muhammad Saw., karena masa ini merupakan masa dimana Nabi Saw., masih ada.18

Pada periode II, tergolong pada masa sahabat. Pada masa sahabat ini, Nabi Saw., masih hidup. Maka dalam hal tradisi periwayatan, para sahabat

13Muhammad Ghifari, Tesis: Asal Usul Sanad Dalam Wacana Orientalis Studi Kritis Atas Pemikiran Michael Cook (Ciputat: Pustaka Harakatuna, 2020), 47.

14Muhammad Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, 147.

15Ḥasan Muḥammad Mashaṭ, At-Taqrirat as-Sunniyah Sharḥ Manẓumah al-Bayqūniyah (Surabaya: Rabiṭah al-Maʻahid al-Islamiyyah al-Markaziyah, t.th), 22.

16Muḥammad Muṣṭafa Aʻẓamī, Studies In Hadits Methodology And Literature (Indiana: American Trust Publications, 1977), 32.

17Zulkifli, Studi Hadits Integrasi Ilmu ke Amal Sesuai Sunnah (Riau: Suska Press, 2015), 17.

18Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana 2010), 32.

masih bisa secara langsung berdialog kepada Nabi Muhammad Saw., sehingga bila terjadi kesalahan penukilan, kekeliruan pengucapan atau kurang dalam pemahaman terhadap makna teks hadis, maka dapat dirujuk kepada Nabi Muhammad Saw. Pada masa periode ini, Nabi Saw., dalam meriwayatkan suatu hadis biasanya melalui majelis al-ʻilm,19 dan terkadang Nabi Muhammad Saw., dalam banyak hal juga meriwayatkan hadis melalui para sahabat tertentu, yang kemudian para sahabat tersebut menyampaikannya kepada orang lain yang tidak hadir mengenai hal-hal yang mereka dengar dalam majelis tersebut.

Pada waktu menuturkan hal-hal yang mereka dengar atau hal-hal yang mereka lihat dari Nabi Saw., mereka selalu menisbatkannya kepada Nabi Saw. Bahkan Nabi Saw., sendiri terkadang menyebutkan bahwa sumber sabdanya itu berasal Jibril As.20

Namun tentu saja penggunaan sanad pada masa Nabi Saw., masih sangat sederhana. Mereka tidak pernah mempersoalkan bagaimana kredibilitas para sahabat lain yang menyampaikan hadis kepada mereka. Ini dikarenakan mereka masih saling percaya, menjaga dan mempunyai komitmen dengan keislaman mereka. Maka sudah menjadi kebiasaan di kalangan sahabat untuk saling bertanya dan menyampaikan hadis. Bahkan di antara mereka membuat aturan khusus untuk saling menggantikan dalam menghadiri majelis Nabi Saw., seperti yang dilakukan Umar dan tetangganya.21 Oleh karena itu,

19Majlis al-ʻilm merupakan salah satu wadah yang efektif sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan dakwah sejak zaman Nabi hingga sekarang. Lihat, Amatul Jadidah & Mufarrohah, “Paradigma Pendidikan Alternatif Majelis Taklim Sebagai Wadah Pendidikan Masyarakat” Jurnal Pustaka Media Kajian dan Pemikiran Islam 2016 7: 27-42, 2.

20M. Muṣṭafa Aʻẓamī, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, Cet. 7 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2018), 531.

21ʻUmar b. Khattāb mengatakan: ‘Aku dengan seorang tetangga dari golongan Anshar di kampung Bani Umayyah b. Zaid di pinggiran (‘awaly) kota Madinah saling bergantian untuk mengikuti majelis taʻlim yang diadakan oleh Nabi Saw. Apabila dia yang ikut aku diberitahukan tentang hal-hal yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., baik berupa wahyu atau lainnya. Dan apabila aku yang iku`t majelis pengajian tersebut, maka aku yang memberitahukan isi pengajian tersebut kepadanya‛. Lihat Muḥammad b. Ismāʻīl al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī, Kitab Nikah, 781.

merupakan suatu hal yang wajar jika dalam menyampaikan suatu hadis (berita), mereka menggunakan ungkapan‚ ‘Nabi berbuat begini-begitu’ atau

‘Nabi berkata ini-itu’.22

Masuk pada periode ke III, masa ini merupakan masa pasca Nabi Saw., wafat. Pada masa ini para sahabat tidak lagi dapat mendengar sabda Nabi Muhammad Saw., serta menyaksikan perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad Saw., yang pada dasarnya bermuatan ajaran ilahi, sehingga informasi hadis hanya bisa diketahui melalui informasi sahabat. Atas hal tersebut, para sahabat pada masa ini mulai sadar untuk mengembangkan periwayatan hadis, bahkan para sahabat rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk menegakkan agama dan menyebar luaskan Islam.23

Memasuki periode ke IV, dimana pada masa ini tergolong pada masanya sahabat Khulafaur Rasyidīn24, perkembangan pada masa ini hadis masih terbatas, karena para sahabat pada masa ini masih fokus pada penyebaran al-Quran, masa ini disebut juga sebagai al-Tathabut wa al-iqlal min riwāyah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat), meskipun pada masa ini perhatian sahabat masih terpusat pada penyebaran al-Quran, namun para sahabat tetap memperketat dalam penerimaan hadis, hal ini karena para sahabat sangat berhati-hati, agar tidak terjadinya kekeliruan periwayatan hadis dengan al-Quran.25 Hal tersebut merupakan perhatian langsung dari Khalifah Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq, hingga dilanjutkan oleh Khalifah ʻUmar b. Khaṭṭāb, ʻUthmān b. ʻAffān hingga ʻAlī b. Abī Ṭālib.

Pada masa ke-V yakni pasca Khulafaur Rasyidīn tepatnya pada akhir abad ke-1, hadis sudah berkembang ke beberapa wilayah kekuasaan Islam,

22M. Muṣṭafa Aʻẓamī, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 531

23Idri, Studi Hadits, 39.

24Luthfi Maulana, “Periodesasi Perkembangan Studi Hadits”, Esensia Vol. 17, No.

1, April 2016, 4.

25Zulkifli, Studi Hadits Integrasi Ilmu ke Amal Sesuai Sunnah, 24.

seperti Madinah, Mekkah, Kuffah, Basrah, Syam hingga Mesir. Maka para tabiʻin sudah mulai gencar untuk memperluas hadis di beberapa tempat sehingga penyebaran hadis pada masa ini sudah sangat signifikan.26 Bahkan pada masa ini, puncaknya terjadi pada masa ʻUmar b. ʻAbdul ʻAzīz (99-101 H) masa dinasti Abbasiyyah. Dimana masa ini merupakan masa pengkodifikasian hadis. Adapun latar belakang khalifah ʻUmar b. ʻAbdul ‘Azīz dalam mengkodifikasi hadis disebabkan rasa kekhawatiran beliau akan hilangnya hadis, karena pada saat itu keadaan para generasi penerus tidak menaruh perhatian besar terhadap hadis.

Selain itu, pada saat itu juga adanya peristiwa terjadinya fitnah al-kubro27 yang menyebabkan munculnya pemalsuan hadis. Sejak saat itu, para sahabat semakin berhati-hati dan mulai menyeleksi sumber autentikasi kabar dalam hadis. Hal ini ditegaskan oleh Ibn Sīrīn, beliau mengatakan:

َلَِّإ ُرَظْنُ يَ ف ْمُكَلاَجِّر اَنَل اوَُّسَ اوُلاَق ُةَنْ تِّفْلا ِّتَعَ قَو اَّمَلَ ف ِّداَنْسِّْلْا ِّنَع َنوُلَ ئْسَي اوُنوُكَي َْلَ

ِّةَّنُّسلا ِّلْهَأ

ْمُهُ ثْ يِّدَح ُذَخُْيُ َلاَف ِّعَدِّبْلا ِّلْهَأ َلَِّإ ُرَظْنُ يَو ْمُهَ ثْ يِّدَح ُذَخْأُيَ ف

28

“Dulu mereka (para ulama) tidak pernah bertanya tentang sanad.

Namun ketika terjadi fitnah, mereka pun berkata: ‘Sebutkan pada kami rijal kalian. Apabila ia melihat rijal tersebut dari kalangan ahl al-Sunnah, maka diterima hadisnya, dan jika dari kalangan ahl al-Bid’ah, maka tidak diterima”.

Pasca fitnah terjadi, orang-orang mulai berdusta satu sama lain, bahkan sebagian mereka berdusta atas nama Rasulullah dengan membuat hadis-hadis palsu. Karena Pada masa Rasulullah, para sahabat betul-betul menjaga diri dari

26Maulana,“Periodesasi Perkembangan Studi Hadits”, 4.

27Fitnah al-Kubro adalah peperangan, perselisihan dan perpecahan yang terjadi pada umat Islam generasi awal. Mengenai kapan terjadinya peristiwa tersebut terdapat ada tiga pendapat, yaitu: pertama, ketika masa terbunuhnya Usman. Kedua, pada masa Ali berperang melawan Muʻawiyah. Ketiga, pada saat perang Karbala dengan terbunuhnya Husein b. ʻAlī.

Lihat Taha Husain, Malapetaka Terbesar Dalam Sejarah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), 254.

28Naṣir b. ʻAbdillah b. ‘Alī Al-Qifarī, Masʼalatu at-Taqrīb Baina Ahlu as-Sunnah wa as-Shiʻah (Dār Ṭaibatu an-Naṣir, 1428 H), 44.

sikap dan sifat-sifat tercela seperti berbohong, berkhianat atau menipu, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun berkenaan dengan hadis Nabi Saw.

Karena tidak ada kebohongan di antara mereka. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Barā’ ibn ‘Āzib (w. 72 H), para sahabat tidak mengenal apa itu dusta. Hal ini misalnya terlihat pada kasus Anas b. Mālik (w. 93 H) yang begitu marah ketika dikatakan kepadanya‚ ‘Apakah Anda mendengarnya sendiri dari Rasulullah?‛ Ia menjawab bahwa tak seorang pun dari kalangan sahabat yang berdusta satu sama lain.29

Dengan demikian, tragedi fitnah menjadi garis pembatas yang jelas tentang awal-mula umat Islam mempersoalkan sanad hadis yang sebelumnya mereka tidak begitu mempersoalkannya. Dengan kata lain, tragedi fitnah menjadi garis pembatas antara keautentikan sunnah yang terjadi sebelum fitnah dengan sunnah yang telah terkontaminasi polusi kepentingan setelah terjadinya fitnah.30

Setelah terjadinya fitnah, hadis banyak ditumpangi berbagai kepentingan, seperti kepentingan politik, kultus individu, fanatik mazhab, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja membuat hadis-hadis palsu lengkap dengan sanadnya, bahkan ada yang membuat sanad ʻalī untuk memperkuat kecenderungan mereka. Akibatnya, hadis-hadis palsu kemudian tersebar dikalangan masyarakat muslim bercampur dengan hadis-hadis yang sahih. Sebagian umat Islam tentunya, mengalami kesulitan memilih mana hadis yang sahih dan mana yang palsu. Hanya saja, hal ini tidak dibiarkan berlanjut terus menerus. Para ulama mengantisipasi kekacauan ini dengan cara meneliti sanad dan matan hadis serta mengkaji keberadaan para periwayatnya, apakah mereka terkena polusi kepentingan seperti ahli bidʻah atau tidak, meski sebelumnya mereka saling percaya dalam meriwayatkan

29Muhajirin, Politisasi Ujaran Nabi, Cet. 1 (Yogyakarta: Maghza Books, 2016), 61

30Muhajirin, Politisasi Ujaran Nabi, Cet. 1, 61.

hadis. Oleh karena itu, seruan ʻUmar b. ʻAbdul ʻAzīz akan kodifikasi hadis mendapatkan respon sangat baik dari umat islam dan dari para ulama hadis, sehingga pada masa itu hadis dapat berhasil dikodifikasikan.31

Setelah Hadis rampung dikodifikasikan sejak abad ke-2 dibawah kepemimpinan khalifah ʻUmar b. ʻAbdul ʻAzīz, para ulama berupaya mengembangkan studi hadis dengan pola penyeleksian hadis, sehingga pada masa abad ke-3 menjelang abad ke-4 H, mulailah bermunculan beragam kitab hadis yang begitu luar biasa, seperti kitab Sahih al-Bukhārī karya Imam Bukhārī, Sahih Muslim karya Imam Muslim, dan beberapa kitab sunan, seperti Sunan Abū Dāwud, Sunan al-Tirmidhī, Sunan al-Nasā’ī, Sunan ad-Darimī, dan Sunan Saʻid Ibnu al- Manshur. Masa ini merupakan masa kesungguhan dalam penyaringan hadis, dimana para ulama berhasil memisahkan hadis-hadis ḍa’īf dari yang sahih dan hadis-hadis-hadis-hadis yang mauquf dan Maqthuʻ dari yang Marfuʻ.32

Setelah periode khalifah Banī ʻAbbās (Abasiyyah) ke XVII al-Muʻtaṣim (w. 656 H), yang periode hadis dimasa tersebut dinamakan ‘Aṣr al- Sharḥ wa al-Jamiʻ wa al-Takhrīj wa al-Bahth (periodesasi hadis memasuki masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan).33 Penulisan hadis ini berlanjut hingga masuk masa kematangan dan kesempurnaan pembukuan hadis pada abad ke VII. Pada masa ini, karya-karya seputar hadis banyak ditulis dan lebih disederhanakan. Dan kajian ‘Ulum al-Hadis pun mencapai tingkat kesempurnaannya dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadis. Bersamaan dengan itu, dilakukan juga penghalusan sejumlah ungkapan dan penelitian berbagai masalah dengan mendetail. Para penyusun kitab itu adalah para imam besar

31Idri, Studi Hadits, 45-47.

32Idri, Studi Hadits, 49.

33Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008), 28.

yang hafal semua hadis dan mampu menyamai pengetahuan serta penalaran para imam besar terdahulu terhadap cabang-cabang hadis, seperti keadaan sanad beserta matannya.34

Pelopor pembaharuan dalam ilmu ini adalah Imam Muhaddis al-Faqīh al-Hafiẓ al-Uṣūl Abū ‘Amr ʻUthmān b. aṣ-Ṣalah (w. 643 H), beliau telah menyusun kitab yang dinilai paling mencakup dalam bahasan ilmu hadis yang ditulis pada masa itu adalah ‘Ulum al-Hadis yang kemudian kitab ini lebih dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu Ṣalah,35 kitab tersebut mencakup keterangan-keterangan yang terdapat diberbagai kitab sebelumnya dan mencakup seluruh cabang ilmu hadis.36

Demikianlah asal usul sanad dalam Islam yang memperlihatkan betapa tertatanya periwayatan mayoritas hadis. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan para ulama menguji autentisitas hadis dengan menjadikan sanad sebagai salah satu bentuk uji ke-sahih-annya. Karena sanad merupakan salah satu komponen pembentuk utuhnya hadis yang menduduki posisi penting dalam khazanah penelitian sebuah hadis, karena tujuan utama dalam penelitian hadis adalah untuk mengetahui validitas sebuah hadis, yang mana akan mempengaruhi terhadap lingkungan yang selalu hidup dengan hadis tersebut.

2. Urgensi Sanad Hadis

Para ulama hadis menilai bahwa kedudukan sanad hadis sangat penting, karena untuk mengetahui keautentikan sumber atau asal riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Maka tidak heran jika dalam wacana urgensi sanad hadis akan ditemukan berbagai pendapat ulama yang

34Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fī ‘Ulūm al-Hadis, terj. Endang Soetari dan Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), 53.

35Dalam kitab ini terdapat penjelasan-penjelasan istinbat yang cukup yang lebih detail terhadap pendapat para madzhab para ulama terdahulu.

36Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd, terj. Endang Soetari dan Mujiyo, 54.

dapat dijadikan referensi. Karena dari ungkapan mereka terlihat jelas bahwa keberadaan sanad merupakan suatu keniscayaan. Adapun pendapat ulama mengenai urgensi sanad sebagai berikut;

a. Muḥammad b. Sīrīn (w. 110 H/728 M), mengatakan “Sesungguhnya pengetahuan terhadap hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu itu”. Maksud dari perkataan tersebut ialah dalam menghadapi suatu hadis, maka sangat penting diteliti terlebih dahulu dari siapa rantai perawi yang membawakan hadis tersebut/yang terlibat di dalamnya.37

b. ʻAbdullāh b. al-Mubārak (w. 181 H/797 M). Ia mengatakan bahwa “Sanad hadis merupakan bagian dari agama. Maka, apabila sanad hadis tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya”.

Perkataan ini sangat populer dalam khazanah ilmu hadis.38

c. Sufyān al-Thaurī (w. 161 H/772 M) mengatakan bahwa isnād adalah senjata umat Islam. Apabila seorang mukmin tidak mempunyai senjata, maka siapa saja akan mudah untuk membunuhnya.39

d. Shāfiʻī (w. 204 H/812 M) juga mengingatkan bahwa “Perumpaan orang yang mempelajari hadis tanpa sanad adalah seperti seseorang yang membawa kayu bakar pada malam hari. Di dalam ikatan kayu itu ada seelor ular yang sangat ganas siap menggitnya, sedangkan dia tidak menyadari keadaan tersebut”.40

e. Nur al-Din ‘Itr mengatakan sistem sanad ialah salah satu keistimewaan umat Islam yang tidak dimiliki umat lain.41

37M. Luqmān al-Salafi, Ihtimām al-Muhaddithīn bi Naqd al-Hadis Sanad wa Matn (Riyadh: Maktabah al-Riyadh, 1984), 153.

38M. Syuhudi Ismāʻīl, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016), 22.

39Akram Dhiya’ al-‘Umari, Buḥūth fī Tārīkh al-Sunnah al-Musfirah, cet. 4 (Beirūt:

Basath, 1984), 47.

40Muhammad Luqman, Ihtimām al-Muhaddithīn, 155.

41Nur al-Din ‘Itr, Manhāj al-Naqd, 30.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan para ulama di atas menunjukkan bahwa sanad menjadi pembeda umat Islam dari umat yang lainnya. Karena dengan adanya sanad, ajaran Islam menjadi steril dari segala macam bentuk perubahan, penyusupan dan pemutarbalikkan. Sedangkan di pihak lain, ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul selain dari Nabi Muhammad tidak memiliki imunitas semacam itu. Sesuai dengan pernyataan Abū Ḥātim al-Rāzī (w. 227 H) yang mengatakan, “Tidak ada satu umat pun sejak Nabi Adam as.

diciptakan, yang memiliki suatu standar (pegangan) untuk memelihara atsar para rasulnya selain dari umat Islam ini”. Lalu Ibn Taimiyyah juga mengatakan, “Ilmu sanad dan riwayat adalah sesuatu yang dikhususkan Allah bagi umat Nabi Muhammad. Itulah yang akan membuat mereka selamat.

Adapun ahli Kitab, mereka tidak memiliki sanad yang akan digunakan untuk meriwayatkan al-manqūlāt (hadis-hadis) mereka. Orang-orang di luar Islam memiliki akidah dan pandangan yang salah, karena mereka tidak memiliki sanad yang dapat dijadikan sebagai pegangan. Mereka berkata tanpa dalil dan meriwayatkan tanpa sanad”.42

Dari beberapa pernyataan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa perhatian sanad sangat penting dalam sebuah periwayatan suatu hadis. Karena perhatian terhadap sanad tersebut merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memilih dan memilah mana hadis yang dapat dipertanggung-jawabkan autentisitasnya sampai Nabi, dan mana yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Karena hadis Nabi merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam yang harus pasti kualitasnya.

Dokumen terkait