• Tidak ada hasil yang ditemukan

AYAH DAN BUNDA SANGAT BANGGA AKU mendapat undangan dari Tuan

Dalam dokumen Bumi Manusia (Halaman 114-121)

Assisten Residen Herbert de la Croix.

Di rumah masih berdatangan undangan dari para pembesar Pribumi setempat. Kedua orangtuaku lebih baik tak tahu bagaimana putra kebanggaan ini diplonco. Setengah mati kutolak desakan mereka untuk menceritakan. Malah aku nyatakan akan segera balik ke Surabaya.

Undangan-undangan membikin aku sibuk membalas.

Ayahanda tak lagi gusar padaku. Undangan dari Tuan Assisten Residen membikin semua dosaku dengan sendirinya terampuni.

Telah kukirimkan tilgram lagi ke Wonokromo, mengabarican hari dan jam kembaliku ke Surabaya mendatang, dan agar dijemput dengan kereta.

Ayahanda dan Bunda tak dapat dan mungkin juga merasa tak layak menahan keberangkatanku. Persoalan Nyai Ontosoroh tak pernah digugat lagi. Seorang yang telah mendapat undangan dari Tuan Assisten Residen dengan sendirinya memiliki kekebalan, tak mungkin bersalah, bahkan jabatan tinggi dan penting yang sudah terpampang di ambang pintu kehidupannya. Mereka hanya berpesan agar aku minta diri dari pembesar Eropa itu.

Aku segan tapi berangkat juga. Sekali lagi aku mesti bertemu dengan Sarah dan Miriam de la Croix. Ternyata di dekat ayahnya mereka tidak agresif malah tertib dan sopan.

"Direktur sekolahmu dulu teman sekolahku," kata pembesar itu. "Kalau sudah masuk sekolah lagi sampaikan salam dan hormatku."

Kemudian ia bercerita: anak-anaknya ingin pulang ke Ne-derland. Mereka tak punya ibu barang sepuluh tahun yang lalu.

Kalau mereka pergi, tentu ia akan sangat kesepian. Karena itu:

"Sering-sering kirimi aku surat tentang kemajuanmu. Aku akan senang membacanya. Juga berkorespondensilah dengan Sarah dan Miriam," pesannya. "Kan sudah

sepatutnya ada pertukaran pikiran antara muda-mudi terpelajar ? Siapa tahu, kelak bisa jadi dasar kehidupan yang lebih baik ? Apalagi kalau kalian semua kelak jadi orang penting ?"

Aku berjanji akan melaksanakan.

"Minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting. Kau bisa jadi pemuka, perintis, contoh bangsamu. Mestinya kau sebagai terpelajar, sudah tahu: bangsamu sudah begitu rendah dan hina. Orang Eropa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Pribumi sendiri yang harus memulai sendiri."

Kata-katanya menyakitkan. Ya, setiap kali ujud Jawa disakiti orang luar, perasaanku ikut tersakiti. Aku merasa sepenuhnya Jawa. Pada waktu ketidaktahuan dan

kebodohan Jawa disinggung, aku merasa sebagai orang Eropa. Begitulah pesan-pesan yang menimbulkan banyak pikiran itu aku bawa serta dalam hati, aku bawa serta dalam kereta cepat, yang membawa aku kembali ke Surabaya.

Sekiranya Tuan de la Croix seorang Jawa, mudah bagiku untuk menduga

maksudnya: hendak mengambil diri jadi menantu. Tapi dia orang Eropa, maka tidak mungkin. Apalagi baik Sarah mau pun Miriam lebih tua beberapa tahun daripadaku. Pembesar itu mengharapkan aku jadi contoh, pemuka, perintis bangsaku sendiri. Seperti dongengan! Tak pernah yang demikian tersebut dalam cerita-cerita nenek-moyangku. Apa mungkin ada orang Eropa benar-benar menghendaki ? Dalam

sejarah Hindia pun tak pernah terjumpai. Kompeni Belanda tak pernah

mengistirahatkan senapan dan meriamnya, selama tiga ratus tahun di Hindia. Tiba-tiba ada seorang Eropa yang mengharapkan diri jadi perintis, pemuka, contoh bangsa. Dongengan tidak menarik. Lelucon tidak lucu. Rupanya dia hendak membikin diri jadi kelinci percobaan dalam rangka teori assosiasi Doktor Snouck Hur-gronje. Prek persetan! Bukan urusanku. Beruntung aku suka mencatat, ,mempunyai perbendaharaan yang setiap waktu bisa memberi petunjuk dan peringatan.

Kugagapi tas untuk membacai surat-surat yang belulm juga kubaca itu. Benar saja, isinya pemberitahuan tentang akan adanya resepsi pengangkatan Ayahanda, juga perintah dan permintaan agar aku segera pulang. Pada surat abang malah

dilampirkan permohonan cuti untuk Direktur sekolah. Uh, semua sudah berlalu dengan kemenangan pada pihakku.

Hei-hei, mengapa si Gendut agak sipit itu mengawasi aku saja ? Ia berpakaian drill coklat, baik kemeja mau pun celana panjangnya. Juga bersepatu coklat - sepatu sebagaimana layaknya di gerbong kias satu. Topinya, dari laken dengan pita sutra, tak juga lepas dari kepala, kadang diturunkan sampai menutup kening untuk mendapatkan kebebasan menebarkan pandang ke mana saja ia suka. Bawaannya sebuah kopor kulit kecil yang terletak di atas kepalanya. Dan ia duduk di bangku di samping sana. Waktu kondektur memeriksa karcis ia menyerahkan karcis-putihnya, tetapi matanya melirik padaku.

Dari B. ke Surabaya hanya ada beberapa stasiun singgahan dengan kereta cepat ini. Dan si Gendut tidak turun, tak ada . persiapan. Jelas ia pun menuju stasiun terakhir. Stop! tak mau aku memperhatikan dia. Perjalanan sekali ini hendak kunikmati sebagai liburan. Tidur nyenyak. Aku membutuhkan kekuatan dan kesehatanku sendiri.

Kereta mendesau laju menuju ke Surabaya. Pada jam lima sore Surabaya telah ada di bawah roda kereta. Kuburan panjang itu mulai diterjang, dan kereta berhenti. Perron nampak lengang. Hanya beberapa orang sedang berdiri atau duduk menunggu atau berjalan mondar-mandir.

"Ann! Annelies!" seruku dari jendela. Ia menjemput.

Dara itu berlarian ke gerbongku, berhenti di bawahnya dan mengulurkan tangan: "Tak ada apa-apa, Mas ?" tanyanya.

Si Gendut melewati aku dengan menjinjing kopor kecilnya. Ia turun lebih dahulu, sejenak memperhatikan Annelies, kemudian berjalan pelahan menuju ke pintu keluar. Aku ikuti dia dengan mataku. Dan ia tak jadi keluar, berhenti dan menoleh ke belakang, pada kami.

"Ayoh, turun. Menunggu apa lagi ?" desak Annelies. Aku turun. Kuli itu mengikuti dengan membawa barang. "Mari, Darsam sudah lama menunggu."

Ternyata si Gendut belum juga keluar dari pintu perron sampai kami melewatinya. Kulitnya langsat cerah, mukanya kemerahan. Dalam gerbong mau pun sekarang antara sebentar ia menyeka leher dengan setangan biru. Begitu kami lewati ia bergerak, seakan sengaja hendak membuntuti.

"Tabik, Tuanmuda!" seru Darsam dari samping andong. (Oleh Mama ia dilarang memanggil aku Sinyo).

Si Gendut memperhatikan kami naik andong. Sekarang

ia seorang jurubayar pada Borsumij atau Geowegrij ? Atau mungkin sendiri Mayoor der Chineezen ? Tapi seorang mayoor biasanya angkuh dan merasa setara dengan orang Eropa, tak perlu memperhatikan diriku, bahkan takkan peduli pada Pribumi siapa pun. Atau Annelies yang diperhatikannya ? Tidak. Ia sudah berlaku seperti itu sejak dari B.

"Non, tunggu sebentar di sini. Darsam ada sedikit urusan di warung itu," kata Darsam dengan mata ditujukan padaku, meneruskan, "Tuanmuda, silakan turun sebentar."

Aku turun. Dengan sikap waspada tentu. Kami memasuki warung kecil, sebuah gubuk bambu beratap genteng.

"Ada apa ke situ, Darsam ?" tanya Annelies curiga dari atas andong.

Darsam menoleh, menjawab: "Mulai kapan Non tidak percaya sama Darsam ?" Aku sendiri juga menjadi curiga. Si Gendut dan dokarnya berhenti di kejauhan sana. Sekarang Darsam pula bikin tingkah.

"Tinggal duduk di situ, Ann," kataku mententeramkan. Namun mataku terus juga mengawasi tangan dan parang pendekar Madura itu-

Dalam warung terdapat hanya seorang langganan yang sedang duduk minum kopi. Ia tak menoleh waktu kami masuk. Nampaknya sedang melamun. Atau pura-pura tak tahu ? Atau sekutu si Gendut juga seperti Darsam ini ?

Dengan sikap perintah ia silakan aku mengambil tempat di bangku panjang di seberang langganan itu. Ia duduk begitu dekat padaku sampai dapat kudengar nafasnya dan tercium bau keringatnya. *

"Antarkan teh dan kue ke andong di luar sana," perintah Darsam pada wanita pewarung. Matanya tajam mengawasi perempuan itu sampai ia pergi membawa pesanan itu di atas nampan kayu.

Dengan mata liar ia dekatkan kumis-bapangnya padaku, berbisik dalam Jawa yang kaku dan berat:

"Tuanmuda, sesuatu telah terjadi dirumah. Hanya aku yang tahu. Noni dan Nyai tidak. Begini, Tuanmuda, jangan terkejut. Sementara ini jangan Tuanmuda tinggal di Wonokromo. Berbahaya."

"Ada apa, Darsam ?" Suaranya kini agak tenang:

"Darsam ini, Tuanmuda, hanya setia pada Nyai. Apa yang disayangi Nyai, disayangi Darsam. Apa yang diperintahkan, Darsam lakukan. Tak peduli macam apa perintah itu. Nyai sudah perintahkan Darsam menjaga keselamatan Tuanmuda. Aku kerjakan, Tuanmuda. Keselamatan Tuanmuda jadi pekerjaanku. Tidak perlu percaya,

Tuanmuda, hanya ikuti saja nasihatku."

"Aku mengerti tugasmu. Terimakasih atas kesungguhanmu. Hanya, apa sesungguhnya telah terjadi ?"

"Nyai majikanku. Noni majikanku juga, hanya yang kedua. Sekarang Noni berkasih-kasihan sama Tuanmuda. Darsam juga harus menjaga jangan sampai terjadi sesuatu. Jadi nasihat ini aku sampaikan. Bukan karena parang Darsam ini sudah tak bisa menjamin. Tidak, Tuanmuda. Ada sesuatu yang belum lagi jelas benar bagi Darsam." "Aku mengerti. Tapi apa yang sedang terjadi ?"

"Pendeknya Tuanmuda akan kuantarkan pulang ke pemondokan di Kranggan, tidak ke Wonokromo."

"Aku harus tahu sebabnya."

Ia terdiam dan mengawasi pewarung itu datang. "Sudah selesai-belum, Darsam ?"

"Sabar, Non," jawab Darsam tanpa menengok keluar. Melihat pewarung lewat ia meneruskan bisikannya. "Sinyo Robert, Tuanmuda. Dengan banyak janji dia perintahkan si Darsam ini membunuh Tuanmuda."

Aku sama sekali tidak heran. Tanda-tanda niat jahat pemuda itu telah'kukenal. Hanya:

"Apa dosaku terhadapnya ?"

"Hanya cemburu kiraku. Nyai lebih sayang, pada Tuanmuda. Dia merasa tak senang ada lelaki lain di dalam rumah."

"Dia bisa bilang terang-terangan padaku. Mengapa menempuh jalan seperti itu ?" "Anak kurang pikir, Tuanmuda. Justru karena itu berbahaya. Sekarang Tuanmuda sudah tahu, mengerti nasihatku. Jangan bilang pada Noni atau Nyai. Sungguh, jangan. Nah, mari berangkat." Ia bayar belanja tanpa menanyakan „pendapatku. Dokar si Gendut sudah tak nampak. Andong kqmi berangkat. Dan di Woribkromo - kalau Darsam benar - spfeorang menghendaki nyawaku yang cuma satu ini.

si Gendut telah memata-matai aku sejak dari B. Barangkali memang tidak begitu salah marah Ayahanda padaku. Juga tidak percuma peringatan Bunda agar berani menerima segala akibat perbuatan sendiri. Ya-ya, Robert Mellema' memang berhak menganggap aku menyerbu ke dalam kerajaannya. Paling tidak aku menjadi

tambahan beban bagi pikirannya. Dia sepenuhnya berhak.

Annelies tak hendak melepaskan pegangannya pada tanganku, seakan aku ikan licin yang tiap saat bisa melompat keluar dari andong. Ia tak bicara. Matanya merenung jauh.

"Ann, aku dapatkan uangmu dalam koporku," kataku.

"Ya, memang aku taruh di situ. Kau akan memerlukannya. Kau dalam kepergian tidak menentu, dan kau harus segera kembali padaku."

"Terimakasih, Ann. Aku tidak menggunakannya."

Untuk pertama kali ia tertawa. Dan tawanya tak menarik perhatianku. Lampu andong tak memantulkan sinarnya ke dalam andong. Gelap. Kecantikan Annelies ditelan oleh kehitaman. Sekali pun tidak pun takkan menarik. Pikiranku sedang dipenuhi hal-hal seram, merampas segala yang dikatakan nikmat. Bumiku, bumi manusia ini, kehilangan segala kepastiannya. Semua ilmu dan pengetahuan, yang telah menjadi diriku sendiri, meruap hilang. Tak ada sesuatu yang bisa diandalkan. Robert ? memang aku mengenalnya. Si Gendut ? Aku telah mengenal bentuknya, juga sekiranya dalam kegelapan. Dalam melakukan kejahatan oarang lain yang tak kukenal, tak kuduga, bisa jadi pelaksananya. Surabaya terkenal dengan banyaknya pembunuh bayaran — dengan upah setengah sampai dua rupiah. Dalam setiap minggu ada saja bangkai menggeletak di pantai, di hutan, di pinggir jalan, di pasar, dan pada tubuhnya tertinggal bekas senjata tajam.

Andong menuju ke Kranggan.

"Mengapa sekarang ke sini ?" Annelies memprotes lagi. "Masih ada urusan lain, Non. Sabar."

Apa sekarang harus kukatakan pada Annelies ? Belum lagi mendapatkan alasan andong telah berhenti di depan rumah keluarga Telinga. Tanpa bicara Darsam telah menurunkan barang-barangku.

"Mengapa diturunkan ?" Annelies memprotes lagi.

"Ann," kataku lunak. "Dalam seminggu ini aku harus menyiapkan pelajaran. Sementara itu, sayang sekali, aku tak bisa temani kau pulang. Terimakasih atas jemputanmu,.Ann. Mintakan maaf pada Mama, ya ? Benar-benar aku belum bisa ke Wonokromo. Harus tinggal di sini agar lebih dekat pada guru-guruku. Salam dan terimakasih pada Mama. Kalau sudah senggang aku pasti datang."

Maafkan sekiranya aku jadi pengganggu," suaranya setengah menangis. "Tidak, tentu saja tidak."

"Katakan kalau aku telah jadi pengganggu, biar aku tahu kesalahanku," suaranya semakin mendekati tangis.

"Tidak, Ann, sungguh, tidak."

Benar-benar tak bisa dihindari. Ia menangis. Menangis seperti anak kecil.

"Mengapa menangis ? Hanya seminggu, Ann, seminggu saja. Setelah itu aku pasti datang. Kan begitu, Darsam ?"

"Benar, Non. Jangan menangis di tempat orang begini."

Pada waktu itu hilang perasaanku sebagai seorang satria Jawa, satria tanpa tandingan dalam angan sendiri, tinggal hanya seorang pengecut ~ telah menjadi takut hanya karena berita, berita saja, bahwa sang nyawa sedang terancam. "Jangan turun, Ann, duduk saja kau dalam andong," dan kucium dia pada pipinya dalam kegelapan kendaraan. Aku rasai kebasahan pada mukanya.

"Mas harus segera pulang ke Wonokromo," pesannya dalam tangisnya, mengalah. "Jadi kau mengerti, bukan ?" Ia mengangguk. "Kalau semua sudah selesai tentu aku akan segera datang. Sekarang aku harap kau mau dengarkan aku dan memahami keadaanku."

"Ya, Mas, aku tidak membantah," jawabnya sayup. "Sampai bprjumpa lagi, dewiku."

"Mas."

Aku turun. Darsam masih menunggu di depan pintu.

Hari telah malam dan lampu berpancaran 'di mana-mana. Hanya pikiran diri juga yang tanpa terang.

"Mengapa tak kau sampaikan pada Mama ?" bisikku pada Darsam.

"Tidak. Sudah begitu banyak kesulitan Nyai karena anak dan tuannya. Darsam harus urus sendiri pekerjaan ini. Tuanmuda sabar saja."

Suami-istri Telinga duduk di sitje menunggu aku keluar dari kamar untuk bercerita. Pasangan yang rukun dan baik itu! Tak tahu aku bagaimana perasaannya

terhadapku. Aku tak keluar,

pintu kamar kukunci dari dalam, ganti pakaian dan naik ke ranjang tanpa makanmalam. Waktu hendak memadamkan lampu minyak masih kuperlukan memandangi potret Ratu Wilhelmina. Bumi manusia! Betapa seorang bisa menjadi kekasih para dewa begini. Aman dalam istananya. Tak ada sesuatu kesulitan, kecuali mungkin, dengan hati dan pikiran, sendiri. Sedang aku ? Kawulanya ? yang

dijanjikan oleh perbintangan akan bernasib sama, bahkan di sudut-sudut bilik mungkin mengintip maut bikinan Robert Mellema.

Kamar diliputi kegelapan. Percakapan di ruangtengah sayup memasuki kupingku. Tanpa makna. Uh, diri semuda ini, dan nyawanya sudah ada yang menghendaki. Janji jaman modern, gemilang dan menyenangkan seperti dikatakan guru itu, tak sesuatu pun tanda dan alamat yang diperlihatkannya. Robert, mengapa kau segila itu ? Pembunuhan karena cemburu soal asmara memang terjadi di seluruh dunia — sisa kehidupan hewani pada manusia. Khas. Pembunuhan karena kemakmuran juga warisan hewani yang khas pula. Kan ? Kan begitu ? Tapi kau lebih majemuk. Kau benci ibumu, asalmu, dan tidak mendapatkan kasih-sayang daripadanya. Kau melata mengemis kasih-sayang ayahmu, dan kau tidak digubris. Kau cemburu, Robert, karena kasih-sayang ibumu melimpah padaku. Karena kau takut hak-hakmu sebagai ahliwaris jangan-jangan juga melimpah padaku — orang yang tidak berhak — seperti banyak disebutkan dalam cerita-cerita Eropa. Kiranya di matamu aku hanya seorang kriminil.

Kan aku sudah cukup jujur pada diri sendiri ? Dan terhadap dunia ? Lihat: aku hanya menghendaki nikmat dari jerih-payahku sendiri. Yang lain tidak kuperlukan.

Kehidupan senang bagiku bukan asal pemberian, tapi pergulatan sendiri. Keretakan dengan keluargaku sendiri yang selama ini mengajar aku demikian. Uh, masalah yang lebih pelik dari semua pelajaran sekolah.

Dan kau pula, Darsam! Semoga mulutmu tak dapat dipercaya. Semoga Robert tidak sejahat itu. Tapi kau sendiri yang menyembunyikan maksud tertentu, dan jahat pula. Dan kau, si Gendut berkulit langsat cerah bermata agak sipit -- sambar geledek! — apa pula urusanmu denganku ? Orang senecis kau, mungkinkah hanya pembunuh bayaran semata ? Karena menghendaki harta dan anak Mellema ?

Dan Sarah, dan Miriam de la Croix, dan Tuan Assisten Residen... dan assosiasi... Hatiku meriut kecil. Mengapa aku sepengecut ini ?

Dalam dokumen Bumi Manusia (Halaman 114-121)