• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUAN DIREKTUR SEKOLAH MEMAAFKAN KETIDAK-hadiranku yang

Dalam dokumen Bumi Manusia (Halaman 163-185)

telah melewati batas sertifikat dokter. Salam dari Tuan Herbert de la Croix membikin lunak sikapnya. Dalam beberapa hari aku kejar ketinggalanku. Tak ada sesuatu kesulitan. Nenenda telah menanamkan kepercayaan pada diri: kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri

kebodohan awal yang akan membodohkan semua.

Aku ikuti nasihatnya, dan aku percaya pada kebenaran wejangannya. Tak pernah aku tertinggal dibandingkan dengan yang lain-lain, walau pun sesungguhnya aku tak banyak belajar seperti yang lain. Tapi sekarang ini memang aku belajar sungguh, mengejar ketinggalan.

Bendi dan kusirnya sekaligus telah dikhususkan oleh Mama untuk kepentinganku. Tak peduli siang atau malam. Dan dengan kendaraan itu setiap berangkat sekolah aku ambil May Marais, kuturunkan di sekolahnya di Simpang.

Semua sudah berubah. Terutama diriku sendiri. Sekarang aku merasa lebih berharga di tengah lalulintas Surabaya di atas bendiku yang mewah. Teman-teman sekolahku kelihatan juga berubah. Artinya: agak dan mungkin memang menjauhi aku. Aku anggap saja itu sebagai tanda penghormatan pada seorang yang telah merebut peningkatan nilai. Mungkin aku keliru menaksir diriku, maka harus kuanggap

sebagai penilaian sementara. Nampaknya guru-guruku, dengan adanya bendi mewah itu, lebih banyak memperlakukan diriku sebagai orang tak dikenal dan sama derajat. Ini pun dugaan sementara.

Aku rasai diriku bukan Minke yang dulu. Badan tetap, isi dan pengelihatan lain. Tak lagi aku suka bercanda. Merasa diri

lebih berbobot, lebih banyak bertimbang, sebaliknya teman-teman sekolah tetap kekanak-kanakan. Diri ini sekarang segan mengapung pada permukaan. Maunya terus juga tenggelam pada dasar persoalan dalam setiap percakapan dan

perbincangan.

berpapasan. Dan gadis-gadis teman sekolah juga menvingkiri. seperti aku sumber sampar.

Beberapa kali Tuan Direktur Sekolah memanggil aku untuk mendapatkan penegasan adakah benar aku belum kawin, karena seorang murid yang telah kawin harus meninggalkan sekolah. Aku menduga tak lain dari Suurhof yang telah mengadu. Tak bisa lain. Hanya dia yang tahu asal-muasal perkara ini. Lama-kelamaan kuketahui juga. dugaanku tidak meleset. Ia telah menyebarkan omong-kosong, menghasut teman-teman sekolah dengan maksud agar menjauhi aku. (Jadi penilaianku tentang diri sendiri ternyata keliru!) Maka: pandang yang terarah padaku menjadi pandang orang-orang yang belum kukenal rasanya.

Semua berubah. Kini kelilingku di sekolah bukan lagi kecerahan. Sebaliknya: kesunyian yang memanggil-manggil renungan.

Satu-satunya guru yang tidak berubah tetap Juffrouw Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda. Ia tetap masih tidak bersuami. Pada seluruh kulitnya yang tidak tertutup kelihatan totol-totol coklat. Matanya yang coklatbening selalu kelap-kelip. Pada mula mengenal permunculannya ia dapat menimbulkan tawa. Ia mengesankan diri seakan seekor monyet putih betina yang bertampang kagetan. Tapi begitu mendengar pelajarannya yang pertama semua jadi terdiam. Kesan monyet putih betina hilang. Totol kulitnya lenyap. Perasaan hormat menggantikan. Dan inilah kata-katanya waktu untuk pertama kali turun dari Nederland memasuki ruangan kias:

"Selamat siang, para siswa H.B.S. Surabaya. Namaku Magda Peters, guru baru kalian untuk bahasa dan sastra Belanda. Acungkan tangan barangsiapa tidak suka pada sastra."

Hampir semua mengacungkan tangan. Malah ada yang sengaja berdiri untuk menyatakan antipati.

"Bagus. Terimakasih. Duduklah yang tertib. Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. Apa tidak hebat kalau siswa H.B.S., paling tidak nyaris sepuluh tahun duduk di bangku sekolah, bisa tidak suka pada sastra dan bahasa ? Ya, sungguh hebat."

Tak ada yang tertawa dan mentertawakan. Sunyi-senyap. "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa

mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. Sebagian terbesar dari kalian belum pernah melihat Nederland. Aku dilahirkan dan dibesarkan disana. Jadi aku tahu, setiap orang Belanda mencintai dan membacai karyasastra Belanda. Orang

mencintai dan menghormati karyatulis van Gogh, Rembrandt, para pelukis besar kita dan dunia. Mereka yang tidak mencintai dan menghormati dan tidak belajar

mencintai dan menghormati dianggap sebagai Belanda yang kurang adab. Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa. Siapa tidak mengerti mengacung."

Untuk tidak dianggap sebagai Belanda kurang adab sejak itu orang merasa harus memperhatikan setiap ucapannya. Dia telah menggenggam para murid itu dalam tangannya.

Dan sikap Juffrouw Magda Peters tidak berubah terhadap diriku. Pasti ia telah menangkap juga sassus Robert Suurhof.

Pada umumnya ia yang membuka diskusi-sekolah pada hampir setiap Sabtu sore. Ia lakukan bukan saja dengan senanghati, juga bersemangat. Setiap siswa boleh

mengemukakan persoalan apa saja, umum, pribadi, berita setempat dan

internasional sebagai pokok. Bila pokok dari murid tidak ada baru guru membuka pokoknya sendiri. Mereka yang tidak berminat boleh tidak hadir. Nyatanya, bila Magda Peters yang memimpin sebagian terbesar siswa dari semua kias tak ingin melewatkan, sehingga harus diadakan di aula dan semua duduk di lantai. Hanya murid pembicara yang berdiri. Para guru yang hadir juga duduk di lantai. Sebagai guru yang memimpin orang juga berdiri. Pada kesempatan demikian nampak bahwa seluruh tubuh Magda Peters memang bertotol.

Untuk dapat mencocokkan keadaan dan sikapku dengan lingkunganku, benar atau tidak anggapanku tentang diri sendiri dan kelilingku, patut kiranya kudepankan pengalamanku dalam diskusi-sekolah ini:

Aku ajukan pertanyaan tentang teori assosiasi Doktor Snouck Hurgronje. Magda Peters meneruskannya pada para siswa. Tak seorang pun tahu. Ia menoleh sopan pada para guru. Tak ada yang bergerak menanggapi. Kemudian ia sendiri bicara: "Juga aku sendiri tak tahu betul. Boleh jadi itu satu pokok "yang disarankan dalam kehidupan politik kolonial. Tahukah para siswa apa politik kolonial ?" Tak berjawab. "Itulah stelsel atau tatakuasa untuk mengukuhi kekuasaan atas negeri dan hanesa- bangsa jajahan. Seorang yang menyetujui stelsel itu adalah orang kolonial. Bukan saja menyetujui, juga membenarkan, melaksanakan dan membelanya. Termasuk di dalamnya adalah juga mereka yang bertujuan, bercita-cita, bermaksud,

berterimakasih pada stelsel kolonial. Soal pokok di dalamnya adalah masalah penghidupan. Para siswa, semua ini sebenarnya belum perlu menjadi perhatian. Untuk itu para siswa masih terlalu muda. Sekiranya hal itu dituangkan dalam karyasastra pasti akan lebih menarik, seperti telah beberapa kali para siswa diperkenalkan pada karya Multatuli. Coba, Minke, kau yang menerangkan apa itu

dan bagaimana teori assosiasi Doktor Snouck Horgronjc."

Kuterangkan sekedarnya tentang apa yang pernah kudengar dan tanggapanku sendiri atas cerita Miriam de la Croix.

"Stop!" kata Magda Peters. "Pokok seperti itu belum boleh dihadapkan di depan sekolah H.B.S. Terserah kalau di luar sekolah. Itu adalah urusan Sri Ratu,

Pemerintah Nederland, Gubernur Jendral dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebaiknya kalau ada keinginan para siswa mencari sendiri di luar sekolah. Karena para siswa tak ada yang punya pokok, aku akan ajukan pokokku sendiri.

"Baru-baru ini aku temukan sebuah tulisan tentang kehidupan di Hindia. Terlalu sedikit orang menulis tentang ini. Karena itu justru menarik perhatianku. Boleh jadi penulisnya seorang Indo-Eropa. Barangkali, kataku. Ada di antara para siswa pernah membacanya ? Judulnya: UU het sehoone Leven van een mooie Boerin*.

Pengarangnya bernama: Max Tollenaar."

Beberapa tangan diacungkan. Aku sembunyikan perasaanku. Max Tollenaar adalah nama-penaku. Judul asli telah diubah dan di dalamnya juga terdapat perbaikan redaksi, yang tidak semua aku 'setujui.

Juffrouw Magda Peters mulai membacakan, menempatkan tekatian dan tarikan kata sedemikian rupa sehingga suaranya menyanyi dan tulisan itu terdengar lebih indah daripada yang kumaksud. Ya, boleh dikata terdengar seperti puisi panjang, rimbun dengan haruan. Hampir orang tak berkedip mendengarkan. Dan selesai pembacaan orang melepas nafas, bebas dari cengkeraman.

"Sayang sekali tulisan ini terbit di Hindia, tentang Hindia, manusia dan masyarakat Hindia, jadi orang tidak memperkenal-

kan di depan kias. Nah, kalian, salah seorang tampil, memberikan uraian atau tanggapan, barangkali juga penilaian.

Sekaligus Robert Suurhof bergerak. Ia berdiri di tempatnya, kakinya direnggangkan, dipakukan pada lantai, seperti kuatir bisa rubuh diterpa angin. Semua mata tertuju padanya. Hanya aku yang sangsi.

Sebelum memulai ia menoleh pada teman-teman sekolah. Barangkali untuk mendapatkan sokongan moril.

"Sudah empat tulisan Max Tollenaar kubaca pada waktu belakangan ini. Semua tulisannya sama saja persoalan dan nafasnya, seakan pengarangnya sedang tergenggam kekuatan di luar dirinya. Ya-ya, pengarangnya sedang kena serang demam kepia-lu. Tulisan-tulisannya merupakan igauan panjang dari seorang yang tak kenal diri, lupa daratan. Aku tak kenal siapa itu Max Tollenaar. Hanya dari tulisan-tulisannya dapat kuduga siapa penulis sesungguhnya, karena aku telah jadi saksi satu-satunya dari rangkaian kejadian dalam tulisan-tulisannya.

"Juffrouw MagdaN peters, rasanya sangat berlebihan kalau tulisan demikian dibicarakan dalam diskusi-sekoiah H.B.S. Hanya bikin kotor saja, Juffrouw. Kalau aku tak salah ~ dan aku yakin tidak — penulis tulisan tsb., bahkan nama keluarga pun tidak punya."

Ia diam sebentar, menebarkan pandang pada semua siswa yang sedang dijalari ketegangan. Ia angkat dagu. Matanya berbinar dengan kemenangan. Kurasai satu tembakan terakhir masih akan dilepaskan.

Juffrouw Magda Peters nampak tertegun. Matanya mengedip cepat.

Dari semua orang hanya aku seorang yang tahu maksud Robert Suurfof: pembalasan dendam langsung padaku. Maka juga aku menjadi lebih mengerti: dialah

sesungguhnya yang bermaksud hendak mendekati Annelies. Tak ada alasan memusuhi dan menghinakan aku di depan umum begini kalau bukan karena

cemburu. Ya, sebelumnya dialah yang hendak memiliki Annelies. Ia bawa aku untuk kemegahan diri dan saksi. Mengapa aku ? Karena aku Pribumi, maka ia dapat lebih gampang mem; percantik diri dengan aku sebagai perbandingan. Tepat seperti adat wanita atasan Eropa di jaman lewat yang membawa monyet kemana-mana agar kelihatan lebih cantik (daripada monyetnya). Ternyata monyet Suurhof itu justru yang mendapatkan Annelies.

"Dia, Juffrouw," Suurhof meneruskan, "Indo pun bukan. Dia lebih rendah lagi daripada Indo yang tidak diakui ayahnya.

Dia seorang Inlander, seorang Pribumi yang menyelundup di sela-sela peradaban Eropa."

la membungkuk menghormati gurunya dan juga para guru lain, kemudian duduk gelisah di lantai.

"Para siswa, Robert Suurhof telah menyatakan pendapatnya tentang penulis karangan tsb. yang kita semua tidak tahu kecuali dia sendiri. Yang aku harapkan adalah pendapat tentang tulisan ini. Baiklah. Siapa menurut dugaanmu penulis karangan ini ?"

Para murid berpandang-pandangan, kemudian pandang mereka terarah pada teman-teman sendiri yang bukan Totok, bukan Indo, seakan menggarisbawahi ucapan Suurhof. yang Pribumi pada menunduk. Pandangan orang sebanyak itu terasa menindas sampai ke perut.

Aku tahu muka Suurhof ditujukan padaku. Yang lain-lain mengikuti contohnya. Jangan, kata hati ini, jangan gentar. Persetan semua ini. kalau perlu aku pun bisa tinggalkan sekolah ini. Sekarang pun boleh.

Suurhof berdiri lagi. Berkata pendek: "Penulis itu ada di antara kita sekarang ini."

Rupanya sassusnya telah menjalar ke seluruh sekolahan. Sekarang semua muka diarahkan padaku seorang. Aku tatap Suurhof. Seri kemenangan gemerlapan pada matanya.

"Siapa dia yang ada di antara kita, Suurhof ?" tanya Juffrouw Magda Peters. Dengan tudingan Caesar ia menunjuk padaku:

"Minke!"

Magda Peters mengambil setangan dari tas dan menyeka leher, kemudian dua belah tangannya. Ia nampak bimbang. Sebentar ia menoleh pada deretan para guru, sebentar padaku, sebentar pada para siswa yang duduk di lantai. Kemudian ia berjalan menghampiri para guru dan Tuan Direktur yang kebetulan hadir. Ia

mengangguk kecil pada mereka, berbalik lagi ke tengah kalangan, menguakkan para siswa, dan jelas menuju ke tempatku.

Sekarang aku akan diusir, dihinakan di depan umum.

Ia berdiri sejenak di hadapanku. Nampak olehku totol pada kakinya. Dan kudengar panggilannya:

"Minke!"

"Ya, Juffrouw," aku berdiri.

"Benar kau yang menulis ini ?" ia tunjukkan koran S.N.-v/d D, "dengan nama-pena Max Tollenaar ?"

"Apa aku bersalah karena itu, Juffrouw ?"

"Max Tollenaar!" bisiknya dan mengulurkan tangan padaku.

"Mari," dan ditariknya aku, dibawa menghadap pada Direktur Sekolah. Semua mata tertuju padaku. Di hadapan para guru dan Tuan Direktur aku mengangguk menghormat. Mereka membalas tak acuh. Oleh Magda Peters kemudian aku dihadapkan pada semua siswa.

Sunyi.

Guru perempuan itu masih juga memegangi bahuku. Mungkin pada waktu itu aku sudah pasi tanpa mengetahui apa sesungguhnya dosaku.

"Para siswa, para guru, dan Tuan Direktur, pada hari ini kuperkenalkan, terutama pada para siswa, seorang siswa H.B.S. Surabaya bernama Minke, yang tentu sudah dikenal oleh semua. Tetapi yang kuperkenalkan bukan Minke yang sudah dikenal itu, Minke dari kwalitas lain, seorang Minke yang mahir menggunakan Belanda dalam menyatakan perasaan dan pikiran, seorang Minke yang sudah menyumbangkan sebuah karya. Dia telah mampu menulis tanpa kesalahan dalam bahasa yang bukan milik ibunya. Dia telah dapat mengedepankan sepenggal kehidupan, yang oleh orang lain, biar pun dapat dirasakan, tapi tak dapat dinyatakan. Aku bangga punya murid seperti dia."

Ia salami aku. Tak juga aku disuruhnya pergi. Apa yang terdengar sebagai pujian itu membubungkan aku semakin tinggi ke atas ujung duri. Kapak terakhir masih kutunggu jatuhnya.

"Minke! Benar kau tak punya nama keluarga ?" "Benar, Juffrouw."

"Para siswa, nama keluarga hanya satu kebiasaan saja. Sebelum Napoleon Bonaparte muncul di panggung sejarah Eropa, leluhur kita, semua saja, juga tak punya nama keluarga," dan ia mulai bercerita, bahwa ketentuan Napoleon itu diundangkan di seluruh wilayah kekuasaannya. Mereka yang tidak dapat menemukan nama sebaik mungkin untuk dirinya oleh pejabat diberi sekenanya, dan orang Yahudi diberi nama hewan. "Biar begitu, para siswa, nama keluarga bukan khas Eropa atau Napoleon, yang mengambil gagasan itu dari bangsa-bangsa lain. Jauh sebelum Eropa beraflab bangsa Yahudi dan Cina telah menggunakan nama marga. Adanya hubungan dengan bangsa-bangsa lain yang menyebabkan Eropa tahu pentingnya nama keluarga," ia berhenti.

Aku masih juga berdiri jadi tontonan.

"Apa benar kau bukan Indo, Minke," suatu pertanyaan formil yang harus kubenarkan.

"Inlander, Juffrouw, Pribumi."

"Ya," katanya keras-keras. "Orang Eropa sendiri yang merasa totok 100% tidak pernah tahu berapa prosen darah Asia mengalir dalam tubuhnya. Dari pelajaran sejarah para siswa tentunya sudah tahu, ratusan tahun yang lalu berbagai bala-tentara Asia telah menerjang Eropa, dan meninggalkan keturunan: Arab, Turki, Mongol, dan justru setelah Romawi menjadi Kristen. Dan jangan kalian lupa, dalam kekuasaan Romawi atas bagian-bagian tertentu Eropa darah Asia, mungkin juga Afrika, meninggalkan keturunannya melalui warganegara Romawi dari berbagai bangsa Asia: Arab, Yahudi, Siria, Mesir..."

Kesenyapan masih merajalela.

Hatiku sekarang kosong tanpa isi. Hanya badanku terasa lunglai. Satu-satunya keinginan hanya duduk kembali di lantai.

"Banyak dari ilmu Eropa berasal dari Asia. Malah angka yang saban hari para siswa pergunakan adalah angka Arab. Termasuk angka nol. Coba, bisa para siswa kirakan bagaimana hitung-menghitung tanpa angka Arab dan tanpa nol ? Nol pun pada gilirannya berasal dari filsafat India. Tahu kalian artinya filsafat ? Ya, lain kali saja tentang ini. Nol, keadaan kosong. Dari kekosongan terjadi awal. Dari awal terjadi perkembangan sampai ke puncak, angka 9, kosong, berawal lagi dalam nilai yang lebih tinggi, belasan, dst., ratusan, ribuan...tanpa batas.

Akan lenyap sistim desimal tanpa nol, dan para siswa harus menghitung dengan angka Romawi. Nama sebagian terbesar kalian, nama pribadi, adalah juga nama Asia, karena agama Kristen lahir di Asia."

Sekarang para siswa nampak mulai gelisah di lantai.

"Kalau Pribumi tak punya nama keluarga memang mereka tidak atau belum membutuhkan, dan itu tidak berarti hina. Kalau Nederland tak punya Prambanan dan Barabudur, jelas pada jamannya Jawa lebih maju daripada Nederland. Kalau Nederland sampai sekarang tak mempunyainya, ya, karena memang tidak

membutuhkan..."

"Juffrouw Magda Peters." Tuan Direktur menengahi. "Sebaiknya bubarkan saja diskusi ini."

Diskusi-sekolah bubar. Kecuali Juffrouw Magda Peters nampaknya semua sengaja menjauhi aku. Tak ada orang berseru seperti biasanya. Tak ada tawa. Tak ada yang berlarian berebut dulu. Semua berjalan tenang dengan kepala sarat penuh pikiran. Jan Dapperste, anak yang permunculannya lebih banyak Pribumi itu, berdiri pada pagar mengikuti aku dengan pandangnya. Ia selalu mengaku Indo. Hanya padaku ia pernah mengaku Pribumi. Dengan kepercayaan seorang sahabat pernah ia mengaku padaku, ia hanya seorang anak pungut pendeta Dapperste. Anak pungut! Ia sendiri Pribumi tulen. Ia bersympati padaku. Setelah aku punya bendi ia biasa minta gonceng. Sekarang pun ia nampak menjauh.

Sebaliknya Juffrouw Magda yang sekarang minta gonceng. Sepanjang perjalanan ia tak bicara. Apa pula guna bicara dalam keadaan hati dan otak penuh persoalan ? Lalulintas pun tak nampak olehku. Yang terbayang hanya satu: kegusaran para siswa dan para guru pada Magda Peters. Terluka keeropaan mereka.

Sekali-dua kuketahui Juffrouw mengawasi aku dari samping. "Sayang sekali," desisnya pada angin.

Aku pura-pura tak dengar.

Bendi berhenti di depan rumahnya. Aku turun untuk membantunya sebagaimana adat Eropa. Ia mengucapkan terimakasih. Tiba-tiba:

"Mampir, Minke," dan itulah untuk pertama kali ia mengundang.

Aku antarkan ia masuk ke dalam. Maka kami duduk berhadapan di sitje di ruangtengah.

"Kau luarbiasa, Minke. Jadi betul itu tulisanmu ?" "Begitulah, Juffrouw."

"Tentu kau muridku yang paling berhasil. Telah lima tahun aku mengajar bahasa dan sastra Belanda. Hampir empat tahun di Nederland saja. Tak ada di antara murid-muridku dapat menulis sebaik itu -- dan diumumkan pula. Tentunya kau sayang

padaku, bukan ?"

"Tak ada guru lebih kusayangi." "Benar itu, Minke ?"

"Sejujur hati, Juffrouw."

"Sudah kuduga. Kau pasti mengikuti semua pelajaranku dengan cermat, dengan otak dan hati. Kalau tidak, tidak mungkin kau bisa menulis sebagus itu. Kau tak gusar pada Suurhof, kan ?"

"Tidak, Juffrouw."

"Kau betul. Kau jauh lebih berharga daripada dia. Kau telah membuktikan apa yang kau bisa.

Memang malu mendengar sanjungan seperti itu. Disuruhnya aku berdiri.

"Setidak-tidaknya, Minke, jerih-payahku selama lima tahun ini ada hasilnya juga," ia tarik aku ke dekatnya.

Dengan terkejut aku telah berada dalam pelukannya, dan diciumnya aku sampai pengap. Sampai pengap!

Setiap hari aku masih memerlukan datang ke rumah Jean -menjemput atau

mengantarkan May atau untuk menyerahkan order baru. Biar pun hanya untuk satu-dua menit. Juga kuperlu-kan menengok rumah pemondokanku.

Dengan bendi sendiri memang lebih mudah melakukan pekerjaan mencari order, menulis teks adpertensi untuk koran-le-lang, dan menulis untuk yang lain. Waktu rasanya menjadi lebih panjang.

Sampai di Wonokromo tenagaku sudah atau hampir habis dan kuperlukan tidur sebentar. Biasanya Annelies yang membangunkan, membawakan anduk bersih dan menyuruh aku mandi. Setelah itu kami duduk mengobrol, atau membaca koran terbitan Hindia atau majalah terbitan Nederland.

Di malamhari aku bekerja, belajar, atau menulis sambil menunggui Annelies di kamarnya. Kesehatannya makin pulih. Tapi ia belum mulai bekerja seperti biasa. Mama terlalu sibuk bekerja di kantor dan di belakang, tak mempunyai waktu untuk kami berdua di sianghari.

Pada malam seperti pada malam-malam belakangan ini aku duduk pada meja di dalam kamar Annelies. Ia sedang membaca Defoe Robinson Crosoe terjemahan Belanda, yang setiap halaman terbagi dalam dua kolom. Telah aku susunkan daftar buku yang harus ia baca. Semua buku remaja: Dumas dan Stevenson. Ia harus selesaikan dalam satu bulan. Dan di sampingnya tergeletak kamus tua yang tiap hari dipergunakan Mama - kamus tua yang dalam sepuluh tahun belakangan ini sudah tak dapat menjawab perkembangan baru.

yang akan berjudul Anak Ayah. Yang aku maksudkan tak lain dari Robert Mellema.

Dalam dokumen Bumi Manusia (Halaman 163-185)