• Tidak ada hasil yang ditemukan

JUGA KARENA MENGUTAMAKAN URUTAN WAKTU aku susun bagian

Dalam dokumen Bumi Manusia (Halaman 131-140)

ini dari bahan yang kudapat dari pengadilan di kemudianhari. Sebagian terbesar didasarkan pada jawaban-jawaban Maiko melalui penterjemah tersumpah dan kutulis dengan kata-kataku sendiri:

Aku datang dan berasal dari Nagoya, Jepang, ke Hongkong sebagai pelacur. Majikanku seorang Jepang, yang kemudian menjual diriku pada seorang majikan Tionghoa di Hongkong. Aku sudah tidak ingat siapa nama majikan kedua itu.

Beberapa minggu di tangannya terlalu pendek untuk dapat mengingat namanya yang sulit diucapkan. Ia menjual diriku pada majikan lain, juga orang Tionghoa, dan dengan begitu aku dibawa bela-yar ke Singapura. Majikan ketiga ini kukenal hanya pada namanya Ming. Selebihnya aku tak tahu. Ia sangat puas dan senang padaku karena tubuhku dan layananku mendatangkan banyak keuntungan baginya. Majikanku yang ke empat seorang Jepang Singapura. Ia sangat bernafsu untuk memiliki diriku. Tawar-menawar yang cukup lama. Akhirnya • dibelinya aku seharga

tujuh puluh lima dollar Singapura, harga tertinggi untuk wanita-umum Jepang di Singapura. Memang aku bangga tubuhku lebih mahal dari wanita-umum dari Sunda, yang biasanya menduduki tempat tertinggi dan termahal dalam dunia plesiran di Asia Tenggara.

Tetapi kebanggaanku tidak terlalu lama umurnya. Hanya lima bulan. Majikanku, orang Jepang itu, kemudian terlalu benci padaku. Aku sering dipukulinya. Malah pernah aku disiksanya dengan sundutan api rokok. Soalnya karena langgananku semakin berkurang juga. Memang demikian risiko yang dapat menimpa seorang pelacur paling tersohor pun: sipilis. Yang menimpa diriku bukan sekedar sipilis biasa. Dalam dunia pelacuran yang terkutuk ini dinamai: sipilis "Birma". Aku tak tahu mengapa dinamai demikian. Dia mashur tak terobati, dan lelaki diru-sak dan dihancurkan lebih cepat dan lebih sakit. Perempuan bisa tak merasa sesuatu untuk waktu agak lama.

Maka majikanku menjual aku dengan harga dua puluh dol-lar pada majikan Tionghoa, majikan ke lima. Dibawanya aku ke Betawi. Sebelum jual-beli terjadi majikanku yang lama membawa aku masuk ke dalam kamar. Dipukulinya dadaku dan pinggangku sampai pingsan. Setelah siuman aku ditelanjanginya dan ditotoknya bagian-bagian: tubuh untuk mematikan syahwat. Ia bernama Nakagawa. Pada keesokannya baru aku diserahkan pada majikan lain itu.

Pada hari pertama majikan-baruku hendak mencoba aku. Aku menolak. Kalau dia tahu aku beipenyakit terkutuk itu tentu aku akan. kena aniaya lagi. Mungkin sampai mati. Bukan sesuatu yang iuarbiasa seorang pelacur dibunuh oleh majikannya dan disembunyikan atau dihancurkan entah di mana mayatnya. Pelacur mahluk lemah tanpa pelindung. Lagipula aku tahu gejala kelemahan sudah mulai menyerang syahwatku. Padanya aku minta disewakan sinsei penotok. Tiga kali sinsei

memperbaiki tubuhku dan syahwatku mulai pulih. Namun aku tetap menolak dicoba oleh majikanku. Beruntunglah dia mengalah.

Baru saja tiga bulan dan majikanku tahu juga aku punya penyakit. Ia marah. Itu kuketahui hanya dari airmukanya dan nada suaranya karena aku tak mengerti Tionghoa. Langganan semakin berkurang. Orang menghindari tubuhku dan ia menjadi jengkel. Siang-malam aku berdoa jangan kiranya ia menganiaya diriku. Tidak. Boleh juga ia menganiaya diriku asal jangan sim-pananku dirampasnya. Tahun mendatang aku harap akan bisa pulang kembali ke Jepang dan kawin dengan Nakatani, yang menunggu aku pulang membawa modal.

Majikanku tak menganiaya aku, juga tidak merampas tabu-nganku. Waktu aku pindah tangan pada Babah Ah Tjong dengan harga senilai dengan sepuluh dollar Singapura, ia beri aku persen setengah gulden dan kata-kata ini, diucapkan dalam

Jepang yang patah-patah:

"Sebenarnya aku suka mengambil kau jadi gundik."

Aku sangat menyesal mendengar ucapannya itu. Jadi gundik lebih ringan daripada jadi pelacur dan dapat hidup agak wajar, lebih bebas daripada jadi istri seorang pemuda Jepang yang mengharapakan modal dari calon bininya. Apa boleh buat, penyakit terkutuk ini telah mendekam dalam diriku.

Babah.Ah Tjong sangat bernafsu padaku. Aku sudah ber-

usaha menyangkalnya, takut pada datangnya bencana baru. Kalau sekali ini

terbongkar lagi, harga badanku mungkin akan hanya tinggal senilai lima dollar, dan jadilah aku sampah jalanan di negeri orang. Jadi aku minta disewakan seorang sinsei ahli penotok. Sinsei itu menjamin aku bisa sembuh dengan totok selama sebulan dengan sepuluh totokan pada menjelang malam. Babah berkeberatan dengan waktu yang selama itu dan upahnya yang mahal pula. Aku hanya mendapat totokan sekali, totokan percobaan.

Sebelum berangkat ke Surabaya tak ada alasan lain padaku untuk menyangkal majikanku. Aku dipergunakannya untuk dirinya sendiri semata sampai aku ditempatkan di rumahplesirannya di Wonokromo dan mendapat kamar terbaik. Bila berada di rumahplesirannya hampir selalu ia tinggal di kamarku, tidak di kamar lain, yang empat belas banyaknya.

Babah nampaknya tak tertulari penyakitku. Maka aku merasa tenang dan senang. Memang ada sejenis lelaki yang kalis dari penyakit dunia plesiran. Boleh jadi

memang karena totokan yang sekali itu penyakitku kehilangan keganasannya, maka tidak menular. Siapa tahu ? Dan harga tubuhku boleh jadi akan naik lagi ? Ya, siapa tahu ? Kalau Babah menggundik diriku aku akan bersyukur dan akan mengabdi padanya sebaik-baik seorang gundik. Kalau tidak, sebelas bulan lagi cukuplah waktuku jadi pelacur, dan aku akan pulang. Setidak-tidaknya aku sudah terlalu mampu untuk menebus diriku dari majikan terakhir.

Bulan itu pun habis. Babah ternyata terkena sipilis "Birma" juga. Ia tak tahu, tak kenai penyakit aneh itu. Ia tak langsung menuduh aku karena ada banyak wanita lain dalam kehidupan plesirannya. Lagi pula kami berdua tak bisa bicara satu pada yang lain.

Bahwa ia mengidap penyakit kuketahui waktu pada suatu hari empatbelas orang pelacurnya dari berbagai bangsa dibaris-kannya telanjang bulat di hadapannya dan ditanyai seorang demi seorang tentang penyakit mereka. Pada tangan-kanannya ia membawa cambuk tali kulit dan tangan kiri mengukur suhu yang mencurigakan yang keluar dari kelamin para wanita celaka itu.

atas bumi ini pelacur Jepang selalu dianggap paling bersih dan pandai menjaga kesehatan, senyawa dengan jaminan bebas penyakit. Maka aku tak diperiksa. Tiga orang disingkirkan dari barisan. Ah Tjong memerintahkan pada para

perempuan sisanya, kecuali aku, untuk mengikat mereka dengan tali. Mulut mereka disumbat. Ah Tjong sendiri

yang menghajar tubuh mereka dengan cambuk kulit, tanpa mengeluarkan suara dari mulut mereka yang tersumbat dengan selendang. Mereka adalah korbanku. Dan aku diam saja.

Memang susah jadi pelacur. Bila terkena sakit kotor harus segera melapor dan majikan segera menganiaya. Sebaiknya orang membisu sampai dia mengetahui melalui jalan yang tersedia. Tapi penganiayaan juga yang bakal datang.

Setelah tiga wanita itu sembuh dari penganiayaan mereka dijual pada seorang tengkulak Singapura untuk di bawa ke Medan. Aku tetap tidak tergugat di

rumahplesiran Ah Tjong. Sampai sejauh itu hanya dia seorang saja yang kulayani, maka aku tak terlalu lelah. Kesehatan dan kesegaranku rasa-rasanya hendak pulih. Juga kecantikanku.

Hampir setiap orang Tionghoa kayaraya mempunyai suhian, rumahplesirnya sendiri. Di Hongkong, Singapura, Betawi mau pun Surabaya sama saja adat mereka, yaitu menggilirkan rumahplesirnya masing-masing di antara mereka. Begitulah maka pada suatu hari rumahplesiran Babah Ah Tjong mendapat giliran...

Pagi-pagi tepukan tangan Babah telah memanggil aku keluar. Keluarlah aku. Memang ada rencana untuk berjudi pagi. Sore dan malamhari baru untuk plesiran. Beberapa orang tamu sudah berdatangan di ruangdepan, bermain kartu, mahyong dan karambol.

Sebenarnya aku sudah gelisah. Giliran pada rumahplesiran ini jangan-jangan

membikin mejikanku melepas aku pada tamu-tamunya. Siapa pun tahu, perempuan Jepang sangat disukai mereka. Berapa orang harus kulayani bila Babah sampaihati melepas aku ?

Ternyata memang ia perintahkan aku melayani tamunya: seorang anak muda

jangkung bertubuh besar, kuat dan ganteng, sehat dan menarik — seorang keturunan Eropa. Namanya: Robe-ru. Sebenarnya iba hatiku melihat kemudianharinya.

Sepintas kelihatan ia seorang plonco yang belum banyak pengalaman. Siapa tidak kasihan melihat anak semuda itu harus terkena penyakit celaka, sebentar nanti, kalau dia menghendaki tubuhku, menanggung seumur hidup, mungkin juga cacad atau mati muda karenanya ?

Aku perhatikan airmuka majikanku, ia main-main atau sungguh-sungguh. Nampaknya ia tak menyesal melepas diriku untuk Roberu. Sekaligus aku mulai

mengerti: dia telah tahu juga aku yang menularinya dengan penyakit itu. Sebentar lagi ia akan jual aku pada orang lain, atau ia akan paksa aku menebus

diriku sendiri dengan entah berapa puluh dollar. Aku merasa sangat, sangat sedih pada pagi itu.

Setelah Babah membawa Roberu dan aku ke dalam kamar dan menguncinya dari luar, tahulah aku, aku harus bekerja, dan bekerja sebaik-baiknya. Aku harus buang segala kesedihan dan waswasku.

Roberu duduk di kursi panjang. Segera aku berlutut di hadapannya dan mencabut larsa dari kakinya. Sepagi itu! Kauska-kinya kotor dan nampak tak terawat

sebagaimana mestinya. Dari lemari kuambilkan sepasang sandal. Tak ada yang cocok ukurannya. Kaki itu sangat besar. Apa boleh buat. Baru kemudian aku tarik kaus dari kakinya yang kokoh dan kuat itu. Sandal hanya kuletakkan di depannya, tidak

kupasangkan. Sandal jerami itu akan hancur kemasukan kakinya.

Ia tidak mengenakannya. Nampaknya ia seorang yang banyak bertimbang-timbang. Roberu tidak bicara apa-apa, hanya memandangi aku dan segala tingkah-lakuku dengan mata terheran-heran.

Kulepas kemejanya yang bersaku dua. Ia diam saja. Kuketahui dua-dua kantong itu kosong. Kupersilakan ia berdiri dan kulepas celana-kudanya. Aku lipat dan

kugantung di dalam lemari, sekali pun aku tidak rela karena kotor dan baunya. Pa-kaian-dalamnya nampak telah lebih seminggu tidak diganti. Terlalu kotor. Ia kelihatan agak malu.

Itulah pemuda Roberu, tidak mempunyai sesuatu kecuali kemudaan dan kesehatan, kegantengan dan nafsu-berahinya sendiri. Aku mulai berpikir lagi: apa sebab Babah melepas aku pada pemuda tak punya sesuatu apa ini ? Pasti ia takkan menjual diriku, juga takkan memaksa aku menebus diriku karena penyakit terkutuk ini. Nampaknya ia tetap belum tahu tentang pe-nyakitku. Aku agak senang dan tenang dengan pesangon pikiran itu.

Dari dalam lemari lain kuambilkan untuknya selembar kimono Tuan Majooru. Aku lepas pakaian-dalamnya dan aku ki-monoi dia. Ia masih duduk diam-diam.

Kuambilkan untuknya cawan anggur penguat, biar takkan terlalu menyesal ia di kemu-dianhari terkena penyakit yang ajcan bersarang abadi dalam tubuhnya. Biar ia mendapat kenang-kenangan indah dari penderitaan tanpa batas kelak, suatu

keindahan dan kenikmatan yang telah jadi haknya.

Diteguknya anggur penguat itu dengan masih tetap mengawasi aku dengan mata terheran-heran. Dalam pada itu aku terus juga bicara lunak tanpa henti agar tak merusak suasana hatinya.

Tentu saja ia tidak mengerti barang sepatah pun. Walau begitu tak ada kata-kata buruk kuucapkan. Dan lelaki mana tidak suka mendengarkan perempuan Jepang bicara dan mengucapkan kata-katanya- ? dan melihat cara dan gaya jalannya ? dan menikmati pelayanan di- dalam dan* di luar kamar ?

Jam setengah sembilan pagi kami naik ke atas ranjang. Roberu menolak makansiang. Tubuhnya sangat kuat. Tubuhnya yang bermandi keringat membikin Ja seperti terbuat dari tembaga tuangan. Tak pernah ia melepaskan aku. Tingkahnya gelisah dari seorang pemuda yang belum banyak pengalaman. Kalau bukan karena, anggur penguat itu ia telah melepas darah dan takkan mampu turun sendiri. Biarlah. Sebentar lagi tubuhnya yang hebat itu akan rusak-binasa. Segala yang ada padanya akan musnah: kemudaan, kegantengan, kekuatan — ah-ah-ah, karunia yang tidak datang pada setiap orang itu. Karena itu aku totok ia pada bagian-bagian tubuhnya sebagaimana pernah dilakukan oleh sinsei Tionghoa atas diriku. Ia tak tahu

maksudku namun manda saja seperti bocah kecil dungu, dan aku lakukan ini dalam pelukannya yang perkasa.

Pada jam empat sore ia baru lepaskan aku dan turun dari ranjang. Aku pun turun dan menyeka badannya yang bermandi keringat dengan anduk basah beberapa kali dengan air mawar. Lima lembar anduk! Ia telah kehabisan tenaga. Lenyap kekuatan dan kegagahannya, seperti selembar pakaian tua menglem-puruk di kursi. Ia minta pakaiannya. Aku ambilkan dan kukenakan padanya selembar demi selembar, juga kauskaki dekil-bau itu dan larsanya yang berat dari kulit talenta. Setelah itu aku gosok rambutnya dan aku pijiti kepalanya biar tidak pening, aku sisiri sampai rapi, baru kemudian aku sendiri berpakaian setelah lebih dahulu menggosok tubuh dengan anduk basah pula.

Nampaknya ia sangat puas. Ia masih menyempatkan diri menyambar lenganku dan memangku aku dan bicara dengan suara dalam dan lambat. Aku tak mengerti artinya, namun senang mendengar kedalaman suaranya. Dan aku meronta menolak, kuatir nafsunya akan bangkit kembali. Aku sendiri belum lagi sarapan atau pun makansiang. Aku pun akan rusak bila melayaninya. Mungkin ia sendiri pun kosong-perutnya.

Ia sudah begitu pucat seperti baru bangun sakit. Tak sam-paihati melihatnya. Kuambilkan lagi anggur penguat untuknya biar mukanya agak berdarah. Kemudian ia kuantarkan keluar dari kamar.

Ia ragu dan berhenti di tengah-tangah pintu. Tiba-tiba ia balik lagi masuk ke dalam, memeluk dan mencium bernafsu. Dengan hormat dan sopan ia kudorong keluar dan pintu terkunci dari dalam. Aku sangat lelah ...

dalam Melayu, dibelandakan oleh penter-jemah tersumpah, dan setelah kususun sendiri menjadi begini:

Pada waktu itu aku sedang berada di kantor rumahplesiran-ku. Kira-kira jam empat sore lonceng dari kamar raja berdenting minta dibukakan pintunya dari luar.

Aku sendiri yang keluar dari kantor untuk melayani. Sinyo Lobel sesungguhnya tamuku yang istimewa. Aneh sekali kalau ditanyakan mengapa. Dia anak tetanggaku sendiri dan sudah menjadi adat kami untuk selalu bertetangga baik. Apalagi Sinyo Lobel pada suatu kali akan jadi tetanggaku sepenuhnya, bukan hanya sekedar anak tetangga.

Dia keluar. Mukanya pucat. Segala yang menarik padanya sudah lebur. Hampir-hampir tak mampu mengangkat kepala sendiri. Nampak benar dia seorang pemuda yang tak kenal batas, seorang yang kelak akan menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada sang nafsu. Biar begitu ia kelihatan puas. Itu nampak jelas dari bibirnya yang berbunga senyum rela. Tentu saja aku senang melihat itu.

"Nyo," tegurku, "Kita beltetangga baik mulai hali ini dan untuk setelusnya. Bukan ?" Mendadak ia pandangi aku dengan mata membelalak curiga. Ia meriut-kecut. Orang berpengalaman seperti aku tentu tahu: ia menjadi sadar harus mengeluarkan banyak uang untuk menebus kesenangannya sebentar tadi.

"Biar aicu tandatangani bonnya," katanya ragu.

"Ai, Nyo, kita betetangga baik. Sinyo tak pellii kelualkan apa-apa. Jangan kuatil. Siapa tahu kelak kita bisa jadi 6ng-ko* ? Pendeknya setiap saat boleh datang kemali. Boleh pakai kamal mana saja selama tidak telkunci, tanpa batas waktu, siang atau malam. Boleh pilih olang mana saja. Kalau pintu dan jendela depan telkunci Sinyo masuk saja dali pintu belakang. Tu-kangkebun dan penjaga nanti kuhilangi." Keraguannya hilang. Kontan ia menjawab:

"Terimakasih banyak, Babah. Tidak sangka Babah sebaik ini." "Memang sudah lama Sinyo mestinya datang. Balu seka-lang." "Tentu aku akan kembali lagi."

"Tentu saja!"

Sebagai tetangga baik tentu tak mungkin aku menolak kedatangannya. Apalagi ia seorang muda yang sedang pada puncak pertumbuhan. Jadi bukan saja harus

kucadangkan pikiran untuk memberinya kesempatan untuk melepaskan berahi, juga terpaksa menyerahkan Maiko untuknya sampai ia merasa puas dan bosan.

Ia minta diri untuk pulang. "Hari sudah sore," katanya.

Dan aku tak menghalang-halanginya. Sebelum pergi aku bawa ia ke kantorku. Sampai di sini matanya menjadi liar melihat wanita-wanita lain. Ia sudah berubah,

bukan lagi pemuda pemalu sepagi. Aku pura-pura tak lihat. Kalau aku layani bisa rusak semua aturan. Maka aku panggil seorang wanita pemangkas dan

kuperintahkan memangkasnya sesuai dengan contoh yang kuberikan.

Sinyo tak menolak dipangkas. Ia dipangkas dengan gaya Spanyol bersibak tengah. Rambutnya diberi minyakrambut khusus yang termahal. Setelah itu ia kusuruh minum arak khusus pula, >sfmpanan pribadi.

'dengan begini Sinyo kelihatan segal lagi," kataku.

Bukan itu saja. Aku berikan padanya seringgit. Seringgit tulen putih seperti matari, tanpa cacad. Ia menerimanya dengan malu, mengangguk berterimakasih, tanpa bunyi, hanya:

"Babah memang tetangga paling baik." .

Kuantarkan ia keluar melalui para tamu yang semakin banyak juga. Beberapa orang di antara mereka menahan kami untuk meminta Maiko. Sinyo memberengut dan aku tolak mereka semua. Aku iringkan ia keluar pelataran. Waktu kudanya telah

memasuki jalan raya dan membelok ke kiri, baru aku masuk lagi dan terus pergi mendapatkan Maiko.

Setelah itu tak tahu aku apa yang kemudian terjadi dengan Sinyo. ***

Dan di bawah ini cerita yang kususun dari cerita Nyai dan Annelies tentang Robert Mellema:

Pada jam dua sore Annelies bangun dari tidur. Panas badannya telah turun. Segera ia menanyakan apakah Robert sudah pulang.

"Belum, Ann. Tak tahulah aku ke mana saja ia pergi."

Nyai sudah sedemikian jengkel dan marah pada sulungnya. Ia perintahkan Darsam untuk tidak meninggalkan tempat. Pengantaran susu, keju dan mentega ke kota diserahkan pada ku-sir-kusir lain. Bahkan pengawasan kerja di belakang diserahkan pada orang yang belum lA'gi layak menjadi mandor.

"Biar dia kutunggu di depan, Ma," ujar Annelies. i

"Tidak. Kau tunggu di sini atau di luar sana sama saja. Di ruangdepan sana lebih baik, sambil menemani Mama."

Nyai memapah Annelies, dan mereka duduk berjajar di kursi.

Dan Robert belum juga datang. Bunyi pendule itu mengganggu suasana menunggu. Antara sebentar Nyai, meninjau pelataran. Dan sulung itu belum juga muncul. "Bagaimana bisa jadi, Ann, kau, baru beberapa hari bertemu sudah jatuh tergila-gila begini ? Semestinya dia yang tergila-gila padamu."

Annelies tak menjawab. Nampaknya ia tersinggung. "Aku ambilkan makan, ya ?"

"Tak usah, Ma," tapi Nyai pergi juga ke belakang mengambil dua piring nasi ramas, sendok-garpu dan minum.

Nyai makan sambil menyuapi Annelies dengan paksa. "Kalau malas mengunyah, telan saja," perintahnya.

Dan Annelies benar-benar tidak mengunyah, hanya menelan. Dan Robert belum juga datang.

Dua kali Nyai memanggil Darsam untuk melayani langganan. Dan Annelies duduk diam-diam dengan memandang jauh — jauh sekali.

Dua jam lagi telah lewat.

"Nah, anak gila itu datang juga!" sebut Nyai.

Baru Annelies memusatkan pandang ke jalan' raya.

"Darsam!" seru Nyai dari tempatnya. Waktu yang dipanggil datang ia meneruskan, "Kunci pintu kantor. Kau berdiri di sini," ia menunjuk pada pintu yang

menghubungkan kantor dengan ruangdepan.

Robert mengendarai kudanya, tenang tak tergesa. Ia berhenti pada tangga rumah, melepas kuda tanpa mengikatnya dan naik, berdiri di hadapan Nyai dan Annelies. Nyai mengernyit melihat sulungnya telah berpangkas dan bersibak tengah. Ia lihat muka dan badan Robert tidak berkeringat, juga tidak berdebu. Cambuk kuda tak ada di tangannya. Juga ia tak mengenakan topi. Entah di mana semua itu ketinggalan. "Sibak rambut itu," bisik Nyai, "kepucatan itu...," ia tutup mukanya dengan tangan. "Lihat, Ann, lihat macam abangmu. Seperti itu juga papamu waktu pulang dari pengembaraannya dan sudah jadi begitu. Bau minyakwangi itu... Sama juga. Kalau dia bicara, mungkin bau araknya juga sama dengan lima tahun lewat itu..."

Dan Nyai tak menegur JRobert.

Annelies memandangi abangnya dengan mata mengimpi. Darsam berdiri diam-diam. Melihat tak ada seorang pun memulai pendekar Madura itu mendeham. Dan seperti mendapat perintah Robert mengangkat pandang pada Darsam, kemudian dipindahkan pandang itu pada ibunya:

"Polisi tak tahu-menahu ke mana Minke dibawa. Mereka tak mengenal nama itu." Nyai berdiri dan meradang. Mukanya merah-padam. Telunjuknya menuding sulungnya, mendesau:

"Penipu!"

"Aku sudah berkeliling ke mana-mana mencari keterangan."

Dalam dokumen Bumi Manusia (Halaman 131-140)