• Tidak ada hasil yang ditemukan

RASANYA BELUM LAGI LAMA AKU TERTIDUR. Pukulan gugup pada

Dalam dokumen Bumi Manusia (Halaman 88-114)

pintu kamarku membikin aku menggeragap bangun. "Minke, bangun," suara Nyai.

Kudapati Mama berdiri di depan pintuku membawa Win. Rambutnya agak kacau. Bunyi ketak-ketik pendule merajai ruangan di pagi gelap itu. ' "Jam berapa, Ma ?" "Empat. Ada yang mencari kau.

Di sitje telah duduk seorang dalam kesuraman. Makin dekat lilin padanya makin jelas: agen polisi! Ia berdiri menghormat, kemudian langsung bicara dalam Melayu berlidah Jawa: "Tuan Minke ?"

"Benar."

"Ada surat perintah untuk membawa Tuan. Sekarang juga, ia ulurkan surat itu. Yang dikatakannya benar. Panggilan dan Kantor Polisi B., dibenarkan dan diketahui oleh Kantor Polisi Surabaya. Namaku jelas tersebut di dalamnya. Mama juga telah membacanya. . .

"Apa yang sudah kau perbuat selama mi, Nyo ? tanyanya.

"Tak sesuatu pun," jawabku gugup. Namun aku jadi ragu pada perbuatanku sendiri. Kuingat dan kuingat, kubariskan semua dari seminggu lewat. Kuulangi: "Tak sesuatu pun, Ma."

Anneiies datang. Ia bergaun panjang dari beledu hitam. Rambutnya kacau. Matanya masih layu. Mama menghampiri aku:

"Agen itu tak pernah menyatakan kesalahanmu. Dalam surat juga tidak tertulis." Dan kepada agen polisi itu: "Dia berhak mengetahui soalnya."

"Tak ada perintah untuk itu, Nyai. Kalau tiada tersebut di dalamnya jelas perkaranya memang belum atau tidak boleh diketahui orang, termasuk oleh yang bersangkutan." "Tidak bisa begitu," bantahku, "aku seorang Raden Mas, tak bisa diperlakukan asal saja begini," dan aku menunggu jawaban. Melihat ia tak tahu bagaimana mesti menjawab aku teruskan, "Aku punya Forum Privilegiatum”

"Tak ada yang bisa menyangkal, Tuan Raden Mas Minke." "Mengapa anda perlakukan semacam ini ?" "Perintah untukku hanya mengambil Tuan. Pemberi perintah tak akan lebih tahu tentang semua perkara, Tuan Raden Mas," katanya membela diri. "Silakan Tuan bersiap-siap. Kita akan segera berangkat. Jam lima sudah harus sampai di tujuan."

"Mas, mengapa kau hendak dibawa ?" tanya Annelies ketakutan. Aku rasai gigilan dalam suaranya.

"Dia tak mau mengatakan," jawabku pendek. "Ann, urus pakaian Minke dan bawa kemari," perintah Nyai, "dia akan dibawa entah untuk berapa hari. Kan dia boleh mandi dan sarapan dulu ?"

Di ruangbelakang kudapati Robert sedang menonton kejadian itu dari tempatnya. Ia hanya menguap menyambut aku. Di dalam kamarmandi mulai kutimbang-timbang kemungkinan: Robert penyebab gara-gara ini, menyampaikan lapuran palsu yang bukan-bukan. Semalam dan kemarin malam dia tidak muncul untuk makan. Satu demi satu ancamannya terkenang kembali. Baik, kalau benar kau yang membikin semua keonaran ini. Aku takkan melupakan kau, Rob.

Kembali ke ruangdepan kopi telah tersedia dengan kue.

Agen polisi itu sedang menikmati sarapan pagi. Ia kelihatan lebih sopan setelah mendapat hidangan. Dan nampak tak pirnya sikap permusuhan pribadi terhadap kami semua. Malah ia bercerita sambil tertawa-tawa.

"Tak ada terjadi sesuatu yang buruk, Nyai," katanya akhirnya, "Tuan Raden Mas Minke paling lama akan kembali dalam dua minggu ini."

"Bukan soal dua minggu atau sebulan. Dia ditangkap di rumahku. Aku berhak tahu persoalannya," desak Nyai "Betul-betul aku tak tahu. Maafkan. Itu sebabnya pengambilan dilakukan pada begini hari, Nyai, biar tak ada yang tahu

"Tak ada yang tahu ? Bagaimana bisa ? Kan Tuan telah menemui penjaga rumah sebelum dapat bertemu denganku 7 "Kalau begitu urus saja penjaga itu biar tidak bicara. "Tak bisa aku dibikin begini," kata Mama, "penjelasan akan kupinta dari Kantor Polisi." .

"Itu lebih baik lagi. Nyai akan segera mendapat penjelasan. Dan pasti benar."

Annelies yang masih berdiri menjinjing kopor mendekati aku, tak bisa bicara. Kopor dan tas diletakkan di lantai. Tanganku diraih dan dipegangnya. Tangannya agak gemetar.

"Sarapan dulu, Tuan Raden Mas," agen itu memperingatkan. "Di Kantor Polisi barangkali tak ada sarapan sebaik ini. Tidak ? Kalau begitu mari kita berangkat." "Aku akan segera kembali, Ann, Mama. Tentu telah terjadi kekeliruan. Percayalah." Dan Annelies tak mau melepaskan tanganku.

Agen polisi itu mengangkatkan barang-barangku dan dibawa keluar. Annelies tetap mengukuhi tanganku waktu aku mengikuti agen keluar rumah. Aku cium pada pipinya dan kulepaskan pegangannya. Dan ia masih juga tak bicara.

"Semoga selamat-selamat saja, Nyo," Nyai mendoakan. "Sudah, Ann, berdoalah untuk keselamatannya."

Dokar yang menunggu ternyata bukan kereta polisi - dokar preman biasa. Kami naik dan berangkat ke jurusan Surabaya. Agen ini akan bawa aku ke B. Dan dalam gelap pagi itu kubayangkan setiap rumah yang pernah kulihat di B. Yang mana di antara semua itu menjadi tujuan ? Kantor Polisi ? Penjara ? Losmen ? Rumah-rumah

preman barangtentu tidak masuk hitungan.

Di jalanan hanya dokar kami yang mewakili lalulintas. Grobak-grobak minyakbumi, yang biasanya bergerak pada su-buh-hari dari kilang B.P.M. dalam iringan dua puluh sampai tiga puluh buah sekali jalan, sekarang tidak kelihatan. Seorang-dua memikul sayuran untuk dijual di Surabaya. Dan agen itu menutup mulut seakan tak pernah belajar bicara dalam hidupnya.

Boleh jadi Robert memang telah memfitnah aku. Tapi mengapa B. jadi tujuan ? Lampu minyak dokar kami segan menembusi kegelapan subuh berhalimun itu. Seakan hanya kami, agen, aku, kusir, dan kuda, yang hidup di atas jalanan ini. Dan aku bayangkan Annelies sedang menangis tak terhibur. Dan Nyai bingung kuatir penangkapan atas diriku akan memberi nama buruk pada perusahaan. Dan Robert Mellema akan mendapat alasan untuk berkaok: Nah, kan benar kata Suurhof ? Dokar membawa kami ke Kantor Polisi Surabaya. Aku dipersilakan duduk menunggu di ruangtamu. Sudah timbul keinginanku untuk menanyakan persoalanku.

Nampaknya dalam udara pagi berhalimun orang tak berada dalam suasana memberi keterangan. Aku tak jadi bertanya. Dan dokar masih tetap menunggu di depan kantor. Agen itu malah meninggalkan aku seorang diri tanpa berpesan.

Betapa lama. Matari tak juga terbit. Dan waktu terbit tidak mampu mengusir

halimun. Butir-butir air yang kelabu itu merajai segalanya, malah juga di pedalaman paru-paruku. Lalulintas di depan kantor mulai ramai: dokar, andong, pejalan kaki, penjaja, pekerja. Dan aku masih juga duduk seorang diri di ruangtamu.

Jam sembilan pagi kurang seperempat agen itu baru muncul. Nampaknya telah tidur barang sejam dan mandi air hangat. Ia kelihatan segar. Sebaliknya aku merasa lesu, lelah menunggu. Dan, masih tetap tak sempat bertanya.

"Mari, Tuan Raden Mas," ajaknya ramah.

Kembali kami naik dokar, ke stasiun. Juga dia lagi yang mengangkatkan barang-barangku, juga menurunkan dan mengiringkan ke loket. Ke dalamnya ia

menyorongkan surat dan mendapat dua karcis putih - kias satu. Jam ini bukan masa keberangkatan kereta express. Uh, naik kereta lambat pula. Benar saja, kami naik gerbong kereta yang membosankan itu, jurusan barat. Aku sendiri tak pernah naik kereta semacam ini. Selalu express kalau ada. Kecuali, yah, kecuali dari B. ke kotaku sendiri, T.

Agen itu kembali tidak bicara. Aku duduk pada jendela. Ia di hadapanku.

Gerbong itu sedikit saja penumpangnya. Selain kami berdua hanya tiga orang lelaki Eropa dan seorang Tionghoa. Nampaknya semua dalam suasana kebosanan. Pada perhentian pertama penumpang sudah berkurang dengan dua, termasuk orang Tionghoa itu. Penumpang baru tak ada.

Sudah berpuluh kali aku menempuh jarak ini. Maka pemandangan sepanjang perjalanan tak ada yang menarik. Di B. biasanya aku menginap di losmen untuk keesokanharinya meneruskan perjalanan ke T. Sekarang bukan menuju ke losmen langganan. Paling tidak di Kantor Polisi.

Pemandangan tambah lama tambah membosankan: tanah kersang, kadang kelabu, kadang kuning keputihan Aku tertidur dengan perut lapar. Apa pun bakal terjadi, terjadilah.

Uh bumi manusia! Kadang muncul kebun tembakau, kecil dan hilang tersapu

kelajuan. Muncul lagi, kecil lagi, hilang lagi. Dan sawah dan sawah dan sawah, tanpa air, ditanami palawija menjelang panen Dan kereta merangkak lambat,

menyemburkan asap tebal hitam dan lebu, dan lelatu. Mengapa bukan Inggris yang menguasai semua ini ? Mengapa Belanda ? Dan Jepang ? Bagaimana Jepang ? Sentuhan tangan agen itu menyebabkan aku terbangun. Di sampingku telah Tergelar bawaannya: kam^mbungkus terbu^ iadi landasan. Di atasnya: nasi goreng

berminyak mengkilat, dengan sendok dan garpu, dihias matasapi dan sempalan goreng ayam di dalam wadah takir daun pisang. Mungkin sengaja disediakan untukku. Seorang agen akan berpikir dua kali untuk menjamu makan demikian; terlalu mewah. Botol putih berisi susu coklat berdiri langsing di samping takir - minuman yang belum banyak dikenal Pribumi.

Dan kota B. yang suram itu akhirnya muncul juga di depan mata menjelang jam 5 sore. Ia tetap tak bicara. Tapi tetap membawa barang-barangku. Dan aku tak mencegahnya. Apa arti seorang agen polisi kias satu dibanding dengan siswa H.B.S. Paling-paling dia hanya bisa sedikit baca dan tulis Jawa dan Melayu.

Dokar membawa kami meninggalkan stasiun. Ke mana ?, Aku kenal jalan-jalan putih batu cadas yang menyakitkan mata ini. Tidak ke hotel, tidak ke losmen langganan. Juga tidak ke Kantor Polisi B.

Alun-alun itu nampak lengang dengan permadani rumputnya yang kecoklatan dan botak dan bocel di sana-sini. Ke mana hendak di bawa ? Dokar sewaan menuju ke gedung bupati dan berhenti agak jauh di tentang pintu gerbang batu. Apa hubungan perkara ini dengan Bupati B. ? Pikiranku mulai gila bergerayangan.

Dan agen itu turun dahulu, mengurus barang-barangku seperti sebelumnya. "Silakan," katanya tiba-tiba dalam Jawa kromo. Kuiringkan dia memasuki Kantor Kabupaten, terletak di depan sebelah samping gedung bupati. Kantor yang lengang dari hiasan dinding, sunyi dari perabot yang patut, tanpa seorang pun di dalam. Semua perabot kasar, terbuat dari jati dan tidak dipolitur, nampak tanpa ukuran kebutuhan dan tanpa perencana-naan guna, asal jadi. Dari rumah mewah Wonokromo memasuki

ruangan ini seperti sedang meninjau gudang palawija. Boleh jadi lebih mewah sedikit saja dari kandang ayam Anneiies. Ini a-gaknya ruang pemeriksaan. Hanya ada

bebe'rapa meja, sedikit kursi dan beberapa bangku panjang. Di sana ada rak-rak dengan beberapa tumpuk kertas dan beberapa buah buku. Tak ada alat penyiksaan. Hanya botol-botol tinta di atas semua meja.

Agen itu meninggalkan aku seorang diri lagi. Dan untuk kedua kalinya aku

menunggu dan menunggu. Matari telah tenggelam. Dia belum juga muncul. Bedug masjid agung telah bertalu, menyusul suara azan yang murung. Lentera jalanan sudah dinyalakan oleh tukanglampu. Kantor ini semakin gelap juga. Dan nyamuk yang keranjingan ini, mereka mengembut, menyerang satu-satunya orang di dalamnya. Kurangajar! sumpahku. Begini orang mengurus seorang Raden Mas dan siswa H.B.S. pula ? seorang terpelajar dan darah raja-raja Jawa ? _

Dan pakaian ini sudah terasa lengket pada tubuh. Badan sudah mulai diganggu bau keringat. Tak pernah aku mengalami aniaya semacam ini. -

"Beribu ampun, Ndoro Raden Mas," agen itu menyilakan aku keluar dari kantor gelap penuh nyamuk itu. "Mari 'sahaya antarkan ke pendopo."

Sekali lagi ia angkati barang-barangku.

Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. God! urusan apa pula ? Dan aku ini, siswa H.B.S., haruskan merangkak di hadapannya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri untuk orang yang sama sekali tidak kukenal ? Dalam berjalan ke pendppo yang sudah diterangi dengan empat buah lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula ? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain ? Sambar geledek!

Nah, kan benar ? Agen itu sudah mulai kurangajar menyilakan aku mencopot sepatu melepas kauskaki. Permulaan aniaya yang lebih hebat. Suatu kekuatan gaib telah memaksa aku mengikuti perintahnya. Lantai itu terasa dingin pada telapak kaki. Ia memberi isyarat, dan aku menaiki jenjang demi jenjang, melangkah ke atas. Ia tunjukkan padaku tempat aku harus duduk menekur: di depan sebuah kursi goyang. Kata salah seorang guruku: kursi goyang adalah peninggalan terindah dan Kompeni sebelum mengalami kebangkrutannya. Aduhai, kursi goyang, kau akan jadi saksi bagaimana aku harus menghinakan diri sendiri untuk memuliakan seorang bupati yang tak kukenal. Terkutuk! Apa teman-teman akan bilang bila melihat aku jalan berlutut begini sekarang ini, seperti orang tak punya paha merangkak mendekati

peninggalan V.O.C. menjelang bangkrutnya ? – kursi yang tak bergerak dekat pada dinding dalam pendopo itu ?

"Ya, jalan berlutut, Ndoro Raden Mas," agen itu seperti mengusir kerbau ke kubangan.

Dan jarak yang hampir sepuluh meter itu aku tempuh dengan menyumpah dalam lebih tiga bahasa.

Dan di kiri-kananku bersebaran hiasan lantai berupa kerang-kerangan. Dan lantai itu mengkilat terkena sinar empat lampu minyak. Sungguh, teman-teman sekolah akan mentertawakan aku sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, di atas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek-moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam ? Tak pernah terpikir olehmu, nenek-moyang yang keterlaluan! Keturunanmu bisa lebih mulia tanpa menghinakan kau! Sial dangkal! Mengapa kau sampaihati mewariskan adat semacam ini ?

Di depan kursi goyang aku berhenti. Duduk bersimpuh dan menekuri lantai

sebagaimana diadatkan. Terus juga menyumpah dalam lebih tiga bahasa. Yang dapat kulihat di depanku adalah bangku rendah berukir dan di atasnya bantal alas kaki daripada beledu hitam. Sama dengan gaun Annelies sepagi tadi.

Baik, sekarang aku sudah menekuri lantai di hadapan kursi goyang keparat ini. Apa urusanku dengan Bupati B. ? Tak ada. Sanak tidak, keluarga tidak, kenalan bukan, apalagi sahabat. Dan sampai berapa lama lagi aniaya dan hinaan ini masih harus berlangsung ? Menunggu dan menunggu sambil dianiaya dan dihina begini ? Terdengar pintu-angin mengerait terbuka. Langkah selop kulit terdengar semakin lama semakin jelas. Dan teringat aku pada langkah sepatu menyeret Tuan Mellema pada malam menyeramkan dulu. Dari tempatku, selop yang melangkah-langkah itu nuilai kelihatan, lambat-lambat. Di atasnya sepasang kaki bersih. Kaki lelaki. Di atasnya lagi kain batik berwiru lebar.

Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku, dan nenekku, dan orangtua-ku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajan tahun demi tahum belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh

kemajuan ilmu. Hilang anthusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah - pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui

anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

Orang itu, Bupati B., mendeham. Kemudian lambat-lambat duduk di kursi goyang, melepas selop di belakang bangku kaki dan meletakkan kakinya yang mulia di atas bantal beledu. Kursi mulai bergoyang-goyang sedikit. Keparat! Betapa lambat waktu berjalan. Sebuah benda yang kuperkirakan agak panjang telah dipukul-pukulkan lembut pada kepalaku yang tak bertopi. Betapa kurangajarnya makhluk yang harus kumuliakan ini. Setiap pukulan lembut harus kusambut dengan sembah terimakasih pula. Keparat! .. Setelah lima kali memukul, benda itu ditariknya, kini tergantung di samping kursi: cambuk kuda tunggangan dari kemaluan sapi jantan dengan tangkai tertutup "kulit pilihan, tipis. "Kau!" tegurnya lemah, parau.

"Sahaya Tuanku Gusti Kanjeng Bupati," kata mulutku, dan seperti mesin tanganku mengangkat sembah yang kesekian kali, dan hatiku menyumpah entah untuk ke berapa kali.

"Kau! Mengapa baru datang ?" suaranya makin jelas keluar dari tenggorokan yang sedang pada akhir selesma.

Rasanya aku pernah dengar suara itu. Pileknya juga yang menghalangi untuk dapat mengingat dengan baik. Tidak, tidak mungkin dia! Tak mungkin! Tidak! Dan aku tetap masih tidak mengerti duduk-perkara. Maka aku diam saja.

"Kanjeng Gubermen tak percuma punya dinas pos — mampu menyampaikan suratku dengan tepat pada alamat yang tepat dan selamat padamu...."

Benar, suara dia. Tidak mungkin! Tak ada syarat untuk itu. Tidak mungkin: aku hanya mengandai.

"Mengapa diam saja? Karena sudah tinggi sekolahmu sekarang merasa hina membaca suratku ?"

Benar, suara dia! Aku angkat sembah sekali lagi, sengaja sedikit mendongak dan melepas mata. Ya Allah, memang benar dia.

"Ayahanda!" pekikku, "ampuni sahaya." "Jawab! Kau merasa hina membalas suratku ?"

"Beribu ampun, Ayahanda, tidak." "Surat Bundamu, mehgapa tak juga kau balas . "Ayahanda, beribu ampun."

"Dan surat abangmu..."

"Ampun, Ayahanda, beribu ampun, sahaya kebetulan tidak di tempat, tidak di alamat, ampun, beribu ampun.

"Jadi untuk dapat menipu kau disekolahkan sampai setinggi pohon kelapa itu ?" "Beribu ampun, Ayahanda."

"Kau kira semua orang ini buta, tak tahu sesuatu pada tanggal berapa kau pindah ke Wonokromo ? Dan kau bawa serta surat-surat itu tanpa kau baca ? ...

Cambuk kuda tunggangan dari kemaluan sapi itu berayun-ayun. Bulu ronaku mulai merinding menunggu jatuhnya pada tubuhku. sebagai kuda binal.

"Apa masih perlu dihinakan kau di depan umum dengan cambuk ini *

"Hinalah' sahaya ini terkena cambuk kuda di depan umum," jawabku nekad, tak tahan pada aniaya semacam mi. Tapi kehormatan juga bila perintah itu datang dan .feorang ayah te-rusku lebih nekad lagi. Dan aku akan bersikap seperu Mama terhadap Robert, Herman Mellema, Sastrotomo dan istrinya.

"Buaya!" desisnya geram. "Kukeluarkan kau dan E.L.S. di T dulu juga karena perkara yang sama. Semuda itu! Makin tinggi sekolah makin jadi buaya bangkong! Bosan main-main dengan gadis-gadis sebaya sekarang mengeram di sarang nyai. Mau jadi apa kau ini ?" _

Aku terdiam. Hanya hati meraung: jadi kau sudah menghina aku, darah raja! suami ibuku! Baik, aku takkan menjawab. Teruskan, ayoh, teruskan, darah raja-raja Jawa! Kemarin kau masih mantri pengairan. Sekarang mendadak jadi bupati, raja kecil. Lecutkan cambukmu, raja, kau yang tak tahu bagaimana ilmu dan pengetahuan telah membuka babak baru di bumi manusia ini!

"Ditimang Nenendamu jadi bupati, ditimang dihormati semua orang... anak terpandai dalam keluarga... terpandai di seluruh kota... ya Tuhan, bakal apa jadinya anak ini!"

Baik, ayo teruskan, raja kecil!

"Satu-satunya pengampunan hanya karena kau naik kias." Sampai ke kias sebelas pun aku bisa naik! raungku pesakitan. Ayoh, lepaskan semua kebodohanmu, raja kecil.

"Apa tidak kau pikirkan bahaya mengerami nyai ? Kalau tuahnya jadi matagelap dan kau ditembak mati, mungkin dihajar dengan parang, atau pedang, atau pisau dapur, atau dice-k,k... bagaimana akan jadinya ? Koran-koran itu akan mengumumkan siapa kau, siapa orangtuamu. Malu apa bakal kau timpakan pada orangtuamu ? Kalau kau tak pernah berpikir sampai ke situ...."

Seperti Mama aku siap meninggalkan semua keluarga ini, raungku lebih keras, keluarga yang hanya membebani dengan tali pengikat yang memperbudak! Ayoh, teruskan, teruskan, darah raja-raja Jawa! Teruskan! Aku pun bisa meledak. "Apa tidak kau baca di koran-koran, besok malam ini ayahmu akan mengadakan pesta pengangkatan jadi bupati ? Bupati B. ? Tuan Assisten Residen B., Tuan Residen Surabaya, Tuan Kontrolir dan semua bupati tetangga akan hadir. Apa mungkin seorang siswa H.B.S. tidak membaca koran ? Kalau tidak, apa mungkin tak ada orang lain memberitakan ? Nyaimu itu, apa dia tidak bisa membacakan untukmu ?"

pemecatan, perpindahan, pensiun. Tak ada urusan! Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan ? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

"Dengar, kau, anak mursal!" perintahnya sebagai pembesar baru yang lagi naik semangat. "Kau sudah jadi linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa pada orangtua, lupa pada kewajiban sebagai anak. Barangkali kau memang sudah ingin beristri. Baik, lain kali dibicarakan. Sekarang ada soal lain. Perhatikan. Besok malam kau

Dalam dokumen Bumi Manusia (Halaman 88-114)