• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHIDUPAN BERJALAN SEPERTI BIASA. HANYA AKU yang mungkin

Dalam dokumen Bumi Manusia (Halaman 36-54)

berubah. Boerderij Buitenzorg di Wonokromo sana rasanya terus juga memanggil-manggil, setiap hari, setiap jam. Apa aku terkena guna-guna ? Banyak gadis Eropa, Totok dan Indo yang aku kenal. Mengapa Annelies juga yang terbayang ? Dan

mengapa suara Nyai tak mau pergi dari kuping batinku ? Minke, Sinyo Minke, kapan kau datang ?

Pikiranku kacau.

Setiap pagi aku berangkat ke sekolah membawa May Ma-rais. Aku gandeng gadis kecil itu sampai ke sekolahannya di E.L.S. Simpang. Kemudian aku berjalan kaki sendirian menuju ke sekolahanku di Jalan H.B.S. Setiap kusir kereta dihadapanku kuperhatikan, jangan-jangan Darsamlah dia. Dan bila kereta hendak melewati aku dari belakang kuperlukan menengok. Seakan aku mempunyai kepentingan dengan semua kereta yang lewat.

Juga di dalam kias Annelies terus-menerus muncul. Dan lagi-lagi suara Nyai: kapan kau datang ? dia telah berdandan untukmu. Kapan kau datang ?

Robert Suurhof tak pernah mengganggu aku dengan persoalan Wonokromo. Ia selalu menghindari aku. Ia enggan melunasi janjinya untuk menghormati aku bila aku berhasil. Dan aku sendiri merasa seperti sedang hidup dalam selubung kelabu. Semua tidak jelas, dan perasaan tidak menentu. Semua teman sekolahku, Eropa Totok atau pun Indo, laki dan perempuan, rasanya sudah berubah semua. Dan mereka pun melihat perubahan pada diriku. Ya, aku telah kehilangan kelincahan dan keramahanku.

Pulang dari sekolah aku langsung memasuki bengkel Jean Marais. Kulihat para tukang baru memulai kerja sore. Jean sendiri seperti biasa sedang tenggelam dalam lukisan, sketsa atau rancangan yang sedang disiapkan. Hari ini aku tiada pulang dulu ke pemondokan. Juga tidak pergi ke pelabuhan. Juga tidak ke kantor koranlelang untuk membikin teks iklan. Menulis sesuatu untuk koran umum pun aku tiada bernafsu. Juga tak timbul niat pergi ke rumah para kenalan untuk menawar-nawarkan perabot atau mencari order lukisan potret. *

Tidak, tak ada hasrat padaku untuk mengerjakan sesuatu. Maunya badan ini bergolek-golek di ranjang dengan mengenangkan Annelies. Hanya Annelies, dara kebocah-bocahan itu.

Di rumah, Mevrouw Telinga tak jemu-jemu minta diceritai tentang kunjunganku ke Boerderij Buitenzorg, untuk kemudian memperdengarkan ejekannya yang kasar dan itu-itu juga: "Tuan-muda, Tuanmuda, tentu Tuanmuda menghendaki anaknya; tapi ibunya juga yang lebih bernafsu! Semua orang memang memuji-muji kecantikan

anaknya. Tak ada yang berani datang ke sana. Beruntung benar Tuanmuda ini. Tapi ingat-ingat, salah-salah Tuanmuda diterkam oleh si Nyai!"

Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya siapa pun tahu, begitulah tingkat susila keluarga nyai-nyai: rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya pada soal-soal berahi semata. Mereka hanya keluarga pelacur, manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas. Tapi Nyai Ontosoroh ini, dapatkah dia dikenakan pada anggapan umum ini ? Justru itu yang membikin aku bimbang. Tidak bisa! Atau aku seorang yang memang kurang 'periksa ? Boleh jadi memang aku seorang yang tak mau tahu. Semua lapisan kehidupan menghukum keluarga nyai-nyai; juga semua bangsa: Pribumi, Eropa, Tionghoa, Arab. Masakan aku seorang akan bilang tidak ? Perintahnya padaku untuk mencium Annelies, kan itu juga pertanda rendahnya tingkat susila ? Mungkin. Namun-ejekan Mevrouw Telinga terasa menyinggung per dalam hatiku. Tentu, mungkin karena aku punya impian yang bukan-bukan. Dalam beberapa hari ini telah aku coba yakinkan diriku: apa yang terjadi antara diriku dengan Annelies hanyalah suatu kejadian umum dalam kehidupan muda-mudi; terjadi dalam keluarga apa pun: raja,

pedagang, pemimpin agama, petani, pekerja, bahkan juga dikahyangan para dewa. Benar. Tapi ada telunjuk gaib yang menuding: soalnya kau lah yang berusaha membenarkan impianmu sendiri.

Begitulah sore itu aku terpaksa bertanya pada Jean Marais.

Suatu percakapan bersungguh-sungguh dengannya belum bisa diharapkan, sekali pun bahasa Melayunya semakin han semakin baik juga. Dia tak tahu Belanda. Itu sulitnya. Bahasa Melayunya terbatas. Bahasa Perancisku sangat payah. Ia setengah mati menolak belajar Belanda, sekali pun lebih empat tahun jad, serdadu Kompeni, berperang di Aceh. Bahasa Belanda yang diketahuinya terbatas pada aba-aba militer. Tapi dia sahabatku yang lebih tua, kompanyon dalam berusaha. Sudah sepatutnya aku bertanya padanya.

Para tukang di bengkel sedang merampungkan perabot kamar yang dipesln dengan nama Ah Tjong Mungkin yang punya namah-plesiran tetangga Nyai Ontosoroh. Hanya karena pesanan itu bergaya Eropa orang Tionghoa tidak memesan pada sebangsanya sendiri. Kuterima order itu melalui orang lain.

Jean sedang memainkan pensil membikin sketsa untuk lukisan yang akan datang. “Aku hendak mengganggumu, Jean," kataku dan duduk di kursi pada meja-gambarnya. Ia mengangkat muka memandangi aku. "Tahu kau artinya sihir ?" Ia menggeleng.

"Guna-guna ?" tanyaku. . .

Itu pun kalau pendengaran ku benar

Mulai kuceritakan padanya tentang keadaanku yang serba tersihir Juga pendapat umum tentang keluarga nyai-nyai pada umumnya, dan keluarga Nyai Ontosoroh khususnya.

la letakkan pensilnya di atas kertas gambar menatap aku, mencoba menangkap dan memahami setiap kataku. Kemudian, tenang dan campur-aduk dalam beberapa bahasa:

"Kau dalam kesulitan, Minke. Kau jatuh cinta. "Tidak, Jean. Tak pernah aku jatuh cinta Memang dara itu sangat menarik, menawan, tapi jatuh cinta aku tidak ..” "Aku mengerti. Kau dalam kesulitan, itu parahnya kalau orang tak dapat dikatakan jatuh cinta. Dengar, Minke darah mudamu ingin memiliki dia untuk dirimu sendiri dan aku takut pada pendapat umum." Lambat-lambat ia tertawa Pendapat umum perlu dan harus diindahkan dihormat,, kalau benar, kalau salah, mengapa dihormat dan diindahkan ? Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan Itulah memang arti terpelajar itu. Datanglah kau padanya barang dua tiga kali lagi, nanti kau akan dapat lebih mengetahui bendr-tidaknva pendapat umum itu."

"Jadi kau anjurkan aku datang lagi ke sana?"

"Aku anjurkan kau menguji benar-tidaknya pendapat umum itu. Ikut dengan pendapat umum yang salah juga salah. Kau akan ikut mengadili satu keluarga yang mungkin lebih baik daripada hakimnya sendiri."

"Jean, kau memang sahabatku. Aku kira kau akan adili aku." "Tak pernah aku mengadili tanpa tahu duduk-perkara." "Jean, aku diminta tinggal di sana."

"Datanglah ke sana. Hanya jangan lupa kau pada pelajaranmu. Kau tak begitu perlu mencari order baru. Lihat, masih ada lima potret yang harus diselesaikan. Dan ini," ia menepuk kertas sketsa, "Aku hendak melukis sesuatu yang sudah lama aku inginkan."

Aku tarik kertas sketsa di hadapannya. Gambar itu membikin aku lupa pada persoalanku. Seorang serdadu Kompeni, nampak dari topi bambu dan pedangnya, sedang menginjakkan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu

menyorongkan bayonet pada dada kurbannya. Dan bayonet itu menekan baju hitam kurbannya, dan dari balik baju itu muncul buah dada seorang wanita muda. Mata wanita itu membeliak. Rambutnya jatuh terjurai di atas luruhan daun bambu. Tangan sebelah kiri mencoba meronta untuk bangun. Tangan kanan membawa parang yang tak berdaya. Di atas mereka berdua memayungi rumpun bambu yang nampak meliuk diterjang angin kencang. Di seluruh alam ini seakan hanya mereka

berdua saja yang hidup: yang hendak membunuh dan yang hendak dibunuh. "Kejam sekali, Jean."

"Ya," ia mendeham, kemudian menghisap rokoknya.

"Kau suka bicara tentang keindahan, Jean. Di mana keindahan suatu kekejaman, Jean?"

"Tidak sederhana keterangannya, Minke. Gambar ini bersifat sangat pribadi, bukan untuk umum. Keindahannya ada di dalam kenang-kenangan."

"Jadi kaulah serdadu ini, Jean. ? Kau sendiri ?" "Aku sendiri, Minke," ia mengangkat muka.

"Telah kau lakukan kebiadaban ini ?" ia menggeleng. "Kau pembunuh wanita muda ini ?" ia menggeleng lagi. "Jadi kau lepaskan dia ?" ia mengangguk. "Dia akan berterimakasih padamu."

"Tidak, Minke, dia yang minta dibunuh - gadis Aceh lahiran pantai ini. Dia malu telah terjamah oleh kafir. "Tapi kau tak bunuh dia."

"Tidak, Minke, tidak," jawabnya lesu. dan seakan tidak ditujukan padaku, tapi pada masa lalunya sendiri yang telah jauh tak terjangkau lagi. „„ . , .

"Di mana perempuan itu sekarang ?" tanyaku mendesak. "Mati, Minke," jawabnya berdukacita.

"Jadi kau sudah membunuhnya. Seorang wanita muda tidak berdaya”

"Tidak, bukan aku. Adiknya lelaki menyusup ke dalam tangsi, menikamnya dengan rencong dari samping. D,a mat. seketika Rencong itu beracun. Pembunuh itu sendiri terbunuh di bawah pekikan sendiri: mampus kafir, pengikut kafir!

"Mengapa adiknya menikamnya ?" Sudah lupa sama sekali aku pada kesulitanku pribadi.

"Adiknya tetap berjuang untuk negerinya, untuk kepercayaannya. Kakaknya ini tidak setelah dia menyerah. Dia mati tanpa saksi. Minke. Waktu itu anaknya sedang diajak jalan-jalan oleh tetangga. Suaminya sedang pergi bertugas."

"Jadi perempuan ini kemudian hidup dalam tangsi Kompeni ? Jadi tawanan ? Jadi tawanan sampai beranak ?"

"Tadinya jadi tawanan. Kemudian tidak," jawabnya cepat. "Jadi dia lantas kawin dengan seseorang ?"

"Tidak. Dia tidak kawin." .

"Dan anak yang diajak jalan-jalan oleh tetangga itu. Dari mana asalnya ?" ,. .. "Anak itu bayi yang diberikannya padaku, anakku sendiri.

Minke." "Jean!" ... ... »

Mendadak saja aku jadi perasa. Aku lari mencari May yang sedang tidur dengan aman di atas ambin kayu tanpa seprai. Aku angkat dia dan kuciumi. Ia terkejut, membelalak melihat padaku. Ia tak berkata sesuatu pun.

"May! May!" seruku sentimentil. Aku gendong dia keluar mendapatkan Jean Marais kembali. "Jean, imlah anakma^Im ah bayi itu, Jean. Kau tidak bohongi aku, Jean ? Kau bohongi aku kan?.”

"'Orang Prancis yang sedang bertompang dagu itu memandang jauh keluar rumah. Ia tak mau mengulangi ceritanya.

Betapa menghibakan nasib gadis kecil ini, juga ibunya, lebih-lebih sahabatku Jean Marais sendiri -- di negeri asing tanpa hari depan, kehilangan sebelah kaki pula. Ia sering bercerita sangat mencintai istrinya.

Dan anak ini adalah anak tunggal - kini tanpa ibu untuk selama-lamanya, hanya punya seorang ayah berkaki satu.

"Itu sebabnya kau anjurkan aku datang lagi ke Wonokromo ?" tanyaku.

"Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini/' katapya murung dan diambilnya May dari gendonganku, kemudian dipangkunya.

Gadis itu mencium pipi ayahnya yang tiada bercukur. Dan Jean meneruskan bicaranya dalam Prancis pada anaknya: "Kau terlalu lama tidur, May." "Akan jalan-jalan kita, Papa ? " tanya May dalam Prancis.

"Ya, mandilah dulu."

May berlonjak-lorijakan riang perai mendapatkan pengasuhnya. Kupandangi si gadis kecil yang tak pernah mengenal ibunya itu.

"Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya."

"Tentang diriku, Jean, belum tentu aku mencintai gadis Wonokromo itu. Bagaimana kau tahu kau mencintai ibu May ?"

"Barangkali kau tidak atau belum mencintai gadis itu. Bukan aku yang menentukan. Lagi pula tak ada cinta muncul mendadak, karena dia adalah anak kebudayaan, bukan batu dari langit. Setidak-tidaknya bukan aku yang menentukan; yang menjalani sendiri. Kau harus uji dirimu, hatimu sendiri. Boleh jadi gadis itu suka padamu. Ibunya jelas sayang padamu sejauh sudah kau ceritakan. Sudah sayang pada perkenalan pertama. Aku tak percaya pada guna-guna. Barangkali memang ada, tapi aku tak perlu mempercayainya, karena itu hanya bisa berlaku dalam kehidupan yang masih terlalu sederhana tingkat peradabannya. Apalagi kau sudah bilang, Nyai melakukan segala pekerjaan kantor. Orang begitu tidak akan bermain guna-guna. Dia akan lebih percaya pada kekuatan pribadi. Hanya orang tidak berpribadi

bermain sihir, bermain dukun. Nyai itu tahu apa yang diperlukannya. Barangkali dia mengenal kesunyian hidup anaknya."

"Ceritai aku tentang ibu May," kataku mengelak. "Tentu luarhiasa, dari seorang yang hendak kaubunuh jadi seorang yang kau cintai. Ayoh, Jean."

"Lain kali sajalah. Hatiku belum lagi bersuasana cerita. Coba lihat sketsa ini saja. Bagaimana pendapatmu ?"

"Aku tak tahu soal-soal beginian, Jean."

"Kau pemuda terpelajar. Sepatutnya mulai belajar mengerti." "Hatiku belum lagi bersuasana untuk belajar mengerti, Jean. "Baiklah. Kau mau mengajak jalan-jalart May sore ini, kan ?”

"Kau tak pernah membawanya!" tuduhku menyesali. "Dia ingin berjalan-jalan denganmu."

"Belum bisa, Minke. Kasihan dia. Orang akan menonton kami berdua. Pada suatu kali dia akan dengar mereka bilang: Lihat Belanda buntung pincang dengan anaknya itu! Jangan, Minke. Jiwa semuda itu jangan dilukai dengan penderitaan tak perlu, sekalipun cacad ayahnya sendiri. Dia hendaknya tetap mencintai aku dan

memandang aku sebagai ayahnya yang mencintainya, tanpa melalui suara dan pandang orang lain."

Tak pernah ia bicara sebanyak itu. Juga tak pernah semurung itu. Apa sebenarnya sedang terjadi dalam dirinya ? Boleh jadi ia rindu pada masalalu yang telah hilang tak tergapai lagi ? Atau pada negeri di mana ia pernah dilahirkan, dibesarkan dan untuk pertama kali melihat matari ? Tapi tak berani pulang karena cacad, punya anak kelahiran negeri lain ? Atau merindukan satu karya yang akan membikin negerinya menyambutnya dengan segala kebesaran sebagai pelukis ?

"Kau tak pernah setuju dengan perasaan kasihan, Jean," aku menegur.

"Kau benar, Minke. Pernah kuceritai kau, kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu

kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauan-baiknya. Aku tak punya kemampuan, Minke. Makin lama kurenungkan, kata itu sangat indah terasa di Hindia ini, tidak di Eropa."

Nada suaranya makin murting juga.

"Itu bukan pribadi seorang Jean Marais," tegurku. "Aku kuatir kau mulai menjadi bukan dirimu sendiri lagi, Jean."

"Terimakasih atas perhatianmu, Minke. Aku lihat kau semakin hari semakin cerdas." "Terimakasih, Jean. Aku harap kau jangan semurung itu. Kau giasih punya sahabat — aku."

berubah.

"Pergilah, May, dengar Oom Minke. Sayang masih ada pekerjaan harus diselesaikan. Jangan memberengut begitu, Manis.

Aku gandeng gadis kecil Peranakan Prancis-Aceh ini me nmggalkan rumah.

"Papa tak pernah mau jalan-jalan denganku," gadis itu mengadu dalam Belanda, "dia tak percaya aku kuat menuntun-nya Oom- Aku-mampu menjaganya jangan sampai jatuh." Tentu saja kau kuat, May. Papamu memang lagi banyak kerja hari ini. Lain kali tentu dia mau kau ajak "

Ia kubawa ke tanah-lapang Koblen, dan mulai lupa pada kekecewaannya Kami duduk di rumputan menonton oranc-orang beradu layang-layang. Ia mulai bercericau dalam Jawa bercampur Belanda, kadang juga Prancis. Tak kuperhatikan apa yang dicencaukannya. Hanya aku iakan. Pikiranku sendiri sedang kacau diserbu berbagai hal: keluarga Mellema, keluarga Marais, sikap teman-teman sekolah yang berubah terhadapku dan aku sendiri yang juga jadi berubah. Beberapa layang-layang putus, mengimbak-imbak di angkasa tanpa tujuan...

May menarik tanganku, menuding pada segumpal mendung yang muncul di ufuk. "Kau mencintai papamu, May ?

Ia pandangi aku dengan mata terheran-heran. Pada wajahnya nampak olehku Jean Marais. Tak ada aku dapatkan sedikit pun garis-garis dari wanita muda yang menjelempah dibawah rumpunan bambu dalam ancaman bayonet itu. Wajah ini mungkin wajah Jean sendiri semasa kecil. Dan Marais kecil ini sama sekali belum lagi tahu siapa ayahnya sebenarnya.

Jean, katanya sendiri, pernah belajar di Sorbonne." Ia tak pernah bercerita dari jurusan apa atau sampai tingkat berapa. Mendengarkan suarahati sendiri ia tinggalkan kuliah dan mencurahkan kekuatan sepenuhnya pada senilukis. Ia mengakui belum pernah berhasil.

Kemudian ia tinggal di Quartier Latin di Paris, menjajakan lukisan-lukisannya di pinggir jalan. Karya-karyanya selalu laku, tapi tak pernah menarik perhatian masyarakat dan dunia kritik Paris. Sambil menjajakan lukisan ia mengukir, juga di pinggir jalan itu. Lima tahun telah berlalu. Ia tak juga mendapat kemajuan. Ia bosan pada lingkungannya, pada gerombolan penonton yang melihat ia membuat patung Afrika atau mengukir, pada Paris, pada masyarakatnya sendiri, pada Eropa. Ia rindukan sesuatu yang baru, yang bisa mengisi kekersangan hidup.

Ditinggalkannya Eropa, pergi ke Maroko, Lybia, Aljazair dan Mesir. Ia tak juga menemukan sesuatu yang dicarinya dan tidak diketahuinya itu; tidak pernah merasa puas; tetap gelisah-resah. Ia tetap tak dapat menciptakan lukisan sebagaimana ia impikan. Ia tinggalkan Afrika. Sampai di Hindia uangnya tumpas. Jalan satu-satunya

untuk menyelamatkan hidup adalah masuk Kompeni. Ia masuk, mendapat latihan beberapa bulan, dan berangkat ke medan-perang di Aceh. Juga dalam kesatuannya ia tetap hidup dalam dirinya sendiri, hampir-hampir tak punya kontak dengan siapa pun kecuali melalui komando dalam basa Belanda. Dan ia segan mempelajari bahasa itu.

May Marais tidak tahu atau belum tahu semua itu. Aku akan melukis sambil jadi serdadu, Jean Marais bertekad. Pribumi Hindia sangat sederhana. Takkan ada perang yang bakal mereka menangkan. Apa arti parang dan tombak di hadapan senapan dan meriam ? pikirnya. Ia dikirimkan ke Aceh sebagai spandri*. Komandan regunya, Kopral Bastiaan Telinga, seorang Indo-Eropa. Sekiranya ia bukan Totok, tak bisa tidak ia akan tinggal jadi serdadu kias dua. Mulailah ia hidup di antara serdadu-serdadu Eropa Totok seperti dirinya sendiri, yang juga tak tahu Belanda: orang Swiss, Jerman, Swedia, Belgia, Rusia, Hongaria, Romania, Portugis, Spanyol, Italia — hampir semua bangsa Eropa — semua sampah buangan dari kehidupan negeri

masing-masing. Mereka adalah orang-orang putus-asa, atau ban-dit-bandit pelarian, atau orang yang lari dari tagihan hutang, atau bangkrut karena perjudian dan

spekulasi, semua saja petualang.

Dan tak ada di antara mereka di bawah spandri. Serdadu kias dua hanya pangkat untuk Indo dan Pribumi — dan umumnya orang-orang Jawa dari Purworejo. Mengapa pada umumnya Pribumi dari Purworejo ? sekali waktu aku pernah

bertanya. Mereka itu, jawabnya, orang-orang yang tenang. Kompeni memilih mereka untuk menghadapi bang-sa Aceh yang bukan saja pandai menggertak, juga ulet dan keras seperti baja, bangsa perbuatan. Orang-orang berangsangan, terutama dari daerah kapur yang tangguh pada awalnya saja, akan tumpas di Aceh.

Pengalaman di Aceh membikin ia mengakui: prasangkanya tentang kemampuan perang Pribumi ternyata keliru. Kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kemampuan berorganisasi juga tinggi. Sebaliknya ia juga mengakui kehebatan orang Belanda dalam memilih tenaga perang.

Prasangkaku, sekali waktu ia bercerita, bahwa parang dan tombak, dan ranjau Aceh, takkan mampu menghadapi senapan dan meriam,- juga keliru.

Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dengan kepercayaannya, telah banyak kekuatan Kompeni dihancurkan. Aku heran melihat kenyataan ini, tambahnya lagi. Mereka membela apa yang mereka anggap jadi haknya tanpa mengindahkan maut. Semua orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi tetap melawan. Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.

campur-aduk itu, pertahanan orang Aceh sudah terdesak jauh ke pedalaman dan selatan, di daerah Take-ngon. Seorang panglima Aceh, Tjoet Ali, sudah kehilangan banyak kekuatan dan daerah, namun tetap dapat mempertahankan ketinggian semangat pasukannya - suatu rahasia yang tak dapat aku pfecahkan. Mereka tetap bertempur, bukan hanya melawan Kompeni, juga melawan kehancurannya sendiri. Hubungan lalu-lintas Kompeni selalu jadi sasaran empuk: jembatan, jalanan, kawat tilgrap, keretapi dan relnya, peracunan air minum, serangan dadakan, ranjau bambu, penyergapan, penikaman tak terduga, pengamukan dalam tangsi...

Para jendral Belanda hampir-hampir tak sanggup meneruskan operasi penumpasan. Yang tertumpas selalu kanak-kanak, kakek-nenek, orang sakit, wanita bunting. Dan orang-orang tak berdaya itu, Minke, justru merasa beruntung bila dibunuh Kompeni. Sassus dari atasan mengatakan: -memang kurban di antara serdadu Eropa tak

pernah mencapai tiga ribu orang seperti dalam perang Jawa, tapi ketegangan syaraf menguasai seluruh pasukan Kompeni - di setiap jengkal tanah yang diinjaknya. Dan Jean Marais mulai belajar mengagumi dan mencintai bangsa Pribumi yang gagah-perwira ini, berwatak dan berpribadi kuat ini. Dua puluh tujuh tahun mereka

Dalam dokumen Bumi Manusia (Halaman 36-54)