• Tidak ada hasil yang ditemukan

B.3.i.a Hubungan Yang Dilandasi Kepercayaan

ANALISA DATA DAN INTERPRETAS

IV. B.3.i.a Hubungan Yang Dilandasi Kepercayaan

Kejadian tragis yang menimpa Lia tak ayal lagi membuat kehidupannya berubah drastis. Tidak hanya mengejutkan pihak keluarganya, namun juga mengejutkan tetangga-tetangga disekitar tempat tinggal Lia. Bahkan saking merasa malunya, Lia pun harus rela berhenti dari sekolahnya, dan memutuskan untuk tinggal dirumah kerabatnya yang berjarak 44 KM dari rumahnya. Alasannya Lia memilih tinggal sementara dirumah kerabatnya adalah agar ia merasa nyaman dan orang pun tidak mengenal dirinya disana.

“Heboh lah kak.. hehm.. bisa tak betul lagi ceritanya itu.. tau lah mamak- mamak.. bocor kali mulutnya. Yang tak betul lah dia ceritakan. Huuhh.. Apa lagi hamil pulak aku kan. Cuma sabar-sabar aja lah aku kak. Mau kayak mana lagi lah kak, udah gitu nasib aku kak”

(R.2/W.1/b.642-652/h.15)

“Hehhmm.. enggak kak.. tinggal sama mak tua ku aku.. di sana gak ada kian yang kenal sama aku. Kan lebih bagus aku disana. Kalo rindu mamak sama aku, datang dia ke rumah mak tua kak. Sampe lahir lah si

anakku ini aku tinggal disana. Sampe umur enam bulan dia aku masih tinggal sama mak tua ku kak”

(R.2/W.1/b.656-669/h.15-16)

Meskipun demikian, perlakuan kelurganya tetap tidak berubah sama sekali kepada Lia, bagaimana mereka memperlakukan Lia dahulu, begitu juga keluarganya memperlakukan Lia setelah dirinya menjadi korban prostitusi yang dilakukan oleh ayah tirinya sendiri. Sehingga hal tersebutlah yang membuatnya tetap berperilaku seperti biasanya, meski perilakunya sempat berubah dan lebih banyak berdiam diri ketika sedang berkumpul bersama keluarganya.

“Biasa ajanya kak, kalok dulu iya banyak diam aku..karna keluargaku enggak berubah sama aku ya aku pun enggak berubah lah sama mereka kak. Jadi masih kayak dulunya kak..cerita-cerita kalo lagi ada perkumpulan keluarga kan..”

(R.2/W.4/b.3440-3450/h.79)

Keluarganya selalu menyediakan waktu untuk diri Lia, ketika dirinya sedang mengalami suatu masalah. Tidak hanya menyediakan waktu untuk mendengar keluh kesah Lia. seluruh keluarganya pun tidak pernah lagi mengungkit peristiwa yang pernah Lia alami. Lia merasa, jika hal tersebut mereka lakukan untuk menjaga perasaan Lia. Keluarganya juga menyuruh Lia untuk tidak sungkan meminta bantuan kepada mereka, jika Lia membutuhkannya. Meskipun keluarganya menyuruh Lia untuk meminta bantuan kepada mereka jika Lia memang membutuhkannya, Lia mengatakan keluarganya tidak pernah menganggap jika Lia adalah orang yang selalu bergantung kepada orang lain.

“Dengan saudara-saudara ku yang lain kak ? tak pernah aku bermasalah dengan mereka kak. Mungkin sama dengan mamak kak, jaga perasaanku mereka..”

(R.2/W.4/b.3411-3417/h.78)

“Em.. enggaknya, keluargaku pun enggak pernahnya berpikir kayak gitu kak. Orang tu pun yang nyuruh kalok aku lagi susah minta bantú aja sama mreka. Kalok masih bisanya di tolong kak, knapa pula enggak di tolong..” (R.2/W.4/b.3631-3640/h.83)

Lia juga mengatakan jika hubungannya dengan keluarga besar dari pihak ibunya tetap terjalin dengan baik, mereka seluruhnya mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh Lia. Meskipun demikian, keluarga besar ibunya tetap tidak mempermasalahkan hal tersebut. Menurut Lia, seluruh keluarganya selalu meluangkan waktunya untuk menemani Lia dan mendengar keluh kesah darinya. Sehingga menurutu Lia, seluruh keluarganya tersebutlah yang paling mempengaruhi dirinya dapat menerima keadaannya saat ini.

“Sama kak semaunya. Enggak ada yang paling-paling.. Mereka terus ada waktu aku ada masalah kak.. mau ngawani aku cerita. Jadi sama aja menurutku kak..”

(R.2/W.3/b.2743-2750/h.63)

Sang ibu yang hingga saat ini tetap menjejal pekerjaan sebagai pedagang antar daerah juga selalu meluangkan serta membantu anak semata wayangnya tersebut jika Lia sedang mengalami kesulitan. Lia paling sering menjadikan sang ibu sebagai tempat dirinya mengadu dan mencari keamanan jika ia sedang merasa memiliki masalah. Bahkan ketika dirinya sedang dihina oleh orang lain pun dirinya tetap menjadikan sang ibu sebagai tempat pengaduan pertamanya.

“Mamak lah kak, karna itunya yang dekat sama aku, tiap hari kami jumpa, kalo gak ke Medan mamak jual jagung kak..”

Selama menetap dirumah salah satu keluarganya, Lia mengaku mendapatkan dukungan dan penerimaan dari orang-orang yang tinggal disekitar lingkungan rumah salah satu keluarganya. Menurutnya, disana Lia diterima keberadaannya dan mereka selalu bersikap baik kepada Lia. Mereka malah mendoakan Lia karena peristiwa yang Lia alami, sehingga untuk bergaul dengan mereka pun Lia menjadi nyaman. Lia pun sering bergaul dengan tetangga keluarganya tersebut, selama satu tahun Lia tinggal bersama salah satu keluarganya tersebut menurutnya tidak ada masalah mengenai peristiwa yang ia alami.

“Em.. Beda mungkin orang yang tinggal di kota sama di kampung ya kak.. Baik-baik semua tetangga maktua ku itu kak. Apa lagi pas tau aku kmarin hamil gara-gara di jual bapak tiriku. Ehm.. datang mereka kak, tak adanya dihinanya aku. Di doakan kak, disuruh baik-baik jaga anak ini nanti. Jadi enak aku pun kak. Berkawan pun jadi enak kak..”

(R.2/W.2/b.1982-1996/h.45-46)

“hhmem.. Yang tinggal di sekitar tempat maktua ku itu aku kenal semuanya kak, agak rame lah memang kak. Baiknya mereka sama aku, aku pun gitu. Adalah satu tahun lebih lah aku tinggal disitu kak. Seringnya aku main sama tetangga-tetangga maktua aku itu kak. Tak adanya masalah, ribut-ribut kak..”

(R.2/W.2/b.2015-2028/h.46)

Hubungan baiknya dengan keluarganya dan tetangganya dilingkungan tenpat tinggal keluarganya tersebut, tidak diiringi hubungan yang baik pula dengan orang-orang yang berada disekitar rumahnya. Sampai kejadian yang menimpa Lia tersebut telah melewati waktu delapan tahun, akan tetapi tetangganya tetap mempergunjingkan keadaan dirinya. Selalu ada saja sindiran yang Lia terima dari warga disekitar tempat tinggalnya. Lia mengaku pedih hati

setiap kali dirinya mendapat sindiran dari warga sekitar tempat tinggalnya ditujukan untuk dirinya. Lia berujar, saat ini yang dirinya kasihani adalah anaknya sendiri. Menurutnya, sang anak belum mengerti apa yang terjadi dahulu pada ibunya. Tidak hanya merasa kasihan dengan Leo, anaknya. Lia juga merasa ibu jika melihat sang ibu. Menurutnya, jika ibunya tidak menikah dengan lelaki yang salah, pasti nasib mereka tidak seperti saat ini.

“Hehhmm..masih jadi bahan cerita juga aku kak..apa lagi da hada si Leo kan kak..asal aku lewat, kao ada yang lagi cerita-cerita langsung disindir- sindir gitu kak..pedihlah hati kadang kak..”

(R.2/W.1/b.682-690/h.16)

“Masih banyak lah kak. Hehmm.. Enggak usah tanyaklah kalo itu kak. Yang aku kasiankan si Leo ini nya kak, masi kecil kali dia ini kak. Blom ngerti dia, nanti mulut orang sini jabir-jabir kali.. Mamakku juga kasian kali aku liatnya kak. Yang karna kawinnya dia sama laki-laki yang salah makanya aku begini kak. Hahhh.. Payahlah aku bilangnya kak. Sabar- sabar aja, orangnya pun dah matinya..”

(R.2/W.1/b1067-1082/h.24-25)

Tidak hanya warga disekitar tempat tinggalnya yang menjadikan dirinya sebagai bahan cerita, teman-teman dilingkungan sekolahnya pun melakukan hal yang sama. Akan tetapi Lia tetapi Lia mengaku diam ketika mendengar cerita tentang dirinya dan jarang sekali bercerita kepada siswa lainnya. Lia merasa teman-teman disekolahnya memandang dirinya dengan remeh setelah mendengar cerita dari salah satu teman mereka yang bernama Wati. Meski demikian, masih ada yang berempati kepada Lia. menurut Lia kejadiannya berawal saat dirinya kembali bersekolah, salah seorang teman yang berasal dari lingkungan yang sama dengan dirinya menyebarkan cerita tentang dirinya kepada siswa-siswa lain di sekolah tersebut.

“Adalah kak.. emm.. ada juganya anak-anak sini yang sekolah di SMP itu. Cuman gak banyak kali lah kak..”

(R.2/W.1/b.765-769/h.18)

“Hehmm… kalo sama aku enggak adanya.. aku pun diam ajanya. Jarang mau cerita. Aku rasa ada jugaknya disampekan mreka ke murid-murid yang lain kak. Makanya remeh kali mreka mandang aku kak, hehhmm..” (R.2/W.1/b.772-780/h.18)

“Emm.. Adalah yang ngejek-ngejek.. karna tau mereka aku pernah di jual trus hamil kan kak. Tapi ada juganya yang enggak ngejek. Cuman gak sebanyak yang ngejek kak, hahahah.. itu lah si Risna yang jadi kawan aku sampe skarang kak.. yang lainnya jijik nengok aku, padahal belom tentunya bagus orang tu kak..”

(R.2/W.2/b.1521-1533/h.35-36)

Menurut Lia, Risna bertanya dengan cara yang baik kepada dirinya tentang kebenaran cerita yang ia dengar dari teman-teman mereka. Sehingga Lia tidak menutup-nutupi apa yang sudah dirinya alami. Lia menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya secara jujur kepada Risna.

“Hehm.. Cara dia nanyak kmarin baek.. Aku jawab jujur kak, ga da yang aku tutupi..

(R.2/W.1/b.809-812/h.19)

Menurut Lia, Risna menangis setelah Lia menceritakan semua yang telah meninpa dirinya. Berawal dari kejadian tersebutlah LIa dan Risna saling membina hubungan yang dilandasi kepercayaan satu dan lainnya. hubungan yanng terjalin sekian lama tersebut membuat keduanya saling mengetahui masalah pribadi masing-masing. Lia dan Risna saling bercerita ketika mereka sedang menghadapi suatu masalah. Dan menurut Lia, masalah mereka, hanya mereka berdua yang tahu dan tidak pernah diketahui oleh orang lain.

“Risna kak.. Nangis dia kak, hahahaha.. Aku jadi heran kak. Sedih dia katanya.. jadi gara-gara itu temanan akrab kami sampe skarang kak, hahaha.. Si Leo pun sering main ke rumahnya kak, dia pun sering ke sini kak..”

(R.2/W.1/b.824-833/h.19)

“He em.. tau kak, smua masalahku dia tau kak.. aku pun kayak gitu sama dia kak. Pokoknya asal adalah masalahku, aku cerita sama dia kak. Trus enaknya kak, cerita kami itu gak pernahlah sampek ke orang lain kak..” (R.2/W.1/b.873-882/h.20)

Meskpun demikian, Lia mengatakan ia tidak terlalu mementingkan dukungan yang dirinya peroleh dari luar keluarga. Yang terpenting baginya adalah penerimaan serta dukungan dari keluarganya. Keluarganya yang selalu siap membantu dirinya ketika mengalami kesulitan.

“Buktinya bisanya kak.. kan yang penting keluarga akunya kak..itunya Cuma aku butuh kak. Orang lain enggaknya aku pikirkan kali, adanya keluargaku yang bantú aku. Itu ajalah kak…”

(R.2/W.3/b.3090-3098/h.71)