api di stasiun-stasiun kereta api. Suasana Lebaran sejak tahun itu mulai terlihat tertib dan rapi.
Make Moral Judgement Spirit perubahan sejatinya sudah berkembang di KAI sejak tahun pertama Jonan memimpin. Keberhasilan angkutan Lebaran tahun 2012 merupakan bukti bahwa kini PT KAI di bawah Jonan telah berubah. Treatment Recommendation Keberhasilan angkutan lebaran merupakan buah dari
perubahan mindset para insan KAI. Dari mental “dilayani” menjadi “melayani”. Dari product oriented menjadi customer oriented.
4.2.1.7. BAB VII: Hiruk Pikuk Penataan Jabodetabek
Sepanjang tahun 2013 PT KAI banyak melakukan sterilisasi dan penertiban terhadap stasiun-stasiun di wilayah Jabodetabek. Sterilisasi itu ditujukan untuk mengembalikan fungsi stasiun sebagai sarana pelayanan publik yang selama ini banyak tersita lahannya oleh kios-kios jualan para pedagang. Banyak pihak yang mencoba menentang langkah yang dilakukan PT KAI, baik para pedagang sendiri yang mencoba untuk tetap bertahan, maupun para mahasiswa yang melakukan demo atas langkah itu. Namun bagaimanapun Jonan tidak mungkin mundur atas tentangan itu. Ada dua hal yang mendorong sterilisasi dan penertiban itu. Pertama, tuntutan agar pelayanan untuk penumpang KRL lebih baik dan manusiawi. Kedua, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 tahun 2011 yang mengamanatkan KRL Jabodetabek untuk bisa mengangkut penumpang sebanyak 1,2 juta orang per hari pada 2018—dua kali lipat lebih dibanding tahun 2013 sebanyak 550.000 penumpang. Karena itulah lead yang mengawali bab ini berbunyi: Tahun 2018 KRL harus bisa mengangkut 1,2 juta orang per hari. Bisa dicapai asalkan pimpinan KAI “cukup gila” untuk melaksanakannya.
+*#!
Seleksi isu dalam bab ini adalah usaha untuk memperbaiki pelayanan KRL secara baik dan manusiawi, dan penonjolannya adalah penertiban kios-kios di seantero stasiun Jabodetabek dan pengambilan kembali aset. Namun seleksi isu dan penonjolan dalam bab ini masih menyisakan pertanyaan, meskipun dinyatakan secara baik dan manusia, bagaimana nasib pedagang dan pengasong setelah mereka tidak lagi berjualan di stasiun KA? Bagaimana dengan mereka yang berjualan di luar wilayah Jabodetabek yang jumlahnya jauh lebih banyak lagi?
Dengan perangkat Framing Entman, pendefinisian masalah (define problem) dalam bab ini terletak pada belum dijalankannya instruksi dari Jonan setelah menerima Perpres mengenai amanat yang harus dijalankan KRL Jabodetabek. Hal ini bisa dibaca pada kutipan berikut ini:
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Ignasius Jonan sudah memerintahkan penertiban setelah menerima Perpres itu. Di antaranya dengan mengambil alih pengelolaan stasiun dari anak perusahaan yaitu PT KCJ dan dikembalikan ke Daerah Operasi 1. Nyatanya hingga November 2012, instruksi itu belum jalan.
Dalam broadcast message ke milis grup KAI, 17 November 2012, Jonan menumpahkan kekesalannya:
“Saya menggunakan KRL sore ini dari Juanda ke Citayam, Bojong Gede, Cilebut.
Memang benar yang dikatakan KRL Mania dan semua stakeholders bahwa pelayanan KRL Jabodetabek itu menggunakan sarana yang membaik tetapi stasiun yang memburuk!
Hampir dua tahun lalu, saya ambil kembali semua stasiun KRL dari KCJ kembali ke DAOP 1 dengan harapan dibenahi dengan baik dan rapi serta bersih, tapi hasilnya nyaris NOL besar!
Walaupun saya mendapat info bahwa Cilebut dan Bojong Gede akan dibersihkan per 1 Desember ini. Lalu Citayam bagaimana? Menurut SM Pam 1, belum disurati lagi, emang kirim surat perlu waktu berbulan-bulan?
Saya menganggap Kadaop 1 sebelumnya gagal membenahi semua stasiun KRL tersebut, dengan skala 0-10, saya beri nilai 4! (Tidak layak sekali).….dst.
+*$!
Sedangkan perkiraan masalah atau sumber masalah (Diagnose causes) mengapa instruksi itu belum dijalankan karena tidak adanya standar yang jelas dalam aturan penyewaan lahan. Hal itu dapat diwakili dalam kutipan berikut ini:
Proses penertiban stasiun di Jabodetabek dimulai pada bulan Desember 2012. Total 4.525 kios ditertibkan. Paling akhir ditertibkan adalah 108 kios di emplasemen Stasiun Universitas Indonesia (UI), Depok, Rabu 29 Mei 2013. Satu kios bertahan hingga 31 Mei 2013 karena kontraknya baru habis hari itu. Kios-kios di seantero stasiun Jabodetabek itu ditertibkan karena dua hal. Kontrak penyewaan lahan sudah habis atau tidak ada kontrak sama sekali alias liar. Kontrak yang sudah habis tidak diperpanjang. Dulu PT KAI sudah menyewakan kepada siapa saja yang mau. Akibatnya tidak ada standar yang jelas, sehingga keberadaannya membuat stasiun jadi kumuh dan semrawut. Beberapa kios dimiliki pensiunan pegawai KAI. Bahkan ada seorang pensiunan yang diduga punya 20 kios di sejumlah stasiun.
(Hal. 168, paragraf 3 dan 4)
Keputusan moral (make moral judgement) dalam penertiban di seluruh stasiun kereta di wilayah Jabodetabek itu bisa dinyatakan sebagaimana satu kutipan berikut ini:
Ada dua hal yang mendorong sterilisasi itu. Pertama, tuntutan agar pelayanan untuk penumpang KRL lebih baik dan manusiawi. Kedua, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011 tentang Penugasan PT Kereta Api Indonesia (Persero) untuk Menyelenggarakan Prasarana dan Sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta dan jalur lingkar Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Perpres mengamanatkan KRL Jabodetabek harus bisa mengangkut penumpang sebanyak 1,2 juta orang per hari pada 2018. Itu artinya lebih dua kali lipat dibanding kemampuan KRL mengangkut 550.000 penumpang per hari tahun 2013.
(Hal. 166, paragraf 4 dan 5)
Pada umumnya kutipan dari bingkai penyelesaian masalah (treatment recommendation) terletak setelah kutipan-kutipan bingkai sebelumnya. Namun dalam bab ini ditemukan bingkai keempat justru berada di depan. Buku ini mencoba menggambarkan hasil dari yang diperoleh dari seleksi isu dalam bab ini, yaitu usaha
+*%!
untuk memperbaiki pelayanan KRL secara baik dan manusiawi, dan penonjolannya yang berupa penertiban kios-kios di seantero stasiun Jabodetabek dan pengambilan kembali aset, dan jawaban ketiga bingkai sebelumnya. Berikut kutipannya:
Bertandanglah ke Stasiun Bogor. Bayangan tentang stasiun kereta api yang kotor, semrawut, dan dijejali pedagang, tak akan lagi dijumpai lagi di stasiun ini. Sebagainya gantinya, sebuah fasilitas publik yang bersih, lapang, tertata rapi, dan nyaman menyapa pengunjung dan calon penumpang.
Keindahan dan kemegahan stasiun yang didirikan tahun 1881 itu pun kembali bisa dirasakan. Karakter bangunan era kolonial yang kokoh namun indah, tergambar jelas seiring ditertibkannya pedagang, pengasong, dan kios dari dalam dan areal sekitar stasiun. Jalan masuk menuju stasiun pun menjadi lega karena tidak lagi disesaki lapak pedagang kaki lima.
(Hal. 165, paragraf 1 dan 2) Stasiun Bogor adalah contoh stasiun kereta api di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang telah ditertibkan dari keruwetan dan kesemrawutan yang ditimbulkan kios dan lapak pedagang yang tidak tertata. Praktis kini 67 stasiun di Jabodetabek steril dari kios dan lapak.
(Hal. 166, paragraf 4)
Tabel 4.7. Rangkuman Frame BAB VII: Hiruk Pikuk Penataan Jabodetabek Define Problems Penertiban untuk menjalankan Perpres No. 83 Tahun
2011—tugas PT KAI untuk menyelenggarakan prasarana dan sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta dan jalur lingkar Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi—belum dilaksanakan sebagaimana yang diperintahkan Jonan.
Diagnose Causes Kekumuhan dan kesemrawutan di stasiun kereta api terjadi karena tidak ada standar penyewaan yang jelas. Musababnya, PT KAI hanya menyewakan kepada pihak mana pun yang mau, dan adanya oknum KAI yang memiliki banyak kios di sejumlah stasiun. Make Moral Judgement Tuntutan agar pelayanan untuk penumpang KRL
+*&!
Nomor 83 Tahun 2011 mendorong Jonan untuk melakukan sterilisasi dan penertiban stasiun kereta api se-Jabodetabek.
Treatment Recommendation Stasiun Bogor merupakan contoh dari hasil sterilisasi dan penertiban di stasiun-stasiun. Kesemrawutan dan ketidaktertiban akibat banyaknya pedagang asongan dan kaki lima tidak lagi dijumpai di stasiun ini. Stasiun Bogor sekarang ini tampak bersih, lapang, tertata rapi, nyaman, indah, dan megah, kembali fungsinya sebagai sarana pelayanan publik.