Treatment Recommendation Salah satu jurus transformasi Jonan untuk mendapatkan keuntungan perusahaan adalah dengan meningkatkan efisiensi. Prinsip Jonan, efisiensi adalah kunci penting transformasi. Terobosan kecil lain adalah peningkatan produktivitas lokomotif, dari 2 jam menjadi 14 jam, dan optimalisasi aset.
4.2.1.9. BAB IX: Agar Tidak Terus Dicaplok Hantu
Istilah “hantu” di dalam judul bab ini diambil dari tulisan di majalah Tempo edisi 8 Juli 2013 yang dikutip secara utuh di buku ini pada halaman 250 – 256. Hantu adalah julukan yang diberikan kepada dua orang makelar tanah yang punya tangan di pemerintahan daerah dan pusat. Seperti hantu, mereka tak terlihat nyata di setiap urusan tanah. Menurut Edi Ihksan, Koordinator Pusaka, lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Medan, mereka ini adalah mafia yang menggunakan tangan orang lain untuk merebut tanah orang. Pada setiap sengketa tanah di Medan, Ishak dan Asing, demikian nama mereka, selalu menang di pengadilan. Sumber Tempo menyatakan, jaringan keduanya terbentang dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Tak heran jika banyak instansi yang selalu mengalami kekalahan jika berhadapan dengan mereka—termasuk PT KAI. Tanah milik PT KAI seluas tujuh hektar yang terletak di antara Jalan Veteran, Jalan Timor, dan Jalan Madura, Kelurahan Gang Buntu, Medan Timur, kini berada di bawah kekuasaan PT Arga Citra Kharisma, untuk pembangunan mal dan apartemen bintang lima.
Karena itu seleksi isu dalam bab ini adalah upaya penertiban dan perlindungan aset KAI. Sedangkan penonjolannya adalah usaha untuk membentuk direktorat Aset Non-produksi untuk penertiban aset.
++*!
Dengan perangkat Framing Entman, pendefinisian masalah (define problem) dalam bab ini bisa dibaca dari kutipan berikut ini:
Dari lobi City Railink Station di Stasiun Besar Medan, terlihat bangunan tinggi menjulang. Ada mal, hotel, rumah sakit, dan deretan ruko. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari bagian belakang stasiun, dipisahkan sebuah jalan.
Bukan hanya jarak yang dekat. Lokasi bangunan-bangunan itu berdiri memang masih di areal lahan milik PT Kereta Api Indonesia (Persero). Tapi jarak itu memang jauh karena lahan itu tidak lagi berada dalam penguasaan PT KAI. Setidaknya untuk saat ini, status tanah itu telah beralih secara tidak wajar kepada pihak lain.
(Hal. 242, paragraf 1, 2)
Sedangkan perkiraan masalah atau sumber masalah (diagnose causes) adalah karena dimenangkannya PT Arga Citra Kharisma yang telah mencaplok aset PT KAI:
Musababnya, setelah melalui sengketa hukum yang panjang, Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan Nomor 1040 K/PDT/2012 tertanggal 5 November 2012. Keputusan itu memenangkan PT Arga Citra Kharisma (ACK) sebagai pemilik sah tanah seluas 35.955 m2 itu. Rinciannya, 13.578 m2 berada di Jalan Jawa, dan 22.377 m2 berada di Jalan Madura, Kelurahan Gang Buntu, Kota Medan.
Atas dasar keputusan itu, Pengadilan Negeri Medan melakukan eksekusi pada Rabu 3 Juli 2013. Eksekusi batal dilaksanakan karena ditentang dan dihalang-halangi oleh ratusan pegawai KAI Divisi Regional I. para pegawai itu spontan bergerak untuk menyelamatkan aset perusahaan yang dicaplok pihak lain. Majalah Berita Mingguan Tempo mengulas kasus itu di edisi 8 Juli 2013. Hasil investigasi majalah ini, ada permainan mafia tanah di balik kasus ini.
(Hal. 246, paragraf 1, 2, dan 3)
Atas kasus itu, Jonan dan jajaran PT KAI tidak akan menyerah. Karena itu mereka bertekad untuk membereskan persoalan aset-asetnya hingga ke ranah hukum. Karena itu, keputusan moral (make moral judgement) yang dibingkai dalam analisis Framing ini adalah tiga kutipan berikut:
+++!
KAI menempuh segala cara untuk bisa mempertahankan aset tersebut. Sebab jika lahan di dekat Stasiun Besar Medan itu beralih tangan, akan jadi preseden buruk bagi pengelolaan aset KAI secara umum. Sebaliknya, jika persoalan yang berkepanjangan dan cukup rumit ini bisa diselesaikan, maka persoalan aset KAI lainnya akan bisa dibereskan.
(Hal. 248, paragraf 2) Untuk mengatasi sengketa aset, KAI mengedepankan persuasi dan negosiasi. Baik kaitannya dengan individu, perusahaan, atau juga instansi pemerintah yang menguasai aset secara tidak sah. Namun jika persuasi dan negosiasi menemui jalan buntu, maka KAI tidak segan menempuh jalur hukum.
“Prinsipnya, kita menghindari persoalan berlarut-larut, apalagi sampai ke meja hukum. Tapi kalau memang itu harus ditempuh, ya kita tidak segan untuk pakai pendekatan hukum,” terang Jonan.
(Hal. 260, paragraf 3 dan 4)
Sebagai bingkai penyelesaian masalah (treatment recommendation), dibentuk direktorat Aset Non-produksi. Ada dua besar langkah untuk penyelesaian aset-aset PT KAI, pertama yaitu pendataan seluruh aset non-produksi, meliputi tanah, rumah dinas, dan bangunan dinas; dan kedua, upaya memperkuat legalitas dan status hukum aset-aset tersebut. Selengkapnya dapat dibaca pada tiga paragraf kutipan berikut:
Terhitung sejak Januari 2013, Jonan membentuk direktorat baru yaitu Direktorat Aset Non-Produksi. Dengan demikian ada organ dengan kewenangan dan ruang lingkup besar yang fokus menertibkan dan menyelesaikan sengketa aset perusahaan. “Kita ingin melakukan upaya yang progresif untuk penertiban maupun penyelesaian sengketa yang terjadi atas aset-aset kita,” jelas Jonan tentang tugas strategis direktorat yang untuk pertama kalinya dipimpin Edi Sukmoro itu.
(Hal. 261, paragraf 1) Untuk mencapai target tersebut, langkah pertama adalah pendataan seluruh aset non-produksi, meliputi tanah, rumah dinas, dan bangunan dinas. Pada April 2013 PT KAI telah menerbitkan buku aset yang berisi data seluruh aset perusahaan. Berapa luasnya, jenis bangunannya, di mana lokasi persisnya, hingga status terakhir aset-aset tersebut. Buku akan terus di-update sesuai dengan perkembangan status aset.
++#!
Tidak kalah pentingnya adalah upaya memperkuat legalitas dan status hukum aset-aset tersebut. Untuk itu telah dibentuk tim khusus yang bertugas menelusuri dan menemukan dokumen legal atas aset-aset KAI. Mengingat sebagian besar dokumen merupakan peninggalan era kolonial, banyak dokumen legal aset-aset itu berada di negeri Belanda. Maka salah satu agenda tim ini adalah menelusuri status aset hingga ke negeri Kincir Angin itu.
(Hal. 262, paragraf 2)
Tabel 4.9. Rangkuman Frame BAB IX: Agar Tidak Terus Dicaplok Hantu
Define Problems Banyak aset tanah milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang beralih kepemilikan secara tidak wajar kepada pihak lain. Aset-aset tanah itu telah menjadi bangunan-bangunan mal, rumah sakit, hotel, dan deretan ruko.
Diagnose Causes Penyebab terjadinya persoalan aset salah satunya adalah karena untuk waktu yang cukup lama PT KAI tidak mengurus secara benar aset-asetnya. Jajaran manajemen lebih fokus pada operasional kereta api, dan tidak cukup punya perhatian terhadap pengelolaan aset non-produksi.
Make Moral Judgement Untuk mengatasi sengketa aset, KAI di bawah Jonan mengedepankan persuasi dan negosiasi. Namun jika persuasi dan negosiasi menemui jalan buntu, maka KAI tidak segan menempuh jalur hukum.
Treatment Recommendation Agar mampu mempertahankan asetnya, PT KAI melakukan beberapa upaya, di antaranya adalah membentuk Direktorat Aset Non-Produksi, yang bertugas untuk mendata seluruh aset non-produksi, meliputi tanah, rumah dinas, dan bangunan dinas, untuk kemudian diperkuat legalitas dan status hukum atas aset-aset tersebut.
++$! 4.2.1.10. BAB X: Perang Mengikis USA
USA adalah singkatan dari “Untuk Saya Apa”. Istilah ini sangat populer di kalangan karyawan KAI. Istilah ini muncul dari hilangnya ketidakpedulian karyawan terhadap perusahaan. Masing-masing petugas, karyawan, hingga pimpinan hanya peduli pada kepentingan sendiri. Lebih sempit lagi, hanya peduli pada periuk nasi sendiri. Dan itu semua tidak lepas dari apa yang dicontohkan oleh para pimpinan. Karena itu, Jonan selalu menekankan nilai kepedulian kepada seluruh jajarannya. Selain itu, penerapan GCG juga menjadi prioritas Jonan setelah perubahan mindset karyawan.
Terkait dengan itu, seleksi isu dalam bab ini adalah usaha menghapus budaya korporasi yang tidak mendukung penerapan GCG. Sedangkan penonjolannya adalah contoh dan keteladanan sebagai kunci penerapan GCG. Karena itu lead di bawah judul “Perang Mengikis USA” dalam bab ini tertulis “GCG dan budaya perusahaan sebagai landasan utama untuk mewujudkan perusahaan yang sehat, bersih, dan produktif”.
Dengan perangkat Framing Entman, pendefinisian masalah (define problem) dimulai dari seorang bankir yang bercerita kepada Jonan tentang adanya sejumlah eks kepala daerah operasi dan kepala divisi regional yang memiliki simpanan miliaran rupiah di banknya:
Bagi Jonan, cerita itu cukup memberi gambaran tentang bagaimana kereta api dikelola di masa lalu. Tanpa harus menyalahkan dan menghakimi, kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah diabaikannya Good Corporate Governance (GCG) dalam pengelolaan perusahaan.
Akibatnya, kesehatan perusahaan terus memburuk hingga titik terendah. Kinerja keuangan terjun bebas hingga mencapai rugi Rp 83 miliar di tahun 2008. Imbasnya, pelayanan kepada penumpang dan pengguna jasa kereta api
++%!
pun terabaikan. Keandalan sarana dan prasarana turun drastis sehingga keselamatan penumpang tidak terjamin, dan on time performance rendah.
(Hal. 265, paragraf 2, dan 3)
Sedangkan bingkai perkiraan masalah atau sumber masalah (diagnose causes) dapat dibaca pada paragraf berikut ini:
Dalam konteks KAI, proses menghadirkan GCG dalam segenap aspek dan lini korporasi adalah isu besar yang tidak mudah untuk diimplementasikan. Banyak pihak meragukannya, karena untuk kurun waktu yang cukup panjang GCG diabaikan. Praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, wajar, independen, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian aktifitas korporasi.
Dengan kata lain sudah terbentuk budaya korporasi yang tidak mendukung penerapan GCG secara konsisten dan berkelanjutan.
(Hal. 266, paragraf 4 dan 5)
Karena itu, keputusan moral (make moral judgement) yang dibingkai dalam analisis Framing buku ini adalah kutipan berikut ini:
Namun bagi Jonan tidak ada kata mustahil. Dalam praktik keseharian di KAI masih tertanam kuat relasi patron klien. Para pimpinan adalah patron, karyawan pada umumnya adalah klien. Pimpinan adalah panutan, dan para karyawan akan mengikuti atau meniru apa yang dilakukan oleh para pimpinan.
(Hal. 267, paragraf 1)
Paragraf-paragraf berikutnya merupakan bingkai dari penyelesaian masalah (treatment recommendation) di dalam analisis Framing ini. Berikut adalah dua contoh di antaranya:
Oleh sebab itu, kunci utama untuk menerapkan GCG di KAI adalah dengan memberikan contoh dan keteladanan. Itulah sebabnya, Jonan secara pribadi memosisikan diri sebagai contoh dan teladan tentang penerapan GCG dalam aktifitas sehari-hari.
Jajaran direksi dan pimpinan di berbagai tingkatan pun selalu didorong dan diingatkan untuk memberi contoh dan keteladanan. Bukan hanya pada ucapan dan kata-kata, tapi pada praktik nyata. Ucapan harus selaras dengan perbuatan.
++&!
Tabel 4.10. Rangkuman Frame BAB X: Perang Mengikis USA
Define Problems Di masa lalu PT KAI tidak dikelola secara sewajarnya. Kesehatan perusahaan dan kinerja keuangan semakin memburuk, dan pelayanan kepada penumpang dinomorduakan. Harus dilakukan penerapan GCG secara konsisten.
Diagnose Causes Di lingkungan PT KAI, sebelumnya sudah terbentuk budaya korporasi yang tidak mendukung penerapan GCG secara konsisten dan berkelanjutan.
Make Moral Judgement Jonan berprinsip, pimpinan adalah panutan, dan para karyawan akan mengikuti atau meniru apa yang dilakukan oleh para pimpinan. Prinsip itu dianut Jonan untuk implementasi GCG.
Treatment Recommendation Kunci utama untuk menerapkan GCG adalah dengan memberikan contoh dan keteladanan. Itu sebabnya Jonan secara pribadi memosisikan diri sebagai contoh dan teladan tentang penerapan GCG dalam aktivitas sehari-hari.