• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

2. Bagi Peneliti Lainnya

Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti karena sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah pada situasi yang

sesungguhnya di lapangan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti dalam mengajar di masa yang akan datang.

3. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini sangat berguna bagi peneliti lain karena dengan penelitian ini berarti telah membuka setapak jalan untuk dapat melakukan penelitian selanjutnya yang serupa maupun yang berkaitan dengan topik ini.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kepemimpinan

1. Pengertian Kepemimpinan

Pengertian kepemimpinan bermacam ragam. Hampir setiap ahli mempunyai pengertian sendiri-sendiri, tidak ada yang persis sama antara pendapat yang satu dengan yang lain. Berikut ini adalah beberapa pendapat para ahli tentang kepemimpinan (Sutarto,1986: 13-18):

1. Ralp M. Stogdill (1950)

“Leadership is a process of influencing the activities of an organized group in its task of goal setting and achievement” (Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan sekelompok orang yang terorganisir dalam usaha mereka menetapkan tujuan dan mencapai tujuan). 2. James M. Black (1961)

“Leadership is capable persuading others to work together under directions as a team to accomplish certain designated objectives” (Kepemimpinan adalah kemampuan yang sanggup meyakinkan orang lain supaya bekerjasama di bawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai tujuan tertentu).

3. Robert Tannenbaum, Irving R. Weschler, dan Fred Massarik (1961) “We define leadership as interpersonal influence, exercised in situation and directed trough the communication process, toward the attainment of

a specific goal or goals” (Kami mendefinisikan kepemimpinan sebagai saling pengaruh antar pribadi, dilatih dalam situasi dan diarahkan, melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan atau tujuan-tujuan khusus). 4. William G. Scott (1962)

“Leadership as the process of influencing the activities of an organized group in it efforts toward goals setting and goal achievement.” (Kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi kegiatan yang diorganisir dalam kelompok di dalam usahanya mencapai tujuan yang telah ditentukan).

5. John D. Pfiffner dan Robert Presthus (1967)

“Leadership is the art of coordinating and motivating individuals and group to achieve desired ends.” (Kepemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memotivasi individu-individu serta kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan).

6. Robert J. Thierauf, Robert C. Klekamp, dan Daniel W. Geeding (1977) “Leadership,..., may be defined as a way of stimulating and motivating subordinates to accomplish assigned tasks.” (Kepemimpinan,..., dapat diartikan sebagai cara membangkitkan semangat dan mendorong bawahan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diserahkan).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan proses untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mau melakukan kegiatan demi tercapainya tujuan bersama.

Karenanya, di dalam setiap masalah kepemimpinan akan selalu ada tiga unsur (Wiyono,1973: 39):

1. Manusia, yaitu manusia sebagai pemimpin atau pun sebagai mereka yang dipimpin.

2. Sarana, yaitu segala macam prinsip dan teknik kepemimpinan yang dipakai dalam pelaksanaannya. Termasuk bekal pengetahuan dan pengalaman yang menyangkut masalah manusia itu sendiri dan kelompok manusia.

3. Tujuan, yaitu sasaran akhir ke arah mana kelompok manusia itu akan digerakkan untuk menuju maksud tujuan tertentu.

Ketiga unsur tersebut didalam pelaksanaan kepemimpinan selalu ada dan terjalin erat menjadi satu. Melihat kenyataannya, kepemimpinan itu bisa dianggap sebagai suatu ilmu yang dapat dipelajari dan memang untuk mendapatkan bentuk kecakapan suatu kepemimpinan yang berhasil dan baik, seorang calon pemimpin haruslah mampu dan menguasai ilmu tersebut, baik secara teoritis maupun pengalaman praktisnya.

2. Pendekatan-Pendekatan Kepemimpinan a. Pendekatan Sifat

Menurut pendekatan sifat, seorang pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibuat. Karenanya pendekatan ini sering disebut dengan pendekatan hereditary (turun temurun). Menurut Robert J. Thierauf dkk (dalam Sutarto, 1986: 38), “The hereditary approach states that leaders are born and not

made – that leaders do not acquire the ability to lead, but inherit it” (Pendekatan turun-temurun menyatakan bahwa pemimpin dilahirkan bukan dibuat–bahwa pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan untuk memimpin, tetapi mewarisinya). Sebagai contoh dalam sejarah ialah Napoleon. Ia diyakini mempunyai kemampuan alamiah sebagai pemimpin, yang dapat menjadikannya sebagai pemimpin besar pada setiap situasi. Untuk menjamin kelanjutan kepemimpinan dalam garis keturunan maka dilakukan perkawinan antar anggota yang dekat. Dengan jalan ini maka kekuasaan dan kesejahteraan dapat dilangsungkan kepada generasi pemimpin berikutnya yang termasuk dalam garis keturunan keluarga saat itu berkuasa.

Menurut Keith Davis (Thoha, 1983: 36) ada empat sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan seorang pemimpin, yaitu:

1) Kecerdasan. Hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin. Namun demikian, pemimpin juga tidak bisa melampaui terlalu banyak kecerdasan dari kecerdasan pengikutnya. Sifat ini juga berlaku bagi guru. Guru yang ideal ialah guru yang cerdas. Jika tidak, akan mengakibatkan kesulitan dalam mengajar dan memimpin kelas.

2) Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial. Pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, serta perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas sosial. Dia juga mempunyai keinginan untuk menghargai dan dihargai.

3) Motivasi diri dan dorongan berprestasi. Para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka berkerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik dibandingkan dari yang ekstrinsik.

4)Sikap-sikap hubungan kemanusiaan. Pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya. Dalam istilah penelitian Universitas Ohio, pemimpin itu mempunyai perhatian. Sedangkan dalam istilah penemuan Michigan, pemimpin itu berorientasi pada orang bukan berorientasi pada hasil.

Beberapa sifat di atas merupakan hal yang amat penting dan harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pendekatan sifat terhadap kepemimpinan sama halnya dengan teori-teori sifat tentang kepribadian, yakni telah memberikan beberapa pandangan yang deskriptif tetapi sedikit analitis atau sedikit mengandung nilai-nilai yang prediktif.

b. Pendekatan Perilaku

Pendekatan perilaku berlandaskan pada pemikiran yang mengatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan seorang pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan bertindak pemimpin itu sendiri (Purwanto, 1987 ; Sutarto, 1986). Gaya bersikap dan bertindak tersebut akan tampak dari cara melakukan pekerjaan. Diantaranya ialah cara memberikan perintah, cara memberi tugas, cara berkomunikasi, cara membuat keputusan, cara mendorong semangat bawahannya (baca: siswa), cara memberi bimbingan, cara menegakkan

disiplin, cara mengawasi pekerjaan bawahan (baca: siswa), cara meminta laporan, cara memimpin rapat, dan cara menegur kesalahan bawahan (baca: siswa).

Dalam pendekatan perilaku inilah gaya kepemimpinan pemimpin itu tampak. Apabila dalam melakukan kegiatan-kegiatan di atas pemimpin menempuh dengan cara tegas, keras, sepihak, yang penting tugas selesai dengan baik, yang bersalah langsung dihukum, maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan pemimpin itu ialah gaya kepemimpinan otoriter. Sebaliknya, apabila dalam melakukan kegiatan tersebut di atas pemimpin menempuh cara yang halus, simpatik, interaksi timbal balik, melakukan ajakan, menghargai pendapat, memperhatikan perasaan, dan membina hubungan serasi, maka gaya kepemimpinan yang diterapkannya ialah gaya kepemimpinan demokratis.

Pendekatan perilaku inilah yang selanjutnya melahirkan berbagai teori tentang tipe atau gaya kepemimpinan. Beberapa teori yang berdasarkan pendekatan perilaku antara lain (Purwanto, 1987: 35-41): teori Tannenbaum dan Schmid, Studi kepemimpinan Universitas Ohio, Studi kepemimpinan Universitas Michigan, dan Jaringan Manajerial (Managerial grid). Akan tetapi keempat teori kepemimpinan yang sekaligus melahirkan beberapa macam gaya kepemimpinan ini merupakan hasil dari penelitian terhadap suatu organisasi bukan kepemimpinan guru di kelas. Sehingga gaya kepemimpinan yang ditemukan itu tidak lain merupakan gaya kepemimpinan yang diterapkan

oleh para pemimpin dalam organisasi formal (misal: perusahaan/lembaga) yang pasti berbeda dengan gaya kepemimpinan guru saat mengajar di kelas.

c. Pendekatan Situasional

Pendekatan ini dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard berdasarkan pada hubungan antara perilaku tugas, perilaku hubungan, dan tingkat kematangan bawahan. Pendekatan situasional biasa disebut juga pendekatan kontingensi. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa keberhasilan suatu kepemimpinan tidak hanya dipengaruhi oleh sifat-sifat pemimpin saja, tetapi oleh banyak hal atau kemungkinan. Karena setiap kelompok mempunyai masalah yang berbeda-beda, maka pemimpin harus menghadapinya dengan cara-cara yang berbeda-beda pula.

Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi ini melahirkan banyak model kepemimpinan. Beberapa model kepemimpinan tersebut antara lain:

1) Model Kepemimpinan Fielder

Model kepemimpinan ini dikembangkan oleh Fred E. Fielder (Purwanto, 2002: 39). Fielder berpendapat bahwa keberhasilan seseorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh satu gaya kepemimpinan yang diterapkannya, tetapi bila menerapkan gaya kepemimpinan yang berlainan untuk menghadapi situasi yang berbeda.

Menurut pendekatan ini, ada tiga variabel yang menentukan efektif tidaknya gaya kepemimpinan (Fattah, 2001: 96). Pertama, variabel hubungan antara pemimpin dengan anggota. Hubungan ini dianggap paling penting sebab akan menentukan kekuasaan dan pengaruhnya. Jika pemimpin diterima baik oleh kelompoknya dan anggota kelompoknya menghargai pemimpinnya, maka pemimpin tidak perlu bersandar pada wewenang formal. Akan tetapi jika sebaliknya, ia harus menyandarkan diri pada perintah untuk menyelesaikan tugasnya. Kedua, variabel struktur tugas dalam situasi kerja. Tugas sangat berstruktur adalah tugas yang prosedur atau instruksi langkah demi langkah untuk penyelesaian tugas yang tersedia, karena anggota telah mengerti apa yang diharapkan. Pemimpin dalam situasi ini dengan sendirinya mempunyai wewenang besar. Ketiga, variabel kekuasaan karena posisi pemimpin. Beberapa posisi tersebut misalnya, seseorang mempunyai jabatan sebagai menteri sekaligus sebagai ketua partai politik dan ketua yayasan. Jabatan yang tinggi akan memudahkan pemimpin untuk mempengaruhi bawahan, serta sebaliknya.

2) Model Kepemimpinan Tiga Dimensi

Model ini dikemukakan oleh William J. Reddin (Purwanto, 2002: 41). Model ini menghubungkan tiga gaya kepemimpinan yang disebutnya sebagai gaya dasar, gaya efektif dan gaya tidak efektif menjadi satu kesatuan. Tiga gaya kepemimpinan dasar menurut Reddin adalah: gaya eksekutif, pencinta pengembangan (develover), otokratis yang baik (benevolent autocrat) dan

birokrat. Adapun yang tidak efektif menurut Reddin adalah gaya pecinta kompromi (compromiser), missionari, otokrat, gaya lari dari tugas (deserter).

3. Fungsi Kepemimpinan

Pemimpin yang mampu melakukan fungsi kepemimpinannya dapat dipastikan keadaan kelompoknya akan terwujud dengan baik. Keadaan yang baik ini jelas akan memperkuat posisi dan kedudukan pemimpin di dalam kelompok sehingga pemimpin harus mengetahui tugas dan tanggung jawabnya.

Fungsi pemimpin dirumuskan oleh Moorkead dan Griffin (1995) yang mengatakan bahwa pemimpin (baca: guru) melalui kekuasaannya berupa mempengaruhi dan mengarahkan siswa untuk belajar, memiliki semangat tinggi, dan motivasi tinggi guna mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini terutama terkait dengan fungsi mengatur hubungan antara individu atau kelompok dalam kelas. Fungsi pemimpin dalam mempengaruhi adalah mengarahkan, yang bertujuan untuk membantu siswa belajar demi pencapaian sasaran.

Inti kepemimpinan bukan terletak pada kedudukan yang ditempati semata. Inti kepemimpinan adalah bagaimana melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin. Tujuan dan cita-cita merupakan unsur yang paling pokok dalam kepemimpinan. Sadar bahwa tujuan dan cita-cita itu baik demi masa depan yang baik bagi banyak orang, maka fungsi guru sebagai pemimpin adalah mempengaruhi, mengajak, mengumpulkan, menciptakan iklim belajar

yang sejuk, dan mengarahkan siswa untuk bersama-sama belajar demi tercapainya tujuan belajar itu.

Pendapat lain mengenai fungsi pemimpin dikemukakan oleh Krech dan Cruthfield (Honorus, 2003). Mereka mengatakan ada 14 fungsi pemimpin, yaitu:

a. Sebagai pelaksana yang mengkoordinasi kegiatan kelompok dan bertanggung jawab akan penyelesaian kegiatan tersebut.

b. Perencana yang menentukan dalam pencapaian tujuan.

c. Menentukan kebijakan dengan mempertimbangkan informasi dari atasan (kepala sekolah), siswa dan dirinya sendiri.

d. Sebagai figur yang menguasai bidangnya.

e. Sebagai wakil kelompok (kelompok guru) yang dapat diterima oleh kelompok lain (siswa dan masyarakat).

f. Sebagai pengawas dan pembimbing bagi kelompoknya (siswa).

g. Dapat memberikan reward dan punishment kepada anggota kelompoknya.

h. Sebagai mediator dalam menyelesaikan perselisihan dalam kelompoknya.

i. Sebagai teladan bagi anggota kelompoknya. j. Sebagai figur yang bertanggung jawab. k. Sebagai figur seorang ayah/ibu.

l. Merupakan sumber ideologi.

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa fungsi seorang pemimpin sangat banyak dan kompleks, tetapi tidak semua fungsi itu harus dilaksanakan oleh pemimpin. Situasi dan kondisi yang dihadapi pemimpin akan menentukan fungsi-fungsi yang dapat dijalankan oleh pemimpin.

4. Gaya Kepemimpinan

Menurut Purwanto (2002), gaya kepemimpinan adalah cara atau teknik seseorang dalam menjalankan sesuatu kepemimpinan. Sedangkan menurut Mulyasa (2003), gaya kepemimpinan merupakan cara yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Sama dengan kedua pendapat tersebut, Thoha (dalam Mulyasa, 2003) mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi orang lain seperti yang ia lihat. Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi menjadi amat penting.

Dari ketiga pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan merupakan pola tingkah laku dari seorang pemimpin untuk mempengaruhi orang lain untuk berbuat sesuatu agar dapat mencapai tujuan tertentu.

Menurut Kurt Lewin (Winkel, 1987: 117), ada tiga macam gaya kepemimpinan guru, yaitu: gaya kepemimpinan otoriter, gaya kepemimpinan laissez-faire, dan gaya kepemimpinan demokratis. Selanjutnya akan dibahas secara mendalam masing-masing gaya kepemimpinan tersebut.

a. Gaya Kepemimpinan Otoriter (Otokratis)

Secara harafiah, otoriter berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang (Syah, 1997: 235). Dalam proses belajar mengajar (PBM) di kelas, guru yang otoriter selalu mengarahkan dengan keras aktivitas para siswa tanpa tawar menawar. Hanya sedikit sekali kesempatan diberikan kepada siswa untuk berperan serta memutuskan cara yang terbaik untuk kepentingan belajar mereka. Memang diakui kebanyakan guru yang otoriter dapat menyelesaikan tugas mengajarnya secara baik sesuai rencana. Namun guru yang semacam ini sangat sering menimbulkan kemarahan dan kekesalan para siswa khususnya siswa pria, bukan saja karena wataknya yang agresif tetapi karena merasa kreativitasnya terhambat.

Menurut Suparno (2004: 29), pengajaran yang otoriter lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat pendidikan klasik, yang menekankan bahwa siswa itu tidak tahu apa-apa, sedangkan guru itu yang mengetahui dan mempunyai pengetahuan. Dengan demikian maka gurulah yang harus memberitahu atau memasukkan pengetahuan kepada siswa. Siswa hanya akan memperoleh pengetahuan bila mereka menerima yang diberikan guru. Dalam gambaran ini siswa sering dianggap seperti tabula rasa, kertas putih kosong, dan gelas kosong yang harus diisi oleh guru dengan pengetahuan.

Dalam sistem filsafat klasik tersebut, pengetahuan merupakan sesuatu yang sudah jadi dan terbentuk. Maka tugas guru adalah membawa pengetahuan itu dan memasukkannya ke dalam otak siswa. Siswa mau tidak mau harus menerima saja secara pasif pengetahuan itu sedangkan guru harus

aktif memasukkannya. Dengan demikian siswa telah menjadi objek pengajaran. Gurulah yang berbicara, yang menjelaskan, serta menjadi sumber pengetahuan.

Selain itu, guru adalah penentu semuanya baik dalam memilih bahan, mempersiapkan bahan termasuk mengolah bahan. Otoritas tertinggi adalah guru. Siswa hanya harus tunduk, diam, mendengarkan, dan mengikuti petunjuk. Dalam prakteknya, guru dapat menjadi otoriter dan memaksakan semua kehendaknya kepada siswa. Siswa tidak diberi kebebasan untuk mengungkapkan gagasan ataupun pendapatnya. Bahkan banyak terjadi, siswa dimatikan kreativitasnya dan dimarahi karena dianggap penggangu bila banyak usul di kelas. Salah satu cara mematikan siswa adalah dengan menjadikan jalan pikiran guru sebagai satu-satunya yang benar. Jalan pikiran, cara siswa memecahkan persoalan, bila tidak sesuai dengan yang diajarkan guru, disalahkan. Misalnya, siswa yang memecahkan persoalan fisika dengan cara yang berbeda dengan yang dijelaskan guru, disalahkan, meskipun jawaban itu benar dan rasional.

Model pengajaran yang paling banyak digunakan dalam sistem klasik adalah ceramah. Dengan model pengajaran seperti itu, gurulah yang aktif berceramah dan menjelaskan, sedangkan siswa mendengarkan dengan manis dan paling-paling mencatat. Semakin siswa tenang mendengarkan, semakin dianggap siswa yang baik.

Oleh karena guru harus menjadi segala-galanya, maka dari pihak guru dituntut untuk mengetahui semuanya atau paling tidak, merasa tahu

segala-galanya. Tugas berat seorang guru dalam filsafat ini adalah dia harus tahu semuanya, terutama bidang yang diajarkannya. Ia akan sangat malu bila ditanyai siswa dan tidak bisa menjawab. Untuk menutup malu itu, kadang terjadi guru menipu siswa dengan berpura-pura menjelaskan, tetapi sebenarnya keliru. Atau bahkan ada guru yang memarahi siswa yang bertanya karena telah membuat ia tidak dapat menjawab dan kehilangan muka di depan siswa lain. Guru merasa direndahkan bila harus terus terang mengatakan kepada siswa yang bertanya, “Maaf saya belum tahu jawabannya, besok pagi saya carikan di buku”.

Dalam konteks yang lebih luas, memimpin bagi pemimpin yang otoriter adalah menggerakkan dan memaksa anggota kelompoknya. Kekuasaannya hanya dibatasi oleh undang-undang. Penafsiran sebagai pemimpin tidak lain adalah menunjukkan dan memberikan perintah. Kewajiban anggota hanyalah mengikuti dan menjalankan, tidak boleh membantah atau mengajukkan saran.

Pemimpin berkarakter ini tidak menghendaki rapat-rapat atau musyawarah. Berkumpul atau rapat hanyalah menyampaikan instruksi-instruksi. Setiap perbedaan pendapat diantara anggota kelompoknya diartikan sebagai kepicikan, pembangkang, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang telah ditetapkan.

Kekuasaan yang berlebihan ini dapat menimbulkan adanya kecenderungan untuk mengabaikan perintah dan tugas jika tidak ada pengawasan secara langsung. Dominasi yang berlebihan ini mudah memunculkan oposisi terhadap kepemimpinan atau menimbulkan sikap

apatis, cemoohan, sikap keras, ketidakpuasan, ketidakpatuhan, pertengkaran dan penolakan berprestasi. Konsekuensi lain ialah siswa menjadi pengacau, terpencil di masyarakat, dan menjadi pelanggar hukum.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan otoriter merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan diputuskan oleh pimpinan.

Oleh karena itu, kepemimpinan gaya otoriter mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Sutarto, 1986: 73):

1) Wewenang mutlak terpusat pada guru 2) Keputusan selalu dibuat oleh guru 3) Kebijaksanaan selalu dibuat oleh guru

4) Komunikasi berlangsung satu arah dari guru ke siswa

5) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan para siswa dilakukan secara ketat

6) Prakarsa selalu datang dari guru

7) Tidak ada kesempatan bagi siswa untuk memberikan saran, pertimbangan atau pendapat

8) Tugas-tugas siswa diberikan secara instruktif 9) Lebih banyak kritik dari pada pujian

10) Guru menuntut prestasi sempurna dari siswa tanpa syarat 11) Guru menuntut kesetiaan mutlak tanpa syarat

13) Kasar dalam bertindak 14) Kaku dalam bersikap

15) Tanggung jawab keberhasilan kelompok hanya dipikul oleh guru

b. Gaya Kepemimpinan Laissez-faire

Dalam gaya kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Kepemimpinan laissez-faire bisa diartikan sebagai membiarkan siswa berbuat sekehendaknya. Guru yang mengajar dengan gaya ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan siswanya. Tingkat keberhasilan pembelajaran semata-mata hanya disebabkan oleh kesadaran dan dedikasi beberapa siswa dan bukan karena pengaruh dari gurunya.

Rudolf Dreikurs & Pearl Cassel (1986: 2-3) mengungkapkan, guru laissez-faire terlalu mengutamakan kebebasan karena beranggapan bahwa tak ada orang yang tidak dapat berubah. Untuk itu, guru tidak perlu memberikan kontrol sedikit pun kepada siswa. Guru selalu mengampuni apa saja tindakan murid, berusaha membuka berbagai pengalaman belajar kepada murid agar mereka dapat memilih pengalaman mana yang bermanfaat, memberikan kebebasan kepada murid untuk belajar sendiri/kelompok, mengajar jika diminta oleh murid, tidak menyusun tahap-tahap pelajaran dan tidak membebani dengan soal-soal karena menganggap taraf pengetahuan murid berbeda-beda.

Guru yang berwatak ini biasanya gemar mengubah arah dan cara pengelolaan proses belajar mengajar secara seenaknya, sehingga menyulitkan siswa dalam menyiapkan diri. Menurut Syah (1997), sesungguhnya guru berwatak ini tidak menyenangi profesinya sebagai pengajar atau pendidik meskipun mungkin memiliki kemampuan yang memadai. Ada kemungkinan sebagai pelarian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena tidak diterima di tempat kerja yang lain yang lebih ia sukai. Guru yang berperilaku seperti ini sering dijumpai di daerah-daerah pedalaman atau pun pinggiran, dimana pengawasan dan kontrol dari atasan sangat kurang. Mereka datang ke sekolah hanya sebentar setelah itu pergi. Siswa biasanya hanya disuruh mencatat di papan tulis. Guru lebih mementingkan kegiatannya di luar dibandingkan mengajar dan mendidik murid. Kepemimpinan ini menuntut kesadaran yang tinggi dalam diri siswa untuk belajar secara mandiri baik dalam memilih topik, tempat belajar, maupun waktu belajar. Kepemimpinan laissez-faire mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Sutarto, 1986: 77):

1) Guru melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada siswa 2) Keputusan lebih banyak dibuat oleh para siswa

3) Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh siswa

4) Guru hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh siswa

5) Hampir tidak ada pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan yang dilakukan oleh para siswa

6) Prakarsa selalu datang dari siswa 7) Hampir tidak ada pengarahan dari guru

8) Peran guru sangat sedikit dalam kegiatan kelompok/kelas

9) Kepentingan pribadi lebih utama dari pada kepentingan kelompok 10) Tanggung jawab keberhasilan kelompok dipikul oleh orang per

orang

c. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Pemimpin dengan gaya ini, menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota kelompok bukan sebagai majikan terhadap buruhnya, melainkan sebagai saudara tua di dalam kelompok

Dokumen terkait