• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN GURU FISIKA DALAM MENGAJAR DI KELAS DENGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN GURU FISIKA DALAM MENGAJAR DI KELAS DENGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Fisika

Oleh: Markus Ecin NIM. 021424006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007

(2)
(3)
(4)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Cara Yang Seragam Dalam Mengajar Dan Menguji

Jelas Tidak Memuaskan Karena Setiap Orang Itu

Berbeda.

---Howard Gardner---

Bagian Yang Mudah Adalah Mempelajari Cara

Melakukan Hal-Hal Baru. Bagian Yang Sulit

Adalah Menghentikan Sesuatu Yang Biasanya Kita

Lakukan.

---Barbara Prashnig---

! ! "

(5)
(6)

ABSTRAK

Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Gaya Kepemimpinan

Guru Fisika dalam Mengajar di Kelas dengan Motivasi Belajar

Siswa

(Studi Kasus Pada Siswa SMP PL I Yogyakarta)

Oleh: Markus Ecin NIM: 021424006

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan (otoriter, laissez-faire dan demokratis) guru fisika dalam mengajar di kelas dengan motivasi belajar siswa/i SMP PL I Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif-korelasional. Subyek penelitian siswa kelas VII (159 siswa) dan VIII (162 siswa) yang diajar oleh guru fisika masing-masing. Data dikumpulkan dengan metode kuesioner, yang terdiri dari: 52 item kuesioner gaya kepemimpinan dan 30 item kuesioner motivasi belajar siswa. Kemudian, data dianalisis dengan korelasi Product-Moment dari Pearson dan Rank Spearman untuk menguji hipotesis dan memperoleh kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan guru fisika dalam mengajar di kelas dengan motivasi belajar siswa, yaitu: (1) persepsi gaya otoriter berhubungan negatif dan signifikan dengan motivasi belajar siswa, (2) persepsi gaya laissez-faire berhubungan negatif dan signifikan dengan motivasi belajar siswa, dan (3) persepsi gaya demokratis berhubungan positif dan signifikan dengan motivasi belajar siswa.

Kata kunci: gaya kepemimpinan, motivasi siswa

(7)

ABSTRACT

The Correlation Between The Students’ Perception Toward

Physics Teachers’ Leadership Style and Their Motivation of

Study

(Case Study To Students of SMP PL I Yogyakarta

)

By: Markus Ecin ID: 021424006

This research examined the correlation between students’ perception toward physics teachers’ leadership style (authoritarian, laissez-faire and democratic) in their classrooms and their motivation of study in SMP PL I Jogjakarta.

This research is correlational-descriptive that used 7th grade (162 students) and 8th grade (162 students) as the subject. Data were collected using questioner, consisted of: 52 items of questions about leadership style and 30 items about student motivation of study. Data were analyzed with Product-Moment Pearson and Rank Spearman correlation.

The results show that there is a correlation between students’ perception toward physics teachers’ leadership style and students’ motivation of study: (1) the perception of authoritarian style has significant and negative correlation with students’ motivation, (2) the perception of laissez-faire style has significant and negative correlation with students’ motivation, and (3) the perception of democratic style has significant and positive correlation with students’ motivation of study.

Key word: leadership style, students’ motivation

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha kasih atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Gaya Kepemimpinan Guru Fisika dalam Mengajar di Kelas dengan Motivasi Belajar Siswa” ini dengan baik.

Penulis menyadari dalam proses penyusunan skripsi ini banyak mendapat bantuan, dukungan dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Romo Dr. Paul Suparno, SJ., MST selaku dosen pembimbing yang telah rela meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan yang sangat berguna dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Br. Heribertus Triyanto, FIC selaku Kepala SMP PLI Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

3. Ign. Sutarjo, S. Pd. (guru fisika kelas VII) dan Al. Bambang W., S. Pd. (guru Fisika kelas VIII) atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian. 4. Segenap Dosen Pendidikan Fisika yang telah memberikan bekal ilmu dan

pengalaman yang sangat berguna bagi masa depan penulis.

5. Bapak, Mama, abangku: Albinus Tayah, Yulianus Kiun, dan Petrus Capin, serta seluruh keluarga atas bantuan dan doanya sehingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik. Tuhan memberkati!

6. Kekasihku Veronica Dewi Sartika, A. Ma. atas kasih sayang, doa, dorongan, bantuan, kesetiaan dan pengertiannya selama ini.

(9)

7. Panitia Beasiswa Keuskupan Ketapang (PBSKK) dan APTIK (Misereor) yang telah membantu membiayai kuliah. Semoga Tuhan memberkati! 8. Teman-temanku di LPK: Nistain Odop, Yedi Pijan, Ato, Darwis, Cornelis,

Adi, Alex Elpian, dan Petrus Tewan atas kebersamaan, kebaikan dan perhatiannya.

9. Sahabat-sahabatku: Yohanes Susardi, Sius Kusnadi, Alfonsa Arvina, Miftahul Jenah, Dedik Setyawan, Dwi, Ernest, David Chow, Fr. Rinto yang telah banyak membantu dan menyemangati.

10. Teman-teman Pendidikan Fisika angkatan 2002 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama studi di USD.

11. Semua pihak yang telah berperan serta baik secara langsung maupun tidak dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata “Tiada gading yang tidak retak”. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam skripsi ini. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca.

Yogyakarta, 25 Juli 2007

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GRAFIK... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Hipotesis ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 8

A. Kepemimpinan ... 8

1. Pengertian Kepemimpinan... 8

(11)

2. Pendekatan Kepemimpinan ... 10

3. Fungsi Kepemimpinan... 16

4. Gaya Kepemimpinan ... 18

5. Persepsi dan Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan... 30

B. Guru Sebagai Pemimpin di Kelas ... 32

C. Motivasi ... 34

1. Pengertian Motivasi... 34

2. Ciri-Ciri Siswa yang Mempunyai Motivasi Belajar... 35

3. Fungsi Motivasi dalam Belajar ... 37

4. Jenis-Jenis Motivasi... 38

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar... 40

D. Hubungan Persepsi Gaya Kepemimpinan dengan Motivasi Belajar ... 40

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A. Jenis Penelitian... 46

B. Populasi dan Sampel ... 46

C. Variabel-Variabel Penelitian... 47

D. Alat Pengumpulan Data... 47

1. Kuesioner Gaya Kepemimpinan ... 47

2. Kuesioner Motivasi Belajar ... 50

E. Prosedur Pengumpulan Data... 53

1. Uji Coba Instrumen ... 53

2. Tahap Pengambilan Data ... 60

(12)

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 63

A. Hasil Penelitian ... 63

1. Deskripsi Data ... 63

2. Uji Asumsi ... 68

3. Analisis Data dan Uji Hipotesis ... 78

B. Pembahasan ... 82

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran... 94

1. Bagi Guru Fisika ... 94

2. Bagi Peneliti Lainnya ... 94

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat permohonan ijin uji coba instrumen Lampiran 2: Surat permohonan ijin penelitian

Lampiran 3: Surat keterangan dari SMP PL I Yogyakarta Lampiran 4: Kuesioner persepsi terhadap gaya kepemimpinan Lampiran 5: Kuesioner motivasi belajar siswa

Lampiran 6: Validitas internal item Otoriter Lampiran 7: Validitas internal item Laissez-faire Lampiran 8: Validitas internal item Demokratis Lampiran 9: Validitas internal item Motivasi Lampiran 10: Uji normalitas data kelas VII Lampiran 11: Uji normalitas data kelas VIII Lampiran 12: Uji linieritas kelas VII Lampiran 13: Uji linieritas kelas VIII Lampiran 14: Uji hipotesis kelas VII Lampiran 15: Uji hipotesis kelas VIII

Lampiran 16: Total skor setiap variabel penelitian kelas VII Lampiran 17: Total skor setiap variabel penelitian kelas VIII

(14)

DAFTAR TABEL

Table 1: Aspek dan Indikator Gaya Kepemimpinan ... 48

Tabel 2: Aspek dan Indikator Motivasi Belajar Siswa ... 51

Tabel 3: Sebaran Item Persepsi Gaya Kepemimpinan dalam Uji Ciba ... 53

Tabel 4: Sebaran Item Motivasi Belajar Siswa dalam Uji Coba ... 54

Tabel 5: Sebaran Item Persepsi Gaya Kepemimpinan dalam Penelitian... 56

Tabel 6: Reliabilitas Alpha Cronbach... 59

Tabel 7: Jadwal Penelitian ... 61

Tabel 8: Persentase Persepsi Siswa Kelas VII Terhadap Gaya Kepemimpinan Guru Fisika ... 63

Tabel 9: PAM Tipe II... 64

Tabel 10: Klasifikasi Motivasi Belajar Siswa Kelas VII ... 65

Tabel 11: Persentase Persepsi Siswa Kelas VIII Terhadap Gaya Kepemimpinan Guru Fisika... 66

Tabel 12: Klasifikasi Motivasi Belajar Siswa Kelas VIII... 67

Tabel 13: Normalitas Data Kelas VII ... 68

Tabel 14: Normalitas Data Kelas VIII ... 72

Tabel 15: Linieritas Hubungan Variabel Pada Kelas VII ... 77

Tabel 16: Linieritas Hubungan Variabel Pada Kelas VIII ... 77

Tabel 17: Hubungan Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan dengan Motivasi Belajar Siswa Kelas VII ... 79 Tabel 18: Hubungan Persepsi Terhadap Gaya Kepmimpinan dengan

(15)

Motivasi Belajar Siswa Kelas VIII... 80 Tabel 19: Sumbangan Masing-Masing Gaya Kepemimpinan Terhadap

(16)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1: Kurva Normal Sebaran Data Persepsi Siswa Kelas VII

Terhadap Gaya Kepemimpinan Otoriter ... 69 Grafik 2: Kurva Normal Sebaran Data Persepsi Siswa Kelas VII

Terhadap Gaya Kepemimpinan Laissez-Faire... 70 Grafik 3: Kurva Normal Sebaran Data Persepsi Siswa Kelas VII

Terhadap Gaya Kepemimpinan Demokratis... 71 Grafik 4: Kurva Normal Sebaran Data Motivasi Belajar

Siswa Kelas VII... 72 Grafik 5: Kurva Normal Sebaran Data Persepsi Siswa Kelas VIII

Terhadap Gaya Kepemimpinan Otoriter ... 73 Grafik 6: Kurva Normal Sebaran Data Persepsi Siswa Kelas VIII

Terhadap Gaya Kepemimpinan Laissez-Faire... 74 Grafik 7: Kurva Normal Sebaran Data Persepsi Siswa Kelas VIII

Terhadap Gaya Kepemimpinan Demokratis... 75 Grafik 8: Kurva Normal Sebaran Data Motivasi Belajar

Siswa Kelas VIII ... 76

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abad XXI dikenal dengan abad globalisasi dan abad teknologi informasi. Dikatakan demikian karena pada abad ini proses globalisasi yang melalui sedikitnya lima bidang kehidupan yaitu ekonomi, ideologi, politik, IPTEK, maupun agama mulai terasa. Di bidang ekonomi misalnya, arus barang dan jasa akan bebas masuk ke setiap negara tanpa ada peraturan yang membatasi sebagai konsekuensi dari program perdagangan bebas. Dan yang sudah dekat dengan kita adalah adanya program Asia Facific Trade Area (AFTA) yang mulai diberlakukan tahun 2010. Indonesia adalah sebuah negara yang akan bermain di dalamnya. Demikian pula, perkembangan dan kemajuan teknologi informasi sangat pesat yang berimplikasi pada munculnya industri-industri besar yang menggunakan sistem kerja yang canggih pula. Akibatnya, tenaga kerja yang digunakan pun harus berkualitas, terampil dan tidak gagap teknologi. Rakyat Indonesia akan kewalahan menghadapi tuntutan tersebut yang kalau tidak diantisipasi akan mengakibatkan pengangguran, kemiskinan serta kemelaratan bagi masyarakat di negeri ini. Artinya, globalisasi dan kemajuan teknologi informasi merupakan ancaman sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, kita harus memiliki ‘budaya unggul’ agar kita bisa menghadapi tantangan tersebut. Untuk meraih budaya unggul tersebut maka pemerintah harus memberikan investasi yang serius di bidang sumber daya

(18)

manusia yakni pendidikan yang berkualitas atau bermutu. Kunci utama kemajuan sebuah bangsa adalah pendidikan yang berkualitas (Media Indonesia, 4/12/2005).

Berbicara tentang mutu pendidikan tentunya tidak terlepas dari berbagai aspek yang mempengaruhi diantaranya ialah guru, siswa, kurikulum, buku pelajaran, sarana pembelajaran, metodologi pembelajaran, peraturan perundangan maupun berbagai input serta kondisi proses lainnya (Vitalis, 2004: 1). Untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar, pemerintah telah memulai proses sertifikasi tenaga pendidik lewat pendidikan profesi, dan menyempurnakan kurikulum agar lebih menekankan pada standar isi dan kompetensi (Kompas, 27/2/2006).

Walaupun upaya tersebut dilakukan pemerintah, belum menjamin tercapainya peningkatan prestasi belajar siswa yang optimal sebagai wujud dari “manusia unggul”. Karena, sesungguhnya perubahan kurikulum hanyalah sebuah acuan, dan kurikulum sebenarnya adalah apa yang dijalankan oleh guru dan siswa (Suparno, 2006). Sehingga penyiapan guru sangatlah penting.

(19)

Sikap seperti ini tentu akan membuat siswa merasa tertekan, pasif, takut, dan mau belajar hanya karena takut kepada gurunya. Walaupun pada akhirnya banyak siswa mendapat nilai yang baik dalam ujian tetapi semangat belajar mereka tidak berlangsung lama, hilang begitu saja setelah ujian selesai. Padahal belajar yang baik dan efektif adalah belajar yang dilakukan sepanjang hayat dan selalu terasa dalam keadaan yang menyenangkan bagi Si pemelajar (Hernowo, 2004). Jika kasus di atas terus terjadi maka pendidikan telah gagal membantu siswa untuk belajar dan berkembang dengan baik.

Salah satu sebab dari timbulnya fenomena tersebut ialah karena guru tidak bisa memimpin dengan baik. Kompetensi kepemimpinan yang melahirkan pola atau gaya kepemimpinan kurang diasah sehingga guru hanya bisa menerapkan satu gaya kepemimpinan saja dalam segala situasi. Akibatnya, guru tidak bisa mempengaruhi siswa untuk belajar demi pencapaian tujuan pembelajaran.

Kurt Lewin (Winkel, 1987:117) mengungkapkan, gaya memimpin kelas ada tiga macam, yaitu otoriter, laissez-faire dan demokratis. Bagi guru otoriter, gurulah yang harus lebih dominan dalam mengatur segalanya, sedangkan siswa hanya diam menuruti dan menjalankan perintah. Bagi guru yang laissez-faire, siswalah yang harus mengatur belajarnya sendiri, menurut seleranya sendiri, guru tidak memberikan pengarahan, kecuali diminta. Sedangkan bagi guru demokratis, guru bertindak sebagai anggota kelompok dalam kelas, dan bersama dengan murid menentukan bagaimanakah sebaiknya proses belajar diatur.

(20)

yang paling tinggi. Dengan kata lain, gaya demokratis dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Alasan untuk menggunakan gaya demokratis ialah guru dan siswa harus bermusyawarah, keinginan siswa harus diikuti, materi pelajaran harus disesuaikan dengan kemampuan siswa.

Sedangkan gaya kepemimpinan laissez-faire tidak disarankan untuk diterapkan karena siswa akan cenderung untuk hanya memperhatikan diri sendiri dan kurang menghargai wewenang guru, dan bahkan akan merasa kurang pasti dan bingung. Sementara dengan gaya otoriter, siswa akan merasa tertekan, takut, dan pasif atau tidak ada inisiatif. Namun gaya otoriter tidak selalu jelek karena pada kondisi tertentu seorang pemimpin (guru) harus bersikap otoriter agar bisa mengendalikan situasi sehingga kembali kepada situasi yang mendukung pada pencapaian tujuan pembelajaran.

Dengan demikian, gaya kepemimpinan yang diterapkan dalam mengajar di kelas sangat berpengaruh pada peningkatan mutu siswanya. Siswa senang atau tidak belajar mata pelajaran yang diajarkan tentunya ditentukan oleh kepemimpinan guru itu sendiri. Singkat kata, kepemimpinan guru di kelas bisa berdampak pada tinggi rendahnya motivasi belajar siswa.

(21)

kompetisi antar sesama teman, tuntutan tugas dan dorongan atau bimbingan atasan/guru (Wahjosumidjo, 1987:176).

Walaupun gaya kepemimpinan hanya merupakan motivasi ekstrinsik, namun mempunyai arti penting dalam peningkatan pencapaian hasil belajar siswa. Bagaimana tidak, jika guru salah menerapkan gaya kepemimpinannya tentunya bisa menghambat pencapaian hasil belajar siswa yang optimal. Bahkan siswa akan jadi malas belajar materi yang diajarkan. Akibatnya, tujuan pembelajaran tidak tercapai.

Berdasarkan uraian dan pendapat para ahli di atas maka isu yang penting untuk dikaji secara empiris sekarang ini ialah hubungan antara gaya kepemimpinan guru dengan motivasi belajar siswa itu sendiri. Karena yang mengalami dampak dari gaya kepemimpinan guru itu adalah siswa maka perlu meminta tanggapan dari siswa tentang gaya kepemimpinan guru serta hubungannya dengan motivasi belajar siswa. Sehingga peneliti mengambil judul:

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP GAYA

KEPEMIMPINAN GURU FISIKA DALAM MENGAJAR DI KELAS DENGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan (otoriter, laissez-faire,

(22)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalahnya, maka tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan antara persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan guru fisika dalam mengajar di kelas dengan motivasi belajar siswa.

D. Hipotesis

Sebagai jawaban sementara atas permasalahan yang penulis ajukan dalam penelitian ini, maka penulis mengajukan hipotesis yaitu: ada hubungan antara persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan guru fisika dalam mengajar di kelas

dengan motivasi belajar siswa SMP PL I Yogyakarta.

E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Guru Fisika

Penelitian ini bermanfaat bagi guru fisika karena dapat memberikan gambaran yang konkret mengenai gaya kepemimpinan yang sering diterapkannya dalam mengajar di kelas serta hubungannya dengan motivasi belajar siswa. Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan yang sangat berguna bagi guru fisika dalam mengajar di kelas sehingga tercipta kegiatan belajar yang menyenangkan dan bermakna.

2. Bagi Peneliti

(23)

sesungguhnya di lapangan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti dalam mengajar di masa yang akan datang.

3. Bagi Peneliti Lain

(24)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kepemimpinan

1. Pengertian Kepemimpinan

Pengertian kepemimpinan bermacam ragam. Hampir setiap ahli mempunyai pengertian sendiri-sendiri, tidak ada yang persis sama antara pendapat yang satu dengan yang lain. Berikut ini adalah beberapa pendapat para ahli tentang kepemimpinan (Sutarto,1986: 13-18):

1. Ralp M. Stogdill (1950)

“Leadership is a process of influencing the activities of an organized

group in its task of goal setting and achievement” (Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan sekelompok orang yang terorganisir dalam usaha mereka menetapkan tujuan dan mencapai tujuan). 2. James M. Black (1961)

“Leadership is capable persuading others to work together under

directions as a team to accomplish certain designated objectives”

(Kepemimpinan adalah kemampuan yang sanggup meyakinkan orang lain supaya bekerjasama di bawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai tujuan tertentu).

3. Robert Tannenbaum, Irving R. Weschler, dan Fred Massarik (1961) “We define leadership as interpersonal influence, exercised in situation

and directed trough the communication process, toward the attainment of

(25)

a specific goal or goals” (Kami mendefinisikan kepemimpinan sebagai saling pengaruh antar pribadi, dilatih dalam situasi dan diarahkan, melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan atau tujuan-tujuan khusus). 4. William G. Scott (1962)

“Leadership as the process of influencing the activities of an organized

group in it efforts toward goals setting and goal achievement.” (Kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi kegiatan yang diorganisir dalam kelompok di dalam usahanya mencapai tujuan yang telah ditentukan).

5. John D. Pfiffner dan Robert Presthus (1967)

“Leadership is the art of coordinating and motivating individuals and

group to achieve desired ends.” (Kepemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memotivasi individu-individu serta kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan).

6. Robert J. Thierauf, Robert C. Klekamp, dan Daniel W. Geeding (1977) “Leadership,..., may be defined as a way of stimulating and motivating

subordinates to accomplish assigned tasks.” (Kepemimpinan,..., dapat diartikan sebagai cara membangkitkan semangat dan mendorong bawahan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diserahkan).

(26)

Karenanya, di dalam setiap masalah kepemimpinan akan selalu ada tiga unsur (Wiyono,1973: 39):

1. Manusia, yaitu manusia sebagai pemimpin atau pun sebagai mereka yang dipimpin.

2. Sarana, yaitu segala macam prinsip dan teknik kepemimpinan yang dipakai dalam pelaksanaannya. Termasuk bekal pengetahuan dan pengalaman yang menyangkut masalah manusia itu sendiri dan kelompok manusia.

3. Tujuan, yaitu sasaran akhir ke arah mana kelompok manusia itu akan digerakkan untuk menuju maksud tujuan tertentu.

Ketiga unsur tersebut didalam pelaksanaan kepemimpinan selalu ada dan terjalin erat menjadi satu. Melihat kenyataannya, kepemimpinan itu bisa dianggap sebagai suatu ilmu yang dapat dipelajari dan memang untuk mendapatkan bentuk kecakapan suatu kepemimpinan yang berhasil dan baik, seorang calon pemimpin haruslah mampu dan menguasai ilmu tersebut, baik secara teoritis maupun pengalaman praktisnya.

2. Pendekatan-Pendekatan Kepemimpinan a. Pendekatan Sifat

(27)

made – that leaders do not acquire the ability to lead, but inherit it”

(Pendekatan turun-temurun menyatakan bahwa pemimpin dilahirkan bukan dibuat–bahwa pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan untuk memimpin, tetapi mewarisinya). Sebagai contoh dalam sejarah ialah Napoleon. Ia diyakini mempunyai kemampuan alamiah sebagai pemimpin, yang dapat menjadikannya sebagai pemimpin besar pada setiap situasi. Untuk menjamin kelanjutan kepemimpinan dalam garis keturunan maka dilakukan perkawinan antar anggota yang dekat. Dengan jalan ini maka kekuasaan dan kesejahteraan dapat dilangsungkan kepada generasi pemimpin berikutnya yang termasuk dalam garis keturunan keluarga saat itu berkuasa.

Menurut Keith Davis (Thoha, 1983: 36) ada empat sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan seorang pemimpin, yaitu:

1) Kecerdasan. Hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin. Namun demikian, pemimpin juga tidak bisa melampaui terlalu banyak kecerdasan dari kecerdasan pengikutnya. Sifat ini juga berlaku bagi guru. Guru yang ideal ialah guru yang cerdas. Jika tidak, akan mengakibatkan kesulitan dalam mengajar dan memimpin kelas.

(28)

3) Motivasi diri dan dorongan berprestasi. Para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka berkerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik dibandingkan dari yang ekstrinsik.

4)Sikap-sikap hubungan kemanusiaan. Pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya. Dalam istilah penelitian Universitas Ohio, pemimpin itu mempunyai perhatian. Sedangkan dalam istilah penemuan Michigan, pemimpin itu berorientasi pada orang bukan berorientasi pada hasil.

Beberapa sifat di atas merupakan hal yang amat penting dan harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pendekatan sifat terhadap kepemimpinan sama halnya dengan teori-teori sifat tentang kepribadian, yakni telah memberikan beberapa pandangan yang deskriptif tetapi sedikit analitis atau sedikit mengandung nilai-nilai yang prediktif.

b. Pendekatan Perilaku

(29)

disiplin, cara mengawasi pekerjaan bawahan (baca: siswa), cara meminta laporan, cara memimpin rapat, dan cara menegur kesalahan bawahan (baca: siswa).

Dalam pendekatan perilaku inilah gaya kepemimpinan pemimpin itu tampak. Apabila dalam melakukan kegiatan-kegiatan di atas pemimpin menempuh dengan cara tegas, keras, sepihak, yang penting tugas selesai dengan baik, yang bersalah langsung dihukum, maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan pemimpin itu ialah gaya kepemimpinan otoriter. Sebaliknya, apabila dalam melakukan kegiatan tersebut di atas pemimpin menempuh cara yang halus, simpatik, interaksi timbal balik, melakukan ajakan, menghargai pendapat, memperhatikan perasaan, dan membina hubungan serasi, maka gaya kepemimpinan yang diterapkannya ialah gaya kepemimpinan demokratis.

(30)

oleh para pemimpin dalam organisasi formal (misal: perusahaan/lembaga) yang pasti berbeda dengan gaya kepemimpinan guru saat mengajar di kelas.

c. Pendekatan Situasional

Pendekatan ini dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard berdasarkan pada hubungan antara perilaku tugas, perilaku hubungan, dan tingkat kematangan bawahan. Pendekatan situasional biasa disebut juga pendekatan kontingensi. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa keberhasilan suatu kepemimpinan tidak hanya dipengaruhi oleh sifat-sifat pemimpin saja, tetapi oleh banyak hal atau kemungkinan. Karena setiap kelompok mempunyai masalah yang berbeda-beda, maka pemimpin harus menghadapinya dengan cara-cara yang berbeda-beda pula.

Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi ini melahirkan banyak model kepemimpinan. Beberapa model kepemimpinan tersebut antara lain:

1) Model Kepemimpinan Fielder

(31)

Menurut pendekatan ini, ada tiga variabel yang menentukan efektif tidaknya gaya kepemimpinan (Fattah, 2001: 96). Pertama, variabel hubungan antara pemimpin dengan anggota. Hubungan ini dianggap paling penting sebab akan menentukan kekuasaan dan pengaruhnya. Jika pemimpin diterima baik oleh kelompoknya dan anggota kelompoknya menghargai pemimpinnya, maka pemimpin tidak perlu bersandar pada wewenang formal. Akan tetapi jika sebaliknya, ia harus menyandarkan diri pada perintah untuk menyelesaikan tugasnya. Kedua, variabel struktur tugas dalam situasi kerja. Tugas sangat berstruktur adalah tugas yang prosedur atau instruksi langkah demi langkah untuk penyelesaian tugas yang tersedia, karena anggota telah mengerti apa yang diharapkan. Pemimpin dalam situasi ini dengan sendirinya mempunyai wewenang besar. Ketiga, variabel kekuasaan karena posisi pemimpin. Beberapa posisi tersebut misalnya, seseorang mempunyai jabatan sebagai menteri sekaligus sebagai ketua partai politik dan ketua yayasan. Jabatan yang tinggi akan memudahkan pemimpin untuk mempengaruhi bawahan, serta sebaliknya.

2) Model Kepemimpinan Tiga Dimensi

(32)

birokrat. Adapun yang tidak efektif menurut Reddin adalah gaya pecinta kompromi (compromiser), missionari, otokrat, gaya lari dari tugas (deserter).

3. Fungsi Kepemimpinan

Pemimpin yang mampu melakukan fungsi kepemimpinannya dapat dipastikan keadaan kelompoknya akan terwujud dengan baik. Keadaan yang baik ini jelas akan memperkuat posisi dan kedudukan pemimpin di dalam kelompok sehingga pemimpin harus mengetahui tugas dan tanggung jawabnya.

Fungsi pemimpin dirumuskan oleh Moorkead dan Griffin (1995) yang mengatakan bahwa pemimpin (baca: guru) melalui kekuasaannya berupa mempengaruhi dan mengarahkan siswa untuk belajar, memiliki semangat tinggi, dan motivasi tinggi guna mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini terutama terkait dengan fungsi mengatur hubungan antara individu atau kelompok dalam kelas. Fungsi pemimpin dalam mempengaruhi adalah mengarahkan, yang bertujuan untuk membantu siswa belajar demi pencapaian sasaran.

(33)

yang sejuk, dan mengarahkan siswa untuk bersama-sama belajar demi tercapainya tujuan belajar itu.

Pendapat lain mengenai fungsi pemimpin dikemukakan oleh Krech dan Cruthfield (Honorus, 2003). Mereka mengatakan ada 14 fungsi pemimpin, yaitu:

a. Sebagai pelaksana yang mengkoordinasi kegiatan kelompok dan bertanggung jawab akan penyelesaian kegiatan tersebut.

b. Perencana yang menentukan dalam pencapaian tujuan.

c. Menentukan kebijakan dengan mempertimbangkan informasi dari atasan (kepala sekolah), siswa dan dirinya sendiri.

d. Sebagai figur yang menguasai bidangnya.

e. Sebagai wakil kelompok (kelompok guru) yang dapat diterima oleh kelompok lain (siswa dan masyarakat).

f. Sebagai pengawas dan pembimbing bagi kelompoknya (siswa).

g. Dapat memberikan reward dan punishment kepada anggota kelompoknya.

h. Sebagai mediator dalam menyelesaikan perselisihan dalam kelompoknya.

i. Sebagai teladan bagi anggota kelompoknya. j. Sebagai figur yang bertanggung jawab. k. Sebagai figur seorang ayah/ibu.

l. Merupakan sumber ideologi.

(34)

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa fungsi seorang pemimpin sangat banyak dan kompleks, tetapi tidak semua fungsi itu harus dilaksanakan oleh pemimpin. Situasi dan kondisi yang dihadapi pemimpin akan menentukan fungsi-fungsi yang dapat dijalankan oleh pemimpin.

4. Gaya Kepemimpinan

Menurut Purwanto (2002), gaya kepemimpinan adalah cara atau teknik seseorang dalam menjalankan sesuatu kepemimpinan. Sedangkan menurut Mulyasa (2003), gaya kepemimpinan merupakan cara yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Sama dengan kedua pendapat tersebut, Thoha (dalam Mulyasa, 2003) mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi orang lain seperti yang ia lihat. Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi menjadi amat penting.

Dari ketiga pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan merupakan pola tingkah laku dari seorang pemimpin untuk mempengaruhi orang lain untuk berbuat sesuatu agar dapat mencapai tujuan tertentu.

(35)

a. Gaya Kepemimpinan Otoriter (Otokratis)

Secara harafiah, otoriter berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang (Syah, 1997: 235). Dalam proses belajar mengajar (PBM) di kelas, guru yang otoriter selalu mengarahkan dengan keras aktivitas para siswa tanpa tawar menawar. Hanya sedikit sekali kesempatan diberikan kepada siswa untuk berperan serta memutuskan cara yang terbaik untuk kepentingan belajar mereka. Memang diakui kebanyakan guru yang otoriter dapat menyelesaikan tugas mengajarnya secara baik sesuai rencana. Namun guru yang semacam ini sangat sering menimbulkan kemarahan dan kekesalan para siswa khususnya siswa pria, bukan saja karena wataknya yang agresif tetapi karena merasa kreativitasnya terhambat.

Menurut Suparno (2004: 29), pengajaran yang otoriter lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat pendidikan klasik, yang menekankan bahwa siswa itu tidak tahu apa-apa, sedangkan guru itu yang mengetahui dan mempunyai pengetahuan. Dengan demikian maka gurulah yang harus memberitahu atau memasukkan pengetahuan kepada siswa. Siswa hanya akan memperoleh pengetahuan bila mereka menerima yang diberikan guru. Dalam gambaran ini siswa sering dianggap seperti tabula rasa, kertas putih kosong, dan gelas kosong yang harus diisi oleh guru dengan pengetahuan.

(36)

aktif memasukkannya. Dengan demikian siswa telah menjadi objek pengajaran. Gurulah yang berbicara, yang menjelaskan, serta menjadi sumber pengetahuan.

Selain itu, guru adalah penentu semuanya baik dalam memilih bahan, mempersiapkan bahan termasuk mengolah bahan. Otoritas tertinggi adalah guru. Siswa hanya harus tunduk, diam, mendengarkan, dan mengikuti petunjuk. Dalam prakteknya, guru dapat menjadi otoriter dan memaksakan semua kehendaknya kepada siswa. Siswa tidak diberi kebebasan untuk mengungkapkan gagasan ataupun pendapatnya. Bahkan banyak terjadi, siswa dimatikan kreativitasnya dan dimarahi karena dianggap penggangu bila banyak usul di kelas. Salah satu cara mematikan siswa adalah dengan menjadikan jalan pikiran guru sebagai satu-satunya yang benar. Jalan pikiran, cara siswa memecahkan persoalan, bila tidak sesuai dengan yang diajarkan guru, disalahkan. Misalnya, siswa yang memecahkan persoalan fisika dengan cara yang berbeda dengan yang dijelaskan guru, disalahkan, meskipun jawaban itu benar dan rasional.

Model pengajaran yang paling banyak digunakan dalam sistem klasik adalah ceramah. Dengan model pengajaran seperti itu, gurulah yang aktif berceramah dan menjelaskan, sedangkan siswa mendengarkan dengan manis dan paling-paling mencatat. Semakin siswa tenang mendengarkan, semakin dianggap siswa yang baik.

(37)

segala-galanya. Tugas berat seorang guru dalam filsafat ini adalah dia harus tahu semuanya, terutama bidang yang diajarkannya. Ia akan sangat malu bila ditanyai siswa dan tidak bisa menjawab. Untuk menutup malu itu, kadang terjadi guru menipu siswa dengan berpura-pura menjelaskan, tetapi sebenarnya keliru. Atau bahkan ada guru yang memarahi siswa yang bertanya karena telah membuat ia tidak dapat menjawab dan kehilangan muka di depan siswa lain. Guru merasa direndahkan bila harus terus terang mengatakan kepada siswa yang bertanya, “Maaf saya belum tahu jawabannya, besok pagi saya carikan di buku”.

Dalam konteks yang lebih luas, memimpin bagi pemimpin yang otoriter adalah menggerakkan dan memaksa anggota kelompoknya. Kekuasaannya hanya dibatasi oleh undang-undang. Penafsiran sebagai pemimpin tidak lain adalah menunjukkan dan memberikan perintah. Kewajiban anggota hanyalah mengikuti dan menjalankan, tidak boleh membantah atau mengajukkan saran.

Pemimpin berkarakter ini tidak menghendaki rapat-rapat atau musyawarah. Berkumpul atau rapat hanyalah menyampaikan instruksi-instruksi. Setiap perbedaan pendapat diantara anggota kelompoknya diartikan sebagai kepicikan, pembangkang, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang telah ditetapkan.

(38)

apatis, cemoohan, sikap keras, ketidakpuasan, ketidakpatuhan, pertengkaran dan penolakan berprestasi. Konsekuensi lain ialah siswa menjadi pengacau, terpencil di masyarakat, dan menjadi pelanggar hukum.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan otoriter merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan diputuskan oleh pimpinan.

Oleh karena itu, kepemimpinan gaya otoriter mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Sutarto, 1986: 73):

1) Wewenang mutlak terpusat pada guru 2) Keputusan selalu dibuat oleh guru 3) Kebijaksanaan selalu dibuat oleh guru

4) Komunikasi berlangsung satu arah dari guru ke siswa

5) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan para siswa dilakukan secara ketat

6) Prakarsa selalu datang dari guru

7) Tidak ada kesempatan bagi siswa untuk memberikan saran, pertimbangan atau pendapat

8) Tugas-tugas siswa diberikan secara instruktif 9) Lebih banyak kritik dari pada pujian

10) Guru menuntut prestasi sempurna dari siswa tanpa syarat 11) Guru menuntut kesetiaan mutlak tanpa syarat

(39)

13) Kasar dalam bertindak 14) Kaku dalam bersikap

15) Tanggung jawab keberhasilan kelompok hanya dipikul oleh guru

b. Gaya Kepemimpinan Laissez-faire

Dalam gaya kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Kepemimpinan laissez-faire bisa diartikan sebagai membiarkan siswa berbuat sekehendaknya. Guru yang mengajar dengan gaya ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan siswanya. Tingkat keberhasilan pembelajaran semata-mata hanya disebabkan oleh kesadaran dan dedikasi beberapa siswa dan bukan karena pengaruh dari gurunya.

(40)

Guru yang berwatak ini biasanya gemar mengubah arah dan cara pengelolaan proses belajar mengajar secara seenaknya, sehingga menyulitkan siswa dalam menyiapkan diri. Menurut Syah (1997), sesungguhnya guru berwatak ini tidak menyenangi profesinya sebagai pengajar atau pendidik meskipun mungkin memiliki kemampuan yang memadai. Ada kemungkinan sebagai pelarian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena tidak diterima di tempat kerja yang lain yang lebih ia sukai. Guru yang berperilaku seperti ini sering dijumpai di daerah-daerah pedalaman atau pun pinggiran, dimana pengawasan dan kontrol dari atasan sangat kurang. Mereka datang ke sekolah hanya sebentar setelah itu pergi. Siswa biasanya hanya disuruh mencatat di papan tulis. Guru lebih mementingkan kegiatannya di luar dibandingkan mengajar dan mendidik murid. Kepemimpinan ini menuntut kesadaran yang tinggi dalam diri siswa untuk belajar secara mandiri baik dalam memilih topik, tempat belajar, maupun waktu belajar. Kepemimpinan laissez-faire mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Sutarto, 1986: 77):

1) Guru melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada siswa 2) Keputusan lebih banyak dibuat oleh para siswa

3) Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh siswa

4) Guru hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh siswa

5) Hampir tidak ada pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan yang dilakukan oleh para siswa

(41)

8) Peran guru sangat sedikit dalam kegiatan kelompok/kelas

9) Kepentingan pribadi lebih utama dari pada kepentingan kelompok 10) Tanggung jawab keberhasilan kelompok dipikul oleh orang per

orang

c. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Pemimpin dengan gaya ini, menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota kelompok bukan sebagai majikan terhadap buruhnya, melainkan sebagai saudara tua di dalam kelompok tersebut. Dalam tindakan dan usahanya, pemimpin yang demokratis selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.

(42)

kepemimpinan demokratis mengandung makna memperhatikan persamaan hak dan kewajiban semua orang.

Dalam proses belajar mengajar di kelas, guru yang demokratis melandaskan diri pada filsafat konstruktivisme. Menurut Suparno (2004), filsafat ini lebih menekankan bahwa siswa sudah tahu sesuatu meski belum sempurna, guru bukan maha tahu, dan siswa dapat belajar sendiri. Menurut filsafat ini pengetahuan merupakan bentukan (konstruksi) siswa sendiri, bukan sesuatu yang sudah jadi dan tinggal dimasukkan ke dalam otak siswa, tetapi sesuatu proses yang harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksikan oleh siswa itu sendiri. Siswa hanya akan tahu bila mereka sendiri yang belajar. Tugas guru adalah membantu siswa agar mau belajar sendiri secara aktif.

Sehingga yang terpenting dalam proses belajar dalam hal ini adalah siswa, bukan guru. Yang harus aktif belajar, mengulangi bahan dan mengolah bahan adalah siswa. Akibatnya, dalam sekolah yang akan terlihat aktif bukanlah guru tetapi siswa. Siswa harus bertanya, aktif mengerjakan sesuatu bahan, aktif membuat laporan dan aktif dalam mengungkapkan gagasannya. Sehingga ini memang proses pembelajaran siswa, bukan pengajaran guru.

(43)

siswa, mempersoalkan pengertian yang mereka temukan, mencari bersama, dan saling mengkomunikasikan pemikiran mereka.

Maka, dalam gaya pembelajaran seperti ini guru tidak akan senang bila siswa diam saja, tunduk, atau tidak kreatif. Tetapi ia lebih senang bila siswa aktif dan punya macam-macam kreativitas, berani mengungkap gagasan mereka dan berdebat dengan guru apabila mereka mempunyai segi yang lain. Guru juga sangat menghargai siswa yang dapat mengerjakan sesuatu persoalan dengan cara-cara yang berbeda dengan yang dijelaskannya. Kebebasan berpikir dan berpendapat sangat dihargai dan diberi ruang. Sehingga, suasana kelas akan sungguh hidup, menyenangkan, dan menyemangati siswa untuk belajar.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan demokratis memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Sutarto, 1986: 75):

1) Wewenang guru tidak mutlak

2) Guru bersedia melimpahkan sebagian wewenangnya kepada siswa 3) Keputusan dibuat bersama antara guru dan siswa

4) Kebijaksanaan dibuat bersama antara guru dan siswa

5) Komunikasi berlangsung timbal balik, baik antara guru dan siswa maupun antara sesama siswa

6) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan para siswa dilakukan secara wajar

(44)

8) Banyak kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan saran, pertimbangan atau pendapat

9) Tugas-tugas kepada siswa diberikan dengan lebih bersifat permintaan dari pada instruktif

10) Pujian dan kritik seimbang

11) Guru mendorong prestasi sempurna dari siswa di dalam batas kemampuan masing-masing

12) Guru meminta kesetiaan kepada siswa secara wajar

13) Guru memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak

14) Terdapat suasana saling percaya, saling hormat menghormati dan saling harga menghargai

15) Tanggung jawab keberhasilan kelompok dipikul bersama antar guru dan siswa

Dalam Prakteknya tidak seorang pun yang dapat menerapkan salah satu gaya kepemimpinan di atas secara mutlak. Menurut Mangunhardjana (dalam Mealin, 2004), kebanyakan pemimpin mencampur banyak gaya kepemimpinan. Dengan mencampur banyak gaya tersebut diakui paling efektif dan tepat untuk memimpin banyak orang yang tentunya satu dengan yang lain memiliki sifat, sikap, dan latar belakang yang berbeda sehingga bila dipimpin dengan menggunakan salah satu secara mutlak diterapkan justru menimbulkan pengaruh yang tidak baik bagi perkembangan siswa.

(45)

pekerjaan/lembaga, sifat-sifat kepribadian pemimpin, sifat-sifat kepribadian siswa, persepsi siswa dan sanksi-sanksi yang diberikan. Dalam hal sifat-sifat kepribadian siswa berdasarkan teori situasional, faktor dominan yang menentukan perilaku pemimpin adalah tingkat kedewasaan siswa itu sendiri.

Ada tiga tingkat kematangan siswa, yaitu: 1) Siswa yang tingkat kematangan kurang, dipandang tidak mau menjalankan tugas yang diberikan dan memikul tanggung jawab untuk berbuat sesuatu secara mandiri. Kalau pun ada hanya siswa tertentu saja. Mereka akan berbuat sesuatu jika ada perintah dan tuntunan dari guru. Biasanya motivasi mereka untuk mencari hal-hal baru dan memikirkannya sangat rendah dan kalau pun ada sangat sedikit. Untuk membantu supaya mereka berkembang dibutuhkan bimbingan, pengawasan yang ketat dan kerja keras dari guru sebagai pemimpin. 2) Siswa yang tingkat kematangan sedang/madya, dianggap sudah mampu belajar mandiri dan menyelesaikan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka dengan baik tanpa harus ada pengarahan, bimbingan, maupun pengawasan dari guru. Tetapi mereka tidak rela berbuat apa yang diinginkan gurunya karena merasa kurang mantap atau kurang percaya diri. 3) Siswa yang tingkat kematangan tinggi, dianggap sebagai orang yang mampu dan rela menyelesaikan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka secara mandiri.

(46)

mempengaruhi perilaku siswa yang tingkat kematangan sedang; 3) Gaya kepemimpinan leissez-faire tepat untuk mempengaruhi perilaku siswa yang tingkat kematangan tinggi.

5. Persepsi dan Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan

Cara seorang pemimpin dalam menerapkan gaya kepemimpinannya diamati dan dinilai oleh orang-orang yang dipimpinnya melalui persepsi bawahan (siswa). Menurut Soenardji (1998: 83), persepsi adalah proses menginterpretasikan dan mengorganisasikan informasi dari luar yang diterima oleh organ-organ indera. Tidak jauh berbeda dengan Soenardji, Dimyati (1990: 132) mengatakan bahwa persepsi merupakan proses interpretasi informasi yang datang dari indera; pemberian arti terhadap stimulus inderawi.

Sedangkan menurut Sarlito Wirawan (1992: 45) persepsi merupakan sejumlah indera disatukan dan dikoordinasikan di dalam pusat syaraf yang lebih tinggi (otak) sehingga manusia bisa menilai obyek-obyek.

Jadi, dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses memahami, menerima, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan rangsangan dari luar/lingkungan melalui panca indera sehingga individu menyadari dan mengerti apa yang ditangkap inderanya.

(47)

rangsang-rangsang tertentu saja, sehingga objek-objek atau gejala-gejala lain tidak tampil kemuka sebagai objek pengamat. Kedua, ciri-ciri rangsang. Beberapa ciri rangsang seperti rangsangan yang bergerak, besar, kontras dengan latar belakangnya dan yang intensitas rangsangnya lebih kuat akan lebih menarik perhatian seseorang. Ketiga, nilai-nilai dan kebutuhan individu. Seseorang tentu punya pola dan cita rasa yang berbeda dalam pengamatannya sehingga individu yang satu dengan yang lainnya mempunyai nilai-nilai dan kebutuhan yang berbeda.

Keempat, pengalaman terdahulu/latar belakang siswa. Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang memersepsi dunianya. Misalnya, anak yang sudah terbiasa berada di lingkungan keluarga yang orang tuanya keras atau diajar oleh guru yang keras dan galak akan mempunyai persepsi yang berbeda dengan anak yang baru diajar oleh guru tersebut.

(48)

Dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya, keberhasilan seorang pemimpin dalam kepemimpinannya tidak semata-mata ditentukan oleh kualitas kepribadian saja tetapi juga ditentukan oleh penerimaan atau persepsi positif orang-orang yang dipimpinnya terhadap dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi siswa dalam menginterpretasikan gaya kepemimpinan guru di kelas berpangaruh pada perilaku seorang guru dalam menjalankan fungsi kepamimpinannya.

Persepsi terhadap gaya kepemimpinan guru menjadi penting karena berimplikasi pada pembentukan motivasi belajar siswa sehingga akan memperlancar proses pencapaian tujuan pembelajaran.

Berdasarkan konsep persepsi dan kepemimpinan guru dapat disimpulkan bahwa persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan guru adalah persepsi terhadap gaya yang digunakan oleh seorang guru untuk mempengaruhi siswa agar mau berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan menurut hubungan antara perilaku tugas, perilaku hubungan, serta tingkat kematangan siswa berdasarkan tiga gaya kepemimpinan, yaitu otoriter, laissez-faire, dan demokratis. Persepsi terhadap gaya kepemimpinan itu diperoleh melalui proses penginderaan dan penilaian yang berdasarkan pada pengalaman subyektif siswa.

B. Guru Sebagai Pemimpin di Kelas

(49)

kedua peran itulah kepemimpinannya berlangsung atau terjadi. Sementara menurut Adam dan Decey (dalam Andi, 2004), peran guru adalah sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, supervisor, motivator dan konselor.

Sedangkan menurut Dimyati Mahmud (1990) mengajar di kelas tidak lain adalah memimpin sekelompok orang (baca: siswa). Guru yang efektif adalah pemimpin yang efektif, yaitu memanfaatkan potensi kelompok untuk meningkatkan perkembangan individual. Dengan demikian, guru diharapkan bisa menjadi wasit, pelerai kecemasan, detektif, mencegah timbulnya perasaan-perasaan bermusuh dan frustasi, teman dan sebagai orang pengganti orang tua, sumber kasih sayang dan pemberi semangat.

(50)

para siswanya. Sedangkan Esti (2002) mengatakan guru adalah pemimpin di kelas dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan kelas.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa guru yang salah satunya guru fisika adalah seorang pemimpin bagi para siswa dalam proses belajar mengajar di kelas.

C. Motivasi

1. Pengertian Motivasi

Sebelum masuk pada pengertian motivasi, terlebih dahulu harus tahu pengertian dari motif. Menurut Winkel (1987: 93) motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai tujuan. Berdasarkan kata motif itu maka motivasi dapat didefinisikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, bila kebutuhan untuk mencapai tujuan segera dirasakan.

(51)

senantiasa mendorong seseorang untuk bertindak atau melakukan sesuatu dalam memenuhi kebutuhannya. Kekuatan daya dorong itu akan hilang bila sekiranya telah menjadi puas karena kebutuhannya telah terpenuhi.

Sementara menurut Herman Hudoyo (Wardhani 1998), motivasi merupakan kekuatan pendorong yang ada dalam diri orang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi ini sangat berhubungan dengan motif. Bila seorang siswa belajar, diasumsikan bahwa di dalam diri siswa ada dorongan untuk memulai dan mengatur aktivitasnya. Misalnya minat, sikap dan kehendak yang semuanya bergantung kepada individu seseorang.

Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhannya demi mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan motivasi belajar adalah daya penggerak dalam diri siswa untuk melakukan aktivitas-aktivitas belajar dalam rangka memenuhi kebutuhan belajar demi mencapai suatu tujuan tertentu.

2. Ciri-Ciri Siswa Yang Mempunyai Motivasi Belajar

Ada beberapa ciri siswa yang mempunyai motivasi belajar. Ciri-ciri tersebut dapat dikenali melalui proses belajar mengajar (Sardiman, 1986: 82-83):

(52)

b) Ulet menghadapi kesulitan (tidak mudah putus asa) serta tidak cepat puas atas prestasi yang telah dicapainya.

c) Menunjukkan minat yang besar terhadap bermacam-macam masalah belajar.

d) Lebih senang bekerja mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

e) Tertarik untuk mengerjakan hal-hal yang menuntut kreativitas f) Dapat mempertahankan pendapatnya.

g) Tidak mudah melepas apa yang diyakini.

h) Senang mencari dan memecahkan masalah/soal-soal

Sedangkan menurut Winkel (1987: 97-98), ciri-ciri siswa yang mempunyai motivasi belajar adalah:

a) Kecenderungan mengerjakan tugas-tugas belajar yang menantang namun tidak berada di atas kemampuannya.

b) Keinginan untuk bekerja dan berusaha mandiri serta menemukan penyelesaian masalah secara sendiri tanpa disuapi terus menerus oleh guru.

c) Keinginan yang kuat untuk maju dan mencari taraf keberhasilan yang sedikit di atas taraf tercapai sebelumnya.

d) Orientasi pada masa depan. Kegiatan belajar dipandang sebagai jalan menuju ke realisasi cita-cita.

(53)

f) Keuletan dalam belajar biarpun menghadapi rintangan.

3. Fungsi Motivasi Dalam Belajar

Menurut Imron (1996), motivasi belajar memegang peranan penting dalam memberikan gairah, semangat dan rasa senang dalam belajar sehingga yang mempunyai motivasi tinggi mempunyai energi yang banyak untuk melaksanakan kegiatan belajar. Motivasi juga berkaitan erat dengan suatu tujuan. Misalnya untuk menghadapi ujian pada pagi harinya, para pelajar mengurung dirinya dalam kamar untuk belajar karena mengharapkan akan mendapat hasil yang baik. Dengan demikian motivasi itu mempengaruhi adanya kegiatan.

Sedangkan Sardiman (1986) berpendapat bahwa motivasi sangat diperlukan dalam belajar. Hasil belajar akan menjadi optimal kalau ada motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan akan semakin berhasil pula pelajaran itu. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa.

Sehubungan dengan kedua pendapat di atas maka ada tiga fungsi motivasi, yaitu:

(54)

b) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan. c) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa

yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Misalnya, seorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus. Tentu siswa tersebut akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu atau membaca komik, sebab tidak serasi dengan tujuan.

4. Jenis-Jenis Motivasi

Sardiman (1986: 88) membagi motivasi menjadi dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.

a. Motivasi Intrinsik

(55)

motivasi intrinsik merupakan keinginan untuk mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan belajar itu sendiri. Sebagai contoh konkret, seorang siswa melakukan kegiatan belajar, karena betul-betul ingin mendapat pengetahuan, nilai dan keterampilan yang berguna bagi masa depannya, dan bukan karena tujuan yang lain.

Oleh karena itu, motivasi intrinsik dapat pula dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajarnya.

b. Motivasi Ekstrinsik

(56)

Dalam kegiatan belajar mengajar, motivasi ini tetap penting. Sebab, kemungkinan besar keadaan siswa itu dinamis, berubah-ubah, dan kemungkinan komponen-komponen lain dalam proses belajar mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa sehingga diperlukan motivasi ekstrinsik.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

Ali Imron (1996: 99) berpendapat bahwa ada beberapa unsur yang mempengaruhi motivasi belajar, yaitu cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi siswa, kondisi lingkungan belajar, unsur-unsur dinamis dalam pembelajaran, dan upaya guru dalam membelajarkan siswa (kepemimpinan guru selama proses pembelajaran). Di dalam proses mengatur kondisi lingkungan belajar, dinamika dalam pembelajaran, serta mengupayakan siswa dalam belajar, kepemimpinan guru akan tampak. Apakah dalam mengatur dinamika dalam belajar guru itu kooperatif, tidak peduli atau malah keras, itu tergantung dari gaya kepemimpinan yang diterapkannya.

D. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan Dengan Motivasi Belajar

(57)

jelas dan terarah, sedangkan anggota kelompoknya berusaha untuk mencapai tujuan tersebut.

Para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja (baca: belajar) dan terutama prestasi suatu kelompok. Hubungan antara gaya kepemimpinan dengan motivasi belajar saling mendukung karena adanya gaya kepemimpinan yang baik dari seorang pemimpin (guru) dapat mempengaruhi motivasi belajar anggota kelompoknya (siswa). Dalam hal ini, ada ketergantungan antara motivasi siswa terhadap guru dimana guru tersebut dapat mempengaruhi moral, kepuasan, kualitas, kehidupan belajar dalam rangka meningkatkan motivasi belajar siswa.

Menurut Nawawi (1988) kepemimpinan dalam pendidikan merupakan proses menggerakkan, mempengaruhi, memberikan motivasi dan mengarahkan orang-orang di dalam lembaga pendidikan itu untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Untuk mewujudkan tugas tersebut setiap pemimpin pendidikan harus mempu bekerja sama dengan orang-orang yang dipimpinnya untuk memberikan motivasi agar melakukan pekerjaan secara ikhlas.

(58)

meningkatkan motivasi siswa dan membawa siswa kepada penyelesaian tugas dengan lebih baik. Guru sebagai seorang pemimpin di kelas harus tahu kapan siswanya mengalami penurunan motivasi dalam belajar dan berusaha untuk mencari tahu sehingga dapat meningkatkan kembali motivasi belajar dari siswa tersebut.

Hubungan antara guru dan siswa merupakan hal yang penting untuk mendapat perhatian supaya tercapainya efektifitas pembelajaran yang optimal. Dikatakan demikian karena hubungan antara guru dan siswa akan mempengaruhi persepsi mereka. Costello dan Zalkind (dalam Gilmer, 1967) mengungkapkan bahwa seorang pemimpin dipersepsi dan dinilai bagaimana tingkah lakunya oleh siswa dan persepsi tersebut akan menentukan bagaimana guru tersebut diterima. Bagi siswa, hasil dari persepsi tersebut akan menentukan mereka puas atau tidak dengan situasi dan kondisi tempat belajarnya, yang pada akhirnya berpengaruh juga pada motivasi belajar. Sebaliknya guru juga mempersepsikan dan menilai siswa bagaimana ia akan menentukan apa yang akan dilakukan dalam hubungannya dengan siswa.

(59)

Guru yang otoriter lebih menekankan pada pencapaian hasil belajar yang sempurna dari siswa, kepatuhan terhadap perintah, kurangnya kebebasan maupun partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran. Siswa yang mempersepsikan gurunya otoriter akan menjadi pasif, berbuat sesuatu hanya jika ada perintah karena takut dimarahi kalau melakukan kesalahan, dan merasa tertekan karena dituntut untuk memperoleh prestasi yang sempurna. Pada akhirnya, pembelajaran tidak lagi terasa menyenangkan tetapi sebaliknya, menakutkan dan menegangkan. Dengan demikian, siswa tidak lagi terpacu semangatnya untuk belajar tetapi akan menghindarkan diri dari situasi atau lingkungan belajar itu.

Sebaliknya, guru yang laissez–faire lebih menekankan pada kebebasan yang mutlak. Maksudnya, siswa bisa dengan sebebasnya melakukan hal apa saja yang menurut dia mendukung proses pembelajaran. Perhatian dan kontrol guru terhadap perilaku siswa dalam belajar sangat lemah. Sikap guru yang cuek terhadap siswa akan menyebabkan siswa merasa kurang diperhatikan dan dihargai. Siswa yang mempersepsikan gurunya sebagai guru yang laissez-faire akan mempunyai motivasi belajar yang sama seperti siswa yang mempersepsikan gurunya otoriter. Bedanya hanya pada keadaan psikologis, dimana siswa tidak terlalu merasa tertekan, takut dan pasif.

(60)

gurunya otoriter atau laissez-faire maka motivasi belajarnya rendah atau semakin menurun. Secara skematis, hubungan antara persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan guru dengan motivasi belajar siswa yang sekaligus merupakan dua variabel utama yang ingin dicari hubungannya secara empiris dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Hubungan kedua variabel tersebut dapat dijabarkan lagi sebagai berikut:

Keterangan:

: Menyatakan hubungan mempengaruhi X1 : Gaya Otoriter

X2 : Gaya Laissez-faire

Y

X

1

X

2

X

3

P

e

r

s

e

p

s

i

mempengaruhi

Persepsi terhadap

(61)

X3 : Gaya Demokratis Y : Motivasi belajar

(62)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional. Dikatakan demikian karena penelitian ini hanya untuk melihat hubungan yang mungkin dan mendeskripsikan antara variabel persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan guru fisika dalam mengajar di kelas dengan motivasi belajar siswa yang diajarkannya tanpa ada usaha untuk mempengaruhi kedua variabel tersebut (Hadi, 1984).

B. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari subyek yang dimaksudkan akan diteliti (Arikunto, 1997). Sedangkan menurut Suparno (2001: 20), populasi adalah kelompok yang lebih besar dimana informasi hasil penelitian diharapkan berlaku; semua anggota grup yang akan diteliti. Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh siswa SMP PL I Yogyakarta. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang dianggap dapat memberikan informasi atau data kepada peneliti. Dalam penelitian ini sampelnya adalah siswa kelas VIIA, VIIC, VIID, VIIE, VIIIA, VIIIB, VIIIC dan VIIID yang jumlahnya 321 siswa. Sedangkan kelas VIIB dan VIIIE digunakan untuk uji coba instrumen yang berjumlah 72 siswa.

(63)

C. Variabel-Variabel Penelitian

Ada dua variabel utama dalam penelitian ini, yaitu:

Variabel X : Persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan guru fisika Variabel Y : Motivasi belajar siswa

Persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan adalah persepsi terhadap gaya yang digunakan oleh seorang pemimpin (guru) untuk mempengaruhi siswa agar mau berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan berdasarkan tiga gaya kepemimpinan, yaitu otoriter, laissez-faire, dan demokratis.

Motivasi belajar adalah daya penggerak dalam diri siswa untuk melakukan aktivitas-aktivitas belajar dalam rangka memenuhi kebutuhan belajar demi mencapai suatu tujuan tertentu. Variabel motivasi yang dioperasikan adalah skor jawaban siswa dari kuesioner motivasi belajar siswa itu sendiri.

D. Alat Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner. Kuesioner merupakan sekumpulan daftar pertanyaan atau pernyataan tertulis yang diberikan kepada subyek penelitian (Furchan, 1982: 249). Ada dua macam kuesioner dalam penelitian ini, yakni kuesioner tentang gaya kepemimpinan guru fisika dan kuesioner motivasi belajar siswa.

1. Kuesioner Gaya Kepemimpinan

(64)

penelitiannya yang berjudul Persepsi Siswa Terhadap Kecenderungan Penerapan Gaya Kepemimpinan Guru Bimbingan Konseling Dalam

Bimbingan Klasikal. Kuesioner ini memuat aspek-aspek dari gaya kepemimpinan, yaitu otoriter, laissez-faire dan demokratis. Aspek-aspek tersebut adalah:

Tabel 1. Aspek dan Indikator Gaya Kepemimpinan

No Aspek-aspek variabel gaya kepemimpinan guru fisika

1 Gaya kepemimpinan otoriter, dengan indikatornya sebagai berikut:

16) Wewenang mutlak terpusat pada guru

17) Keputusan selalu dibuat oleh guru

18) Kebijaksanaan selalu dibuat oleh guru

19) Komunikasi berlangsung satu arah dari guru ke siswa

20) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan para

siswa dilakukan secara ketat

21) Prakarsa selalu datang dari guru

22) Tidak ada kesempatan bagi siswa untuk memberikan saran, pertimbangan

atau pendapat

23) Tugas-tugas siswa diberikan secara instruktif

24) Lebih banyak kritik dari pada pujian

25) Guru menuntut prestasi sempurna dari siswa tanpa syarat

26) Guru menuntut kesetiaan mutlak tanpa syarat

27) Cenderung adanya paksaan, ancaman dan hukuman

28) Kasar dalam bertindak

29) Kaku dalam bersikap

30) Tanggung jawab keberhasilan kelompok hanya dipikul oleh guru

2 Gaya kepemimpinan laissez-faire, dengan indikatornya sebagai berikut:

11)Guru melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada siswa

(65)

13)Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh siswa

14)Guru hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh siswa

15)Hampir tidak ada pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau

kegiatan yang dilakukan oleh para siswa

16)Prakarsa selalu datang dari siswa

17)Hampir tidak ada pengarahan dari guru

18)Peran guru sangat sedikit dalam kegiatan kelompok/kelas

19)Kepentingan pribadi lebih utama dari pada kepentingan kelompok

20)Tanggung jawab keberhasilan kelompok dipikul oleh orang per orang

3 Gaya kepemimpinan demokratis, dengan indikatornya sebagai berikut:

16)Wewenang guru tidak mutlak

17)Guru bersedia melimpahkan sebagian wewenangnya kepada siswa

18)Keputusan dibuat bersama antara guru dan siswa

19)Kebijaksanaan dibuat bersama antara guru dan siswa

20)Komunikasi berlangsung timbal balik, baik antara guru dan siswa maupun

antara sesama siswa

21)Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan para

siswa dilakukan secara wajar

22)Prakarsa dapat datang dari guru maupun siswa

23)Banyak kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan saran, pertimbangan

atau pendapat

24)Tugas-tugas kepada siswa diberikan dengan lebih bersifat permintaan dari

pada instruktif

25)Pujian dan kritik seimbang

26)Guru mendorong prestasi sempurna dari siswa di dalam batas kemampuan

masing-masing

27)Guru meminta kesetiaan kepada siswa secara wajar

28)Guru memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak

29)Terdapat suasana saling percaya, saling hormat menghormati dan saling

harga menghargai

(66)

Kuesioner ini terdiri dari dua bagian. Pertama, memuat tujuan kuesioner, petunjuk pengisian kuesioner dan identitas subyek. Kedua, memuat isi kuesioner yang berupa pernyataan-pernyataan. Jenis kuesioner yang digunakan adalah kuesioner langsung tertutup, artinya responden menjawab pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan dirinya sendiri (langsung) dengan alternatif jawaban yang sudah disediakan. Kuesioner ini disusun berdasarkan skala Linkert. Skala Linkert berisi serangkaian pernyataan yang masing-masing mengungkapkan sikap yang jelas baik atau kurang baik, selanjutnya meminta respons yang sudah dinilai pada setiap pernyataan (Anantasi, 1998). Adapun skala Linkert tersebut adalah (1) Selalu, (2) Sering, (3) Jarang, dan (4) Tidak pernah.

2. Kuesioner Motivasi Belajar Siswa

Kuesioner atau angket ini disusun untuk mengetahui motivasi siswa dalam belajar fisika. Untuk menyusun kuesioner ini, peneliti mengacu pada kuesioner yang dibuat oleh Wardhani (1998), dengan penelitiannya yang berjudul Hubungan Antara Motivasi Belajar Matematika dengan Prestasi Belajar

Matematika Di kalangan Para Siswa Kelas I SMUK Sang Timur Yogyakarta

(67)

matematika diganti dengan fisika. Kisi-kisi penyusunan kuesioner ini berdasarkan ciri-ciri siswa yang mempunyai motivasi belajar adalah sebagai berikut:

Tabel 2: Aspek dan Indikator Motivasi Belajar Siswa

No Aspek-Aspek Variabel Motivasi Belajar Siswa

1 Dalam mempelajari fisika, indikatornya sebagai berikut:

1) Ingin mempelajari materi fisika secara lebih mendalam.

2) Selalu mengingat materi fisika dan mempelajarinya kembali.

3) Merasa puas jika memahami materi fisika dengan baik.

4) Mengajukan pertanyaan tentang materi fisika yang belum jelas kepada

guru.

2 Dalam menghadapi kesulitan belajar fisika, indikatornya:

1) Tidak mudah putus asa jika menghadapi kesulitan dalam mempelajari

fisika.

2) Banyak membaca buku pelajaran fisika untuk mengatasi kekurangan dan

kesulitan dalam mempelajari fisika.

3) Jika menghadapi kesulitan dalam belajar fisika tidak suka beralih pada

kegiatan lain tetapi berusaha keras menyelesaikannya.

4) Tidak mudah dipengaruhi oleh perasaan takut gagal dalam mempelajari

fisika.

5) Merasa puas jika berhasil mengatasi kesulitan dalam belajar fisika karena

Gambar

Tabel 1. Aspek dan Indikator Gaya Kepemimpinan
Tabel 2: Aspek dan Indikator Motivasi Belajar Siswa
Tabel 3. Sebaran Item Persepsi Gaya Kepemimpinan dalam Uji Coba
Tabel 4: Sebaran Item Motivasi Belajar Siswa dalam Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

gaya kepemimpinan yang terutama akan mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. yakni gaya kepemimpinan

Sebaliknya siswa yang memiliki persepsi negatif terhadap gaya kepemimpinan guru akan mengakibatkan siswa menjadi malas untuk mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan guru dan motivasi belajar siswa, sehingga dapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara persepsi siswa tentang variasai gaya mengajar guru dengan prestasi belajar akuntansi

Pertanyaan dalam kuesioner ini bertujuan untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan Pengaruh Gaya Mengajar dan Kepemimpinan Guru Terhadap motivasi belajar di Kalangan Siswa

Gaya kepemimpinan guru penjas SD Kecamatan Japara Kabupaten Kuningan dalam usaha meningkatkan motivasi belajar olahraga hanya 65,73% dari seluruh guru yang ada sebesar

Pada saat yang sama, persepsi anggota terhadap pemimpin juga dapat dijadikan sebuah alat untuk mengukur seberapa efektif gaya kepemimpinan (Casimir, Waldman, Bartram, and Yang,

(2). Apakah ada hubungan antara persepsi siswa mengenai variasi gaya mengajar guru dalam pembelajaran biologi dengan motivasi belajar siswa kelas X di MAN