• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

bab I penelitian ini, yakni ada hubungan antara persepsi siswa terhadap gaya kepemimpinan guru fisika dalam mengajar di kelas dengan motivasi belajar siswa, yang terdiri dari: ada hubungan negatif dan signifikan antara persepsi terhadap gaya otoriter dengan motivasi belajar siswa, ada hubungan negatif dan signifikan dengan motivasi belajar siswa, dan ada hubungan positif dan signifikan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan demokratis dengan motivasi belajar siswa. Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan oleh peneliti pada bab I dinyatakan diterima.

B. Pembahasan

Pada bagian ini, peneliti akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan temuan-temuan empiris dalam penelitian seperti yang telah ditunjukkan pada bagian analisis data.

Temuan pertama, ada hubungan negatif dan signifikan antara persepsi gaya kepemimpinan otoriter dengan motivasi belajar siswa kelas VII dan VIII SMP PL I Yogyakarta. Artinya, semakin siswa memersepsikan gurunya sebagai guru yang otoriter maka motivasi belajarnya semakin menurun. Atau bisa juga diartikan, semakin sering siswa mengalami pola kepemimpinan

otoriter dari guru saat belajar di kelas maka motivasi belajarnya semakin menurun.

Temuan ini menunjukkan keadaan sebenarnya apa yang dialami oleh siswa pada waktu mendapat perlakuan yang otoriter dari gurunya. Bagi siswa, guru otoriter lebih cenderung memaksakan kehendaknya sendiri, kurang menghargai siswa, membatasi kreativitas siswa, dan menganggap otak siswa sebagai botol kosong yang harus diisi oleh pengetahuan. Siswa juga harus menerima aturan-aturan, norma dan standar yang telah ditentukan guru tanpa harus mempersoalkannya.

Seperti yang ditegaskan dalam kajian teori, guru otoriter menganggap dialah yang harus aktif sedangkan siswa harus pasif sebagai obyek pengajaran. Pendapat ini mendapat dukungan dari Suparno (2004: 30) yang menegaskan, bagi guru otoriter, dialah yang harus berbicara, menjelaskan, dan sebagai penentu baik dalam memilih bahan, memersiapkan bahan maupun mengolah bahan. Sedangkan siswa harus duduk diam, mendengarkan, dan mengikuti petunjuk guru. Guru yang otoriter juga sering mematikan kreativitas siswa dengan menjadikan jalan pikiran guru sebagai satu-satunya jalan yang benar. Sedangkan jalan pikiran siswa, cara siswa dalam memecahkan persoalan jika tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dianggap sebagai suatu yang salah dan disalahkan.

Pendapat tersebut dikuatkan oleh Rudolf Dreikurs & Pearl Cassel (1986), yang mengatakan bahwa gaya otoriter menganut paham tradisional yang menuntut perlunya tekanan, hukuman dan kerjasama melalui paksaan. Guru

mendidik murid untuk patuh, memaksa untuk belajar, menghukum setiap kesalahan dan menolak kebebasan yang aktif. Guru juga menganggap dirinya sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab dalam mengambil keputusan serta menentapkan tata tertib kepatuhan berdasarkan kemauan sendiri.

Perilaku guru tersebut mengakibatkan kekesalan para siswa karena kreativitasnya terhambat yang pada akhirnya merasa malas untuk belajar mata pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan ini kurang cocok untuk diterapkan dalam mengajar di kelas secara berlebihan. Hal ini telah disadari oleh guru fisika kelas VII dan VIII SMP PL I Yogyakarta, terbukti dari temuan empiris kalau persepsi terhadap gaya kepemimpinan ini hanya berada pada kualifikasi rendah dan sangat rendah.

Walaupun demikian, pada saat-saat tertentu guru merasa perlu untuk bertindak otoriter walaupun tidak melebihi batas terutama di saat keadaan kelas sangat kacau atau untuk mengejar target belajar tententu dalam belajar. Di sisi lain, ada siswa yang selalu memperoleh perlakuan terlalu demokratis atau bahkan laissez-faire dari orang tuanya sehingga sangat mudah memersepsikan gurunya otoriter. Hal ini terbukti dari temuan empiris kalau gaya otoriter memperoleh posisi pada kualifikasi rendah, artinya masih pernah diterapkan oleh guru. Pada saat itulah siswa merasa guru tersebut memang otoriter dan mengakibatkan motivasi belajarnya menurun.

Jika siswa mengalami dan melihat perlakuan otoriter dari guru maka akan terbentuk persepsi bahwa guru tersebut adalah otoriter. Jika siswa tersebut

belum terbiasa mengalaminya maka akan menjadi takut, pasif, tertekan, pendiam di kelas, yang akhirnya berdampak pada rendahnya motivasi untuk mempelajari materi yang diajarkan oleh guru tersebut. Maka, sangat tepat keputusan guru fisika kelas VII dan VIII SMP PL I Yogyakarta untuk jarang menerapkan gaya kepemimpinan ini. Karena dia sudah menyadari kalau gaya ini jika terlalu sering diterapkan akan berdampak negatif bagi semangat siswa untuk belajar.

Temuan kedua, ada hubungan negatif dan signifikan antara persepsi gaya laissez-faire dengan motivasi belajar siswa kelas VII dan VIII SMP PL I Yogyakarta. Artinya, semakin siswa memersepsikan gurunya sebagai orang yang laissez-faire maka motivasi belajarnya semakin menurun. Dengan kata lain, semakin sering siswa mengalami pola kepemimpinan laissez-faire dari guru fisika maka motivasi belajarnya semakin menurun.

Temuan ini cocok dengan kajian teori yang menyebutkan gaya laissez-faire bagi kelompok-kelompok tertentu terutama bagi siswa usia remaja, memberikan kontribusi yang negatif terhadap motivasi belajar siswa. Walaupun pola kepemimpinan ini memberikan kebebasan yang penuh kepada siswa untuk mengatur dan mengelola belajarnya sendiri, tapi kurang cocok bagi siswa SMP PL I Yogyakarta.

Bagi siswa, gaya laissez-faire hanya cocok untuk memimpin sekelompok orang yang tingkat kedewasaannya tinggi. Mereka merasa, bagaimana pun peran guru sangat diperlukan dalam belajar terutama untuk mendampingi, mengelola dan memandu pembelajaran jika salah arah, dan menanggapi

pendapat dan membantu menjawab pertanyaan siswa. Oleh karena itu, mereka menanggapi secara negatif gaya kepemimpinan laissez-faire ini.

Berdasarkan apa yang telah disampaikan dalam kajian teori, gaya laissez-faire memberikan kebebasan sepenuhnya kepada siswa untuk berbuat sesuatu dalam belajar di kelas. Guru yang bertipe ini tidak memberikan kontrol dan koreksi kepada siswa sama sekali, sedangkan keberhasilan siswa dalam belajar tergantung pada kesadaran dari siswa itu sendiri.

Rudolf Dreikurs & Pearl Cassel (1986: 2-3) mengungkapkan, guru laissez-faire terlalu mengutamakan kebebasan karena beranggapan bahwa tak ada orang yang tidak dapat berubah. Untuk itu, guru tidak perlu memberikan kontrol sedikit pun kepada siswa. Guru selalu mengampuni apa saja tindakan murid, berusaha membuka berbagai pengalaman belajar kepada murid agar mereka dapat memilih pengalaman mana yang bermanfaat, memberikan kebebasan kepada murid untuk belajar sendiri/kelompok, mengajar jika diminta oleh murid, tidak menyusun tahap-tahap pelajaran dan tidak membebani dengan soal-soal karena menganggap taraf pengetahuan murid berbeda-beda.

Oleh karena itu, Winkel (1996: 204) menyarankan agar gaya ini jangan diterapkan karena bisa membuat siswa cenderung memperhatikan dirinya sendiri dan kurang menghargai wewenang guru, bahkan siswa merasa kurang pasti dan bingung. Jika hal ini telah terjadi maka akan berdampak negatif pada motivasi belajar siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan secara empiris kebenaran pendapat tersebut.

Dari uraian tersebut di atas maka jelaslah gaya kepemimpinan laissez-faire tidak tepat jika sering diterapkan dalam mengajar siswa apalagi masih setingkat SMP. Hal ini telah disadari oleh guru fisika SMP PL I Yogyakarta sehingga gaya ini secara empiris hanya berada pada kualifikasi sangat rendah. Walaupun masih ada siswa yang memersepsikan dirinya sebagai orang yang laissez-faire, lebih disebabkan oleh latar belakang siswa itu sendiri yang telah terbiasa mendapat kepemimpinan yang otoriter, disiplin dan tegas dari orang tuanya. Guru juga sudah berkomitmen agar sedapat mungkin tidak bersikap laissez-faire dalam mengajar.

Berdasarkan temuan penelitian ini, maka tugas guru fisika baik kelas VII dan VIII SMP PL I Yogyakarta adalah untuk tetap menjaga agar jangan sampai siswa semakin memersepsikan dirinya sebagai guru yang laissez-faire, yakni dengan tetap menjaga sikap agar tidak menjurus pada ciri-ciri kepemimpinan laissez-faire. Hal ini baik dilakukan untuk meningkatkan motivasi siswa SMP PL I Yogyakarta dalam belajar fisika yang sudah cukup baik itu.

Temuan ketiga, ada hubungan positif dan signifikan antara persepsi gaya demokratis dengan motivasi belajar siswa baik siswa kelas VII maupun VIII SMP PL I Yogyakarta. Perbedaannya hanya pada besarnya angka koefisien korelasi. Untuk kelas VII, koefisien korelasinya sebesar 0,469 dibulatkan menjadi 0,5 (cukup kuat); kelas VIII koefisien korelasinya sebesar 0,806 (sangat kuat). Penentuan kekuatan korelasi tersebut berdasarkan klasifikasi yang dibuat Triton PB tahun 2006. Artinya, semakin siswa memersepsikan

bahwa gurunya sebagai guru yang demokratis maka motivasi belajarnya semakin meningkat. Atau bisa juga artikan semakin sering siswa mengalami pola kepemimpinan demokratis dari guru maka motivasi belajarnya semakin meningkat. Hal ini mengindikasikan kalau sambutan siswa terhadap penerapan gaya kepemimpinan demokratis sangat positif.

Menurut hemat penulis, keunggulan pola pengajaran demokratis terletak pada kualitas pengajaran demokratis itu sendiri. Dalam pengajaran demokratis, siswa memperoleh kesempatan yang lebih terbuka untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan, kebutuhan, harapan, pendapat, aktivitas, nilai-nilai, dan potensi pribadi dalam membangun motivasi belajarnya. Jadi, dalam pengajaran demokratis pencapaian motivasi dapat berlangsung sangat lancar.

Seperti yang ditegaskan oleh Suparno (2004:32), guru yang demokratis dalam mengajar lebih mementingkan siswa dalam proses pembelajaran dan bukan guru. Konsekuensinya, yang harus aktif belajar, mengulangi bahan dan mengolah bahan adalah siswa bukan guru. Aktif di sini bisa ditunjukkan dengan mengkritisi apa yang disampaikan guru, bertanya, mengemukakan pendapat, gagasan ide, latihan-latihan soal, dan bila mengalami kesulitan mempertanyakannya kepada guru. Guru yang bertipe ini memosisikan dirinya sebagai fasilitator dan mediator di tengah-tengah kelompok belajar dan menerapkan hubungan yang dialogis dalam mengajar.

Pendapat ini dikuatkan oleh Winkel (1986: 117), guru demokratis bertindak sebagai anggota kelompok, dan bersama siswa menentukan

bagaimana sebaiknya proses belajar diatur. Demikian pula dalam bersikap, guru yang bersifat demokratis cenderung bersikap ramah dan adil. Guru demokratis sangat menghargai pendapat dan gagasan siswa. Maka dari itulah gaya kepemimpinan ini sangat cocok jika diterapkan dalam mengajar siswa di kelas. Dan ternyata hal tersebut telah dilakukan oleh guru fisika kelas VII dan VIII SMP PL I Yogyakarta.

Beberapa hal menurut siswa yang menunjukkan bahwa guru mereka bersifat demokratis dalam mengajar antara lain: guru dan siswa bersama-sama menjaga ketenangan selama proses belajar mengajar di kelas, bukan hanya tanggung jawab guru sendiri. Guru juga sangat menghargai prestasi yang diperoleh siswa, guru menghargai pendapat siswa, guru bersama-sama siswa bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah, guru sangat menghargai niat para siswa untuk menyelesaikan soal-soal latihan walaupun masih banyak yang salah, dan setiap hasil diskusi siswa sangat dihargai oleh guru. Pendapat tersebut diperoleh dari item-item dalam kuesioner demokratis yang memperoleh jumlah skor lima besar.

Beberapa siswa juga mengatakan bahwa guru mereka sangat demokratis karena senang bila siswa berani mengemukakan pendapat, berani berdebat dengan guru karena dapat melihat dari segi yang lain. Guru juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan alternatif, menghargai niat para siswa yang mengerjakan soal dengan cara yang berbeda.

Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Suparno (2004: 35) tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh guru dalam mengajar agar terjadi proses pembelajaran yang demokratis antara lain:

1) Mengajak siswa aktif belajar 2) Siswa dibiarkan bertanya

3) Menggunakan metode ilmiah dalam proses penemuan sehingga siswa merasa menemukan sendiri pengetahuan mereka

4) Mengikuti pikiran dan gagasan siswa

5) Menggunakan variasi metode pembelajaran seperti kelompok, studi di luar kelas, maupun di luar sekolah

6) Melakukan kunjungan ke tempat pengembangan ilmu pengetahuan seperti museum dan laboratorium

7) Mengadakan pratikum terpimpin maupun bebas

8) Tidak mencerca siswa yang berpendapat salah atau lain 9) Menerima jawaban alternatif dari siswa

10) Kesalahan konsep siswa ditunjukkan secara arif

11) Siswa diberi waktu berpikir dan merumuskan gagasan mereka 12) Siswa diberikan kesempatan mengungkapkan pikirannya

13) Siswa diberi kesempatan dengan caranya sendiri untuk belajar dan menemukan sesuatu

14) Evaluasi yang kontinyu dengan skala proses.

Memang tidak semua ketentuan-ketentuan di atas dapat diterapkan oleh guru fisika SMP PL I Yogyakarta dalam mengajar di kelas karena

keterbatasan fasilitas, waktu dan tenaga. Namun, paling tidak sebagian besar telah ia terapkan dan hasilnya mampu membangkitkan semangat belajar siswa SMP PL I Yogyakarta dalam mempelajari fisika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru fisika dipersepsikan oleh siswa sebagai guru yang demokratis yang berpengaruh positif pada peningkatan motivasi belajar siswa. Beberapa hal yang menunjukkan kalau siswa memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar fisika yakni, memiliki harapan yang kuat untuk bisa menguasai fisika secara mendalam, memiliki kebanggaan jika memperoleh nilai yang tinggi dari teman-teman, merasa puas jika berhasil mengatasi kesulitan dalam belajar fisika, dan merasa puas jika berhasil mengerjakan soal-soal yang menantang tanpa bantuan orang lain.

Sumbangan (diskriminan) persepsi gaya kepemimpinan guru fisika dalam mengajar di kelas terhadap motivasi belajar siswa dapat diketahui dengan mengkuadratkan koefisien korelasi dari hubungan masing-masing gaya kepemimpinan dengan motivasi belajar siswa dikali seratus persen. Sumbangan gaya kepemimpinan terhadap peningkatan motivasi belajar siswa lebih jelas dapat dilihat pada tabel 19 di bawah ini.

Tabel 19: Sumbangan Masing-Masing Gaya Kepemimpinan Terhadap Motivasi Belajar Siswa

Kelas VII Kelas VIII Hubungan Variabel

r r2 r r2 Otoriter vs Motivasi - 0,452 0,204 (20,4%) - 0,582 0,338 (33,8%)

L-Faire vs Motivasi - 0,301 0,090 (9%) - 0,572 0,327 (32,7%) Demokratis vs Motivasi 0,469 0,219 (22%) 0,806 0,649 (65%)

Dari tabel 19 tentang sumbangan (diskriminan) masing-masing gaya kepemimpinan guru terhadap motivasi belajar siswa diketahui bahwa untuk kelas VII: gaya otoriter dan laissez-faire memberikan sumbangan masing-masing sebesar 20,4% dan 9% terhadap penurunan motivasi belajar siswa (tanda negatif). Sedangkan gaya demokratis memberikan sumbangan sebesar 22% terhadap peningkatan motivasi belajar siswa. Untuk kelas VIII: gaya otoriter dan laissez-faire masing-masing memberikan sumbangan 33,8% dan 32,7% terhadap penurunan motivasi belajar siswa (tanda negatif). Sedangkan gaya demokratis memberikan sumbangan sebesar 65% terhadap peningkatan motivasi belajar siswa. Dengan demikian, masih ada faktor lain yang mempengaruhi motivasi belajar siswa di luar variabel yang diteliti dalam penelitian ini.

Berdasarkan temuan penelitian, pembahasan dan pendapat para ahli, peneliti menemukan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, yakni persepsi gaya otoriter berpengaruh negatif terhadap motivasi belajar siswa, persepsi gaya laissez-faire juga berpengaruh negatif terhadap motivasi belajar siswa, dan persepsi gaya demokratis berpengaruh positif dalam pembentukan motivasi belajar siswa. Oleh karena itu, guru selayaknya menerapkan gaya kepemimpinan ini dalam mengajar di kelas. Hasil penelitian ini cukup penting dan bisa berlaku bagi seluruh guru SMP PL I Yogyakarta.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bagian ini, penulis akan menyimpulkan beberapa hal berkaitan dengan hasil penelitian. Kesimpulan ini tentunya hanya berlaku bagi populasi di mana penelitian ini dilaksanakan, yakni di SMP PL I Yogyakarta. Bagian saran, berisi masukan-masukan peneliti baik bagi guru, siswa, maupun peneliti lainnya yang akan mengambil topik yang sama atau yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai penutup dari laporan penelitian ini, yakni:

1. Persepsi gaya otoriter berhubungan negatif dan signifikan dengan motivasi belajar siswa. Artinya, semakin siswa memersepsikan guru fisikanya sebagai guru yang otoriter maka motivasi belajarnya semakin menurun.

2. Persepsi gaya laissez-faire berhubungan negatif dan signifikan dengan motivasi belajar siswa. Artinya, semakin siswa memersepsikan gurunya sebagai orang yang laissez-faire maka motivasi belajarnya semakin menurun.

3. Persepsi gaya demokratis mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan motivasi belajar siswa. Artinya, semakin siswa

memersepsikan gurunya sebagai orang yang demokratis dalam mengajar maka motivasi belajarnya semakin meningkat.

Dokumen terkait