• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

A. Kepemimpinan

4. Gaya Kepemimpinan

Menurut Purwanto (2002), gaya kepemimpinan adalah cara atau teknik seseorang dalam menjalankan sesuatu kepemimpinan. Sedangkan menurut Mulyasa (2003), gaya kepemimpinan merupakan cara yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Sama dengan kedua pendapat tersebut, Thoha (dalam Mulyasa, 2003) mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi orang lain seperti yang ia lihat. Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi menjadi amat penting.

Dari ketiga pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan merupakan pola tingkah laku dari seorang pemimpin untuk mempengaruhi orang lain untuk berbuat sesuatu agar dapat mencapai tujuan tertentu.

Menurut Kurt Lewin (Winkel, 1987: 117), ada tiga macam gaya kepemimpinan guru, yaitu: gaya kepemimpinan otoriter, gaya kepemimpinan laissez-faire, dan gaya kepemimpinan demokratis. Selanjutnya akan dibahas secara mendalam masing-masing gaya kepemimpinan tersebut.

a. Gaya Kepemimpinan Otoriter (Otokratis)

Secara harafiah, otoriter berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang (Syah, 1997: 235). Dalam proses belajar mengajar (PBM) di kelas, guru yang otoriter selalu mengarahkan dengan keras aktivitas para siswa tanpa tawar menawar. Hanya sedikit sekali kesempatan diberikan kepada siswa untuk berperan serta memutuskan cara yang terbaik untuk kepentingan belajar mereka. Memang diakui kebanyakan guru yang otoriter dapat menyelesaikan tugas mengajarnya secara baik sesuai rencana. Namun guru yang semacam ini sangat sering menimbulkan kemarahan dan kekesalan para siswa khususnya siswa pria, bukan saja karena wataknya yang agresif tetapi karena merasa kreativitasnya terhambat.

Menurut Suparno (2004: 29), pengajaran yang otoriter lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat pendidikan klasik, yang menekankan bahwa siswa itu tidak tahu apa-apa, sedangkan guru itu yang mengetahui dan mempunyai pengetahuan. Dengan demikian maka gurulah yang harus memberitahu atau memasukkan pengetahuan kepada siswa. Siswa hanya akan memperoleh pengetahuan bila mereka menerima yang diberikan guru. Dalam gambaran ini siswa sering dianggap seperti tabula rasa, kertas putih kosong, dan gelas kosong yang harus diisi oleh guru dengan pengetahuan.

Dalam sistem filsafat klasik tersebut, pengetahuan merupakan sesuatu yang sudah jadi dan terbentuk. Maka tugas guru adalah membawa pengetahuan itu dan memasukkannya ke dalam otak siswa. Siswa mau tidak mau harus menerima saja secara pasif pengetahuan itu sedangkan guru harus

aktif memasukkannya. Dengan demikian siswa telah menjadi objek pengajaran. Gurulah yang berbicara, yang menjelaskan, serta menjadi sumber pengetahuan.

Selain itu, guru adalah penentu semuanya baik dalam memilih bahan, mempersiapkan bahan termasuk mengolah bahan. Otoritas tertinggi adalah guru. Siswa hanya harus tunduk, diam, mendengarkan, dan mengikuti petunjuk. Dalam prakteknya, guru dapat menjadi otoriter dan memaksakan semua kehendaknya kepada siswa. Siswa tidak diberi kebebasan untuk mengungkapkan gagasan ataupun pendapatnya. Bahkan banyak terjadi, siswa dimatikan kreativitasnya dan dimarahi karena dianggap penggangu bila banyak usul di kelas. Salah satu cara mematikan siswa adalah dengan menjadikan jalan pikiran guru sebagai satu-satunya yang benar. Jalan pikiran, cara siswa memecahkan persoalan, bila tidak sesuai dengan yang diajarkan guru, disalahkan. Misalnya, siswa yang memecahkan persoalan fisika dengan cara yang berbeda dengan yang dijelaskan guru, disalahkan, meskipun jawaban itu benar dan rasional.

Model pengajaran yang paling banyak digunakan dalam sistem klasik adalah ceramah. Dengan model pengajaran seperti itu, gurulah yang aktif berceramah dan menjelaskan, sedangkan siswa mendengarkan dengan manis dan paling-paling mencatat. Semakin siswa tenang mendengarkan, semakin dianggap siswa yang baik.

Oleh karena guru harus menjadi segala-galanya, maka dari pihak guru dituntut untuk mengetahui semuanya atau paling tidak, merasa tahu

segala-galanya. Tugas berat seorang guru dalam filsafat ini adalah dia harus tahu semuanya, terutama bidang yang diajarkannya. Ia akan sangat malu bila ditanyai siswa dan tidak bisa menjawab. Untuk menutup malu itu, kadang terjadi guru menipu siswa dengan berpura-pura menjelaskan, tetapi sebenarnya keliru. Atau bahkan ada guru yang memarahi siswa yang bertanya karena telah membuat ia tidak dapat menjawab dan kehilangan muka di depan siswa lain. Guru merasa direndahkan bila harus terus terang mengatakan kepada siswa yang bertanya, “Maaf saya belum tahu jawabannya, besok pagi saya carikan di buku”.

Dalam konteks yang lebih luas, memimpin bagi pemimpin yang otoriter adalah menggerakkan dan memaksa anggota kelompoknya. Kekuasaannya hanya dibatasi oleh undang-undang. Penafsiran sebagai pemimpin tidak lain adalah menunjukkan dan memberikan perintah. Kewajiban anggota hanyalah mengikuti dan menjalankan, tidak boleh membantah atau mengajukkan saran.

Pemimpin berkarakter ini tidak menghendaki rapat-rapat atau musyawarah. Berkumpul atau rapat hanyalah menyampaikan instruksi-instruksi. Setiap perbedaan pendapat diantara anggota kelompoknya diartikan sebagai kepicikan, pembangkang, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang telah ditetapkan.

Kekuasaan yang berlebihan ini dapat menimbulkan adanya kecenderungan untuk mengabaikan perintah dan tugas jika tidak ada pengawasan secara langsung. Dominasi yang berlebihan ini mudah memunculkan oposisi terhadap kepemimpinan atau menimbulkan sikap

apatis, cemoohan, sikap keras, ketidakpuasan, ketidakpatuhan, pertengkaran dan penolakan berprestasi. Konsekuensi lain ialah siswa menjadi pengacau, terpencil di masyarakat, dan menjadi pelanggar hukum.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan otoriter merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan diputuskan oleh pimpinan.

Oleh karena itu, kepemimpinan gaya otoriter mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Sutarto, 1986: 73):

1) Wewenang mutlak terpusat pada guru 2) Keputusan selalu dibuat oleh guru 3) Kebijaksanaan selalu dibuat oleh guru

4) Komunikasi berlangsung satu arah dari guru ke siswa

5) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan para siswa dilakukan secara ketat

6) Prakarsa selalu datang dari guru

7) Tidak ada kesempatan bagi siswa untuk memberikan saran, pertimbangan atau pendapat

8) Tugas-tugas siswa diberikan secara instruktif 9) Lebih banyak kritik dari pada pujian

10) Guru menuntut prestasi sempurna dari siswa tanpa syarat 11) Guru menuntut kesetiaan mutlak tanpa syarat

13) Kasar dalam bertindak 14) Kaku dalam bersikap

15) Tanggung jawab keberhasilan kelompok hanya dipikul oleh guru

b. Gaya Kepemimpinan Laissez-faire

Dalam gaya kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Kepemimpinan laissez-faire bisa diartikan sebagai membiarkan siswa berbuat sekehendaknya. Guru yang mengajar dengan gaya ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan siswanya. Tingkat keberhasilan pembelajaran semata-mata hanya disebabkan oleh kesadaran dan dedikasi beberapa siswa dan bukan karena pengaruh dari gurunya.

Rudolf Dreikurs & Pearl Cassel (1986: 2-3) mengungkapkan, guru laissez-faire terlalu mengutamakan kebebasan karena beranggapan bahwa tak ada orang yang tidak dapat berubah. Untuk itu, guru tidak perlu memberikan kontrol sedikit pun kepada siswa. Guru selalu mengampuni apa saja tindakan murid, berusaha membuka berbagai pengalaman belajar kepada murid agar mereka dapat memilih pengalaman mana yang bermanfaat, memberikan kebebasan kepada murid untuk belajar sendiri/kelompok, mengajar jika diminta oleh murid, tidak menyusun tahap-tahap pelajaran dan tidak membebani dengan soal-soal karena menganggap taraf pengetahuan murid berbeda-beda.

Guru yang berwatak ini biasanya gemar mengubah arah dan cara pengelolaan proses belajar mengajar secara seenaknya, sehingga menyulitkan siswa dalam menyiapkan diri. Menurut Syah (1997), sesungguhnya guru berwatak ini tidak menyenangi profesinya sebagai pengajar atau pendidik meskipun mungkin memiliki kemampuan yang memadai. Ada kemungkinan sebagai pelarian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena tidak diterima di tempat kerja yang lain yang lebih ia sukai. Guru yang berperilaku seperti ini sering dijumpai di daerah-daerah pedalaman atau pun pinggiran, dimana pengawasan dan kontrol dari atasan sangat kurang. Mereka datang ke sekolah hanya sebentar setelah itu pergi. Siswa biasanya hanya disuruh mencatat di papan tulis. Guru lebih mementingkan kegiatannya di luar dibandingkan mengajar dan mendidik murid. Kepemimpinan ini menuntut kesadaran yang tinggi dalam diri siswa untuk belajar secara mandiri baik dalam memilih topik, tempat belajar, maupun waktu belajar. Kepemimpinan laissez-faire mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Sutarto, 1986: 77):

1) Guru melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada siswa 2) Keputusan lebih banyak dibuat oleh para siswa

3) Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh siswa

4) Guru hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh siswa

5) Hampir tidak ada pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan yang dilakukan oleh para siswa

6) Prakarsa selalu datang dari siswa 7) Hampir tidak ada pengarahan dari guru

8) Peran guru sangat sedikit dalam kegiatan kelompok/kelas

9) Kepentingan pribadi lebih utama dari pada kepentingan kelompok 10) Tanggung jawab keberhasilan kelompok dipikul oleh orang per

orang

c. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Pemimpin dengan gaya ini, menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota kelompok bukan sebagai majikan terhadap buruhnya, melainkan sebagai saudara tua di dalam kelompok tersebut. Dalam tindakan dan usahanya, pemimpin yang demokratis selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.

Dalam menjalankan tugasnya, ia mau menerima dan bahkan mengharapkan pendapat dan saran-saran dari kelompoknya. Kritik yang membangun dijadikannya sebagai umpan balik dan bahan pertimbangan dalam bertindak di hari-hari berikutnya. Selain itu, pemimpin yang demokratis juga selalu berusaha memupuk rasa kekeluargaan dan persatuan, memotivasi kelompoknya agar bersemangat dalam menjalankan dan mengembangkan daya kerjanya. Pemimpin yang demokratis juga memberikan kesempatan bagi timbulnya kecakapan memimpin pada anggotanya dengan jalan mendelegasikan sebagian kekuasaan dan tanggung jawabnya. Jadi, gaya

kepemimpinan demokratis mengandung makna memperhatikan persamaan hak dan kewajiban semua orang.

Dalam proses belajar mengajar di kelas, guru yang demokratis melandaskan diri pada filsafat konstruktivisme. Menurut Suparno (2004), filsafat ini lebih menekankan bahwa siswa sudah tahu sesuatu meski belum sempurna, guru bukan maha tahu, dan siswa dapat belajar sendiri. Menurut filsafat ini pengetahuan merupakan bentukan (konstruksi) siswa sendiri, bukan sesuatu yang sudah jadi dan tinggal dimasukkan ke dalam otak siswa, tetapi sesuatu proses yang harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksikan oleh siswa itu sendiri. Siswa hanya akan tahu bila mereka sendiri yang belajar. Tugas guru adalah membantu siswa agar mau belajar sendiri secara aktif.

Sehingga yang terpenting dalam proses belajar dalam hal ini adalah siswa, bukan guru. Yang harus aktif belajar, mengulangi bahan dan mengolah bahan adalah siswa. Akibatnya, dalam sekolah yang akan terlihat aktif bukanlah guru tetapi siswa. Siswa harus bertanya, aktif mengerjakan sesuatu bahan, aktif membuat laporan dan aktif dalam mengungkapkan gagasannya. Sehingga ini memang proses pembelajaran siswa, bukan pengajaran guru.

Peran utama guru adalah sebagai fasilitator dan mediator. Guru lebih membantu siswa agar aktif belajar dan menemukan pengetahuan mereka. Maksudnya, guru lebih pada merangsang siswa belajar, mendukung, memberikan motivasi agar terus belajar, memantau dan mengevaluasi apa yang ditemukan siswa. Guru menanyai, mendengarkan, memperhatikan, menyemangati dan menemani siswa dalam belajar. Guru juga menantang

siswa, mempersoalkan pengertian yang mereka temukan, mencari bersama, dan saling mengkomunikasikan pemikiran mereka.

Maka, dalam gaya pembelajaran seperti ini guru tidak akan senang bila siswa diam saja, tunduk, atau tidak kreatif. Tetapi ia lebih senang bila siswa aktif dan punya macam-macam kreativitas, berani mengungkap gagasan mereka dan berdebat dengan guru apabila mereka mempunyai segi yang lain. Guru juga sangat menghargai siswa yang dapat mengerjakan sesuatu persoalan dengan cara-cara yang berbeda dengan yang dijelaskannya. Kebebasan berpikir dan berpendapat sangat dihargai dan diberi ruang. Sehingga, suasana kelas akan sungguh hidup, menyenangkan, dan menyemangati siswa untuk belajar.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan demokratis memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Sutarto, 1986: 75):

1) Wewenang guru tidak mutlak

2) Guru bersedia melimpahkan sebagian wewenangnya kepada siswa 3) Keputusan dibuat bersama antara guru dan siswa

4) Kebijaksanaan dibuat bersama antara guru dan siswa

5) Komunikasi berlangsung timbal balik, baik antara guru dan siswa maupun antara sesama siswa

6) Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan, atau kegiatan para siswa dilakukan secara wajar

8) Banyak kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan saran, pertimbangan atau pendapat

9) Tugas-tugas kepada siswa diberikan dengan lebih bersifat permintaan dari pada instruktif

10) Pujian dan kritik seimbang

11) Guru mendorong prestasi sempurna dari siswa di dalam batas kemampuan masing-masing

12) Guru meminta kesetiaan kepada siswa secara wajar

13) Guru memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak

14) Terdapat suasana saling percaya, saling hormat menghormati dan saling harga menghargai

15) Tanggung jawab keberhasilan kelompok dipikul bersama antar guru dan siswa

Dalam Prakteknya tidak seorang pun yang dapat menerapkan salah satu gaya kepemimpinan di atas secara mutlak. Menurut Mangunhardjana (dalam Mealin, 2004), kebanyakan pemimpin mencampur banyak gaya kepemimpinan. Dengan mencampur banyak gaya tersebut diakui paling efektif dan tepat untuk memimpin banyak orang yang tentunya satu dengan yang lain memiliki sifat, sikap, dan latar belakang yang berbeda sehingga bila dipimpin dengan menggunakan salah satu secara mutlak diterapkan justru menimbulkan pengaruh yang tidak baik bagi perkembangan siswa.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seorang pemimpin. Faktor-faktor tersebut ialah keahlian dan pengetahuan, jenis

pekerjaan/lembaga, sifat-sifat kepribadian pemimpin, sifat-sifat kepribadian siswa, persepsi siswa dan sanksi-sanksi yang diberikan. Dalam hal sifat-sifat kepribadian siswa berdasarkan teori situasional, faktor dominan yang menentukan perilaku pemimpin adalah tingkat kedewasaan siswa itu sendiri.

Ada tiga tingkat kematangan siswa, yaitu: 1) Siswa yang tingkat kematangan kurang, dipandang tidak mau menjalankan tugas yang diberikan dan memikul tanggung jawab untuk berbuat sesuatu secara mandiri. Kalau pun ada hanya siswa tertentu saja. Mereka akan berbuat sesuatu jika ada perintah dan tuntunan dari guru. Biasanya motivasi mereka untuk mencari hal-hal baru dan memikirkannya sangat rendah dan kalau pun ada sangat sedikit. Untuk membantu supaya mereka berkembang dibutuhkan bimbingan, pengawasan yang ketat dan kerja keras dari guru sebagai pemimpin. 2) Siswa yang tingkat kematangan sedang/madya, dianggap sudah mampu belajar mandiri dan menyelesaikan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka dengan baik tanpa harus ada pengarahan, bimbingan, maupun pengawasan dari guru. Tetapi mereka tidak rela berbuat apa yang diinginkan gurunya karena merasa kurang mantap atau kurang percaya diri. 3) Siswa yang tingkat kematangan tinggi, dianggap sebagai orang yang mampu dan rela menyelesaikan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka secara mandiri.

Dari uraian tersebut dapat dikemukakan hubungan antara gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan siswa sebagai berikut: 1) Gaya kepemimpinan otoriter tepat untuk mempengaruhi perilaku siswa yang tingkat kematangannya rendah; 2) Gaya kepemimpinan demokratis tepat untuk

mempengaruhi perilaku siswa yang tingkat kematangan sedang; 3) Gaya kepemimpinan leissez-faire tepat untuk mempengaruhi perilaku siswa yang tingkat kematangan tinggi.

Dokumen terkait