• Tidak ada hasil yang ditemukan

1) Selatan P. Ngenang Ss 3 42.2 sedang

Ss 1 61.2 baik Ss 2 45.0 sedang 2) Barat P. Ngenang Ss 3 42.3 sedang Ss 1 37.8 sedang Ss 2 47.2 sedang BAGIAN BARAT Kec. Belakang Padang

1) Selatan P. Lengkang Ss 3 53.8 baik

Ss 1 34.4 sedang

Ss 2 47.4 sedang

2) Timur P. Lengkang Ss 3 39.7 sedang

Kondisi terumbu karang di bagian timur Kota Batam (kedalaman 10 meter) Pengamatan kondisi terumbu karang di bagian timur Kota Batam dilakukan pada 2 lokasi di Kecamatan Nongsa, yaitu sebelah barat Pulau Ngenang dan selatan Pulau Ngenang/Kubung. Dari hasil pengamatan terhadap persentase tutupan karang hidup pada sebagaian besar stasiun pengamatan pada umumnya termasuk rusak (sedang) dan hanya pada satu stasiun pengamatan saja ditemukan masih dalam kondisi baik, yaitu pada Ss1 (61.2%) di sebelah barat Pulau Ngenang. Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001), kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan terumbu karang di Kecamatan Nongsa status mutunya berada pada tingkatan rusak. Diduga kerusakan terumbu karang di lokasi ini karena di sekitar stasiun pengamatan terdapat banyak industri, bahkan pada saat dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dijumpai di daerah Kabil-Kecamatan Nongsa terdapat beberapa industri sedang memperluas kawasannya dengan melakukan reklamasi pantai yang tentunya akan berdampak terhadap meningkatnya kekeruhan perairan serta menurunkan kualitas perairan laut di sekitarnya. Turunnya kualitas perairan laut ini akan mengganngu kelangsungan hidup terumbu karang di lokasi ini.

Kondisi terumbu karang di bagian barat Kota Batam kedalaman 10 meter) Pengamatan terhadap terumbu karang di bagian barat Kota Batam dilakukan pada 2 lokasi di Kecamatan Belakang Padang, yaitu disebelah timur dan selatan Pulau Lengkang. Hasil pengamatan terhadap persentase tutupan karang hidup menunjukkan bahwa pada sebagaian besar stasiun pengamatan pada umumnya termasuk rusak (sedang) dan hanya pada satu stasiun pengamatan saja ditemukan masih dalam kondisi baik, yaitu pada Ss3 (53.8%) di sebelah selatan Pulau Lengkang. Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001) maka kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan terumbu karang di Kecamatan Nongsa status mutunya berada pada tingkatan rusak. Kerusakan terumbu karang di daerah ini kemungkinan besar disebabkan oleh dampak dari kegiatan industri yang ada di sekitar stasiun pengamatan. Berdasarkan

pengamatan langsung, beberapa industri yang ada di sekitar stasiun pengamatan di antaranya beberapa industri galangan kapal (Shipyard), pertamina dan lain-lain.

Bentuk pertumbuhan karang yang ditemukan di lokasi penelitian antara lain: Acropora Branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Tabulate (ACT) dan Non Acropora yaitu: Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Mushroom (CMR), Coral Submassive (CS) dan Soft Coral (SC).

Secara umum, karang mati yang menyusun substrat dasar perairan pada lokasi penelitian adalah karang mati yang ditumbuhi alga (Dead Coral with Alga). Dead Coral with Alga (DCA) ini hampir ditemukan pada setiap substasiun pengamatan. Persentase penutupan DCA ini berkisar antara 12.6% - 41.3% pada kedalaman 3 meter dan 3% - 67.4% pada kedalaman 10 meter. Selain DCA, juga ditemukan patahan karang dengan penutupan yang bervariasi pada setiap sub- stasiunnya. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pada lokasi pengamatan telah terjadi kerusakan karang yang berlangsung dalam waktu lama.

Keberadaan terumbu karang secara nyata mendukung produksi perikanan laut di daerah tersebut (Tabel 35). Berdasarkan Tabel 35 terlihat bahwa jenis ikan karang memberikan kontribusi terbesar dalam volume maupun nilai, selanjutnya diikuti oleh udang dan moluska.

Tabel 35 Data hasil tangkapan ikan di sekitar terumbu karang di Barelang, 1996

Udang Ikan Karang Moluska

Lokasi Produksi (ton/th) Nilai (US$) Produksi (ton/th) Nilai (US$) Produksi (ton/th) Nilai (US$) Batam 1 033.9 11 166 120 1 811.0 19 952 600 360.0 864 000 Sumber : Buku Tahunan Statistik Perikanan Propinsi Riau (1996).

Padang Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup di bawah permukaan air laut. Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir, sering juga dijumpai di ekosistem terumbu karang. Lamun dapat membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut yang masih terjangkau oleh cahaya matahari dengan tingkat energi cahaya yang memadai bagi pertumbuhannya. Berlawanan dengan tumbuhan lain yang hidup terendam dalam laut (misalnya ganggang/alga laut), lamun mempunyai sirkulasi air yang baik. Air yang mengalir inilah yang menghantarkan zat-zat hara atau nutrien dan oksigen serta mengangkut hasil metabolisme lamun, seperti karbon dioksida (CO2) ke luar daerah padang lamun. Secara umum, semua tipe dasar laut dapat ditumbuhi lamun, namun padang lamun yang luas hanya dijumpai pada dasar laut lumpur berpasir lunak dan tebal.

Seperti halnya ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun juga merupakan salah satu ekosistem yang paling produktif dan dapat terletak di sekitar hutan mangrove atau berada di antara ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ekosistem ini menyokong berbagai biota laut. Banyak jenis-jenis ikan, crustacea, teripang dan bivalva yang memanfaatkan padang lamun sebagai nursery ground

dan feeding ground. Keanekaragaman jenis di padang lamun berkisar antara

292-10 644 individu/m2. Dengan semacam batang yang menyerupai akar, memanjang secara horizontal di dalam sedimen, lamun berperan menstabilkan sedimen dasar. Keberadaan lamun membuat sedimen yang tersuspensi cenderung berakumulasi dan terjebak di “daun” lamun. Sedimen ini terkadang mengandung bahan organik tinggi yang memberikan kontribusi terhadap tingginya produktivitas ekosistem padang lamun. Tingginya produktivitas inilah yang dapat menjadi daya tarik kedatangan ikan, penyu, hewan mamalia untuk mencari makan atau memijah. Bahkan beberapa jenis ikan tertentu menggunakan lamun sebagai tempat untuk menghindari predator. Keberadaan lamun dapat memberikan indikasi tentang sehat atau tidaknya ekosistem laut. Adanya tanda-tanda bila ekosistem ini mulai menghilang berarti ada masalah yang sedang terjadi di perairan tersebut (PERTAMINA, 2002).

Dalam keterangan lainnya, PERTAMINA (2002) menyebutkan bahwa produktifitas padang lamun sangat tergantung pada sejumlah faktor, yaitu salinitas, temperatur dan kekeruhan. Padang lamun sangat sensitif terhadap degradasi lingkungan akibat aktivitas pertanian, industri dan pencemaran limbah domestik. Kegiatan yang paling potensial mengancam keberadaan ekosistem padang lamun adalah penambangan pasir karena kegiatan ini bukan hanya menghancurkan secara langsung, tetapi juga tidak langsung melalui peningkatan kekeruhan air dan depososi sedimen yang berlebihan.

Di Indonesia sedikitnya ada 7 marga dan 13 spesies lamun yang menempati daerah yang sangat luas, yaitu sekitar 30 000 km2. Penyebaran ekosistem padang lamun di Indonesia mencakup perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Jenis-jenis lamun yang biasa dijumpai di perairan Indonesia di antaranya Halodule uninervis, Halodule pinifolio, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum, Enhalus acoriodes, Halophila beccari,

Halophila minor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, dan Thalassia

hemprichii (Hutomo, 1985).

Analisis padang lamun di perairan Kota Batam dilakukan berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari hasil-hasil studi sebelumnya dan litertur-literatur lainnya karena tidak dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Berikut disajikan distribusi lamun di pesisir Kota Batam dan sekitarnya seperti pada Gambar 11.

PKSPL-IPB (2001) mencatat bahwa padang lamun di Kota Batam dijumpai di Barelang, yaitu di perairan pantai/laut di Belakang Padang, Batuaji, Nongsa, Batu Ampar, pantai timur Rempang dan pantai timur Galang. Jenis lamun yang ditemukan terdiri dari empat jenis, yaitu Halodule uninervis,

Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, dan Enhalus acoriodes.

Kondisinya termasuk jarang hingga sedang. Dengan mengacu pada KEPMEN LH Nomor: 200 Tahun 2004 maka berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa status padang lamun di daerah ini termasuk dalam kategori rusak. Kondisi demikian akan mempengaruhi fungsi padang lamun yang ada di perairan tersebut.

Fungsi padang lamun di lingkungan pesisir adalah sebagai berikut:

♦ Sistem perakaran lamun yang padat dan saling menyilang dapat menstabilkan dasar laut dan mengakibatkan kokoh tertanamnya lamun dalam dasar laut;

♦ Padang lamun berfungsi juga sebagai perangkap sedimen yang kemudian diendapkan dan distabilkan;

♦ Padang lamun segar merupakan makanan ikan duyung (yang sebenarnya bukan sejenis ikan, melainkan hewan menyusui), penyu laut, bulu babi, dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan daerah penggembalaan

(grazing ground) yang penting artinya bagi hewan-hewan laut tersebut. Ikan

laut lainnya dan udang tidak makan daun segar melainkan serasah (detritus) dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh arus ke perairan di sekitar padang lamun;

♦ Padang lamun merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan berukuran kecil) dan udang. Pada permukaan daun lamun, hidup melimpah ganggang-ganggang renik (biasanya ganggang bersel tunggal) disebut perifiton, hewan-hewan renik dan mikroba yang merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di sekitar padang lamun;

♦ Banyak ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar. Bagi larva-larva ini, padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhannya. Dengan demikian, merusak padang lamun berarti pula merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva tersebut.

♦ Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni padang lamun dari sengatan sinar matahari; dan

♦ Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk. Misalnya samo-samo (Enhalus acoroides) oleh penduduk di Kepulauan Seribu telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan (Nontji, 1987).

Berdasarkan keterangan yang diolah dari data PRC (1998) dan Riau Coastal Zone Local Management Planning (1999) diketahui bahwa di wilayah

pesisir Barelang terdapat total lamun seluas 5 758.1 hektar dengan hamparan paling luas ditemukan di Pulau Batam, yaitu 3 238.2 hektar (Tabel 36).

Tabel 36 Luas padang lamun di wilayah pesisir Barelang, 2002 Lokasi Garis Pantai

(km) Luas Lamun (ha) Batam 266 3 238.2 Rempang 88 1 071.3 Setoko 21 255.6 Galang 98 1 193.0 Total 473 5 758.1

Sumber : Diolah dari data PRC (1998) dan Riau Coastal Zone Local Management Planning (1999)

PRC (1998) menyebutkan bahwa hamparan padang lamun yang terdapat di daerah pesisir Barelang yang paling luas terdapat di pantai Timur Rempang dan Galang dan di ujung Selatan Galang Baru. Spesies yang dominan adalah rumput pita yang tinggi (Enhalus acoroides), yang sangat umum dan membentuk dataran luas. Golongan lain yang ditemukan termasuk Cymodocea dan Syringodium. Pada beberapa daerah, padang lamun ini ditutupi oleh ganggang epifit dan sedimen yang mungkin menunjukkan adanya eutrofikasi (masukan makanan yang berlebih) dan stres karena sedimentasi.

Menurut PERTAMINA (2002) disebutkan bahwa lamun yang ditemukan di Pulau Batam dan sekitarnya adalah jenis Enhallus, di antaranya dijumpai di Pulau Mecan, Pulau Layang, Pulau Bekajang, Pulau Mimpi, Pulau Lengkang, Pulau Lengkana, Pulau Sambu, Pulau Belakang Padang, Pulau Sekilak, Pulau Bokur, pantai Batu Merah dan pantai Tanjung Sengkuang.

Produksi perikanan padang lamun diperoleh berdasarkan atas perhitungan produksi perikanan dari data Statistik Perikanan Propinsi Riau (Tabel 37). Seperti halnya juga produksi ikan di sekitar terumbu karang, statistik ini juga hanya menyajikan hasil tangkapan di Batam. Sementara, jumlah hasil tangkapan di Rempang dan Galang tidak tersedia. Hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun dapat dikelompokkan sebagai ikan dan udang. Volume dan nilai hasil tangkapan jenis ikan lebih dominan dibandingkan dengan udang. Berdasarkan data hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun Batam tahun 1996 diperoleh

udang sebanyak 402.2 ton/th dengan nilai US$ 4 343 760.00 dan ikan sejumlah 1 017.8 ton/th dengan nilai US$ 6 717 480.00.

Tabel 37 Data hasil tangkapan ikan di sekitar padang lamun Batam, 1996

Udang Ikan

Lokasi

Produksi (ton/th)

Nilai (US$) Produski (ton/th)

Nilai (US$)

Batam 402.2 4 343 760 1 017.8 6 717 480

Sumber : Buku Tahunan Statistik Perikanan Propinsi Riau (1996). Sumberdaya Perikanan

Kota Batam merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 325 buah pulau besar dan kecil dengan panjang pantai sekitar 1 261 Km dan luas laut sekitar 289.300 hektar. Wilayah laut ini merupakan bagian terbesar, yaitu sekitar 74% dari wilayah Kota Batam. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa wilayah laut yang dominan itu memiliki potensi sumberdaya yang masih cukup besar tetapi belum dimanfaatkan dengan baik.

Belum optimalnya pengembangan potensi sumberdaya pesisir dan laut di Kota Batam disebabkan oleh masih terkonsentrasinya aktivitas di wilayah daratan. Padahal berbagai aktivitas yang dilakukan di wilayah daratan Kota Batam cenderung memberikan tekanan terhadap sumberdaya yang ada di wilayah bagian bawahnya (pesisir dan laut). Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya hasil tangkapan ikan olah para nelayan khususnya nelayan pantai. Keadaan ini terjadi karena menurunnya kualitas lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas perairan Kota Batam.

Dalam rangka untuk mengetahui potensi sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Kota Batam maka salah satunya telah dilakukan pendataan melalui kegiatan identifikasi data perikanan yang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam pada tahun 2004. Kegiatan identifikasi data perikanan dilakukan pada 8 kecamatan dan 51 kelurahan yang meliputi 96 pulau berpenghuni, baik di pulau besar maupun pulau kecil. Adapun nama-nama pulau yang diidentifikasi seperti dalam Tabel 38. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batam Nonor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam

Tahun 2004-20014 disebutkan bahwa Kota Batam memiliki lebih dari 400 pulau dan 329 diantaranya telah memiliki nama, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara.

Dari Tabel 38 memperlihatkan bahwa pulau-pulau berpenghuni yang paling banyak terdapat di Kecamatan Galang. Selain itu tabel tersebut menggambarkan bahwa wilayah kecamatan yang masyarakatnya dominan terhadap aktivitas di laut secara berurutan adalah Kecamatan Galang, Belakang Padang, Bulang, Nongsa, Sei Beduk, Sekupang, Batu Ampar dan Lubuk Baja.

Tabel 38 Daftar nama-nama pulau yang teridentifikasi berpenghuni di Kota Batam

Kecamatan Nama Pulau/Perkampungan

1. Galang 1) P. Abang, 2) P. Petong, 3) Airsaga, 4) P. Nguan, 5) P. Karas, 6) P. Panjang, 7) Tg. Culim, 8) Tg. Kertang, 9) Tolop, 10) Kp. Baru, 11) Tg. Pengapit, 12) Tg. Linau, 13) Sincaran, 14) Mubut, 15) Jemara, 16) Pl. Telunjuk, 17) Subang Mas, 18) Tg. Kalok, 19) P. Jemara, 20) Monggak, 21) Pasir Panjang, 22) Blongkeng, 23) Kp. Baru Cate, 24) Tebing Tinggi, 25) Rempang Cate, 26) Air Raja, 27) Dapur 3, 28) Dapur 6, 29) Sembulang, 30) Sijantung, 31) Tg. Banun dan 32) Sembur.

2. Bulang 1) Setokok, 2) P. Panjang, 3) P. Akar, 4) P. Kalong, 5) Temoyong, 6) Selat Nenek, 7) P. Aweng, 8) Pl. Cengkul, 9) Pl. Juna 10) P. Jaloh, 11) P. Buluh, 12) P.Air, 13) P. Labu, 14) Bulang Lintang, 15) Bulang Kebam dan 16) P. Seraya.

3. Belakang Padang 1) Belakang Padang, 2) P. Lengkang, 3) P. Sarang, 4) Mecan, 5) P. Mongkol, 6) P. Kasu, 7) P. Pecung, 8) P. Granting, 9) P. Tumbar, 10) P. Terung, 11) Teluk Banun, 12) Teluk Bakau, 13) Teluk Sunti, 14) Teluk Kangkung, 15) Pekasing, 16) P. Bertam, 17) P. Lingke, 18) P. Saga dan 19) P. Sekanak.

4. Sei Beduk 1) Tg. Piayu Darat, 2) Tg. Piayu Laut, 3) Desa Bagan, 4) Kapling Bagan, 5) Tg. Gunadap, 6) P. Lance, 7) Dapur 12, 8) P. Sekenah dan 9) P. Teraling.

5. Nongsa 1) P. Ngenang, 2) P. Kubung, 3) P. Todak, 4) Punggur, 5) P. Kasam, 6). Sungai Kasam, 7) Teluk Bakau, 8) Batu Besar, 9) Kmp. Melayu dan 10) Kabil.

6. Sekupang 1) Kelurahan Tg. Riau, 2). P. Seraya, 3) Patam Lestari dan 4) Tanjung Uncang.

7. Batu Ampar 1) Tg. Sengkuang, 2) Bengkong Laut dan 3) Batu Merah. 8. Lubuk Baja 1) Tanjung Uma

Potensi sumberdaya perikanan di Kota Batam meliputi perikanan tangkap, akuakultur dan marikultur. Distribusi sumberdaya perikanan tangkap, akuakultur dan marikultur di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 12.

Kegiatan perikanan di Kota Batam secara umum meluputi perikanan tangkap dan budidaya. Namun yang paling dominan yang dilakukan oleh masyarakat sampai saat ini adalah kegiatan perikanan tangkap, sedangkan kegiatan perikanan budidaya masih belum berkembang (Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam , 2004). Hal ini sejalan dengan hasil kajian yang dilakukan oleh PKSPL-IPB (1998) yang mengemukakan bahwa kegiatan perikanan di perairan Batam yang utama adalah perikanan tangkap. Para nelayan pada umumnya menggunakan alat tangkap yang sederhana seperti bagan (kelong), bubu, gill net, pancing, trammel net dan lampara dasar. Kapal yang digunakan untuk operasi penangkapan oleh nelayan dari Kota Batam sekitar 60-66% sudah menggunakan motor tempel (MT).

Daerah penagkapan ikan yang utama di Kota Batam adalah di perairan sekitar Batam, khususnya di wilayah Kecamatan Galang dan Bulang, dimana merupakan daerah yang populer bagi nelayan Batam yang mempunyai peralatan sedikit modern. Bagi para pengusaha pemilik modal, wilayah penangkapan ikan di perairan Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang sangat menjanjikan. Sedangkan bagi nelayan kecil yang kehidupannya secara ekonomi belum memadai lebih banyak memanfaatkan perairan di sekitar tempat tinggalnya sebagai daerah penangkapan ikan ((Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam, 2004). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh PKSPL-IPB (1998) disebutkan bahwa daerah operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan pada umumnya tidak jauh, yaitu sebelah selatan Pulau Batam dan Pulau Bintan, dimana pengoperasiannya dilakukan secara harian (one day trip).

Gambar 12 Daerah penangkapan ikan (fishing ground), budidaya udang (shrimp culture), budidaya ikan (fish culture) dan budidaya rumput laut (seaweed culture) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya (Ministry of State for Environment, 2000)

Beberapa jenis ikan yang tertangkap oleh para nelayan dari Kota Batam dan mempunyai kuantitas cukup besar terdiri dari ikan selangat, ungar dan teri, yang termasuk dominan dibandingkan dengan jenis-jenis ikan lainnya (Tabel 39). Tabel 39 Nama ikan yang tertangkap nelayan dari Kota Batam dan

Kabupaten Kepulauan Riau (khusus Pulau Bintan) (PKSPL-IPB, 1998)

No. Nama setempat Nama latin

1. Selangat * Leiognathus brevirostris

2. Selar Caranx spp 3. Ungar * - 4. Kerapu Epinephelus spp 5. Sembilang Plotusus spp 6. Tenggiri Scomberomorus spp 7. Bawal Stromateus spp

8. Kakap Lates calcalifer

9. Kurau Polynemus spp

10. Teri * Stolephorus spp

Keterangan: * = Ikan dominan

Berdasarkan data dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004) disebutkan bahwa jenis-jenis ikan yang ditangkap olah nelayan Kota Batam sebagian besar merupakan ikan-ikan karang. Ikan-ikan karang tersebut merupakan ikan yang bernilai ekonomi tinggi. Ikan-ikan ini umumnya ditangkap para nelayan di sekitar perairan tempat tinggalnya. Beberapa jenis ikan dan udang yang sering ditangkap oleh nelayan Kota Batam disajikan dalam Tabel 40.

Bila dilihat dari Rumah Tangga Perikanan (RTP) pada setiap Kecamatan di Kota Batam diklasifikasikan dalam RTP perikanan laut dan RTP budidaya laut. Gambaran mengenai distribusi jumlah RTP dan anggota keluarga serta persentase perbandingannya dengan jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan adalah seperti disajikan dalam Tabel 41.

Tabel 40 Jenis-jenis ikan dan udang yang sering ditangkap oleh nelayan Kota Batam dan memiliki nilai ekonomis tinggi

Nama Lokal Nama Latin (Ilmiah)*

1. Ikan Ekor Kuning Caesio erythrogaster

2. Ikan Bulat (Selar) Caranx sexfasciatus

3. Ikan Sagai Caranx sp

4. Ikan Parang-parang Chirocentrus dorab

5. Ikan Kerapu Tikus/Bebek Cromileptes altivelis

6. Ikan Kurau Putih Eleutheronema tetradactylum

7. Ikan Kuaru Hitam Eleutheronema spp.

8. Ikan Kerapu Hitam (Kerapu lumpur) Epinephelus tauvina

9. Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus

10. Ikan Gelam/Mata Kucing Lates sp.

11. Ikan Kakap Merah Lutjanus sp.

12. Ikan Kakap Putih Lutjanus sp.

13. Ikan Ungar Lutjanus sp.

14. Cumi-cumi Loligo spp.

15. Ikan Bawal Putih Stronemateus cinereus

16. Ikan Bawal Hitam Stronemateus niger

17. Udang Kara Panulirus versicolor

18. Udang Apollo Panaeus mergueiensis

19. Udang Windu Panaeus monodon

20. Ikan Kerapu Merah (Sonu) Plectropoma sp.

21. Rajungan Portunus pelagicus

22. Ikan Tengiri Scomberomorus commerson

23. Ketam Bakau Scylla serrata

24. Sontong Batu Sepla spp.

25. Ikan Dingkis Siganus sp.

26. Ikan Lebam Siganus sp.

27. Ikan Dingkis Siganus sp.

28. Gonggong Strombus sp.

29. Ikan Ketarap -

30. Ikan Mentimun -

31. Udang Pantai -

* nama-nama ilmiah ikan disempurnakan menurut Schuster dan Djajadiredja (1952) Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)

Tabel 41 Jumlah rumah tangga perikanan, jumlah anggota keluarga dan jumlah penduduk Kota Batam per kecamatan

Jumlah RTP dan Anggota Keluarga

Kecamatan Penduduk RTP Anggota Jumlah % *)

Tahun 2003 Keluarga 1. Galang 13 929 2 316 7 982 10 298 73.9 2. Bulang 8 693 1 312 4 899 6 211 71.4 3. Belakang Padang 19 741 2 337 9 358 11 695 59.2 4. Sei Beduk 126 976 512 1 705 2 217 1.7 5. Nongsa 85 690 420 1 046 1 466 1.7 6. Sekupang 116 441 229 986 1 215 1.0 7. Batu Ampar 124 516 154 408 562 0.5 8. Lubuk Baja 66 675 127 635 762 1.1 Total 562 661 7 407 27 019 34 426 6.1 *) Perbandingan antara jumlah RTP dan anggota keluarga dengan jumlah penduduk

pada setiap kecamatan

Sumber : Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Batam (2004)

Berdasarkan Tabel 41 menunjukkan bahwa dilihat dari jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP), Kecamatan Belakang Padang memiliki jumlah RTP terbanyak, yaitu 2 337 RTP, sedangkan RTP paling sedikit terdapat di Kecamatan Lubuk Baja, yaitu 127 RTP. Apabila dilihat dari anggota keluarganya, terlihat bahwa terbanyak terdapat di Kecamatan Belakang padang sebanyak 9 358 jiwa dan terkecil dijumpai di Kecamatan Batu Ampar, yaitu 408 jiwa.

Selain itu, berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar nelayan Kota Batam tinggal di wilayah Kecamatan Belakang Padang, Galang dan Bulang sebagaimana terlihat dari jumlahnya yang terbanyak, yaitu masing-masing 11 695 jiwa, 10 298 jiwa dan 6 211 jiwa. Demikian halnya bila dilihat dari persentase dari jumlah RTP dan anggota keluarganya dibandingkan dengan jumlah penduduk pada setiap kecamatan menunjukkan bahwa ketiga kecamatan tersebut memiliki persentase yang paling besar dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kota Batam, yaitu Kecamatan Galang (73.9%), Bulang (71.4%)dan Belakang Padang (59.2%). Hal ini mencerminkan bahwa sebagian besar penduduk di 3 (tiga) wilayah kecamatan tersebut bermata pencaharian sebagai nelayan. Apabila dilihat dari perbandingan secara keseluruhan maka dapat dikatakan bahwa penduduk yang bermata-pencaharian sebagai nelayan pada thun 2003 jumlahnya sekitar 6.1% dari total jumlah penduduk Kota Batam.

Tabel 42 memperlihatkan bahwa perikanan tangkap masih merupakan mata pencaharian sebagian besar nelayan Kota Batam, sedangkan kegiatan perikanan budidaya belum banyak berkembang di daerah ini. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada saat penelitian di lapangan dengan masyarakat di wilayah pesisir Kota Batam ditemukan faktor penghambat terhadap perkembangan budidaya ikan di daerah ini, yaitu sulitnya memperoleh bibit dan pakan ikan serta waktu pemeliharaan yang dianggap lama.

Tabel 42 Jumlah RTP, jumlah perikanan tangkap dan budidaya laut di Kota Batam tahun 2003

Budidaya laut

Kecamatan RTP Perikanan Ikan Kepiting Rumput Lain-lain

tangkap laut 1. Galang 2 316 2 316 275 4 - - 2. Bulang 1 312 1 296 471 28 72 - 3. Belakang Padang 2 337 2 337 110 - 363 1 4. Sei Beduk 512 512 87 6 - - 5. Nongsa 420 420 96 - - - 6. Sekupang 229 229 15 3 - - 7. Batu Ampar 154 154 8 - - - 8. Lubuk Baja 127 127 - - - -

Dokumen terkait