• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pengembangan Industri

Penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut di wilayah Kota Batam seperti pencemaran perairan pantai terjadi baik karena gangguan alam maupun sebagai akibat aktivitas manusia, seperti adanya aktivitas industri yang tidak atau kurang memperdulikan aspek lingkungan hidup. Banyak aktivitas-aktivitas manusia yang dilakukan di bagian atas (up stream) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya degradasi lingkungan yang ada di bagian bawah (down stream), yaitu wilayah pesisir dan laut. Dalam KLH (1993) disebutkan bahwa pncemaran yang terjadi di perairan pesisir dan laut dapat bersumber dari limbah berbagai kegiatan manusia di darat (land-based pollution), yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kegiatan Industri

Dalam kegiatan industri, untuk memproses bahan baku menjadi produk jadi diperlukan air untuk berbagai keperluan. Air yang sudah tidak terpakai umumnya tidak dibuang melalui saluran-saluran yang terpisah, akan tetapi semuanya keluar melalui satu saluran menuju laut. Di Pulau Jawa, industri (besar dan sedang) merupakan penyebab utama penurunan kualitas sumber daya air. Limbah industri merupakan 50% dari beban pencemaran daerah aliran sungai yang pada akhirnya merupakan pula beban pencemaran bagi perairan pantai.

Pencemaran karena kegiatan industri terjadi karena banyaknya industri yang sampai saat ini belum menggunakan unit pengolahan limbah atau dalam penggunaan unit pengolahan limbah yang telah ada kurang optimal, sehingga limbahnya masih mengalir masuk ke sungai dan pada akhirnya ke laut.

Jenis-jenis bahan tambang yang terdapat di Indonesia dan berpotensi menimbulkan pencemaran sebagai akibat dari penggaliannya dan pengolahannya antara lain: minyak bumi, batu bara, besi, mangan, timah hitam, timah putih, tembaga, air raksa, dan belerang. Penambangan minyak bumi misalnya

menghasilkan bahan pencemar berupa residu minyak dan bahan-bahan kimia lain. Selain itu penambangan pasir dan bahan bangunan lainnya mengakibatkan kerusakan lingkungan fisik pada perairan pantai. Seperti kegiatan pengeboran minyak selama 20 tahun terakhir ini terjadi 4 kali blow out.

Pertanian

Kegiatan pertanian yang dapat secara langsung menyebabkan pencemaran adalah penggunaan berbagai macam pestisida. Sisa pestisida dapat terbawa air hujan

dan drainage sawah menuju saluran pengairan, sungai, dan akhirnya bermuara ke

laut.

Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sektor pertanian umumnya berkisar pada kegiatan pembukaan lahan (land-clearing) dan penggunaan pupuk serta pestisida yang tidak sesuai dengan ukuran pemakaian yang sebenarnya. Kegiatan pembukaan lahan dapat mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi di sungai. Begitu juga penggunaan bahan kimia dalam intensifikasi pertanian sangat berpengaruh terhadap perubahan populasi biota perairan, yang pada ahkirnya juga akan berpengaruh pada biota perairan laut karena adanya beberapa jenis kandungan yang sukar terurai.

Permukiman

Besarnya jumlah penduduk, tingginya tingkat kepadatan penduduk, dan keanekaragaman intensitas kegiatan penduduk telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap pencemaran lingkungan. Limbah terbesar yang berasal dari permukiman adalah limbah rumah tangga baik padat maupun cair.

Limbah domestik dari kawasan permukiman pada saat ini merupakan salah satu sumber pencemar air terbesar di Indonesia, yang disebabkan oleh masih sangat terbatasnya upaya pengolahan limbah penduduk. Beban pencemaran yang berasal dari permukiman tergantung kepada pola konsumsi penduduk yang pada akhirnya tergantung pada tingkat penghasilan dan standar hidup. Pencemaran akibat kegiatan

permukiman terjadi karena sampai saat ini belum ada sewage management system

bagi buangan rumah tangga.

Pencemaran yang terjadi di perairan pesisir dan laut Indonesia selain bersal dari limbah berbagai kegiatan manusia di darat, juga disebabkan oleh pencemaran yang bersumber dari laut. Adanya kegiatan di perairan Indonesia yang semakin meningkat seirama dengan pembangunan nasional ditambah dengan tingkat perkembangan kegiatan pelayaran internasional yang melewati perairan Indonesia akan memacu terjadinya pencemaran laut. Peningkatan kegiatan ini ditambah dengan peningkatan kegiatan pembuangan (dumping) di laut merupakan peningkatan ancaman pencemaran terhadap lingkungan laut baik oleh akibat kegiatan-kegiatan rutin, kesalahan-kesalahan operasional maupun karena kecelakaan.

Menurut Gesamp (1993) dalam Anna (1999) disebutkan bahwa persentase terbesar sumber pencemar yang masuk ke laut adalah dari run off yang berasal dari lahan bagian atas sekitar 44%, emisi pesawat terbang dari lahan atas sebesar 33%, pelayaran/perkapalan dan peristiwa tumpahan minyak sebesar 12%, pembuangan limbah ke laut sebesar 10% dan kegiatan penambangan minyak dan gas bumi di lepas pantai sebesar 1%. Sedangkan berdasarkan laporan dari UNDP/GEF/IMO (1988) diungkapkan bahwa sekitar 60-85% sumber pencemaran berasal dari kegiatan manusia di daratan dan sisanya berasal dari kegiatan di laut.

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Dalam melakukan pemanfaatan wilayah di kawasan pesisir dan pulau- pulau kecil seperti di Kota Batam yang dikembangkan menjadi kawasan industri harus benar-benar memperhitungkan faktor-faktor pembatas yang ada. Menurut Griffith dan Inniss, 1992; United Nations, 1994 dalam Bengen et al (2002), pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol, yaitu:

♦ Terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular.

♦ Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil.

♦ Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran.

♦ Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada di batas luar suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai yang sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara.

♦ Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.

Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugus pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2 000 km2 hanya dapat digunakan untuk keperluan konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengolahan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen et al, 2002).

Sebagai entitas yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus, pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah regional lain khususnya yang ada di daratan pulau besar (mainland) (Bengen et al, 2002).

Dalam hal pemanfaatan pulau-pulau kecil terdapat 2 pandangan yang antagonistik. Pandangan pertama yang mewakili pihak konservasionis (deep

ecologist), pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi karena

memiliki fungsi ekologis yang penting. Menurut pihak pertama ini, hal paling utama dari keberadaan pulau-pulau kecil adalah fungsi dan peranan ekosistem pesisir dan lautan dari pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nuftah dan sistem penunjang kehidupan lainnya. Sementara pandangan kedua mewakili pihak yang mendukung pertumbuhan ekonomi, melihat pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan, misalnya pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk perikanan (Bengen et al, 2002).

Terlepas dari dua pihak yang bertentangan di atas, seringkali penentuan kebijakan pemanfaatan wilayah pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan menghasilkan dua kemungkinan dampak negatif, yakni 1) tidak berkembangnya kawasan pulau-pulau kecil akibat kebijakan yang terlalu protektif dan 2) rusaknya kawasan pulau-pulau kecil akibat terlalu banyak area pulau-pulau kecil yang dikonversikan menjadi lokasi usaha seperti tambak dan permukiman. Dalam hal ini penting diambil jalan tengah dimana usaha pengembangan pulau-pulau kecil dapat ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan pulau-pulau kecil masih terjaga. Untuk itulah pengetahuan mengenai seberapa besar daya dukung dari pulau-pulau kecil menjadi hal penting untuk diketahui sehingga konsep kebijakan pengembangan wilayah dan ekonomi kawasan yang direncanakan, hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan daya dukung lingkungan pulau- pulau kecil (Bengen et al, 2002).

Pendekatan arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil (SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000) mengkombinasikan tiga pendekatan, yaitu hak, ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugus pulau serta pengelolaan yang sesuai dengan latar setempat (Bengen et al, 2002).

Pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari akan terwujud apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu (1) keharmonisan spasial, (2) kapasiatas asimilasi atau daya dukung lingkungan, dan (3) pemanfaatan potensi sesuai daya dukungnya. Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi peruntukan pembangunan (pemanfaatan sumberdaya) berdasarkan kesesuaian (suitability) lahan (pesisir dan laut) dan keharmonisan antar pemanfaatan. Keharmonisan spasial mensyaratkan suatu kawasan pulau-pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan tetapi juga harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keharmonisan spasial juga menuntut penataan dan pengelolaan pembangunan dalam zona pemanfaatan dilakukan secara bijaksana. Artinya suatu kegiatan pembangunan harus ditempatkan pada kawasan yang secara biofisik sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang dimaksud. Oleh karena itu, diperlukan

suatu analisis kesesuaian lahan bagi setiap peruntukan pesisir dan laut pulau kecil (Bengen et al, 2002).

Dalam konteks arahan pengelolaan pulau-pulau kecil, kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya diperuntukkan bagi kegiatan berbasis konservasi. Artinya, pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploitatif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan di pulau-pulau kecil. Hal ini mengingat bahwa pulau-pulau kecil memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau-pulau besar (daratan). Atas dasar karakteristik pulau-pulau kecil maka arahan peruntukan dan pemanfaatan pulau-pulau kecil adalah kegiatan konservasi, kegiatan perikanan (budidaya dan tangkap), pariwisata bahari dan pertanian (Bengen et al, 2002).

Dengan melihat pada kondisi wialayah Kota Batam yang terdiri dari pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kerentanan sangat besar terhadap perubahan lingkungan maka dalam hal pemanfaatan wilayahnya perlu dilakukan pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan segenap aspek terkait dari mulai perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

Konsep pengelolaan wilayah secara terpadu merupakan salah satu syarat untuk mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Selain itu juga terdapat kaidah-kaidah yang harus diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mencapai pembagunan yang optimal dan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat dijadikan konsep dasar dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam Costanza (1991) disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.

Secara garis besar konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan menurut Bengen (2001) memiliki empat dimensi, yaitu : (1) ekologis, (2) sosial-ekonomi-budaya, (3) sosial politik, serta (4) hukum dan kelembagaan.

a. Dimensi ekologis

Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi total kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu :

♦ Sebagai jasa-jasa pendukung kehidupan, mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia seperti udara dan air bersih serta ruang bagi segenap kegiatan manusia.

♦ Penyedia jasa-jasa kenyamanan, berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta pemulihan kedamaian jiwa.

♦ Penyedia sumberdaya alam, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun sebagai masukan dalam proses produksi.

♦ Penerima limbah, utamanya dari kegiatan manusia hingga terdapat suatu kondisi yang aman dan bersih.

♦ Berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas maka secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan berkelanjutan.

b. Dimensi sosial ekonomi

Mensyaratkan bahwa manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk terutama mereka yang ekonomi lemah guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah.

c. Dimensi sosial politik

Pada umumnya permasalahan lingkungan hidup bersifat eksternalitas, artinya pihak yang menderita (mangalami kerugian) akibat pencemaran dan atau

kerusakan lingkungan bukanlah pembuat kebijakan melainkan pihak lain serta permasalahan tersebut biasanya muncul setelah beberapa waktu, tidak langsung pada waktu itu. Mengingat karakteristik permasalahan tersebut maka pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan yang didukung oleh political will

pemerintah.

d. Dimensi hukum dan kelembagaan

Mensyaratkan adanya pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk tidak merusak lingkungan. Hal ini dapat tercapai melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten serta penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga negara.

Salah satu syarat utama pembangunan berkelanjutan adalah dilakukan secara terpadu, rasional dan optimal melalui perencanaan yang matang dengan memperhatikan daya dukung lingkungan serta kesesuaian wilayah (ruang), termasuk adanya antisipasi terhadap dampak yang mungkin terjadi.

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive

assessment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta

mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.

Untuk mengetahui langkah-langkah apa yang perlu dilakukan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu diantaranya dapat digunakan analisis SWOT sebagai alat penyusun rencana pengelolaan. Menurut Rangkuti (2004), analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan

(Strengths) dan peluang (Opportunities), tetapi secara bersamaan dapat

dilakukan dengan membandingkan faktor-faktor strategis eksternal yang terdiri dari peluang dan ancaman dengan faktor-faktor strategis internal yang berupa kekuatan dan kelemahan. Dengan analisis ini, perencanaan pengelolaan dalam jangka panjang pun dapat disusun dengan menentukan analisis terhadap strategi- strategi yang dipilih sehingga arah dan tujuan dapat dicapai dengan jelas dan dengan demikian dapat segera diambil keputusan.

Dokumen terkait