• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Kec. Sei Beduk

- Dapur 12 1. Rhizophora sp 1 600 46.83 0.67 23.53 2. Avicennia sp 1 350 39.51 0.83 29.41 3. Xylocarpus granatum 167 4.88 0.50 17.65 4. Sonneratia sp 217 6.34 0.50 17.65 5. Ceriops tagal 67 1.95 0.17 5.88 6. Aegiceras corniculatum 17 0.49 0.17 5.88 Jumlah 3 418 - Pancur 1. Rhizophora sp 9 450 95.94 1 50

(Tanjung Piayu) 2. Avicennia sp 400 4.06 1 50

Jumlah 9 850 2. Kec. Galang - Jembatan 1 1. Rhizophora sp 3 750 84.27 1 28.57 2. Sonneratia sp 300 6.74 1 28.57 3. Bruguiera sp 200 4.49 0.50 14.29 4. Xylocarpus granatum 150 3.37 0.50 14.29 5. Ceriops tagal 50 1.12 0.50 14.29 Jumlah 4 450 BAGIAN UTARA

Kec. Lubuk Baja

- Tanjung Uma (Baloi) 1. Rhizophora sp 2 000 71.43 1 33.33

2. Bruguiera sp 600 21.43 1 33.33

3. Ceriops tagal 200 7.14 1 33.33

Jumlah 2 800

Keterangan :

Di : Kerapatan suatu jenis atau Density (individu/hektar) RDi : Kerapatan Relatif atau Relative Density (%). Fi : Frekuensi suatu jenis (Frequency)

RFi : Frekuensi relatif atau Relative Frequency (%)

Kondisi mangrove di Kecamatan Sei Beduk

a. Di Dapur 12 terdapat jenis mangrove Rhizophora sp. dengan frekuensi ditemukannya jenis ini sebesar 0.67. Jenis ini paling banyak ditemukan atau mendominasi keberadaannya sebesar 46,83% dan selanjutnya diikuti oleh jenis Avicennia sp. sebesar 39.51%, sedangkan jenis-jenis mangrove yang lainnya sangat kecil persentasenya. Jenis mangrove yang ditemukan di lokasi ini ada 6 (enam) jenis, yaitu Rhizophora sp., Avicennia sp., Xylocarpus

granatum, Sonneratia sp., Ceriops tagal dan Aegiceras corniculatum.

Berdasarkan English et al. (1994), ekosistem mangrove di daerah ini termasuk dalam kategori cukup beragam (kriteria cukup beragam bila ditemukan: 4-7 jenis). Kerapatan vegetasi mangrove di daerah ini termasuk tinggi, yaitu

sebesar 3 418 individu/hektar (kriteria tinggi bila kerapatannya lebih besar dari 1 500 pohon/hektar atau 15 pohon/m2). Mangrove di daerah ini oleh penduduk sekitar dimanfaatkan kayunya untuk kebutuhan hidup mereka. b. Pada stasiun pengamatan di daerah Pancur (Tanjung Piayu), jenis Rhizophora

sp sangat mendominasi. Hal ini dapat dilihat dari kerapatan relatifnya, yaitu sebesar 95.94%. Mangrove jenis ini umumnya tumbuh sangat subur, dengan diameter batangnya mencapai 20 cm dengan ketinggian mencapai kurang lebih 15 meter. Diduga inilah sebabnya mengapa jenis ini sangat dominan yang mengakibatkan jenis lain sulit untuk tumbuh dan bersaing. Jenis lain yang ditemukan hanya mangrove dari jenis Avicennia sp., tetapi jumlahnya relatif kecil dengan kerapatan relatifnya 4.06%. Di lokasi ini hanya dijumpai 2 (dua) jenis mangrove, yaitu Rhizophora sp dan Avicennia sp. Menurut English et al. (1994), keragaman mangrove di daerah ini tergolong rendah atau kurang beragam (kriteria kurang beragam bila ditemukan sampai dengan 3 jenis atau kurang dari 4 jenis). Kerapatan vegetasi mangrovenya termasuk tinggi karena ditemukan sebanyak 9 850 individu/hektar.

Kondisi mangrove di Kecamatan Galang

Di lokasi jembatan pertama, jenis paling banyak ditemukan adalah

Rhizophora sp. dengan kerapatan relatif sebesar 84.27%, sedangkan jenis-jenis

mangrove yang lainnya relatif sangat kecil persentasenya. Di lokasi ini ditemukan 5 (lima) jenis mangrove, yaitu Rhizophora sp., Xylocarpus granatum, Sonneratia

sp., Bruguiera sp., Ceriops tagal dan Aegiceras corniculatum. Berdasarkan

English et al. (1994), ekosistem mangrove di daerah ini termasuk dalam kategori cukup beragam. Kerapatan vegetasi mangrove di daerah ini termasuk tinggi, yaitu sebesar 4 450 individu/hektar. Aktivitas masyarakat di sini memanfaatkan daratan yang ada vegetasi mangrovenya dijadikan sebagai lahan pertanian.

Kondisi mangrove pada lokasi pengamatan di bagian utara Kota Batam adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Kondisi mangrove di Kecamatan Lubuk Baja

Pada lokasi pengamatan mangrove di daerah Tanjung Uma (Baloi), jenis mangrove Rhizophora sp. merupakan jenis yang paling banyak ditemukan atau mendominasi keberadaannya dengan kerapatan relatif sebesar 71.43%, sedangkan jenis-jenis mangrove yang lainnya relatif kecil persentasenya. Menurut English et al. (1994), kerapatan vegetasi mangrove di daerah ini termasuk tinggi karena kerapatannya lebih besar dari 1 500 pohon/hektar atau 15 pohon/m2, yaitu sebesar 2 800 individu/hektar. Keragaman mangrove di daerah ini tergolong rendah atau kurang beragam karena ditemukan kurang dari 4 jenis mangrove. Berdasarkan hasil pengamatan hanya ditemukan 3 (tiga) jenis mangrove, yaitu Rhizophora sp.,

Bruguiera sp. dan Ceriops tagal.

Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 201 Tahun 2004 maka mangrove di lokasi pengamatan yang dilakukan di bagian utara Kota Batam, jika dilihat dari kerapatannya termasuk dalam kondisi baik atau dikatakan status mutunya pada tingkatan baik karena kerapatannya di atas 1 500 individu/hektar. Namun demikian, untuk menarik kesimpulan tentang keadaan mangrove di lokasi ini dalam keadaan baik atau rusak perlu dilengkapi dengan data persentase penutupan, tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat pengamatan kondisi lingkungan di daerah ini sangat parah karena mengalami tekanan ekologis yang cukup tinggi. Rusaknya ekosistem mangrove di daerah ini disebabkan oleh kegiatan manusia, diantaranya pembangunan permukiman, perkantoran dan pengembangan industri. Bahkan pada saat dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dijumpai adanya kegiatan konversi kawasan mangrove yang akan dialih-fungsikan sebagai lokasi baru pengembangan sebuah universitas yang ada di Kota Batam. Di samping itu dijumpai juga adanya kegiatan reklamasi yang dilakukan secara besar-besaran dengan mengkonversi kawasan mangrove menjadi peruntukkan lainnya. Kejadian ini ditemukan di wilayah Kecamatan Nongsa yang berbatasan dengan Kecamatan

Lubuk Baja (sekitar Batam Center). Kerusakan mangrove di daerah ini juga disebabkan oleh adanya buangan limbah dari aktivitas industri.

Berdasarkan kondisi riil yang terjadi pada saat dilakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dapat dijelaskan bahwa kondisi mangrove di Kota Batam pada umumnya mengalami tekanan akibat adanya aktivitas manusia. Aktivitas yang banyak merusak kawasan mangrove adalah adanya alih fungsi (konversi) kawasan mangrove dan reklamasi wilayah pesisir Kota Batam yang sebagian besar terjadi seabagai dampak dari pengembangan industri di daerah ini. Kerusakan tersebut terutama dijumpai di Batam bagian utara yang dalam penelitian ini diwakili daerah Tanjung Uma. Di bagian selatan Batam, kondisi mangrovenya relatif masih lebih baik, terutama mangrove yang berada pada sebagian besar wilayah pesisir Kecamatan Galang.

Ditinjau dari struktur dan komunitas vegetasinya, kondisi mangrove di Batam bagian selatan (Pulau Rempang dan Galang) masih cukup baik, yang ditunjukkan oleh kerapatan pohon dan jumlah jenis pada masing-masing tingkat pertumbuhan. Di samping itu, habitat mangrove di kawasan ini cukup ideal bagi habitat burung air, seperti burung kuntul kerbau yang banyak dijumpai pada paparan lumpur dan mangrove. Kondisi substrat mangrove dominan berupa lumpur dan pasir berlumpur karena materi (sedimen) pembentuknya dibawa oleh sungai yang mengalir menuju kawasan mangrove. Sebaliknya, di Pulau Batam, kondisi hutan mangrove sudah banyak rusak akibat dilakukannya penebangan secara besar-besaran untuk kepentingan penyediaan lahan terutama untuk kawasan industri yang berkembang dengan sangat cepat di daerah ini.

Masyarakat di sekitar wilayah pesisir Kota Batam telah mulai memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar serta sebagian kawasan mangrove dirubah menjadi kawasan permukiman dan peruntukan lainnya. Di samping itu penduduk di dearah ini memanfaatkan wilayah pesisir untuk membuang sampah rumah tangga.

PKSPL-IPB (2002) menyebutkan bahwa mangrove di Barelang (Batam, Rempang dan Galang) menghasilkan manfaat lain berupa ikan dengan volume hasil tangkapan sekitar 7 396 ton pada tahun 2002. Di samping ikan, pada kawasan mangrove di daerah ini ditemukan 5 spesies reptil dan 18 spesies burung.

Terumbu karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Banyak biota yang hidup di terumbu karang merupakan sumberdaya perikanan dan sumber makanan dalam rantai makanan pada ekosistem tersebut. Karena itu keberdaan terumbu karang yang terdapat di Kota Batam akan mendukung kelangsungan kegiatan perikanan, baik sebagai habitat berbagai jenis ikan, sumber makanan bagi ikan dan lain sebagainya.

Komponen utama dalam ekosistem terumbu karang ini adalah lingkungan perairan dimana terumbu karang tersebut berada. Bila kualitas perairannya baik dan menunjang kehidupan terumbu karang maka terumbu karang akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Namun sebaliknya, bila kualitas perairannya tidak baik maka pertumbuhan terumbu karang akan terhambat bahkan mati.

COREMAP RIAU (1996) mencatat bahwa perairan Galang memiliki terumbu karang seluas 1 313.5 hektar. Sementara berdasarkan pengolahan dari data PRC (1998) diperoleh luas terumbu karang sebagai berikut: 3 565.21 hektar di Batam, 1 179.47 hektar di Rempang dan di Setoko dijumpai 281.46 hektar. Wilayah Barelang yang bergaris pantai 473 km juga memiliki potensi biodiversity

yang cukup besar dan potensi ini tersimpan dalam ekosistem terumbu karang yang mencapai luas 6 340.64 hektar. Walaupun luasan ini sebagian merupakan turunan dari peta dasar dan panjang garis pantai dan tidak ada kualifikasi kualitas ekosistemnya, namun dapat menunjukkan potensi besar yang dimiliki oleh perairan di sekitar terumbu karang Barelang. Luasan terumbu karang pada masing-masing daerah disajikan pada Tabel 31.

Tabel 31 Luas terumbu karang di Barelang, 1998

No Lokasi Panjang Garis

Pantai (km)

Luas Coral Reef (ha) 1 Batam 266 3 565.212) 2 Rempang 88 1 179.472) 3 Setoko 21 281.462) 4 Galang 98 1 313.501) Total 473 6 339.64

PRC (1998) menyebutkan bahwa terumbu karang di Barelang umumnya merupakan karang tepi (fringing reef) yang terdapat pada pita sempit sekeliling batas pulau-pulau karang. Sebagian besar pulau-pulau di Barelang mempunyai beberapa tepi (fringing) karang. Pesisir Barelang yang keruh menyebabkan terumbu karang menjadi stres karena sedimentasi yang sangat dimungkinkan diakibatkan oleh alam dan manusia. Karang di Batam mungkin baru berkembang sejak 6 000 tahun terakhir sewaktu jaman es yang terakhir, dimana permukaan laut tetap pada permukaan arusnya.

Selain itu, PRC (1998) juga menyebutkan bahwa perkembangan terumbu karang di Barelang lebih banyak terjadi di sepanjang pantai Barat pulau-pulau besar dan kelihatan seperti potongan-potongan berselang seling dari tepi karang. Terumbu karang membentuk pita sempit (di beberapa tempat mempunyai lebar bervariasi antara 15 hingga 30 meter) di seputar pulau-pulau. Kedalaman maksimal dari terumbu karang di sebagian daerah tersebut adalah 6 meter sampai 8 meter. Keturunan dari terumbu karang bercangkang keras terlihat di Barelang termasuk Euphyllia, Goniopora, Porites, Acropora, Fungia, Goniastrea, Favia,

Platgyra dan lain sebagainya. Keturunan dari kerang lunak yang ditemui

termasuk Sarcophyton dan Sinularia.

Secara umum distribusi terumbu karang (coral reef) di Pesisir Kota Batam dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 10, yang merupakan hasil analisis data Citra Landsat tahun 1998. Dari gambar tersebut terlihat bahwa potensi penyebaran terumbu karang berada di sekitar pesisir dan pulau-pulau di Kota Batam, seperti di wilayah perairan Kecamatan Nongsa, Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Lubuk Baja, Kecamatan Sekupang, Kecamatan Belakang Padang dan Kecamatan Galang.

PERTAMINA Conoco (1998) dan PRC (1998) mengemukakan bahwa secara umum kondisi terumbu karang di daerah pengamatan dalam kondisi rusak (sedang), baik sampai baik sekali dengan persentase penutupan karang hidup antara 48% - 100% (Tabel 32). Saat pengamatan dilakukan visibility (kecerahan) horizontal di kedalaman sekitar 6 meter, dimana terumbu karang ini umumnya tumbuh, maksimum hanya 10 meter. Kondisi perairan saat pengamatan berlangsung kurang baik karena tingginya konsentrasi partikel terlarut, sehingga menghalangi pandangan. Di sisi lain kondisi demikian dapat menghalangi penetrasi sinar matahari. Bila hal ini terus-menerus terjadi akan berakibat buruk pada terumbu karang. Partikel-pertikel tersebut akan turun dan menutupi polip- polip terumbu karang, bila hal ini terjadi maka tidak mustahil kematian terumbu karang akan terjadi.

Tabel 32 Persen penutupan biota penyusun terumbu karang di lokasi pengamatan perairan Barelang, 1998

No. Lokasi

Persen Penutupan

Karang Hidup (%) Kriteria ***

1. Tanjung Sengkuang 70.70* baik

2. P. Lengkana 96.90* baik sekali

3. Nongsa (timur P. Putri) 77.30* baik sekali

4. Nongsa (barat P. Putri) 95.67* baik sekali

5. P. Sambu Besar 100.00* baik sekali

6. P. Sambu Kecil 68.82* baik

7. P. Dempo 74.00** baik

8. Tg. Tjakang (Galang Baru) 67.00** baik

9. Karang E. (dekat Galang Baru)

66.00** baik

10. P. Setoko 48.00** rusak (sedang)

11. P. Babi 64.00** baik

12. P. Nginang 69.00** baik

13. Karang 8 (dekat Kabil, Batam)

71.00** baik Sumber: *Pertamina Conoco (1998); **PRC (1998); *** Berdasarkan KEPMEN LH

Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001)

PERTAMINA (2002) menyebutkan bahwa persentase tutupan karang berkisar antara 0-28 % dengan tipe terumbu karangnya adalah fringing reefs

(Pulau Mecan, Pulau Kapal Besar, Pulau Layang, Pulau Bekajang, Pulau Mimpi, Pulau Lengkang, Pulau Lengkana, Pulau Sambu, Pulau Belakang Padang, Pulau Sekilak, Pulau Dongas, Pulau Bokur, pantai Tanjung Uma, pantai Batu Merah dan pantai Tanjung Sengkuang). Hal ini berarti bahwa kondisi terumbu karang di lokasi tersebut status mutunya termasuk dalam kategori rusak (buruk sampai sedang).

Untuk mengetahui kondisi pada saat penelitian maka dilakukan pengamatan langsung di beberapa lokasi penelitian pada kedalaman perairan laut 3 meter dan 10 meter. Di setiap lokasi dilakukan pengamatan pada 3 (tiga) satsiun (Ss1-Ss3) pada kedalaman perairan 3 meter dan 10 meter, yang dilakukan di wilayah perairan laut Kota Batam di bagian selatan, timur dan barat.

Berdasarkan Tabel 33, persentase tutupan karang hidup dari pengamatan langsung yang dilakukan pada kedalaman perairan 3 meter terlihat bahwa terumbu karang di lokasi ini dalam keadaan rusak (sedang) sampai baik sekali dengan persentase tutupan karang hidup antara 44.1% - 76.3%. Secara lebih terinci dijelaskan dalam uraian berikut.

Kondisi terumbu karang di bagian selatan Kota Batam (kedalaman 3 meter) Pengamatan langsung kondisi terumbu karang di bagian selatan Kota Batam dilakukan di Kecamatan Galang, yaitu pada 4 (empat) lokasi meliputi sebelah utara, sebelah timur, sebelah selatan dan sebelah barat-daya Pulau Abang Kecil. Pada sebagian besar stasiun pengamatan persentase tutupan karang hidup termasuk baik sampai baik sekali dan hanya pada satu stasiun saja ditemukan dalam kriteria rusak (sedang), yaitu pada Ss2 di sebelah timur Pulau Abang Kecil dengan persentase tutupan karang hidup 44.1%. Berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 (KLH, 2001) maka kondisi pada sebagian besar stasiun pengamatan terumbu karang di Kecamatan Galang status mutunya berada pada tingkatan baik dan hanya pada satu stasiun saja status mutunya berada pada tingkatan rusak, yaitu pada Ss2 di sebelah timur Pulau Abang Kecil, yang diduga kerusakannya disebabkan oleh penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan atau karena digunakan untuk penambatan jangkar perahu nelayan.

Tabel 33 Kondisi karang pada kedalaman perairan 3 meter tahun 2003 Tempat Stasiun

Tutupan karang hidup

( % )

Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang *)

Ss 1 69.9 baik

Ss 2 76.3 baik sekali

BAGIAN SELATAN

Dokumen terkait