• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. HARMONISASI DATA PROFIL TANAH WARISAN UNTUK PEMETAAN TANAH DIJITAL

2.2 Bahan dan Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan desk study dan bekerja di laboratorium Geographic Information System (GIS). Perangkat bantu yang digunakan adalah perangkat lunak SAGA GIS untuk menurunkan kovariat dan mengolah data grid, Arcview untuk digitasi peta analog dan menurunkan kovariat indeks posisi topografi (topographic position index), Global Mapper untuk konversi dan proyeksi posisi geografis, dan Program R untuk menetapkan sifat tanah pada kedalaman 0-30 cm, 30-50 cm, dan 50-100 cm menggunakan fungsi equal-area quadratic spline (Bishop et al. 1999).

Penelitian mencakup beberapa tahapan utama, yaitu (i) inventarisasi dan seleksi laporan survei tanah, (ii) pemasukan data sifat tanah, (iii) standarisasi kedalaman tanah, (iv) koregistrasi informasi lingkungan, dan (v) parameterisasi kovariat dan integrasi data sifat tanah dan kondisi lingkungan. Gambar 2-1 menunjukan tahapan-tahapan pelaksanaan penelitian.

2.2.1 Inventarisasi dan seleksi laporan

Pada tahap inventarisasi dan seleksi laporan dilakukan pengumpulan laporan survei tanah di Pulau Jawa. Pencarian laporan memanfaatkan informasi pelaksanaan pemetaan dari katalog data sumberdaya lahan (Puslittanak 1996) dan informasi lainnya.

Setiap laporan survei dievaluasi tentang ketersediaan deskripsi profil tanah dan data sifat kimianya. Laporan-laporan yang tidak menyajikan deskripsi profil tanah dipisahkan sehingga hanya laporan-laporan yang mempunyai data tersebut yang dipilih untuk proses selanjutnya.

Selain pengumpulan laporan, pada tahap ini juga dikumpulkan peta-peta penunjang sebagai sumber kovariat. Data penunjang ini mewakili faktor-faktor pembentuk tanah, yaitu: iklim, bahan induk, relief, organisma, dan waktu. Data yang dikumpulkan mencakup (i) Peta Geologi sebagai sumber informasi jenis litologi, umur lahan dan sejarah lahan, (ii) Peta Agroklimat sebagai sumber informasi intensitas hujan yang direpresentasikan oleh zone agroklimat, dan SRTM DEM versi 4.1 (Jarvis et al. 2008) sebagai sumber informasi relief.

2.2.2 Pemasukan data

Sebelum dilakukan pemasukan data, dibuat rancangan tabel terlebih dahulu yang memuat header yang mewakili sifat tanah yang akan dimasukan. Data yang dimasukan adalah kode laporan, sifat lingkungan, dan sifat tanah. Kode laporan mencakup id (identitas data) laporan berupa nomor laporan dan halaman di mana profil tanah dapat ditemukan. Ini diperlukan terutama untuk membantu mencari ulang data profil apabila pengecekan ulang data diperlukan.

Sifat lingkungan yang dimasukan adalah lokasi koordinat (X,Y), bahan induk, lereng, tipe penggunaan lahan, lokasi administrasi (desa, kecamatan, kabupaten, provinsi), dan nama tanah. Sifat tanah yang dimasukan adalah batas atas dan batas bawah horizon, kode horizon, persentase fraksi pasir, persentase fraksi klei, pH, kadar karbon organik tanah, Nitrogen total, retensi P, kejenuhan basa (KB), dan kapasitas tukar kation tanah (KTK). Beberapa profil juga mempunyai hasil analisis fisika. Data sifat fisik yang dimasukan adalah bobot isi, retensi air pada berbagai pF, permeabilitas, air tersedia, dan nilai COLE (coefficient of linear extensibility).

Sementara SRTM DEM diintegrasikan secara langsung dengan data pengamatan tanah, data-data penunjang yang berupa peta analog disiam dan diregistrasi lebih dulu sebelum didijitasi layar yang dibantu oleh ArcView. Hasil dijitasi kemudian dibuat ke dalam format raster yang dibantu oleh SAGA GIS.

2.2.3 Standarisasi kedalaman tanah

Sifat tanah yang dianalisa mengikuti suatu kelas kedalaman yang ditentukan secara subjektif oleh pemeta berdasarkan kode horizon genetik. Akibatnya, kelas kedalaman tanah berbeda-beda untuk setiap profil tanah. Sementara itu cara ini sesuai untuk kepentingan pemahaman tentang genesis dan klasifikasi tanah, namun cara ini ternyata menyulitkan ketika perlu membandingkan sifat tanah untuk kepentingan korelasi spasial maupun pemodelan.

Standarisasi kelas kedalaman tanah dilakukan menggunakan teknik equal area quadratic spline (Bishop et al. 1999). Teknik ini dipakai karena lebih mudah dan bisa bekerja dengan cepat untuk data yang banyak sehingga standarisasi bisa lebih efisien. Kedalaman tanah dibedakan atas: (i) kedalaman 0-30 cm untuk mewakili zone perakaran tanaman musiman, (ii) kedalaman 30-50 cm untuk

mewakili tanaman tahunan, dan (iii) kedalaman 50-100 cm untuk mewakili lapisan sangga bagi keperluan tanaman tersebut.

2.2.4 Koregistrasi data tanah dan lingkungan

Posisi koordinat lokasi profil tanah maupun peta-peta penunjang (yaitu Peta Geologi, Peta Agroklimat dan DEM) menggunakan sistem referensi yang tidak sama. Karenanya, sistem koordinat tersebut kemudian dikonversi ke suatu sistem referensi Universal Transverse Mercator (UTM) agar seragam. Kegiatan konversi ini banyak dibantu oleh Global Mapper sehingga data bisa diproses lebih cepat.

Selain itu, sistem raster lebih efisien untuk pemodelan spasial daripada sistem vektor. Karena itu, semua data vektor dari peta geologi dan peta agroklimat dikonversi ke format raster dengan ukuran grid 90 m x 90 m, menyesuaikan dengan resolusi SRTM DEM. Kegiatan konversi ini banyak dibantu oleh SAGA GIS sehingga lebih efisien waktu.

2.2.5 Parameterisasi kovariat dan integrasi data

Data yang sudah harmonis dari segi lokasi dan berbentuk raster ini kemudian diimpor ke dalam SAGA GIS. Beberapa kovariat diturunkan menggunakan perangkat lunak ini. Kovariat adalah tipe parameter lingkungan yang mewakili kondisi terain, bahan induk, iklim, dan faktor pembentuk tanah lainnya. Khusus dalam penelitian ini kovariat yang mewakili terain diturunkan.

Kovariat dan data sifat tanah ini selanjutnya diintegrasikan menggunakan SAGA GIS membentuk suatu dataset sifat tanah-lanskap.

2.3 Hasil

2.3.1 Sebaran lokasi survei tanah di Jawa

Gambar 2-2 menunjukan lokasi-lokasi survei dan pemetaan tanah di Pulau Jawa pada skala semidetil sampai tahun 1996 seperti terdokumentasikan di BBSDLP (Puslittanak 1996). Meskipun katalog serupa pada tahun-tahun berikutnya tersedia, katalog versi 1996 menjadi acuan karena lokasi pemetaan disajikan dengan baik.

Daerah bagian utara Pulau Jawa bagian barat nampak mengalami beberapa kali kajian dan nampak lebih sering dikaji dibandingkan bagian selatan. Bagian selatan dari wilayah ini merupakan areal perbukitan dan pegunungan sehingga kurang mendapat perhatian dibandingkan bagian utara yang menjadi sentra produksi pangan dan pemukiman. Hal serupa juga berlaku untuk bagian tengah dan timur pulau ini.

Gambar 2-2 Sebaran areal yang telah dipetakan pada skala semidetil di Jawa (diarsir) hingga tahun 1996

Semua laporan dari wilayah pemetaan Gambar 2-2 ini dikumpulkan dan diseleksi. Seleksi didasarkan atas: (i) kelengkapan datanya: data profil dan informasi posisi, dan (ii) metode pemetaan dan analisis tanah yang digunakan. Laporan-laporan yang dibuat sebelum tahun 1987 tidak menyajikan lokasi pengamatan dengan baik sehingga lokasi tersebut sulit dijejak dan diplot ke dalam peta. Sebaliknya, laporan yang dibuat setelah tahun 1987 dilengkapi informasi posisi koordinat dengan jelas sehingga mudah diposisikan ulang di dalam peta. Karena itu, analisis terhadap laporan difokuskan pada laporan yang dibuat setelah tahun 1987.

Tabel 2-1 menyajikan daftar laporan survei yang digunakan sebagai sumber data tanah. Laporan ini semuanya melampirkan deskripsi profil tanah dan hasil analisis kimia tanah. Penelitian ini hanya menggunakan laporan-laporan survei tanah di Pulau Jawa yang dilaksanakan Tim BBSDLP dan Tim Institut Pertanian Bogor (IPB) antara tahun 1987 dan 2001 karena metodologi pemetaan dan analisis laboratorium yang relatif sama.

Table 2-1 Daftar laporan survei terseleksi untuk penelitian

No Judul Laporan Tahun

Terbit*

Pelaksana Survei

1 Soil series of Upper Jratunseluna Watershed Central Java 1990 CSAR

2 Survei dan Pemetaan Tanah Detil Lokasi Demplot dan Dampak Kedoyo Kab. Tulungagung

1991 Puslittanak

3 Survei dan Pemetaan Tanah Detil Lokasi Demplot dan Dampak Nyawangan Kab. Tulungagung

1991 Puslittanak

4 Survei dan Pemetaan Tanah Detil Lokasi Demplot dan Dampak Klepu, Sekarbanyu dan Sekitarnya Kab. Malang

1991 Puslittanak

5 Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Semidetil DAS Citarum Bawah

1996 Puslittanak

6 Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Semidetil DAS Citarum Bawah, Jawa Barat

1993 Faperta IPB

7 Penelitian Kesesuaian Lahan untuk Intensifikasi Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat

1990 Puslittanak

8 Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat

Semidetil (skala 1:50.000) DAS Grindulu

1995 Puslittanak

9 Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat

Semidetil (skala 1:50.000) daerah Tuban-Gresik

1995 Puslittanak

10 Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semidetil (skala 1:50.000) daerah Semarang dan Sekitarnya

1995 Puslittanak

11 Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Berdasarkan Analisis Terain skala 1:50.000

2001 Puslitbangtanak

*) tahun terbit laporan tidak mencerminkan tahun pengamatan, pengamatan biasanya dilakukan 1 hingga 2 tahun sebelumnya, tergantung pada lamanya waktu analisa kimia

Laporan-laporan itu dihasilkan dari berbagai kegiatan pemetaan dengan tujuan tertentu dan skala yang beragam. Pemetaan tanah untuk identifikasi dan karakterisasi areal demplot untuk menguji teknologi konservasi pada skala DAS terutama dilakukan DAS Brantas dan DAS Jratunseluna. Tujuan lainnya adalah (i) untuk pengembangan perencanaan pertanian di wilayah pantai utara Jawa Barat, (ii) untuk inventarisasi sumberdaya tanah, seperti di Semarang dan Pacitan, dan (iii) untuk evaluasi metode pemetaan tanah untuk mendukung pewilayahan komoditas di Sumedang. Perbedaan tujuan dan skala survei ini menyebabkan perbedaan kerapatan pengamatan profil tanah dan perbedaan kelengkapan data yang dianalisis untuk setiap pengamatan profil tanah.

Deskripsi profil tanah umumnya menyediakan informasi posisi koordinat dari lokasi pengamatan, yang disajikan sebagai angka koordinat dalam sistem referensi Geografis atau UTM dan sebagai deskripsi lokasi. Namun, beberapa

survei seperti yang dilakukan di pantai utara Jawa Barat maupun Pacitan, lokasi pengamatan disajikan dalam peta lokasi pengamatan tanah. Untuk yang terakhir, beberapa tahapan perlu dilakukan guna mengetahui posisi koordinat suatu lokasi pengamatan, yaitu: penyiaman peta dan registrasi peta elektronik ke sistem referensi geografi (Lat/Lon) menggunakan datum WGS 1984.

Pemasukan data telah menghasilkan 2596 contoh tanah dari 696 lokasi profil tanah. Profil tanah yang bisa diplot ke peta hanya 654 lokasi. Sisanya, sebanyak 42 profil tidak bisa diplot karena masih digunakan sistem deskripsi dari penunjukan lokasi profil tersebut. Gambar 2-3 menunjukan sebaran spasial ke-654 lokasi profil ini berdasarkan batas kabupaten dan zone agroklimat.

Gambar 2-3 Sebaran profil tanah menurut: (a) administrasi kabupaten, dan (b) zone agroklimat

Sebaran lokasi pengamatan profil tanah yang ditumpangtepatkan dengan batas administrasi kabupaten mengindikasikan tingkat kepentingan kabupaten tersebut bagi tujuan-tujuan tertentu (Gambar 2-3). Semakin penting suatu kabupaten semakin sering kajian tentang tanah dilakukan di kabupaten tersebut.

Karena tujuan dari kajian tersebut berbeda, jenis sifat tanah yang dianalisis juga berbeda.

Kondisi tanah di wilayah pantai utara Jawa, seperti wilayah Cirebon- Karawang dan Lamongan-Gresik banyak diamati dan dikaji karena wilayah tersebut merupakan wilayah sentra produksi beras. Pada wilayah ini sifat-sifat tanah yang menunjang aplikasi teknologi pemupukan padi banyak diteliti. Sementara itu, kondisi tanah di wilayah Semarang dan Pacitan banyak dikaji untuk tujuan kajian konservasi tanah dan air dalam rangka antisipasi banjir dan kekeringan. Pada wilayah ini sifat-sifat tanah yang menunjang teknologi konservasi banyak dianalisis.

Gambar 2-3 menunjukan waktu pengamatan masing-masing profil tanah. Pengamatan tanah tertua dilakukan pada tahun 1987 atau 33 tahun lalu dan yang relatif baru pada tahun 2001 atau 12 tahun lalu. Plotting dengan cara seperti ini penting terutama untuk pemantauan perubahan sifat tanah dan pengaruhnya terhadap produksi pertanian. Lokasi tersebut dapat dikunjungi lagi dan sifat tanah dapat diukur kembali sehingga perubahan sifat tanah bisa diketahui.

Sebaran profil tanah menurut wilayah administratif kabupaten disajikan pada Gambar 2-4. Kabupaten Pacitan, Karawang, Semarang dan Sumedang mempunyai pengamatan tanah yang lebih banyak dari kabupaten lainnya. Dari keempat kabupaten dengan pengamatan tanah lebih dari 28 profil ini, pengamatan tanah nampak paling banyak di wilayah Kabupaten Sumedang. Survei di daerah ini pada tahun 2001 bertujuan untuk menguji metode pemetaan untuk evaluasi zone agroekologi tanaman, yang menuntut pengamatan profil tanah yang lebih banyak.

2.3.2 Sebaran profil tanah terseleksi menurut kondisi lingkungan

Kelengkapan data sifat tanah antar profil tanah ternyata beragam. Untuk kepentingan analisis, profil tanah yang diinginkan harus memiliki data sifat tanah sebanyak mungkin. Seleksi terhadap kelengkapan data dari 654 profil tanah yang mempunyai lokasi yang jelas menghasilkan 301 profil tanah, yang penyebarannya disajikan pada Gambar 2-5. Data profil ini terutama berasal dari laporan survei di DAS Citarum Bawah, laporan penelitian kesesuaian lahan di pantai utara Jawa

Barat dan pemetaan detil di DAS Jratunseluna dan DAS Brantas. Laporan-laporan dari kegiatan LREP II di Jawa tidak terpilih karena data profil yang disajikan hanya berupa ringkasan data. Sementara itu, data aslinya tidak bisa diperoleh.

Gambar 2-4 Sebaran profil tanah menurut kabupaten

Ke-301 profil tanah ini diamati pada ketinggian antara 0 m hingga 1443 m di atas permukaan laut (dpl), dimana 98% darinya berada pada ketinggian antara 0-1000 m dpl, pada lahan yang dominan berumur Holosen. Umur lahan Holosen menunjukan bahwa lahan ini sudah terbentuk dan mengalami pelapukan terestrial sejak 5 000 hingga 10 000 tahun yang lalu.

Gambar 2-5 Sebaran 301 profil tanah yang mempunyai data tanah lengkap

Sebaran ke-301 profil tanah ini berdasarkan zone agroklimat, ordo tanah, litologi, dan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 2-6. Data persen menunjukan persentasi dari total profil. Gambar 2-6a menunjukkan bahwa profil ini terutama diamati pada zone agroklimat C2 (36%) dan B2 (27%). Dengan demikian, profil paling banyak berkembang pada wilayah curah hujan lebih dari 2500 mm per tahun, atau berkembang di wilayah basah. Sementara itu, profil yang berkembang dari wilayah kering, dari zone D dan E hanya sekitar 30 %. Dari aspek iklim, profil tanah sudah tergolong mewakili semua kondisi iklim di Jawa.

Gambar 2-6b menunjukkan sebaran jumlah profil tanah menurut kategori ordo taksonomi tanah. Sebagian besar tanah-tanah yang diamati dikelompokkan menurut Sistem Taksonomi Tanah sebagai ordo Inceptisols (59%). Ordo lainnya adalah Alfisols (15%), Entisol (8%), dan Vertisols (5%). Berdasarkan proporsi ordo tanah ini, tanah-tanah yang digunakan dalam penelitian ini cukup beragam secara genetik.

Dilihat dari batuan induknya, profil tanah ini berkembang terutama dari batuan volkan intermedier (32%) dan aluvial halus (28%) seperti ditunjukan pada Gambar 2-6c. Jenis batuan volkan ini bersusunan andesit yang berbentuk lahar, lava, tufa maupun abu volkan dan bahan piroklastik lainnya. Sementara itu, aluvial halus mencakup sedimen liat yang memang cukup menyebar luas di daerah pantai utara Jawa.

Selain itu, batuan lainnya adalah batuan sedimen masam halus (SFF) dari tipe batuliat sebanyak 14%, dan batuan sedimen masam kasar (SCF) dari batupasir sebanyak 8%. Namun, di Pulau Jawa batuan ini jarang yang murni karena adanya tambahan atau sisipan pengayaan dari batuan lain.

a. Zone agroklimat b. Ordo tanah

c.Lithologi d.Penggunaan lahan

Gambar 2-6 Distribusi profil tanah berdasarkan zone agroklimat, ordo tanah, litologi, dan penggunaan lahan

Sementara bahan induk merupakan bahan asal tanah, tipe penggunaan lahan mengindikasikan jenis perlakuan manusia, sebagai faktor organisme, dalam mengontrol keragaman sifat tanah. Aplikasi pemupukan, pengapuran, dan penambahan bahan organik adalah diantara perlakuan terhadap tanah yang meningkatkan atau mengurangi kadar sifat kimia tanah dan proses-proses dalam

tanah tersebut. Untuk suatu dataset, sebaran profil tanah menurut tipe penggunaan lahan perlu diketahui dan dipahami.

Gambar 2-6d menunjukan bahwa profil tanah diambil pada tipe penggunaan tegalan (39%) dan sawah (31%). Dengan kata lain, 70% profil tanah diambil dari lahan pertanian. Sementara itu jumlah profil dari tipe kebun campuran sekitar 9% dan hutan sekitar 6%. Dengan demikian profil tanah menyebar pada kondisi tipe penggunaan yang relatif homogen, yakni areal pertanian.

2.3.3 Sebaran statistik sifat tanah

Dataset sifat tanah disimpan dalam MSExcell (Gambar 2-7). Kelengkapan data sifat tanah untuk setiap profil berbeda. Beberapa profil mempunyai semua sifat tanah sedangkan yang lainnya hanya satu dua sifat tanah saja. Ini terjadi karena tujuan dari pengamatan tanah yang berbeda seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya.

Selain karena perbedaan tujuan pemetaan tanah, kelengkapan data juga tergantung pada format laporan. Beberapa laporan dari kegiatan LREP II hanya mencantumkan ringkasan sifat tanah, bukan sifat tanah per lapisan. Pada laporan ini, data tanah dibedakan atas lapisan atas dan lapisan bawah. Nilai sifat tanah untuk setiap lapisan berupa kelas atau kisaran nilai. Cara pelaporan seperti ini dimungkinkan karena data profil lengkap berada di basisdata spasial yang dibuat pada saat proyek tersebut. Karena versi cetak dari deskripsi profil ini tidak tersedia dan status basisdata dijital itu tidak diketahui keberadaannya, informasi sifat tanah dari laporan-laporan ini terbatas pada lapisan atas saja.

Sifat tanah dalam dataset tanah ini diambil berdasarkan kelas kedalaman yang mengikuti keragaman vertikal dari horizon tanah. Meskipun kode horizonnya (misalnya Bt1) sama, kisaran kedalaman lapisan ini berbeda antar lokasi. Penentuan ketebalan lapisan sendiri dilakukan bersifat subjektif. Pada profil yang sama, dua surveyor bisa menghasilkan jumlah dan kode lapisan yang berbeda tergantung dari pengalaman dan pengetahun surveyor tersebut. Kondisi dimana kelas kedalaman beragam menyulitkan saat menggabungkan data dari lokasi-lokasi yang berbeda.

Pada penelitian ini, penetapan nilai sifat tanah pada kelas kedalaman tanah tertentu dilakukan menggunakan fungsi spline berdasarkan data nilai profil tanah warisan. Modul perangkat lunak untuk menghitung sifat tanah dengan fungsi spline ini telah tersedia. Dalam pelaksanaannya, modul akan memplot data sifat tanah aktual yang dibedakan berdasarkan kedalaman horizon genetik. Fungsi spline pada prinsipnya menghubungkan antara kedalaman dan nilai sifat tanah. Fungsi ini digunakan untuk menaksir sifat tanah jika kedalamannya diketahui. Akhirnya, nilai sifat kedalaman untuk kelas kedalaman yang diinginkan ditetapkan. Gambar 2-8 menunjukan plot antara data aktual, fungsi spline, dan data taksiran.

Gambar 2-8 Contoh hasil plot dalam penetapan nilai sifat tanah menggunakan fungsi spline

Sifat tanah umumnya ditetapkan untuk ketiga kelas kedalaman yakni 0-30 cm, 30-50 cm, dan 50-100 cm, kecuali sifat kedalaman tanah (Soildepth), ketebalan horizon A (Athick), dan kedalaman horizon B (DepthtoB). Tabel 2-2 menunjukan ringkasan statistik sifat tanah dari 301 profil tanah terpilih. Kejenuhan basa (BS) nampak menunjukan nilai lebih dari 100 % yang mengindikasikan terhitungnya kation-kation yang ada dalam larutan tanah.

Keragaman sifat tanah umumnya tergolong tinggi (CV>35%) kecuali ketebalan horizon A, dan pH yang tergolong sedang (CV antara 15% dan 35%) menurut pengharkatan Wilding dan Dress (1983).

Jumlah profil yang digunakan untuk menetapkan sifat tanah nampak tidak sama (Tabel 2-2), seperti 300 profil untuk kedalaman tanah dan 32 profil untuk Retensi P (RetP) pada kedalaman 0-30 cm. Perbedaan jumlah profil tidak hanya nampak antar sifat tanah tetapi juga nampak antar kelas kedalaman pada sifat tanah yang sama. Hal ini terjadi karena jumlah dan jenis sifat tanah yang dianalisis untuk setiap profil berbeda-beda tergantung pada keperluan dan tujuan survei.

Data pada Tabel 2-2 mengindikasikan bahwa sifat-sifat tanah tertentu lebih disukai untuk dianalisis dibandingkan sifat tanah lainnya. Sebagai contoh, distribusi ukuran partikel tanah, kadar karbon organik tanah dan kadar nitrogen total nampak paling sering dianalisis dibandingkan Retensi P. Ini dapat dipahami karena sifat-sifat tanah tersebut diperlukan dalam pengelolaan tanah-tanah pertanian.

Tabel 2-2 menunjukan bahwa nilai maksimum kedalaman tanah di Jawa adalah 200 cm. Data ini perlu dilihat secara hati-hati karena kedalaman tanah 200 cm adalah yang dipergunakan untuk tujuan klasifikasi tanah menurut sistem taksonomi tanah. Di lapangan, kedalaman lebih dari 200 cm masih dapat dijumpai khususnya di daerah volkan.

Bahan organik tanah pada lapisan 0-30 cm (SOM0-30

Retensi P merupakan sifat tanah yang paling jarang dianalisa. Dari 301 profil yang terpilih, hanya 32 profil yang retensi P nya dianalisis. Meskipun relatif sedikit, data ini cukup memberikan gambaran kondisi retensi P di Jawa. Pada lapisan olah (0-30 cm), retensi P berkisar dari 6 hingga 86%, dengan nilai tengah sekitar 43%. Ini menarik karena secara rata-rata tanah di Jawa meretensi P sekitar 45%. Retensi P yang tertinggi dijumpai pada profil-profil tanah Andisols.

) nampak berkisar dari 0.39% hingga 19.67%, dengan nilai tengah 1.75%. Sementara itu untuk lapisan 30-50 cm, bahan organik berkisar dari 0.08% hingga 15%, dengan nilai tengah sekitar 1%. Dataset ini, yang diambil dari tanah-tanah pertanian, menunjukkan bahwa bahan organik tanah berkisar antara 1% hingga 2%.

Tabel 2-2 Ringkasan statistik beberapa sifat tanah di Jawa

Sifat tanah

Jumlah

Profil Rata-rata median

Mini- mum Maksi- mum Simp. baku CV(%)* Soildepth (cm) 300 102.86 105.00 11.00 200.00 46.07 45 Athick (cm) 300 17.64 17.00 6.00 31.00 4.72 27 DepthtoB (cm) 270 21.72 18.50 7.00 55.00 9.37 43 Sand0-30 (%) 300 18.16 11.00 0.00 97.00 19.20 106 Sand30-50 (%) 279 16.48 10.00 0.00 95.00 17.58 107 Sand50-100 (%) 260 19.02 11.50 0.00 90.00 20.02 105 Clay0-30 (%) 300 55.16 59.00 2.00 90.00 20.40 37 Clay30-50 (%) 281 57.36 59.00 2.00 91.00 20.00 35 Clay50-100 (%) 256 56.13 58.50 3.00 95.00 20.30 36 SOM0-30 (%) 301 2.25 1.75 0.39 19.67 20.40 91 SOM 30-50 (%) 296 1.47 1.03 0.08 15.03 1.47 105 SOM 50-100 (%) 284 1.04 0.80 0.12 11.83 1.30 125 SOC0-30 (%) 301 1.30 1.02 0.23 11.41 1.18 91 SOC30-50 (%) 296 0.81 0.60 0.05 8.72 0.85 105 SOC50-100 (%) 284 0.60 0.46 0.07 6.86 0.75 125 Ntot0-30 (%) 301 0.13 0.11 0.03 0.88 0.09 72 Ntot30-50 (%) 278 0.09 0.07 0.02 0.75 0.07 79 Ntot50-100 (%) 246 0.07 0.06 0.01 0.32 0.05 66 pH0-30 275 6.02 5.80 4.70 8.30 1.06 18 pH30-50 248 6.12 6.00 4.50 8.40 0.99 16 pH50-100 227 6.17 6.10 4.10 8.40 1.01 16 RetP0-30 (%) 32 43.95 44.50 5.70 86.20 19.84 45 RetP30-50 (%) 26 38.93 40.60 0.60 83.40 21.88 56 RetP50-100 (%) 18 37.57 30.95 1.00 87.80 24.94 66 BS0-30 (%) 262 72.34 79.00 1.00 162.00 27.41 38 BS30-50 (%) 238 71.32 80.00 1.00 155.00 30.15 42 BS50-100 (%) 221 73.04 83.00 1.00 144.00 30.24 41 CEC0-30 (cmol/kg) 267 32.64 32.00 3.00 101.00 16.51 51 CEC30-50 (cmol/kg) 246 32.56 31.00 5.00 98.00 16.77 51 CEC50-100 (cmol/kg) 223 31.55 31.00 5.00 95.00 16.29 51

*CV=koefisien keragaman; rendah jika CV <15 %, sedang jika 15%<CV<35%, dan tinggi jika CV >35% (Wilding dan Dress, 1983)

2.3.4 Sebaran statistik kovariat yang mewakili terain

Kovariat adalah peubah lingkungan yang menyebabkan keragaman sifat tanah. Tabel 2-3 menunjukan contoh beberapa kovariat yang dapat mewakili kondisi terain. Kovariat Topographic Position Index (TPI) diturunkan dari SRTM DEM menggunakan extention di ArcView, sedangkan kovariat lainnya diturunkan dari SRTM DEM menggunakan SAGA GIS.

Tabel 2-3 Deskripsi singkat kovariat yang merepresentasikan kondisi topografi

No Kode Deskripsi singkat Acuan*

A. Parameterisasi ketinggian tempat

1 ZC Ketinggian di atas saluran (Altitude above channel) merupakan ketinggian di atas saluran drainase, seperti anak sungai dengan satuan meter.

1

2 Elev Ketinggian tempat di atas permukaan laut (elevasi) dengan satuan meter.

1 B. Parameterisasi posisi dan elemen lereng

3 TPI Indeks posisi topografi (topographic position index) merupakan indeks untuk karakterisasi posisi site di lereng.

2 4 MRVBF Indeks kerataan dasar lembah (multiresolution index of valley

bottom flatness).

3 5 MRRTF Indeks kerataan puncak igir (multiresolution index of ridge top

flatness).

3

6 KP Profile (vertical) curvature, menjelaskan mekanisme akumulasi

dengan satuan radian/m.

1,4

7 KC Contour (tangential) curvature, menjelaskan mekanisme akumulasi

dengan satuan radian/m.

1,4

8 CU Curvature, menjelaskan mekanisme akumulasi dengan satuan

radian/m.

1 C.Parameterisasi sifat aliran dan erosi

9 SP Indeks kekuatan arus (stream power) merupakan indeks kekuatan arus versi SAGA GIS yang menjelaskan aliran erosi potensial.

Dokumen terkait