• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. PENGEMBANGAN MODEL REGRESI POHON TANAH-LANSKAP

7.4 Memposisikan Pemetaan Tanah Dijital

Penelitian ini menerapkan teknik pemetaan tanah dijital di wilayah tropika, padahal teknik ini dikembangkan dari lanskap temperat dan subtropis. Pemetaan dijital secara formal telah dimulai sejak 2007 dengan terbitnya buku teks pertama, yaitu Digital Soil Mapping: an Introductory Perspective (Lagacherie et al. 2007). Buku ini merangkum berbagai artikel yang disajikan di workshop digital soil mapping (DSM) pertama di Perancis. Selanjutnya beberapa buku diterbitkan yang biasanya merangkum berbagai artikel yang disampaikan dalam workshop DSM. Workshop DSM sendiri dilakukan setiap dua tahun, dengan topik-topik yang terus berkembang. Pada tahun 2012 workshop ke-5 dilaksanakan di Sydney, Australia.

Teknik alternatif penyediaan data tanah yang lebih kuantitatif dan dinamis memang menjadi perhatian banyak kalangan baik di institusi pendidikan maupun lembaga-lembaga penelitian. Hal ini didorong oleh beberapa hal, yaitu: (i) teknologi penyediaan data tanah menggunakan teknik pemetaan saat ini relatif lama dan mahal, dan (ii) data dan informasi yang disajikan dalam teknik konvensional tidak bisa terverifikasi kebenarannya.

Beberapa lembaga di Australia, Brazil, Belanda, China, Colombia, Canada, Czech Republic, Italy, Jerman, UK, USA, Perancis , dan Swiss mulai mengadopsi dan mengembangkan teknik untuk menjawab permasalahan sumberdaya lahan di daerahnya mnasing-masing. Di ITC Enschede, para surveyor dan pemeta tanah termasuk para pakar pemetaan tanah saat ini tidak ketinggalan menyesuaikan tekniknya dengan perkembangan zaman. Di International Union of Soil Science

(IUSS) ada kelompok DSM yang memantau dan mengembangkan teknik ini untuk berbagai aplikasi. Semua itu terekam dalam banyak artikel dan publikasi. Berbagai teknik telah diujikan dalam kondisi agroekologi dan ekosistem yang berbeda.

Namun demikian, debat masih terjadi yang mempertentangkan antara teknik ini dengan pemetaan tanah konvensional khususnya di Indonesia. Penyebab utama dari debat ini adalah ketinggalan informasi tentang filosofis dan konsep pemetaan ini, yang menyebabkan para ahli memahami pendekatan ini secara parsial. Sebaliknya, jika konsep ini dipahami, para peneliti tanah akan melihat bahwa pendekatan baru ini adalah sebagai pelengkap dari teknologi pemetaan yang ada.

Beberapa hal yang diperdebatkan selama ini adalah (i) batas satuan peta dan tampilan peta, (ii) nilai tunggal versus nilai komposit, dan (iii) skala versus resolusi.

7.4.1 Batas satuan peta dan tampilan peta

Pada pemetaan dijital saat ini, tampilan peta akhir belum menjadi prioritas utama penelitian. Sebaliknya, pengkajian banyak diarahkan pada seleksi kovariat penaksir, pengembangan teknik ekstraksi data, pengembangan teknik sampling dan validasi serta pengembangan aneka model. Teknik-teknik dan alat-alat untuk

memperoleh data baru yang lebih murah dan lebih cepat juga menjadi fokus kajian selain memodelkan perkembangan tanah secara tiga dimensi.

Satuan peta dari output pemetaan tanah dijital menganut sistem raster, dimana sifat tanah dibingkai oleh suatu ukuran grid. Pada pendekatan ini permukaan lahan dilihat sebagai grid persegi empat dengan ukuran tertentu, (misalnya 90 m x 90 m) yang berkesinambungan, dimana setiap grid mempunyai nilai tertentu. Dengan demikian, batas satuan peta secara alami baur. Sebaliknya, batas satuan peta hasil pemetaan tanah konvensional menganut sistem vektor dimana batas sangat tegas (tidak baur) berbentuk kurva. Namun, batas tegas seperti ini tidak dijumpai di lapangan.

Kelompok kontra memandang batas dengan sistem raster ini tidak artistik dan kurang menarik dibandingkan batas dengan sistem vektor. Batas satuan peta yang disajikan dengan tampilan vektor ini sudah lama dipandang sebagai cara terbaik bagi penampilan peta terutama berkesesuaian dengan kaidah yang dipergunakan dalam kartografi dimana garis-garis batas digambar oleh tangan. Nilai seni lebih menonjol dalam tampilan peta ini sementara gambaran sebenarnya di lapangan tidak atau belum menjadi prioritas. Ini didukung pula oleh kondisi dimana perangkat pengolah raster pada saat itu belum banyak tersedia.

Sebenarnya kedua cara penyajian ini lebih bersifat saling melengkapi daripada sebagai pesaing. Pada kasus-kasus tertentu penyelesaian dengan pemodelan lingkungan (dimana masukan data raster diperlukan) sangat membantu memecahkan masalah. Ke depan perangkat yang bisa mengkonversi format raster ke vektor atau dari vektor ke raster nampaknya akan menjadi fokus perhatian. Hal ini karena keduanya mempunyai kelebihan tersendiri.

7.4.2 Single value versus komposit

Aspek lain yang diperdebatkan adalah isi dari satuan peta. Satuan peta dari pemetaan tanah dijital menampilkan data nilai tunggal, seperti kadar bahan organik tanah. Sebaliknya, satuan peta dari pemetaan tanah konvensional menyajikan nilai komposit (yaitu kombinasi dari beberapa sifat tanah).

Dalam pemetaan tanah konvensional, satuan peta seringkali diuraikan pada laporan teknis. Bahkan, pemetaan LREP I membuat booklet yang berisi

penjelasan tentang satuan peta. Laporan ini banyak menggunakan istilah teknis sehingga orang awam yang tidak paham istilah ilmu tanah sulit memahaminya. Tetapi, para pengguna seringkali hanya memesan peta tanpa laporannya karena laporan itu tidak untuk publikasi. Akibatnya, pengguna peta tersebut hanya memperoleh informasi tanah sebatas yang ada pada legenda peta.

Informasi yang dapat diperoleh dalam suatu peta nyatanya beragam, seperti ditunjukan oleh Tabel 7-5. Di dalam peta, pengguna hanya mengetahui jenis tanah, batasannya dan proporsi setiap jenis tanah bila lebih dari satu. Sifat tanah itu tidak disajikan secara lengkap karena tersedia dalam laporan teknis. Jadi, kegiatan pemetaan tanah yang menghasilkan banyak informasi lapangan, namun pengguna hanya mengetahui jenis tanah dan proporsinya saja. Nama tanah itu sendiri asing di orang awam sehingga pengguna sudah sulit menarik informasi tentang peta tersebut.

Tabel 7-5 Perbandingan isi informasi dari legenda peta konvensional dan dijital Skala peta Level

klasifikasi Proporsi a Level b Landform Relief (slope) c Parent material Luas 1:25.000 Famili X Subgrup √ √ √ 1:50.000 Subgrup X Subgrup √ √ √

1:250.000 Great grup √b Subgrup √ √ √

1:1.000.000 Order √b Grup √ √ (grup) √

Dijital Nilai sifat atau tipe tanah

X X X X X/√

Keterangan

a

dalam satu satuan peta terdiri dari satu hingga 2 tipe tanah dalam bentuk konsosiasi dan kompleks. Setelah 1983, klasifikasi menggunakan Taksonomi tanah. X= tidak ada, √=tersedia

c

b proporsi dibagi ke dalam predominant (>75%), D = dominant (50-75%), F = fair (25-49%), M = minor (10-24%) dan T = trace (< 10%).

untuk peta setelah tahun 1997 mengikuti Marsoedi et al. (1997)

7.4.3 Skala versus resolusi

Istilah skala mengacu pada beberapa aspek, yakni: (i) skala pemetaan, (ii) skala peta (skala kartografi), dan atau (iii) skala cakupan. Karenanya, penjelasan lebih definitif perlu diberikan apabila menggunakan istilah skala agar tidak salah tafsir.

Skala peta atau skala kartografi ini membatasi wilayah terkecil yang dapat ditampilkan dalam peta kertas (hard copy) menurut skala tertentu. Pada kasus ini, skala menghubungkan antara dimensi di peta dengan dimensi di lapangan. Contohnya, skala 1:50.000 menunjukan bahwa 1 cm di peta adalah 50.000 cm di lapangan. Skala pemetaan berimplikasi pada rancangan pengamatan tanah dan kedetilan informasi landform, kelas lereng, dan bahan induk. Skala cakupan berhubungan dengan luasan wilayah yang di survei.

Kemajuan teknologi geoinformasi saat ini, memungkinkan pemetaan tanah menggunakan skala tinjau pada wilayah skala DAS dan disajikan pada peta berskala detil. Karena dana yang terbatas, pemetaan seperti ini memungkinkan untuk dilakukan. Meskipun secara teknik bisa dilaksanakan, kegiatan tersebut dilakukan untuk memenuhi syarat administratif daripada syarat akurasi isi data dan informasi. Dampak akhirnya adalah bermuara di akurasi peta. Peta kertas skala 1:50.000 akan lebih kaya informasi bila digunakan dengan skala pemetaan semidetil daripada skala pemetaan tinjau. Bagaimanapun tidak ada ketentuan untuk kombinasi terbaik, namun tergantung kepada tujuan dan keluaran pemetaan.

Sementara itu, pemetaan tanah dijital tidak mengenal istilah skala peta. Area terkecil ini adalah resolusi dari peta, seperti resolusi 30 m x 30 m. Sumber resolusi ini umumnya menggunakan resolusi DEM ataupun citra manasaja yang paling kecil. Pada prakteknya, resolusi sumber yang paling kecil seringkali dijadikan acuan. Tabel 7-6 menunjukan resolusi dan kovariat yang pernah digunakan dalam penelitan pemetaan tanah dijital.

Tabel 7-6 Hubungan skala dan resolusi serta tingkat pemetaan Nama Tingkat pemetaan

USDA

Ukuran Pixel Skala kartografi Resolusi nominal D1 0 <(5 m x 5 m) >1:5000 <(10 m x 10 m) D2 1, 2 (5 m x 5 m) – (20 m x 20 m) 1:5.000 – 1:20.000 (10 m x10 m) – (40 m x 40 m) D3 3, 4 (20 m x 20 m) – (200 m x 200 m) 1:20.000 – 1:200.000 (40 m x 40 m) – (400 m x 400 m) D4 5 (200 m x 200 m) – (2 km x 2 km) 1:200.000 – 1:2.000.000 (400 m x 400 m) – (4 km x 4 km) D5 5 > (2 km x 2 km) <1:2.000.000 >(4 km x 4 km)

Terlepas dari perdebatan ini, pemetaan tanah dijital dapat diposisikan sebagai pelengkap teknik untuk memperkaya informasi spasial tanah yang ada. Diharapkan, keperluan yang beragam akan data tanah bisa dilayani sehingga ilmu tanah bisa berperan banyak dalam memecahkan masalah umat manusia saat ini.

Dokumen terkait