grup O
Rejimen yang mengandung PI.
Meskipun rejimen yang mengandung PI tetap diterima sebagai sebagai rejimen baku untuk mengawali terapi, namun oleh karena relatif jauh lebih mahal dibanding dengan rejimen yang mengandung NNRTI, maka hal tersebut menjadi masalah rumit di negara miskin yang ingin meningkatkan jangkauan ART. Keunggulan dari rejimen yang mengandung PI (seperti PI + 2 NNRTI), adalah memiliki efikasi yang telah terbukti secara klinis dan diketahui jelas toksisitasnya. Kelemahannya adalah banyaknya jumlah tablet yang harus diminum, perlunya makanan tertentu dan banyak minum pada beberapa kasus, interaksi dengan obat lain sehingga tidak memungkinkan atau memperumit pengobatan TB yang menggunakan rifampisin, kelainan metabolik yang diakibatkannya serta memerlukan cold-chain bagi rejimen ritonavir-boosted. Oleh karena itu, dalam pedoman ini mereka dimasukkan dalam obat lini-kedua (Bab VII). Dalam keadaan tertentu bila dikhawatirkan adanya resistensi dari NNRTI (misalnya prevalensi di masyarakat lebih
dari 5 - 10%)27, terdapat banyak jenis virus yang telah diketahui
resisten terhadap NNRTI (contohnya, HIV-2 atau HIV-1 grup O) atau adanya intoleransi terhadap NNRTI, maka rejimen yang mengandung PI harus dipakai sebagai obat lini-pertama. Pilihan meliputi (d4T atau AZT) + 3TC dikombinasikan dengan salah satu lopinavir/ritonavir (LPV/r), saquinavir/ ritonavir (SQV/r), indinavir/ritonavir (IDV/r), atau nelfinavir (NFV), pilihan tersebut tergantung pada prioritas program setempat. PI yang diperkuat ritonavir (ritonavir-boosted PI) disukai oleh
karena sangat kuat28 dan jumlah pil yang tidak terlalu banyak,
tetapi keperluan cold-chain serta kekerapan pemantauan laboratorium yang diperlukan membawa masalah tersendiri
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 24
bagi negara miskin. Dosis LPV/r adalah dua-kali perhari dan relatif dapat ditoleransi dengan baik, namun sering menimbulkan peningkatan kadar lipid plasma. Dosis SQV/r dapat diberikan sekali sehari dan dapat mencapai kadar terapetik yang adekuat dalam darah pada kehamilan dan kompatibel bila diberikan bersama-sama dengan rifampisin. Formulasi SQV/r yang tesedia saat ini terdiri dari banyak pil dan sering menimbulkan efek samping pada saluran cerna. NFV, meskipun dianggap kurang kuat dibanding LPV/r, dapat diterima sebagai alternatif, telah dipakai secara luas pada kehamilan dan tidak memerlukan sarana cold-chain. Tetapi, kurang efektif terhadap infeksi HIV-2 dibandingkan PI
lain29,30,31. IDV/r dapat pula dipakai sebagai suatu alternatif
tetapi kadang menimbulkan efek samping pada ginjal, terutama nefrolitiasis, sehingga perlu banyak minum.
Peran PI baru, atazanavir (ATV) di negara miskin masih belum jelas. Obat ini punya kelebihan bahwa dapat diberikan dengan dosis sekali sehari, dan tidak menimbulkan hiperlipidemi meski tanpa pemberian booster ritonavir. Dapat pula diberikan dengan ritonavir dosis-rendah untuk
meningkatkan potensinya32,33,34. ATV merupakan alternatif yang
layak tetapi pengalaman dari PI lain jauh lebih banyak, sehingga baru akan direkomendasikan bila harga, ketersediaan, serta pengalaman akan pemakaian obat ATV semakin baik.
Rejimen NRTI kombinasi tiga
Dalam pedoman edisi 2002 rejimen yang terdiri atas AZT/3TC/abacavir (ABC) dianggap paling mudah penggunaannya, baik bagi pasien maupun bagi pengelola program (dua tablet perhari dan tidak ada interaksi antar obat yang berat). Kelemahan utamanya adalah bahwa pada viral load yang tinggi atau pada pasien dengan penyakit tahap lanjut potensinya tidak pasti, harga relatif mahal terutama ABC, dan
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 25
kemungkinan adanya reaksi hipersensitifitas ABC yang fatal. Data mutakhir dari penelitian ACTG A5095 menunjukkan bahwa AZT/3TC/ABC memiliki kegagalan virologis lebih tinggi dari pada kombinasi (AZT/3TC/EFV atau AZT/3TC/ABC/EFV), yaitu masing-masing 21% dan 10%,
dengan median lama pemantauan 32 minggu35,36,37. Oleh karena
kelemahan virologis tersebut maka rejimen yang mengandung NRTI diletakkan dalam peringkat yang lebih rendah dibandingkan dengan rejimen yang berbasis EFV, meskipun tidak boleh diabaikan. Rejimen NRTI ganda tiga mungkin akan berguna apabila ada intoleransi atau resistensi obat terhadap NNRTI sedangkan PI tidak tersedia. Rejimen tersebut menjadi salah satu pilihan alternatif pada koinfeksi-TB yang memerlukan ART. Dalam pedoman ini rejimen NRTI ganda tiga hanya menjadi alternatif kedua untuk mengawali terapi pada situasi tertentu (contoh, ko-infeksi TB aktif, infeksi HIV-2). Perlu diketahu bahwa saat ini sedang berlangsung penelitian DART yang akan memberikan informasi penting tentang efikasi AZT/3TC/ABC dibandingkan dengan AZT/3TC/TDF dan AZT/3TC/NVP pada pengobatan 3000 ODHA yang belum
pernah mendapat ARV di Afrika38.
Tidak boleh diasumsikan bahwa setiap kombinasi 3 NRTI itu sama, setiap kombinasi 3 NRTI harus dievaluasi sendiri-sendiri. Sebagai gambaran, pada penelitian baru-baru ini ditunjukkan bahwa kombinasi TDF/3TC/ABC yang diberikan sekali sehari mengalami kegagalan virologi yang tinggi (49%) dan menimbulkan tingginya mutasi K65R, sehingga
dikawatirkan terjadi resistensi silang terhadap NRTI non-AZT39,
maka kombinasi tersebut perlu dihindari. Hal yang sama, dalam suatu studi pendahuluan pada 24 pasien dengan dosis TDF/ddI/3TC sekali sehari menunjukkan kegagalan virologis
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 26
penggunaan d4T/ddI/ABC menunjukkan efikasi yang rendah
dan frekuensi efek samping yang tinggi41, maka kombinasi
tersebut perlu pula dihindari.
Tabel 3. Rejimen ARV Lini-pertama untuk ODHA remaja dan dewasa dan faktor yang mempengaruhi pemilihannya
Rejimen ARV Toksisitas Utama Perempuan (usia subur atau hamil) Koinfeksi TBa Kemasan kombinasi-tetap 3 obat Perlu pemantauan lab. AZT + 3TC + NVP Intoleransi gastrointestinal dari AZT, anemia, dan netropenia; Hepatotoksisitas NVP dan ruam kulit berat Ya Ya, dalam terapi TB lanjutan tanpa rifampisinb. Hati-hati pada penggunakan rejimen yang mengandung rifampisina Yad Ya d4T + 3TC + NVP Neuropati yang terkait d4T, pankreatitis dan lipoatropi; Hepatotoksisitas NVP dan ruam kulit berat Ya Ya, dalam terapi TB lanjutan tanpa rifampisinb. Hati-hati untuk rejimen yang berbasis rifampisin a Ya Tidak
Tabel 3. Rejimen ARV Lini-pertama untuk ODHA remaja
dan dewasa dan faktor yang mempengaruhi pemilihannya
(lanjutan).
Rejimen
ARV Toksisitas Utama
Perempuan (usia subur atau hamil) Koinfeksi TBa Kemasan kombinasi-tetap 3 obat Perlu pemantauan lab. AZT + 3TC + EFV Intoleransi gastrointestinal dari AZT, anemia, dan netropenia; Toksisitas pada SSP yang terkait EFV dan potensial teratogenik Tidakc Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan kepada perempuan hamil atau perempuan usia subur, kecuali dipastikan menggunakan kontrasepsi Tidak. EFV tidak tersedia dalam kombinasi-tetap; namun tersedia kombinasi-tetap dari AZT/3TC Ya
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 27 yang efektif d4T + 3TC + EFV Neuropati yang terkait d4T, pankreatitis dan lipoatropi; Toksisitas pada CNS yang terkait EFV dan potensial teratogenik Tidakc Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan kepada perempuan hamil atau perempuan usia subur, kecuali dipastikan menggunakan kontrasepsi yang efektif Tidak. EFV tidak tersedia dalam kombinasi-tetap; namun tersedia kombinasi-tetap dari d4T/3TCd Tidak Keterangan:
a Lihat Bab VIII.C (Pasien dengan koinfeksi TB dan HIV). b Rejimen ini tidak baku di Indonesia
c Lihat Bab VIII.A (Perempuan usia subur atau hamil).
d Kombinasi ini belum mendapat prakualifikasi WHO tetapi dapat digunakan bila ada bukti jaga mutu
bioequivalence.
V Pemantauan Klinis dan Laboratorium
Dalam pedoman WHO direkomendasikan bahwa penilaian klinis sebelum memulai ART harus meliputi riwayat penyakit, identifikasi penyakit yang terkait dengan infeksi HIV pada saat sekarang atau sebelumnya, identifikasi kondisi medis lain yang dapat mempengaruhi saat memulai dan pilihan ART (seperti TB, kehamilan dan kondisi lain seperti anemia), dan gejala atau tanda fisik yang ada saat sekarang. Kasus TB aktif harus di tatalaksana sesuai Program Pengendalian TB nasional. Untuk memfasilitasi program peningkatan jangkauan ARV di negara berkembang, telah disusun rekomendasi pemantauan untuk di tingkat Puskesmas (sarana layanan kesehatan dasar), di RS kabupaten (menengah) dan RS rujukan (Tabel 4). WHO memandang pentingnya pemantauan laboratorium untuk memantau efikasi dan menjamin keamanan terapi, namun bukan berarti bahwa keterbatasan dan ketiadaan infrastruktur menjadi kendala dalam melaksanakan upaya peningkatan jangkauan ARV tersebut.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 28
Bab ini menitik-beratkan pada pemantauan klinis dan laboratorium baku yang diperlukan sesuai rejimen baku lini-pertama yang rekomendasikan WHO dalam Tabel 3. Rekomendasi ini dirancang untuk dapat diterapkan oleh layanan kesehatan masyarakat dan/atau rumah sakit kabupaten untuk bekerja dalam jejaring, didukung oleh rumah sakit rujukan di tingkat pusat. Perlu dikembangkan sistem kerja sama atau rujukan antar layanan kesehatan di semua tingkat untuk memaksimalkan efikasi dan keamanan ART.
Penilaian klinis dan laboratorium diperlukan sebagai data dasar sebelum memberikan terapi dan selama pengobatan ARV. Banyak penelitian di negara berkembang dan negara maju yang menunjukkan adanya korelasi antara jumlah limfosit
total dengan CD4 pada pasien yang simtomatik5-10, berarti bila
tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan Hb dan hitung limfosit total dapat digunakan sebagai petanda laboratorium untuk memulai ART.
Penilaian klinis dasar sama saja untuk keempat rejimen lini-pertama yang direkomendasikan. Hal tersebut harus meliputi:
• stadium penyakit HIV;
• menemukan adanya kondisi medis penyerta (misalnya
TB, kehamilan, penyakit jiwa yang berat);
• pengobatan penyakit penyerta secara rinci, termasuk
pengobatan tradisional;
• berat badan;
• penilaian kesiapan pasien untuk menjalani terapi.
Setelah terapi dimulai, penilaian klinis yang dilakukan harus meliputi;
• tanda/gejala toksisitas obat yang mungkin timbul (lihat
Tabel 6);
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 29
• respon terhadap terapi;
• berat badan;
• pemantauan laboratorium dasar (lihat Tabel 5)
Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan laboratoriun
Telah diketahui adanya keterbatasan kemampuan laboratorium pada saat ini. Rencana 3 by 5 dirancang agar dapat dilaksanakan dalam kondisi dan situasi yang ada. Kemampuan atau kapasitas infrastruktur laboratorium perlu ditingkatkan seperti ketersediaan pemeriksaan CD4 secara seragam, ketersediaan secara luas pemeriksaan hematologi dan kimia darah otomatis, serta ketersediaan pemeriksaan viral load di tingkat rujukan regional. Perlu dipikirkan pemilihan cara yang seragam dan hemat biaya serta jaminan pasokan reagen dan pemeliharaan peralatan.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 30
Tabel 4. Jenjang Layanan Kesehatan menurut kemampuan laboratorium untuk memantau ARTa
Layanan Kesehatan Dasar (setingkat Puskesmas) Layanan Kesehatan Menengah (RS Kabupaten/ Kota) Layanan Kesehatan Rujukan (Provinsi atau Nasional) • Pemerikasaan antibodi HIV dengan tes cepat (rapid test) sesuai prosedur yang berlaku (strategi II dan III) • Pemeriksaan Hb (bila
akan digunakan AZT)b
• Tes kehamilan d
• Rujukan untuk pemeriksaan sediaan apus dahak untuk TB bila tidak ada mikroskop
• Pemerikasaan antibodi HIV dengan tes cepat (rapid test) sesuai prosedur yang berlaku (strategi II dan III) • Kemampuan untuk
melakukan pemeriksaan serologi HIV dengan cara berbeda apabila pada tes cepat antibodi HIV menghasilkan
indeterminate
• Sarana pemerikasaan darah lengkap dan hitung jenis, pemeriksaan CD4c • SGPT (pemeriksaan fungsi hati) • Pemeriksaan kehamiland • Pemeriksaan dahak untuk TB • Pemerikasaan antibodi HIV dengan pemeriksaan cepat (rapid test) sesuai prosedur yang berlaku (strategi II dan III)
• Sarana
pemerikasaan darah lengkap dan hitung jenis, pemeriksaan CD4c
• Kimia darah lengkap (termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati/ enzim, lipid) • Pemeriksaan kehamiland • Pemeriksaan dahak untuk TB • Pemeriksaan viral loade Keterangan:
a Tabel di atas hanya memuat pemeriksaan laboratorium minimal yang diperlukan guna melaksanakan pemantauan toksisitas, efikasi dan dua kondisi penting (kehamilan dan TB) ARV dengan baik. Bukan laboratorium lengkap untuk memberikan perawatan komprehensif kepada ODHA.
b Sarana laboratorium di Puskesmas biasanya terbatas atau tidak ada, maka dapat digunakan pemeriksaan Hb dengan skala warna bersama-sama dengan pemeriksaan fisik untuk menilai anemia (untuk penjelasan lebih lengkap lihat www.who.int/bct/).
c Pemeriksaan CD4 tidak harus tersedia di setiap titik layanan tapi dapat dengan cara rujukan. d EFV tidak boleh diberikan kepada perempuan usia subur, kecuali memakai kontrasepsi yang efektif,
juga tidak boleh untuk perempuan hamil trimestrer pertama.
e Sehubungan dengan masalah teknis dan biaya maka pemeriksaan viral load pada saat ini tidak direkomendasikan sebagai bagian dalam pedoman terapi. Namun, diharapkan tersedia teknologi yang lebih hemat biaya di tingkat rujukan mengingat pentingnya pemeriksaan ini dalam menilai kegagalan terapi.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 31 Tabel 5. Pemantauan laboratorium dasar untuk rejimen ARV lini-I
di Layanan Kesehatan Dasar, dan Menengah
Rejimen Penilaian laboratorium dasar (pra-terapi) Penilaian laboratorium selama terapi
AZT + 3TC + NVP
Diharuskan: Hb
Perlu tapi tidak diharuskan: darah lengkap (DL), CD4
Pemeriksaan Hb, Lekosit, fungsi hali (ALT/SGPT) tergantung gejala untuk memantau toksisitas
CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi
AZT + 3TC + EFV
Diharuskan: Pemeriksaan kehamilan, Hb
Perlu tapi tidak diharuskan: CD4, darah lengkap (DL)
Pemeriksaan Hb, Lekosit untuk memantau toksisitas bila ada gejala CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi
D4T + 3TC +
NVP Perlu tapi tidak diharuskan: CD4
Pemeriksaan fungsi hati (ALT/SGPT) bila ada gejala untuk memantau toksisitas
CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi
d4T + 3TC + EFV
Diharuskan: Pemeriksaan kehamilan
Perlu tapi tidak diharuskan: CD4
Pemeriksaan untuk memantau toksisitas tergantung gejala (tidak rutin)
CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi
VI Alasan mengganti ART pada ODHA dewasa
Ada kemungkinan perlu mengganti ART baik oleh karena toksisitas atau kegagalan terapi.
Toksisitas. Toksisitas terkait dengan ketidak mampuan
untuk menahan efek samping dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai dan sarana pelayanan kesehatan yang ada.
Bila toksisitas terkait dengan obat atau rejimen yang dapat diidentifikasi dengan jelas, maka diganti dengan obat yang tidak memiliki efek samping serupa, misalnya, mengganti AZT dengan d4T (untuk anemia), atau EFV diganti NVP bila ada toksisitas susunan saraf pusat atau kehamilan.
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 32
Dengan terbatasnya pilihan kombinasi ARV, maka penggantian obat hanya bila sangat diperlukan, tidak dianjurkan mengganti obat yang terlalu dini. Tabel 6 memuat daftar toksisitas dan pilihan pengganti dari keempat rejimen lini-pertama. Untuk keadaan yang mengancam jiwa, atau situasi klinis yang kompleks, dianjurkan untuk dirujuk ke rumah sakit rujukan.
Tabel 6. Toksisitas utama pada rejimen ARV lini-pertama dan anjuran obat penggantinya
Rejimen Toksisitas Obat Pengganti
Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang berat
Ganti AZT dengan d4T
Hepatotoksis berat oleh karena NVP
Ganti NVP dengan EFV
(kalau hamil ganti dengan NFV, LPV/r atau ABC) Ruam kulit berat karena NVP (tetapi tidak
mengancam jiwa yaitu tanpa pustula dan tidak mengenai mukosa)
Ganti NVP dengan EFV
AZT/3TC/NVP
Ruam kulit berat yang mengancam jiwa (Stevens-Johnson syndrome) oleh karena NVP
Ganti NVP dengan PIb
Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang
berat Ganti AZT dengan d4T
AZT/3TC/EFV
Toksisitas susunan saraf pusat menetap oleh karena EFV
Ganti EFV dengan NVP
Neuropati oleh karena d4T atau
pankreatitis Ganti d4T dengan AZT Lipoatrofi oleh karena d4T Ganti d4T dengan TDF atau ABCa
Hepatotoksik berat oleh karena NVP
Ganti NVP dengan EFV (kalau hamil ganti dengan NFV, LPV/r atau ABC) Ruam kulit berat oleh karena NVP (tetapi
tidak mengancam jiwa)
Ganti NVP dengan EFV
d4T/3TC/NVP
Ruam kulit berat yang mengancam jiwa oleh karena NVP (Stevens-Johnson
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 33
Rejimen Toksisitas Obat Pengganti
Neuropati oleh karena d4T atau
pankreatitis Ganti d4T dengan AZT Lipoatrofi oleh karena d4T Ganti d4T dengan TDF atau ABCa d4T/3TC/EFV
Toksisitas susunan saraf pusat menetap oleh karena EFV
Ganti EFV dengan NVP
Keterangan:
a Penghentian pemakaian d4T tidak akan menyembuhkan lipoatrofi yang sudah teradi tetapi menghambat progresivitasnya. TDF dan ABC dapat dipertimbangkan sebagai alternatif namun harganya sangat mahal. Bila tidak tersedia TDF atau ABC atau karena tidak terjangkau, maka dapat dipertimbangkan ddI atau AZT sebagai alternatif.
b Sebagai PI dapat dipilih LPV/r atau SQV/r. IDV/r atau NFV dapat pula dipertimbangkan sebagai alternatif (lihat teks).
Kegagalan Terapi. Kegagalan terapi dapat didefinisikan
secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit, secara imunologis dengan penghitungan CD4, dan/atau secara virologis dengan mengukur viral-load. Penilaian klinis perkembangan penyakit harus dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan tubuh atau immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan gangguan kekebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik. Definisi kegagalan terapi secara klinis dan kaitannya dengan CD4 dapat dilihat pada Tabel 7.
Berhubung viral load tidak selalu tersedia, maka dalam membuat batasan kegagalan terapi dianjurkan menggunakan definisi klinis, apabila memungkinkan gunakan kriteria jumlah CD4. Demikian pula, pemeriksaan resistensi obat tidak dapat dikerjakan secara rutin pada pelayanan klinik, maka tidak dibahas dalam pedoman ini. Oleh karena kegagalan terapi di
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 34
negara berkembang hanya dapat dikenali secara klinis dan/atau menggunakan kriteria jumlah CD4 saja, maka kemungkinan besar telah terjadi mutasi yang resisten sebelumnya, dan menutup kemungkinan penggunaan komponen NRTI dari rejimen alternatif, karena ada resistensi silang dalam satu golongan obat (drug class cross-resistance) (Lihat Bab VII).
Tabel 7. Definisi Kegagalan Terapi secara Klinis dan Kriteria CD4 pada ODHA Dewasa
Tanda Klinis Kriteria CD4
• Timbulnya infeksi oportunistik baru atau keganasan yang memperjelas
perkembangan penyakit yang memburuk. Hal tersebut harus dibedakan dengan IRIS yang dapat saja timbul pada 3 bulan pertama setelah ART dimulaia. IRIS bukan merupakan tanda kegagalan terapi dan infeksi
oportunistik harus diterapi seperti biasa, tanpa mengganti rejimen ARV • Kambuhnya IO yang pernah dideritab
• Munculnya atau kambuhnya penyakit-penyakit pada Stadium III WHO (termasuk HIV wasting, diare kronik yang tidak jelas penyebabnya, terulangnya infeksi bakterial invasif, atau kandidiasis mukosa yang kambuh atau menetap)
• CD4 kembali ke jumlah sebelum terapi atau bahkan di bawahnya tanpa adanya infeksi penyerta lain yang dapat menjelaskan terjadinya penurunan CD4 sementarac
• Penurunan jumlah CD4 >50% dari jumlah tertinggi yang pernah dicapai selama terapi tanpa infeksi penyerta lain yang dapat menjelaskan terjadinya penurunan CD4 sementarac
Keterangan:
a Immune reconstitution syndrome (IRS) ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan gangguan kekebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik. b Kambuhnya TB tidak selalu menandakan perkembangan penyakit HIV yang buruk, karena dapat terjadi
reinifeksi. Perlu dilakukan evaluasi klinis.
c Pada pasien asimtomatik dan kegagalan terapi didefinisikan dengan kriteria jumlah CD4 saja, maka perlu dilakukan konfirmasi pemeriksaan CD4 kembali bila memungkinkan.
VII Pilihan rejimen ARV pada kegagalan terapi dari
obat lini-pertama pada ODHA dewasa
Pada kegagalan terapi dianjurkan untuk mengganti semua rejimen pertama dengan rejimen kedua. Rejimen lini-kedua pengganti harus terdiri dari obat yang kuat untuk
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 35
melawan galur (strain) virus dan sebaiknya paling sedikit mengandung 3 obat baru, satu atau dua di antaranya dari golongan yang baru, agar keberhasilan terapi meningkat dan risiko terjadinya resistensi silang dapat ditekan serendah mungkin.
Gambar 1 memuat daftar rejimen lini-kedua yang dapat digunakan untuk mengganti obat lini-pertama bagi ODHA dewasa seperti yang tercantum pada Tabel 3. Bila dipakai (d4T atau AZT) + 3TC sebagai rejimen lini-pertama, resistensi silang nukleosida akan membahayakan potensi dua komponen nukleosida dari rejimen lini-kedua, terutama pada kegagalan virologis yang telah lama. Pada situasi demikian perlu membuat pilihan alternatif secara empiris dengan pertimbangan untuk mendapatkan daya antiviral yang sekuat mungkin. Dengan adanya resistensi silang dari d4T dan AZT, maka rejimen lini-kedua yang cukup kuat adalah TDF/ddI atau ABC/ddI. Namun ABC dapat memberi risiko terjadi hipersensitifitas dan harganya mahal. Lagi pula, koresistensi tinggi pada AZT/3TC dapat juga terjadi resistensi terhadap ABC. TDF dapat diperlemah oleh adanya mutasi multipel dari analog nukleosida (NAM) tetapi sering masih memiliki daya antiviral melawan galur virus yang resisten terhadap nukleosida. Seperti halnya ddI, TDF dapat diberikan dengan dosis sekali sehari. TDF dapat meningkatkan kadar ddI dan oleh karenanya dosis ddI harus dikurangi bila kedua obat tersebut diberikan bersamaan, agar peluang terjadinya toksisitas akibat ddI dapat dikurangi, misalnya neuropati dan pankreatitis.
Oleh karena potensi yang menurun dari hampir semua jenis nukleosida lini-kedua, maka di dalam rejimen lini-kedua lebih baik menggunakan suatu jenis PI yang akan diperkuat oleh ritonavir (ritonavir-enhanced PI atau RTV-PI), seperti
DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 36
lopinavir (LPV)/r, saquinavir (SQV)/r atau indinavir (IDV)/r. PI yang diperkuat dengan ritonavir lebih kuat daripada
nelfinavir (NFV) saja27. NFV dapat dipertimbangkan sebagai