• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman Nasional. Terapi Antiretroviral

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pedoman Nasional. Terapi Antiretroviral"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

Pedoman Nasional

Terapi

Antiretroviral

Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit

Menular dan Penyehatan Lingkungan

2004

(2)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 2

(3)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 i

Kata Pengantar Direktur Jenderal PPM & PL, Dep Kes

RI

HIV/AIDS dalam 4 tahun terakhir semakin nyata menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari epidemi rendah menjadi epidemi terkonsentrasi. Hasil survei pada subpopulasi tertentu menunjukkan prevalensi HIV di beberapa propinsi telah melebihi 5% secara konsisten. Berdasarkan hasil estimasi oleh Depkes pada tahun 2002 diperkirakan terdapat 90.000 – 130.000 ODHA di Indonesia.

Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan pada upaya pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang memerlukan terapi ARV, maka strategi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan. Dalam memberikan kontribusi 3 by 5 initiatve global yang dicanangkan oleh WHO di UNAIDS, Indonesia secara nasional telah memulai terapi antiretroviral (ART) pada tahun 2004.

Departemen Kesehatan telah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1190 tahun 2004 tentang Pemberian Obat Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retroviral (ARV) untuk HIV/AIDS. Untuk merespon situasi tersebut dan menyimak beberapa permasalahan di atas, dipandang perlu segera diterbitkan Pedoman Nasional Terapi

Antiretroviral sebagai penjabaran Keputusan Menteri

Kesehatan tersebut di atas yang dapat menjadi acuan bagi semua pihak yang terkait dalam penanggulangan HIV/AIDS khususnya terapi antiretroviral. Buku ini juga melengkapi buku

(4)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 ii

Pedoman Nasional Perawatan Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA yang telah ada sebelumnya.

Akhirnya kepada semua tim penyusun dan semua pihak yang telah berperan serta dalam pernyusunan dan penyempurnaan buku ini disampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Terima kasih juga ditujukan kepada WHO dan GF-ATM atas bantuan dan kerjasama yang baik.

Semoga Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral ini dapat bermanfaat bagi penanggulangan HIV/AIDS khususnya program terapi antiretroviral (ART) di Indonesia.

(5)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 iii

Prakata

Buku Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral ini merupakan pemutakhiran buku Pedoman Penggunaan Terapi

Antiretroviral: Suatu Pendekatan yang Disederhanakan bagi Negara Sumber Daya Terbatas yang merupakan terjemahan

dari ”The Use of Antiretroviral Therapy: A simplified Approach for Resource constrained Countries” yang diterjemahkan oleh Dr. Rita Ridwan, MSc (Sub Dit AIDS, Ditjen PPM PL, Depkes RI), dan diedit oleh Chris W. Green (Yayasan Spiritia) pada tahun 2003. Buku tersebut belum sempat secara resmi diterbitkan oleh Depkes RI namun dipercaya telah cukup luas beredar. Berhubung dengan adanya perkembangan baru dalam terapi antiretroviral maka dipandang perlu untuk merevisi buku tersebut dalam pedoman ini. Pemutakhiran dilaksanakan oleh dr Sri Pandam Pulungsih (RSPI Sulianti Saroso, Jakarta) berdasarkan buku pedoman WHO Geneva yang terakhir, yaitu ”Scaling up antiretroviral therapy in resource-limited setting: Treatment guidelines for public health approach (revision-2003)”. Diharapkan buku ini akan bermanfaat sebagai pedoman dalam melaksanakan program pengobatan antiretroviral di Indonesia untuk memberikan kontribusi pada 3 by 5 initiative global dan akan terus diperbaiki sesuai perkembangan IPTEK kedokteran di bidang HIV/AIDS di dunia.

Editor Sri Pandam Pulungsih

(6)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 iv

Daftar Isi

KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PPM & PL, DEP KES RI...I PRAKATA ... III DAFTAR ISI... IV DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... VI DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH...VII DAFTAR KONTRIBUTOR ...XI

I PENDAHULUAN ... 1

A. ALASAN UMUM PEMBUATAN PEDOMAN... 5

B. TUJUAN PEDOMAN ART... 6

C. SASARAN PENGGUNA PEDOMAN ART... 6

II PRINSIP PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL ... 6

A. TUJUAN PENGOBATAN ARV ... 6

B. PENGETAHUAN DASAR PENGGUNAAN ART ... 7

III MEMULAI ART PADA ODHA DEWASA... 9

A. PRASYARAT... 9

B. PENILAIAN KLINIS... 10

Riwayat Penyakit... 10

Pemeriksaan fisik meliputi... 11

Pemeriksaan psikologis: ... 12

Pemeriksaan Laboratorium ... 12

Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sesuai riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis... 12

C. PERSYARATAN LAIN... 13

D. INDIKASI ART ... 13

IV OBAT ANTIRETROVIRAL... 16

A. REJIMEN ARV LINI-PERTAMA BAGI ODHA DEWASA... 17

B. BAHAN PERTIMBANGAN UNTUK MENENTUKAN OBAT LINI-PERTAMA PADA PENGOBATAN INFEKSI HIV-2 DAN HIV-1 GRUP O ... 23

Rejimen yang mengandung PI. ... 23

Rejimen NRTI kombinasi tiga ... 24

V PEMANTAUAN KLINIS DAN LABORATORIUM... 27

(7)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 v

VI ALASAN MENGGANTI ART PADA ODHA DEWASA... 31

VII PILIHAN REJIMEN ARV PADA KEGAGALAN TERAPI DARI OBAT LINI-PERTAMA PADA ODHA DEWASA ... 34

VIII CARA MENGGANTI ATAU MENGHENTIKAN ART... 37

A. PENGGANTIAN ANTAR NNRTI... 40

B. PENGHENTIAN REJIMEN YANG MENGANDUNG NNRTI DALAM KONDISI TIDAK DARURAT... 41

C. PERUBAHAN ART KARENA KEGAGALAN... 41

IX OBAT ARV UNTUK KELOMPOK TERTENTU... 42

A. PEREMPUAN USIA SUBUR ATAU HAMIL... 42

B. ANAK - ANAK... 46

Saat memulai ART pada bayi dan anak ... 46

Rejimen ARV lini-pertama yang direkomendasikan untuk bayi dan anak... 51

Penilaian Klinis bayi dan anak yang mendapat ART ... 54

Alasan mengganti ART pada bayi dan anak... 55

Rekomendasi ART lini-kedua untuk bayi dan anak ... 56

C. PASIEN DEGAN KOINFEKSI TB DAN HIV... 57

D. PENGGUNA NAPZA SUNTIK... 61

E. ARV UNTUK PROFILAKSIS PASCAPAJANAN... 61

X KEPATUHAN PADA TERAPI ANTIRETROVIRAL... 67

XI SURVEILANS RESISTENSI OBAT ... 70

XII KESIMPULAN... 71

XIII DAFTAR ACUAN... 103

LAMPIRAN A: PANDUAN PENGGUNAAN ARV PADA PMTCT*... 73

LAMPIRAN B: KLASIFIKASI IMUNITAS HIV PEDIATRIK BERDASARKAN CD4 SESUAI KELOMPOK UMUR DAN PERSENTASENYA... 76

LAMPIRAN C: RANGKUMAN FORMULA OBAT PEDIATRIK DAN DOSIS... 77

LAMPIRAN D: KOMBINASI-TETAP ARV YANG TERSEDIA DI DUNIA PADA 1 DECEMBER 2003 ... 83

LAMPIRAN E: EFEK SAMPING OBAT ANTIRETROVIRAL... 84

LAMPIRAN F: TANDA, GEJALA KLINIS, PEMANTAUAN DAN PENATALAKSANAAN TERHADAP GEJALA EFEK SAMPING YANG BERAT DARI ARV YANG MEMBUTUHKAN PENGHENTIAN OBAT... 86

LAMPIRAN G: STADIUM KLINIS HIV MENURUT WHO PADA DEWASA... 88

LAMPIRAN H: STADIUM KLINIS HIV MENURUT WHO PADA ANAK... 89

(8)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 vi

LAMPIRAN J: JARINGAN INTERNET YANG BERMANFAAT...95 LAMPIRAN K: DAFTAR RUJUKAN...96

Daftar Tabel dan Gambar

TABEL 1. SAAT UNTUK MEMULAI TERAPI PADA ODHA DEWASA 15 TABEL 2. DOSIS ANTIRETROVIRAL UNTUK ODHA DEWASA 16 TABEL 3. REJIMEN ARV LINI-PERTAMA UNTUK ODHA REMAJA DAN

DEWASA DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PEMILIHANNYA 26

TABEL 4. JENJANG LAYANAN KESEHATAN MENURUT KEMAMPUAN

LABORATORIUM UNTUK MEMANTAU ARTA 30

TABEL 5. PEMANTAUAN LABORATORIUM DASAR UNTUK REJIMEN ARV LINI-I DI LAYANAN KESEHATAN DASAR, DAN

MENENGAH 31 TABEL 6. TOKSISITAS UTAMA PADA REJIMEN ARV LINI-PERTAMA

DAN ANJURAN OBAT PENGGANTINYA 32 TABEL 7. DEFINISI KEGAGALAN TERAPI SECARA KLINIS DAN

KRITERIA CD4 PADA ODHA DEWASA 34 TABEL 8. SAAT UNTUK MEMULAI ART PADA BAYI DAN ANAK 50 TABEL 9. REJIMEN ARV LINI-PERTAMA UNTUK BAYI DAN ANAK 53 TABEL 10. DEFINISI KLINIS DAN KRITERIA CD4 UNTUK KEGAGALAN

TERAPI PADA BAYI DAN ANAK 56 TABEL 11. REJIMEN ARV UNTUK KEGAGALAN TERAPI PADA BAYI DAN

ANAK 57 TABEL 12. ART UNTUK PASIEN KOINFEKSI TB-HIV 60 TABEL 13. PENILAIAN PAJANAN UNTUK PROFILAKSIS PASCAPAJANAN

HIV 65 TABEL 14. REJIMEN ARV UNTUK PROFILAKSIS PASCAPAJANAN 66 TABEL 15. PEMANTAUAN LABORATORIUM PADA PROFILAKSIS

PASCAPAJANAN 67 GAMBAR 1. REJIMEN ARV LINI-KEDUA BAGI ODHA DEWASA BILA

DIJUMPAI KEGAGALAN TERAPI PADA REJIMEN

(9)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 vii

Daftar Singkatan dan Istilah

/r ritonavir dosis rendah

ABC abacavir

ACTG AIDS Clinical Trials Group (kelompok uji klinis

AIDS di AS)

AIDS acquired immune deficiency syndrome ALT alanine aminotransferase

ART Antiretroviral Therapy = terapi antiretroviral ARV obat antiretroviral

ATV atazanavir

AZT zidovudine yang sering disingkat pula sebagai

ZDV

BB berat badan

CD4 limfosit-T CD4+ CFR case fatality rate

d4T stavudine

DART development of antiretroviral therapy in Africa

(perkembangan ART di Afrika)

ddI didanosine

DOT directly observed therapy (terapi yang diawasi

langsung)

EFV efavirenz ENF (T-20) enfuvirtide

FDC fixed-dose combination (kombinasi beberapa obat

(10)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 viii

FTC emtricitabine Galur viral strain

GI gastrointestinal (saluran cerna)

HAART highly active antiretroviral therapy (ART)

HBV hepatitis B virus

HCV hepatitis C virus

HIV human immunodeficiency virus = virus penyebab

AIDS

IDU injecting drug user (pengguna NAPZA suntik) IDV indinavir

IRIS Immune reconstitution inflamatory syndrome = IRS = Immune reconstitution syndrome (sindrom pemulihan kekebalan)

Kepatuhan merupakan terjemahan dari adherence, yaitu kepatuhan dan kesinambungan berobat yang melibatkan peran pasien, dokter atau petugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan obat

LPV lopinavir

LSM Lembaga swadaya masyarakat

MTCT mother-to-child transmission (of HIV); penularan

HIV dari ibu ke anak

NAM nucleoside analogue mutation (mutasi analog

nukleosida)

NAPZA narkotik, alkohol, psikotropik dan zat adiktiv lain

(11)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 ix

NNRTI non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor NsRTI nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor

NtRTI nucleotide analogue reverse transcriptase inhibitor NVP nevirapine

OAT obat anti tuberculosis

ODHA orang dengan HIV/AIDS

PCR polymerase chain reaction (reaksi rantai polimerasi) PI protease inhibitor

PMTCT prevention of mother-to-child transmission = pencegahan penularan dari ibu ke anak

PPP profilaksis pascapajanan = post exposure

prophylaxis

RT reverse transcriptase

RTI reverse transcriptase inhibitor

RTV-PI ritonavir-boosted protease inhibitor (PI yang

diperkuat dengan ritonavir)

sgc soft gel capsule (kapsul gelatin yang lembut) SGOT serum glutamic oxaloacetic transaminase

SGPT serum glutamic pyruvate transaminase SQV saquinavir

SSP susunan saraf pusat

TB Tuberculosis

TDF tenofovir disoproxil fumarate

TLC total lymphocyte count (hitung limfosit total) UNAIDS Joint United Nations Programme on HIV/AIDS

(12)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 x

sukarela disertai dengan konseling)

WHO World Health Organization

(13)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 xi

Daftar Kontributor

1. Dr. Haikin Rachmat, MSc (Dit. P2ML) 2. Prof. Dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI (Pokdisus) 3. Dr. Amaya Maw Naing (W H O) 4. Dr. Bing Wibisono,SpKK (W H O) 5. Dr. Ayie Sri Kartika (RSMM Bogor) 6. Dr. Samuel Baso, SpPD (RSU Jayapura) 7. Dr. Tuti Parwati, SpPD (RS Sanglah) 8. Dr. Santoso Soeroso, SpA, MARS (RSPI-SS) 9. Dr. Sri Pandam Pulungsih, MSc (RSPI-SS) 10. Dr. Onny Quadriyanto,SpPD (RSPI-SS) 11. Dr. Ida Bagus Putu Widiarsa,SpOG (RSPI-SS) 12. Dr. Janto G Lingga, SpP (RSPI-SS) 13. Ns. Edha Bara Padang, BSc (RSPI-SS) 14. Dr. Nuroyono Wibowo,SpOG (RSCM) 15. Dr. Arwin Akib, SpA (K) (IKA-FKUI) 16. Drs. Holid Djauhari (Yanfar) 17. Dr. Husniah R.PH.Akib, MS,Mkes,SpF (Yanfar) 18. Dr. Zorni Fadia (Yanfar) 19. Rustian, Drs, Apt (Yanfar) 20. Dr. Ratna Mardiati, SpKJ (Yanmedik) 21. Drg. Rarit Gempari (Yanmedik) 22. Dr. Maria Christina, SpKK (RS Fatmawati) 23. Dr. Agustina Syamsiah, SpP (RS Duren Sawit) 24. Dr. Djoko Wibisono, SpPD (RSPAD Gatot Soebroto) 25. Dr. Priyanti, SpP (RS Persahabatan) 26. Dr. Abdul Rohman, SpP (RSAL Mintohardjo) 27. Dr. Noorwati Sutandyo, SpPD (RS Kanker Dharmais) 28. Dr. Mulawarman Jayusman, SpP (RS Kanker Dharmais) 29. Dr. Rismawaty A (RS Kanker Dharmais) 30. Ns. Sulanjani (RS Kanker Dharmais) 31. Dr. Sigit Priohutomo, MPH (Subdit AIDS & PMS) 32. Dr. Fonny J Silfanus, Mkes (Subdit AIDS & PMS) 33. Dr. Slamet, MHP (Subdit AIDS & PMS) 34. Dr. Jusni Emelia (Subdit AIDS & PMS) 35. Dr. Yance W Tatura (Subdit AIDS & PMS) 36. Dr. IGP Wiadnyana, MPH (GF-ATM)

37. Dr. Saiful Jazan, MSc (GF-ATM) 38. Dr. Nyoman Suesen (GF-ATM) 39. Dr. Jasrizal Ilyas, MPH (GF-ATM) 40. Dr. Temmy Sunyoto (MSF-B) 41. Dr. Hendra Wijaya (ASA) 42. Andri SR Soetarso (ASA) 43. Dr. Budiarto (IHPCP)

(14)
(15)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 1

I Pendahuluan

Penemuan obat antiretroviral yang kuat pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam perawatan ODHA di negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis menunjukkan penurunan angka kematian dan kesakitan, peningkatan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan semangat masyarakat. Lebih-lebih, pada saat ini HIV/AIDS telah diterima sebagai penyakit yang terkendali dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang

menakutkan1.

Sayangnya, sebagian besar dari 40 juta ODHA tinggal di negara berkembang dan belum menikmati masa depan yang

lebih baik sebagaimana negara maju2. Perkiraan konservatif

WHO menyebutkan bahwa pada akhir 2003, sekitar 6 juta ODHA di negara berkembang yang sangat membutuhkan terapi antiretroviral untuk mempertahankan hidupnya. Namun, hanya 400.000 yang telah berhasil mendapatkannya dan sepertiganya berada di Brasil.

Kira-kira 17% dari seluruh kasus tersebut di atas berada di Asia yang pada umumnya sedang menghadapi masalah politik dan sosial/ekonomi yang serius. Hal ini terjadi karena populasi di negara-negara Asia berjumlah cukup besar dan situasi negara serta penduduknya mengalami banyak faktor yang mempermudah terjadinya penularan HIV/AIDS a.l. rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan, urbanisasi/ mobilisasi penduduk, masih maraknya perilaku berisiko, tingginya prevalensi IMS, dll.

Di Indonesia sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada subpopulasi tertentu di beberapa provinsi yang memang mempunyai

(16)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 2

prevalensi HIV cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi pada kelompok orang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu para pekerja seks komersial dan penyalah-guna NAPZA suntikan di 6 provinsi: DKI Jakarta, Papua, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur (concentrated level of epidemic). Bila masalah ini tidak ditanggulangi segara, kemungkinan besar epidemi akan bergerak menjadi epidemi yang menyeluruh dan parah (generalized epidemic).

Pada tahun 2002 diperkirakan antara 90.000- 130.000 orang di Indonesia hidup dengan HIV/AIDS, dari jumlah tersebut diperkirakan sebanyak 10.000 ODHA yang membutuhkan ART (Antiretroviral Therapy - Terapi Antiretroviral) segera.

Pada pertemuan tingkat tinggi PBB (UNGASS) tentang HIV/AIDS 22 September 2003, WHO menyatakan bahwa jangkauan terapi HIV merupakan kedaruratan kesehatan global. WHO menghimbau tindakan segera untuk memastikan bahwa pada akhir tahun 2005 setidaknya 3 juta ODHA yang membutuhkan ART akan mampu menjangkau.

Untuk mencapai target tersebut maka WHO akan membangun suatu kerangka kerja yang strategik dengan pilar sebagai berikut:

kepemimpinan global, kemitraan dan advokasi yang kuat dukungan kepada negara yang memerlukan

kemudahan dan standarisasi aturan pemberian ART

ketersediaan obat dan diagnostik yang efektif dan terpercaya

mengidentifikasi keberhasilan dan menerapkan kembali temuan pengetahuan dan teknik baru.

Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral ini diadaptasi dari Pedoman WHO yang edisi pertama telah

(17)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 3

diterbitkan pada tahun 2002, dan menggambarkan cara terbaik pada saat itu berdasar bukti ilmiah yang ada. Dalam perkembangan yang pesat maka pedoman juga dimutakhirkan oleh Pedoman WHO tentang terapi yang sudah disederhanakan. Pedoman ini merupakan ujung tombak dari rencana 3 by 5 dan hanya sebagai pedoman garis besar dalam hal obat lini-pertama dan kedua yang tidak mutlak. Pedoman tersebut tidak hanya mengakomodasi bukti ilmiah yang berupa kajian klinik dan penelitian observasional atas efikasi dan efek samping obat, namun juga pengalaman pemakaian ART oleh program di negara yang menghadapi keterbatasan sumberdaya seperti obat dan biaya.

Pedoman memuat rekomendasi tentang terapi dan pemantauan antiretroviral (ART) dan dimaksudkan sebagai satu komponen dari paket perawatan komprehensif dan berkesinambungan di Indonesia, termasuk pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, program gizi dan dukungan psikososial kepada ODHA yang membutuhkan. Pengobatan HIV dalam pedoman ini juga meliputi usaha pencegahan bagi orang yang belum terinfeksi.

Kemajuan IPTEK kedokteran masa kini dalam bidang ART yang dijadikan pertimbangan WHO dalam menyiapkan revisi ini adalah:

data uji klinik, termasuk yang memiliki efikasi virologis rendah seperti kombinasi 3 nukleosida, AZT/3TC/ABC dibanding dengan rejimen kombinasi 4 ARV berbasis efavirenz;

ketersediaan analog nukleotida, tenofovir disoproxil fumarate (TDF);

perhatian terhadap toksisitas seperti 2 komponen nukleosida, stavudine (d4T)/didanosine (ddI);

(18)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 4

meningkatkan pemahaman pada perkembangan resistensi silang antar golongan obat dalam kelompok nukleosida and analog nukleotida;

disetujuinya beberapa analog nukleosida baru, emtricitabine (FTC), suatu protease inhibitor, atazanavir (ATV), fusion inhibitor, enfuvirtide (ENF, T-20) dan bertambahnya pengalaman klinik dan keterjangkauan dengan adanya ARV generik terutama dalam bentuk kombinasi dan kemasan blister (ENF tidak akan dibahas lebih lanjut dalam dokumen ini oleh karena perlu diberikan dalam bentuk parenteral dengan harga yang mahal, sehingga tidak praktis bagi negara dengan sumberdaya terbatas).

Berdasarkan data klinis, baik dari negara maju maupun berkembang, ada bukti bahwa pengobatan AIDS dapat mempertahankan jiwa dan meningkatkan mutu hidup Odha.

Pedoman ini harus diperbarui secara berkala seiring dengan perkembangan baru yang bermakna.

Pedoman terapi disajikan sebagai suatu kerangka kerja dalam memilih rejimen ARV yang paling poten dan layak untuk diterapkan sebagai salah satu komponen perawatan ODHA secara nasional. Kerangka kerja ini ditujukan untuk membakukan dan menyederhanakan ART, sebagai mana terapi TB dalam program nasional pengendalian tuberkulosis, dengan tidak mengesampingkan rumitnya pemberian terapi HIV. Pemilihan rejimen lini-pertama dan lini-kedua harus diberikan bersamaan dengan upaya memperkuat sistem pelayanan kesehatan guna mencapai kualitas dan hasil akhir yang maksimal dari pengobatan tersebut. Seperti diketahui sistem pelayanan kesehatan seringkali mengalami kekurangan sumberdaya dan lemahnya pemantauan dan evaluasi.

(19)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 5

Pedoman ini memberikan informasi tentang 4 S = starting,

substituting, switching and stopping, yaitu, saat yang tepat

untuk memulai ART (starting), memilih obat yang harus diteruskan bila harus mengganti sebagian rejimen pengobatan (subtituting), alasan untuk mengganti seluruh rejimen (switching) dan saat menghentikan ART (stopping). Pedoman ini juga memuat cara memantau pengobatan, khususnya mengenai efek samping obat dan kepatuhan dan kepatuhan pengobatan (adherence), serta memberikan pedoman ART khusus pada kelompok pasien tertentu, antara lain pasien TB, perempuan, ibu hamil dan anak.

A. Alasan Umum Pembuatan Pedoman

Pada saat ini, kurang dari 5% ODHA di negara berkembang yang membutuhkan ART dapat terjangkau. WHO memperkirakan bahwa sedikitnya 3 juta orang yang membutuhkannya dapat terjangkau pada tahun 2005. Berarti hampir 10 kali lipat dari kenyataan yang ada sekarang.

Pedoman terapi ini dimaksudkan dapat mendukung dan memfasilitasi penatalaksanaan yang lebih baik dan dapat meningkatkan jangkauan ART pada tahun mendatang untuk mencapai tujuan.

Secara rinci pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: 1 Program upaya peningkatan jangkauan ART dari sudut

pandang jangkauan universal: seperti misalnya, semua orang yang memerlukan terapi sesuai dengan kriteria indikasi medis seharusnya dapat menjangkaunya.

2 Standarisasi dan penyerderhanaan rejimen ARV sehingga program pengobatan dapat diterapkan secara efisien di daerah dengan keterbatasan sumberdaya. 3 Memastikan bahwa program ART didasarkan atas dasar

(20)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 6

yang tidak standar dan hasil akhir secara individu pasien yang tidak diinginkan serta potensi timbulnya resistensi virus terhadap obat yang ada. Namun demikian dalam membuat pedoman dan rekomedasi perlu pula mempertimbangkan ketersediaan sumber daya manusia yang terampil, sistem infrastruktur kesehatan dan kondisi sosioekonomi setempat.

B. Tujuan Pedoman ART

1 Menyediakan standar ART sebagai bagian dari perawatan HIV/AIDS yang paripurna (comprehensive); 2 Menyediakan rujukan bagi para dokter dan pemberi

layanan kesehatan lain yang merawat pasien HIV/AIDS, juga bagi pimpinan program AIDS dan perencana kesehatan yang terlibat pada program perawatan dan pengobatan HIV nasional.

C. Sasaran Pengguna Pedoman ART

Pedoman penggunaan antiretroviral ditujukan kepada: 1 Para dokter dan petugas kesehatan terkait; dan

2 Pimpinan program AIDS nasional dan perencana kesehatan lain yang terlibat dengan program perawatan dan pengobatan HIV nasional sebagai rujukan untuk pedoman pengobatan nasional.

II Prinsip Pengobatan Antiretroviral

Prinsip pengobatan antiretroviral atau antiretroviral therapy secara umum disingkat sebagai ART adalah sebagai berikut.

A. Tujuan Pengobatan ARV

(21)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 7

2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV

3. Memperbaiki kualitas hidup ODHA

4. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi kekebalan tubuh

5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus

B. Pengetahuan Dasar Penggunaan ART

• Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal

infeksi, sedikitnya terbentuk sepuluh miliar virus setiap hari, namun karena waktu paruh (half-life) virus bebas (virion) sangat singkat maka sebagian besar virus akan mati. Walaupun ada replikasi yang cepat sebagian pasien merasa tetap sehat tanpa ART selama sistem kekebalan tubuhnya masih berfungsi baik.

• Replikasi HIV yang terus-menerus mengakibatkan kerusakan

sistem kekebalan tubuh semakin berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO), kanker, penyakit saraf, kehilangan berat badan secara nyata (wasting) dan berakhir dengan kematian.

Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV, sedangkan penurunan CD4 menunjukkan tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.

Nilai viral load menggambarkan progresivitas penyakit dan

risiko kematian. Pemeriksaan secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika memungkinkan) dapat menentukan progresivitas penyakit dan mengetahui saat yang tepat untuk memulai atau mengubah rejimen ART.

• Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat

(22)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 8

pertimbangan individual dengan memperhatikan gejala klinis, hitung limfosit total dan bila memungkinkan jumlah CD4.

• Terapi kombinasi ART dapat menekan replikasi HIV hingga

di bawah tingkat yang tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka (PCR). Penekanan virus secara efektif ini mencegah timbulnya virus yang resistan terhadap obat dan memperlambat progresivitas penyakit. Jadi tujuan terapi adalah menekan perkembangan virus secara maksimal.

• Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara

terus-menerus adalah memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien baru. Pada pasien yang pernah diterapi tidak boleh menggunakan obat yang memiliki resistensi silang (cross resistant) dengan obat yang pernah dipakai.

• Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal

yang tepat. Sampai saat ini pengetahuan tentang mekanisme kerja dan jenis ARV masih terbatas dan ada laporan resistansi silang pada obat-obat tertentu.

• ODHA perempuan baik yang sedang hamil ataupun tidak

seharusnya menerima ART yang optimal.

• Prinsip pemberian ART diperlakukan sama pada anak

maupun dewasa, walaupun pengobatan pada anak perlu mendapat pertimbangan khusus.

Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat

ART harus tetap dianggap menular. Mereka harus diberi konseling agar menghindari hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan NAPZA suntikan yang dapat menularkan

(23)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 9

• Untuk menghindari timbulnya resistensi ART harus dipakai

terus-menerus dengan kepatuhan (adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpai efek samping ringan. Keterlibatan pasien dan pendampingnya (keluarga, pasangan, teman) sangat penting dalam semua pertimbangan dan keputusan untuk memulai ART. Hubungan baik antara pasien dengan dokternya sangat diperlukan.

• Pemberian ART harus dipersiapkan secara baik dan matang

dan harus digunakan seumur hidup

• Disamping ART maka infeksi oportunistik harus pula

mendapat perhatian dan harus segera diobati bila ditemukan

III Memulai ART pada ODHA dewasa

A. Prasyarat

Sebelum memulai ART, sebaiknya tersedia layanan dan fasilitas khusus, karena terapi yang rumit dan biaya tinggi, perlu pemantauan yang intensif:

Layanan tersebut terdiri dari :

1 Layanan konseling dan pemeriksaan sukarela (voluntary counseling and testing/VCT) untuk menemukan kasus yang memerlukan pengobatan dan layanan konseling tindak-lanjut untuk memberikan dukungan psikososial berkelanjutan

2 Layanan konseling kepatuhan untuk memastikan kesiapan pasien menerima pengobatan oleh konselor terlatih dan meneruskan pengobatan (dapat diberikan melalui pendampingan atau dukungan sebaya).

3 Layanan medis yang mampu mendiagnosis dan mengobati penyakit yang sering berkaitan dengan HIV serta infeksi oportunistik.

(24)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 10

4 Layanan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan laboratorium rutin seperti pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah. Akses ke laboratorium rujukan yang mampu melakukan pemeriksaan CD4 bermanfaat untuk memantau pengobatan.

5 Ketersediaan ARV dan obat infeksi oportunistik serta penyakit terkait lain, yang efektif, bermutu, terjangkau dan berkesinambungan.

B. Penilaian Klinis

Sebelum memulai terapi perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:

• Penggalian riwayat penyakit secara lengkap

• Pemeriksaan fisik lengkap

• Pemeriksaan laboratorium rutin

• Hitung limfosit total (total lymphocyte count/TLC) dan

bila mungkin pemeriksaan jumlah CD4 Perlu penilaian klinis yang rinci sbb:

• Menilai stadium klinis infeksi HIV

• Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan

HIV di masa lalu

• Mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat

ini yang membutuhkan pengobatan

• Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani

yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi

Riwayat Penyakit

Pertanyaan mengenai riwayat penyakit meliputi:

• Kapan dan di mana diagnosis HIV ditegakkan

(25)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 11

• Gejala dan keluhan pasien saat ini

• Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan

pengobatan yang diterima termasuk infeksi oportunistik

• Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB)

termasuk kemungkinan kontak dengan TB sebelumnya

• Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)

• Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan

• Riwayat penggunaan ART termasuk riwayat rejimen

untuk PMTCT sebelumnya

• Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral

pada perempuan

• Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual

• Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan fisik meliputi

• Berat badan, tanda vital

• Kulit: herpes zoster, sarkoma Kaposi, dermatitis HIV,

pruritic papular eruption (PPE), dermatitis seboroik berat, jejas suntikan (needle track) atau jejas sayatan

• Limfadenopati

• Selaput lendir orofaringeal: kandidiasis, sarkoma

Kaposi, hairy leukoplakia, HSV

• Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen

• Pemeriksaan sistem saraf dan otot rangka: kedaan

kejiwaan, berkurangnya fungsi motoris dan sensoris

• Pemeriksaan fundus mata: retinitis dan papil-edema

(26)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 12

Pemeriksaan psikologis:

• Untuk mengetahui status mental

• Menilai kesiapan menerima pengobatan jangka panjang

atau seumur hidup

Pemeriksaan Laboratorium

• Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan

strategi 2 atau strategi 3 sesuai pedoman

• Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)

• Pemeriksaan darah lengkap (terutama HB) dan kimia

darah (terutama fungsi hati) dan fungsi ginjal

• Pemeriksaan kehamilan

Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sesuai riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis

• Foto toraks

• Pemeriksaan urin rutin dan mikroskopik

• Serologi virus hepatitis C (HCV) dan virus hepatitis B

(HBV) (tergantung pada adanya pemeriksaan dan sumber daya)

Pemeriksaan HIV harus dilakukan oleh teknisi yang terlatih di laboratorium yang menjalankan program jaga mutu. Hasil pemeriksaan sebaiknya juga menyebutkan jenis pemeriksaan yang dipakai untuk menegakkan diagnosis berdasarkan pedoman WHO. Bila timbul keraguan, pemeriksaan harus diulang di laboratorium rujukan.

Jika memungkinkan, profil kimia darah diperiksa yang meliputi:

• kreatinin serum dan/atau ureum darah untuk menilai

fungsi ginjal pada awal,

(27)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 13

• SGOT/SGPT untuk mengetahui kemungkinan adanya

hepatitis serta memantau adanya keracunan obat.

• pemeriksaan lain bila perlu seperti: bilirubin serum,

lipid serum dan amilase serum.

C. Persyaratan lain

• Sebelum mendapat ART pasien harus dipersiapkan

secara matang dengan konseling kepatuhan yang telah baku, sehingga pasien faham benar akan manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda-tanda bahaya dan lain sebagainya yang terkait dengan ART

• Pasien yang mendapat ART harus menjalani

pemeriksaan untuk pemantauan secara klinis dengan teratur

D. Indikasi ART

Sesuai rekomendasi WHO untuk daerah dengan keterbatasan sumberdaya, maka ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah ditegakkan secara laboratoris disertai salah satu kondisi di bawah ini. • Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV:

o Infeksi HIV Stadium IV menurut kriteria WHO, tanpa memandang jumlah CD4

o Infeksi HIV Stadium III menurut kriteria WHO dengan

jumlah CD4 <350/mm3

• Infeksi HIV Stadium I atau II menurut kriteria WHO

dengan jumlah CD4 <200/mm3 (Tabel 1)

Artinya bahwa ART untuk penyakit Stadium IV (kriteria WHO disebut AIDS klinis) tidak seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk Stadium III, bila tersedia sarana pemeriksaan CD4 akan membantu untuk menentukan saat

(28)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 14

pemberian terapi yang lebih tepat. Tuberkulosis paru dapat timbul pada tahapan dengan jumlah CD4 berapapun, bila jumlah CD4 tersebut dapat terjaga dengan baik (misalnya

>350/mm3), maka terapi dapat ditunda dengan meneruskan

pemantauan pasien secara klinis. Untuk kondisi Stadium III

terpilih nilai ambang 350/mm3 karena pada nilai di bawahnya

biasanya kondisi pasien mulai menunjukkan perkembangan penyakit yang cepat memburuk dan sesuai dengan pedoman

yang ada4,5. Bagi pasien dalam stadium I atau II, maka jumlah

CD4 <200/mm3 merupakan indikasi pemberian terapi.

Apabila tidak ada sarana pemeriksaan CD4, maka yang digunakan sebagai indikator pemberian terapi pada infeksi HIV

simtomatik adalah jumlah limfosit total 1200/mm3 atau kurang

(misalnya pada Stadium II WHO). Sedangkan pada pasien asimtomatik jumlah limfosit total kurang berkorelasi dengan jumlah CD4. Namun bila dalam stadium simtomatik baru akan bermanfaat sebagai petanda prognosis dan harapan hidup6,7,8,9,10,11.

Pemeriksaan viral load (misalnya dengan menggunakan kadar RNA HIV-1 dalam plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya ART dan tidak direkomendasikan oleh WHO sebagai tindakan rutin untuk memandu pengambilan keputusan terapi, oleh karena harganya yang mahal dan pemeriksaannya rumit. Diharapkan di masa mendatang dapat terkembang cara pemeriksaan viral load yang lebih terjangkau sehingga cara memantau pengobatan tersebut dapat diterapkan secara luas.

Perlu diperhatikan bahwa sistem pentahapan infeksi HIV menurut WHO bagi ODHA dewasa tersebut dikembangkan pada beberapa tahun yang lalu dan memiliki keterbatasan, namun demikian, tetap masih bermanfaat untuk membantu menetapkan indikator saat memulai terapi.

(29)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 15 Tabel 1. Saat untuk memulai terapi pada ODHA dewasa

Bila tersedia pemeriksaan CD4 Stadium IV WHO, tanpa memandang jumlah CD4

Stadium III WHO, dengan jumlah CD4 <350/mm3 sebagai petunjuk dalam mengambil keputusana

Stadium I atau II WHO dengan jumlah CD4 <200/mm3b

Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4 Stadium IV WHO, tanpa memandang jumlah limfosit total

Stadium III WHO, tanpa memandang jumlah limfosit total

Stadium II WHO dengan jumlah limfosit total <1200/mm3c Keterangan: (lihat lampiran F)

a CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).

b Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana ART harus dimulai belum dapat ditentukan. c Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak dapat

dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I WHO) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumberdaya terbatas.

(30)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 16

IV Obat Antiretroviral

Tabel 2. Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa

Golongan/ Nama

Obat Dosis a

Nucleoside RTI

Abacavir (ABC) 300 mg setiap 12 jam

Didanosine (ddI)

400 mg sekali sehari

(250 mg sekali sehari if <60 kg)

(250 mg sekali sehari bila diberikan bersama TDF) Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari Stavudine (d4T) 40 mg setiap 12 jam

(30 mg setiap 12 jam bila BB<60 kg) Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg setiap 12 jam

Nucleotide RTI

Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari, (Catatan: interaksi obat dengan ddI perlu mengurangi dosis ddI)

Non-nucleoside RTIs

Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari b

Nevirapine (NVP) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam

Protease inhibitors

Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800 mg/100 mg setiap 12 jam c, d

Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EFV atau NVP) Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam

Saquinavir/ ritonavir (SQV/r)

1000 mg/100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg/200 mg sekali seharid,e

Ritonavir (RTV, r)f Capsule 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml Keterangan:

a Dosis yang terpapar pada tabel di atas dipilih berdasarkan bukti klinis terbaik yang ada. Dosis yang dapat diberikan

sekali atau setiap 12 jam akan lebih meningkatkan kepatuhan pada terapi. Dosis di dalam daftar tersebut dimaksudkan untuk pasien dengan fungsi ginjal dan hati yang normal. Informasi produk harus dikonsulkan untuk menyesuaikan dosis yang mungkin diperlukan bagi pasien dengan fungsi hati dan ginjal yang tidak normal atau berpotensi untuk terjadi interaksi obat HIV atau non-HIV lainnya.

b Lihat Bab TB untuk dosis khusus TB.

c Dosis rejimen sering digunakan secara klinis. Dosi lain dari rejimen IDV/r yang bekisar antara 800 mg/200 mg setiap

12 jam hingga 400 mg/100 mg setiap 12 jam juga dalam penggunaan klinis.

d Ada indikasi penyesuaian dosis ketika dikombinasikan dengan NNRTI, namun pada saat in belum dapat dibuat

rekomendasi tertulis. Salah satu pertimbangan adalah menaikkan dosis komponen RTV menjadi 200 mg setiap 12 jam bila digunakan EFV atau NVP secara bersamaan. Diperlukan data interaksi obat lebih lanjut.

e Kedua kemasan baik kapsul hard-gel dan soft-gel dapat digunakan bila akan mengkombinasikan SQV dengan RTV.

f Ritonavir hanya digunakan dalam kombinasi dengan indinavir, lopinavir dan saquinavir sebagai booster (penguat)

(31)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 17

A. Rejimen ARV Lini-pertama bagi ODHA dewasa

Untuk mendorong peningkatan jangkauan ART dilaksanakan program ART melalui pendekatan kesehatan masyarakat seperti yang digariskan oleh WHO dalam rencana 3 by 5 yang dikembangkan untuk dapat menjangkau lebih banyak ODHA yang memerlukan terapi dan memerlukan pembakuan ART. Disarankan penyediaan rejimen lini-pertama dalam jumlah yang cukup. Obat lini-kedua hanya disediakan dalam jumlah terbatas di sarana rujukan dengan dokter spesialis terlatih, mengingat beberapa ODHA mungkin tidak dapat mentoleransi atau gagal pada pengobatan lini-pertama tersebut. Penggunaan rejimen baku merupakan komponen terpenting untuk mencapai tujuan 3 by 5.

Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih rejimen ART baik di tingkat program ataupun di tingkat individual adalah:

efikasi obat;

profil efek-samping obat;

persyaratan pemantauan laboratorium;

kemungkinan kesinambungannya sebagai pilihan obat di masa depan;

antisipasi kepatuhan oleh pasien;

kondisi penyakit penyerta (contoh, koinfeksi, kelainan metabolik);

kehamilan dan risikonya;

penggunaan obat lain secara bersamaan (potensi terjadinya interaksi obat);

infeksi galur (strain) virus lain yang potensial meningkatkan resistensi terhadap satu atau lebih ARV, termasuk ARV lain yang diberikan sebelumnya sebagai profilaksis atau terapi; ketersediaan dan harga ARV.

(32)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 18

Perlu pula mempertimbangkan penggunaan ARV dalam

bentuk kombinasi tetap yang terjamin mutunyaa (kombinasi

tetap atau fixed-dose combination = FDC)b atau kemasan blisterc

karena hal tersebut sangat berpengaruh baik pada kepatuhan dan akan menekan munculnya resistensi obat, juga akan mempermudah penyimpanan atau distribusinya. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah keterbatasan jangkauan pada beberapa jenis ARV, keterbatasan infrastruktur sarana layanan kesehatan (termasuk sumberdaya manusia), pengiriman ke daerah pedesaan yang jauh dari kota, tingginya insiden TB dan hepatitis B dan/atau C di masyarakat dan terdapatnya lebih dari satu tipe, grup, dan subtipe HIV.

Pada pedoman WHO terdahulu (April 2002) direkomendasikan bahwa rejimen lini-pertama terdiri atas dua NRTI ditambah salah satu NNRTI atau abacavir, atau protease inhibitor. Sejak pedoman tersebut diterbitkan kebanyakan negara berkembang memilih komposisi rejimen lini-pertama yang terdiri atas dua NRTI dan satu NNRTI. Tiga rejimen NRTI termasuk abacavir hampir tidak pernah dipilih oleh karena harganya terlalu mahal dan adanya reaksi hipersensitif. Rejimen yang mengandung satu protease inhibitor menjadi pilihan kedua, terutama oleh karena harganya yang mahal. Perlu pula dipertimbangkankan jumlah tablet yang harus diminum, profil efek samping obat dan kesulitan logistik (beberapa perlu cold-chain).

a

Dosis kombinasi-tetap (fixed-dose combinations (FDCs)),yang bermutu yang dimaksud dalam dokumen ini adalah termasuk produk individual yang dianggap memenuhi kualitas standar internasional, keamanan dan efikasinya. Dalam hal, obat kombinasi yang komponennya berasal dari pabrik yang berbeda dengan yang telah diakui secara internasional, perlu mencantumkan hasil penelitian clinical bioequivalence untuk menentukan therapeutic interchangeability dari tiap komponennya. Untuk prakualifikasi WHOuntuk ARV lihat:

http://www.who.int/medicines/organization/qsm/activities/pilotproc/proc.shtml b

Dosis kombinasi-tetap adalah menyatukan 2 atau lebih produk farmakologi aktif dalam satu pil, kapsul, tablet atau larutan.

c

Suatu kemasan blister adalah kemasan dalam plastik atau blister aluminum yang mengandung dua atau lebih pil, kapsul atau tablet.

(33)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 19

Setelah melakukan kajian atas rejimen berbasis NNRTI dengan memperhatikan efikasi dan toksisitas baik komponen NRTI dan NNRTI-nya, ketersediaan koformula tetap (Lampiran D), tidak adanya persyaratan cold-chain, ketersediaan dan harga obat maka disimpulkan bahwa keempat obat dalam rejimen ARV lini-pertama yang tercantum dalam Tabel 3 adalah cocok untuk ODHA dewasa. Rejimen tersebut terdiri atas suatu analog timidin dari NRTI, contoh, stavudin (d4T) atau zidovudin (AZT), suatu tiasitidin dari NRTI (contoh, lamivudin [3TC] ), dan suatu NNRTI (contoh, nevirapine [NVP] atau efavirenz [EFV] ).

Pada awalnya d4T lebih mudah ditoleransi daripada AZT dan tidak memerlukan pemantauan haemoglobin. Namun, di antara sekian anggota NRTI, d4T seringkali menimbulkan lipoatrofi dan kelainan metabolisme lain di negara maju, termasuk adanya asidosis laktat, terutama bila dikombinasikan dengan didanosin (ddI). Dapat pula menyebabkan neuropati perifer dan pankreatitis. AZT juga dapat berdampak pada komplikasi metabolik tetapi dalam derajat yang lebih rendah dibanding d4T. Efek samping awal (sakit kepala, mual) lebih sering dijumpai pada pemberian AZT. Obat tersebut dapat menimbulkan anemia berat dan neutropenia, sehingga, memerlukan pemantauan Hb sebelum dan selama pengobatan. Kedua obat ini (AZT dan d4T) dapat saling menggantikan bila tidak dapat ditoleransi atau muncul komplikasi (kecuali pada munculnya asidosis laktat, di mana kedua obat tersebut tidak boleh dipakai). Bila tidak tersedia pemantauan laboratorium untuk Hb maka pilihan jatuh pada d4T dari NRTI.

Lamivudin (3TC) adalah suatu NRTI yang kuat dengan riwayat efikasi yang baik, aman, dan dapat diterima. Dapat diberikan satu atau dua kali perhari dan telah dimasukkan dalam sejumlah tablet kombinasi. Emtricitabine (fluorinated

(34)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 20

cytidine analogue = FTC) adalah suatu jenis analog nukleosida yang baru disetujui, secara struktur kimiawi dan profil

resistensinya mirip dengan 3TC, dapat diberikan sekali sehari12.

Saat ini bentuk kombinasi bersama tenofovir disoproxil fumarate (TDF) masih dalam penelitian. Oleh karena FTC masih relatif baru dan baru disetujui di beberapa negara saja maka tidak dimasukkan dalam rekomendasi WHO sebagai obat lini-pertama, namun tidak menutup kemungkinan di masa depan akan berubah seiring dengan bertambahnya pengalaman dan ketersediaan atas obat tersebut yang semakin luas dan harga yang semakin murah.

Dua komponen NRTI yang terdiri atas d4T/ddI tidak lagi direkomendasikan sebagai rejimen lini-pertama karena alasan

profil toksisitasnya, terutama pada kehamilan13. Juga perlu

ditekankan bahwa AZT dan d4T bekerja secara antagonistik

sehingga tidak boleh digunakan secara bersamaan14.

TDF memiliki waktu paruh intraseluler yang panjang, maka dapat dipakai sebagai anggota rejimen tripel sekali sehari. Telah terbukti bahwa TDF merupakan komponen dari rejimen lini-pertama yang efektif bila dikombinasikan dengan 3TC dan

efavirenz (EFV)15,16. Biasanya dapat ditoleransi dengan baik

meskipun ada laporan tentang timbulnya insufisiensi fungsi

ginjal pada pasien yang menerima TDF17,18,19. Pengalaman

dengan obat ini secara global masih relatif sedikit, lagi pula ketersediaannya masih sangat terbatas dan relatif mahal bagi negara berkembang. Dalam pedoman ini TDF digunakan dalam rejimen lini-kedua.

Secara global, rejimen berbasis NNRTI saat ini merupakan rejimen kombinasi yang paling banyak dipakai untuk terapi awal. Obat golongan tersebut relatif cukup kuat dan sederhana tetapi tidak efektif bila berhadapan dengan HIV-2 dan HIV-1 grup O. EFV dan NVP keduanya merupakan NNRTI yang kuat

(35)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 21

secara klinis bila diberikan dalam bentuk kombinasi yang sesuai. Namun oleh karena adanya perbedaan mengenai profil toksisitas, potensi untuk berinteraksi dengan obat lain dan harga, penggunaan kombinasi mereka masih menjadi

kontroversi14,20,21,22,23,24,25,26. NVP dapat menimbulkan ruam kulit

maupun hepatotoksisitas masing-masing dengan insidens yang tinggi, yang dapat berat dan fatal. Hal tersebut membuat NVP kurang sesuai untuk terapi ODHA yang telah mendapat obat lain yang juga hepatotoksik ataupun ruam kulit, atau keduanya, seperti halnya rifampisin.

Toksisitas terbanyak pada EFV adalah berhubungan dengan sistem susunan saraf pusat (SSP), teratogenisitas dan ruam kulit (ruam kulit lebih sering timbul pada anak daripada dewasa, yang biasanya ringan dan tidak perlu sampai menghentikan pengobatan). Pada umumnya gejala pada SSP mereda setelah 10 – 14 hari, meskipun tidak semuanya demikian. EFV tidak boleh diberikan kepada ODHA dengan riwayat gangguan psikiatrik berat, atau hamil. EFV dapat dipakai sebagai NNRTI pilihan untuk pasien dengan koinfeksi TB-HIV, sedangkan NVP merupakan pilihan terbaik bagi perempuan usia subur atau hamil. EFV tidak boleh diberikan kepada ODHA perempuan usia subur kecuali bila dapat dipastikan memakai kontrasepsi yang terpercaya. Perlu sekali ditekankan di sini bahwa EFV dan NVP dapat berinteraksi dengan pil kontrasepsi yang mengandung estrogen dengan menurunkan efek kontrasepsinya. NVP dapat disediakan dalam kemasan koformula-tetap 3 obat asal ada jaminan mutu bioequivalence -nya.

Penggunaan kombinasi dari 5 jenis obat (d4T atau AZT) + 3TC + (NVP atau EFV) dalam 4 kemungkinan rejimen kombinasi-tetap (Tabel 3) menyediakan pilihan pengganti bila ada reaksi toksik (Tabel 6). Oleh karena masing-masing

(36)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 22

dianggap efikasinya cukup kuat sebagai rejimen baku, perlu pertimbangan faktor lain dalam pemilihan rejimen utama. Tabel 3 memuat daftar faktor tersebut.

ARV dalam kemasan blister ataupun kombinasi-tetap memiliki keunggulan dibandingkan dengan pengemasan obat secara konvensional yaitu membantu menyederhanakan pengobatan dan meningkatkan kepatuhan dan kesinambungan berobat (adherence), serta mengurangi kesalahan penulisan resep, meningkatkan kepatuhan pada pedoman pengobatan baku bagi petugas kesehatan, mengurangi kesalahan minum obat, mempermudah pengelolaan logistik obat (dengan tanggal kedaluwarsa tunggal), menyederhanakan penghitungan kebutuhan, pembelian, distribusi dan penyimpanan, dan mengurangi risiko kesalahan pemakaian obat tunggal. Kombinasi-tetap juga memberikan tantangan bila diperlukan penyesuaian dosis masing-masing komponen untuk individu tertentu, seperti anak, dan adanya perbedaan waktu paruh dari obat pada waktu obat terputus. Syarat pemantauan laboratorium juga perlu diperhitungkan (lihat Bab V).

Bila pada rejimen lini-pertama dipilih d4T/3TC/NVP atau AZT/3TC/NVP maka diperlukan persediaan kombinasi-tetap 2 obat (d4T/3TC atau AZT/3TC) untuk menerapkan dosis awal NVP selama 2 minggu pertama pengobatan sebagai antisipasi serta menanggulangi reaksi toksik dari NVP (Lampiran D). Obat tambahan tersebut juga perlu tersedia di layanan kesehatan tingkat menengah seperti di daerah tingkat II atau rumah sakit rujukan. Pendekatan pada ketersediaan rejimen tetap ini harus seiring dengan strategi pemantauannya pada sistem pelayanan kesehatan (lihat Bab VII).

(37)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 23

B. Bahan pertimbangan untuk menentukan obat lini-pertama pada pengobatan infeksi HIV-2 dan HIV-1 grup O

Rejimen yang mengandung PI.

Meskipun rejimen yang mengandung PI tetap diterima sebagai sebagai rejimen baku untuk mengawali terapi, namun oleh karena relatif jauh lebih mahal dibanding dengan rejimen yang mengandung NNRTI, maka hal tersebut menjadi masalah rumit di negara miskin yang ingin meningkatkan jangkauan ART. Keunggulan dari rejimen yang mengandung PI (seperti PI + 2 NNRTI), adalah memiliki efikasi yang telah terbukti secara klinis dan diketahui jelas toksisitasnya. Kelemahannya adalah banyaknya jumlah tablet yang harus diminum, perlunya makanan tertentu dan banyak minum pada beberapa kasus, interaksi dengan obat lain sehingga tidak memungkinkan atau memperumit pengobatan TB yang menggunakan rifampisin, kelainan metabolik yang diakibatkannya serta memerlukan cold-chain bagi rejimen ritonavir-boosted. Oleh karena itu, dalam pedoman ini mereka dimasukkan dalam obat lini-kedua (Bab VII). Dalam keadaan tertentu bila dikhawatirkan adanya resistensi dari NNRTI (misalnya prevalensi di masyarakat lebih

dari 5 - 10%)27, terdapat banyak jenis virus yang telah diketahui

resisten terhadap NNRTI (contohnya, HIV-2 atau HIV-1 grup O) atau adanya intoleransi terhadap NNRTI, maka rejimen yang mengandung PI harus dipakai sebagai obat lini-pertama. Pilihan meliputi (d4T atau AZT) + 3TC dikombinasikan dengan salah satu lopinavir/ritonavir (LPV/r), saquinavir/ ritonavir (SQV/r), indinavir/ritonavir (IDV/r), atau nelfinavir (NFV), pilihan tersebut tergantung pada prioritas program setempat. PI yang diperkuat ritonavir (ritonavir-boosted PI) disukai oleh

karena sangat kuat28 dan jumlah pil yang tidak terlalu banyak,

tetapi keperluan cold-chain serta kekerapan pemantauan laboratorium yang diperlukan membawa masalah tersendiri

(38)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 24

bagi negara miskin. Dosis LPV/r adalah dua-kali perhari dan relatif dapat ditoleransi dengan baik, namun sering menimbulkan peningkatan kadar lipid plasma. Dosis SQV/r dapat diberikan sekali sehari dan dapat mencapai kadar terapetik yang adekuat dalam darah pada kehamilan dan kompatibel bila diberikan bersama-sama dengan rifampisin. Formulasi SQV/r yang tesedia saat ini terdiri dari banyak pil dan sering menimbulkan efek samping pada saluran cerna. NFV, meskipun dianggap kurang kuat dibanding LPV/r, dapat diterima sebagai alternatif, telah dipakai secara luas pada kehamilan dan tidak memerlukan sarana cold-chain. Tetapi, kurang efektif terhadap infeksi HIV-2 dibandingkan PI

lain29,30,31. IDV/r dapat pula dipakai sebagai suatu alternatif

tetapi kadang menimbulkan efek samping pada ginjal, terutama nefrolitiasis, sehingga perlu banyak minum.

Peran PI baru, atazanavir (ATV) di negara miskin masih belum jelas. Obat ini punya kelebihan bahwa dapat diberikan dengan dosis sekali sehari, dan tidak menimbulkan hiperlipidemi meski tanpa pemberian booster ritonavir. Dapat pula diberikan dengan ritonavir dosis-rendah untuk

meningkatkan potensinya32,33,34. ATV merupakan alternatif yang

layak tetapi pengalaman dari PI lain jauh lebih banyak, sehingga baru akan direkomendasikan bila harga, ketersediaan, serta pengalaman akan pemakaian obat ATV semakin baik.

Rejimen NRTI kombinasi tiga

Dalam pedoman edisi 2002 rejimen yang terdiri atas AZT/3TC/abacavir (ABC) dianggap paling mudah penggunaannya, baik bagi pasien maupun bagi pengelola program (dua tablet perhari dan tidak ada interaksi antar obat yang berat). Kelemahan utamanya adalah bahwa pada viral load yang tinggi atau pada pasien dengan penyakit tahap lanjut potensinya tidak pasti, harga relatif mahal terutama ABC, dan

(39)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 25

kemungkinan adanya reaksi hipersensitifitas ABC yang fatal. Data mutakhir dari penelitian ACTG A5095 menunjukkan bahwa AZT/3TC/ABC memiliki kegagalan virologis lebih tinggi dari pada kombinasi (AZT/3TC/EFV atau AZT/3TC/ABC/EFV), yaitu masing-masing 21% dan 10%,

dengan median lama pemantauan 32 minggu35,36,37. Oleh karena

kelemahan virologis tersebut maka rejimen yang mengandung NRTI diletakkan dalam peringkat yang lebih rendah dibandingkan dengan rejimen yang berbasis EFV, meskipun tidak boleh diabaikan. Rejimen NRTI ganda tiga mungkin akan berguna apabila ada intoleransi atau resistensi obat terhadap NNRTI sedangkan PI tidak tersedia. Rejimen tersebut menjadi salah satu pilihan alternatif pada koinfeksi-TB yang memerlukan ART. Dalam pedoman ini rejimen NRTI ganda tiga hanya menjadi alternatif kedua untuk mengawali terapi pada situasi tertentu (contoh, ko-infeksi TB aktif, infeksi HIV-2). Perlu diketahu bahwa saat ini sedang berlangsung penelitian DART yang akan memberikan informasi penting tentang efikasi AZT/3TC/ABC dibandingkan dengan AZT/3TC/TDF dan AZT/3TC/NVP pada pengobatan 3000 ODHA yang belum

pernah mendapat ARV di Afrika38.

Tidak boleh diasumsikan bahwa setiap kombinasi 3 NRTI itu sama, setiap kombinasi 3 NRTI harus dievaluasi sendiri-sendiri. Sebagai gambaran, pada penelitian baru-baru ini ditunjukkan bahwa kombinasi TDF/3TC/ABC yang diberikan sekali sehari mengalami kegagalan virologi yang tinggi (49%) dan menimbulkan tingginya mutasi K65R, sehingga

dikawatirkan terjadi resistensi silang terhadap NRTI non-AZT39,

maka kombinasi tersebut perlu dihindari. Hal yang sama, dalam suatu studi pendahuluan pada 24 pasien dengan dosis TDF/ddI/3TC sekali sehari menunjukkan kegagalan virologis

(40)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 26

penggunaan d4T/ddI/ABC menunjukkan efikasi yang rendah

dan frekuensi efek samping yang tinggi41, maka kombinasi

tersebut perlu pula dihindari.

Tabel 3. Rejimen ARV Lini-pertama untuk ODHA remaja dan dewasa dan faktor yang mempengaruhi pemilihannya

Rejimen ARV Toksisitas Utama Perempuan (usia subur atau hamil) Koinfeksi TBa Kemasan kombinasi-tetap 3 obat Perlu pemantauan lab. AZT + 3TC + NVP Intoleransi gastrointestinal dari AZT, anemia, dan netropenia; Hepatotoksisitas NVP dan ruam kulit berat Ya Ya, dalam terapi TB lanjutan tanpa rifampisinb. Hati-hati pada penggunakan rejimen yang mengandung rifampisina Yad Ya d4T + 3TC + NVP Neuropati yang terkait d4T, pankreatitis dan lipoatropi; Hepatotoksisitas NVP dan ruam kulit berat Ya Ya, dalam terapi TB lanjutan tanpa rifampisinb. Hati-hati untuk rejimen yang berbasis rifampisin a Ya Tidak

Tabel 3.

Rejimen ARV Lini-pertama untuk ODHA remaja

dan dewasa dan faktor yang mempengaruhi pemilihannya

(lanjutan).

Rejimen

ARV Toksisitas Utama

Perempuan (usia subur atau hamil) Koinfeksi TBa Kemasan kombinasi-tetap 3 obat Perlu pemantauan lab. AZT + 3TC + EFV Intoleransi gastrointestinal dari AZT, anemia, dan netropenia; Toksisitas pada SSP yang terkait EFV dan potensial teratogenik Tidakc Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan kepada perempuan hamil atau perempuan usia subur, kecuali dipastikan menggunakan kontrasepsi Tidak. EFV tidak tersedia dalam kombinasi-tetap; namun tersedia kombinasi-tetap dari AZT/3TC Ya

(41)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 27 yang efektif d4T + 3TC + EFV Neuropati yang terkait d4T, pankreatitis dan lipoatropi; Toksisitas pada CNS yang terkait EFV dan potensial teratogenik Tidakc Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan kepada perempuan hamil atau perempuan usia subur, kecuali dipastikan menggunakan kontrasepsi yang efektif Tidak. EFV tidak tersedia dalam kombinasi-tetap; namun tersedia kombinasi-tetap dari d4T/3TCd Tidak Keterangan:

a Lihat Bab VIII.C (Pasien dengan koinfeksi TB dan HIV). b Rejimen ini tidak baku di Indonesia

c Lihat Bab VIII.A (Perempuan usia subur atau hamil).

d Kombinasi ini belum mendapat prakualifikasi WHO tetapi dapat digunakan bila ada bukti jaga mutu

bioequivalence.

V Pemantauan Klinis dan Laboratorium

Dalam pedoman WHO direkomendasikan bahwa penilaian klinis sebelum memulai ART harus meliputi riwayat penyakit, identifikasi penyakit yang terkait dengan infeksi HIV pada saat sekarang atau sebelumnya, identifikasi kondisi medis lain yang dapat mempengaruhi saat memulai dan pilihan ART (seperti TB, kehamilan dan kondisi lain seperti anemia), dan gejala atau tanda fisik yang ada saat sekarang. Kasus TB aktif harus di tatalaksana sesuai Program Pengendalian TB nasional. Untuk memfasilitasi program peningkatan jangkauan ARV di negara berkembang, telah disusun rekomendasi pemantauan untuk di tingkat Puskesmas (sarana layanan kesehatan dasar), di RS kabupaten (menengah) dan RS rujukan (Tabel 4). WHO memandang pentingnya pemantauan laboratorium untuk memantau efikasi dan menjamin keamanan terapi, namun bukan berarti bahwa keterbatasan dan ketiadaan infrastruktur menjadi kendala dalam melaksanakan upaya peningkatan jangkauan ARV tersebut.

(42)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 28

Bab ini menitik-beratkan pada pemantauan klinis dan laboratorium baku yang diperlukan sesuai rejimen baku lini-pertama yang rekomendasikan WHO dalam Tabel 3. Rekomendasi ini dirancang untuk dapat diterapkan oleh layanan kesehatan masyarakat dan/atau rumah sakit kabupaten untuk bekerja dalam jejaring, didukung oleh rumah sakit rujukan di tingkat pusat. Perlu dikembangkan sistem kerja sama atau rujukan antar layanan kesehatan di semua tingkat untuk memaksimalkan efikasi dan keamanan ART.

Penilaian klinis dan laboratorium diperlukan sebagai data dasar sebelum memberikan terapi dan selama pengobatan ARV. Banyak penelitian di negara berkembang dan negara maju yang menunjukkan adanya korelasi antara jumlah limfosit

total dengan CD4 pada pasien yang simtomatik5-10, berarti bila

tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan Hb dan hitung limfosit total dapat digunakan sebagai petanda laboratorium untuk memulai ART.

Penilaian klinis dasar sama saja untuk keempat rejimen lini-pertama yang direkomendasikan. Hal tersebut harus meliputi:

• stadium penyakit HIV;

• menemukan adanya kondisi medis penyerta (misalnya

TB, kehamilan, penyakit jiwa yang berat);

• pengobatan penyakit penyerta secara rinci, termasuk

pengobatan tradisional;

• berat badan;

• penilaian kesiapan pasien untuk menjalani terapi.

Setelah terapi dimulai, penilaian klinis yang dilakukan harus meliputi;

• tanda/gejala toksisitas obat yang mungkin timbul (lihat

Tabel 6);

(43)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 29

• respon terhadap terapi;

• berat badan;

• pemantauan laboratorium dasar (lihat Tabel 5)

Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan laboratoriun

Telah diketahui adanya keterbatasan kemampuan laboratorium pada saat ini. Rencana 3 by 5 dirancang agar dapat dilaksanakan dalam kondisi dan situasi yang ada. Kemampuan atau kapasitas infrastruktur laboratorium perlu ditingkatkan seperti ketersediaan pemeriksaan CD4 secara seragam, ketersediaan secara luas pemeriksaan hematologi dan kimia darah otomatis, serta ketersediaan pemeriksaan viral load di tingkat rujukan regional. Perlu dipikirkan pemilihan cara yang seragam dan hemat biaya serta jaminan pasokan reagen dan pemeliharaan peralatan.

(44)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 30

Tabel 4. Jenjang Layanan Kesehatan menurut kemampuan laboratorium untuk memantau ARTa

Layanan Kesehatan Dasar (setingkat Puskesmas) Layanan Kesehatan Menengah (RS Kabupaten/ Kota) Layanan Kesehatan Rujukan (Provinsi atau Nasional) • Pemerikasaan antibodi HIV dengan tes cepat (rapid test) sesuai prosedur yang berlaku (strategi II dan III) • Pemeriksaan Hb (bila

akan digunakan AZT)b

• Tes kehamilan d

• Rujukan untuk pemeriksaan sediaan apus dahak untuk TB bila tidak ada mikroskop

• Pemerikasaan antibodi HIV dengan tes cepat (rapid test) sesuai prosedur yang berlaku (strategi II dan III) • Kemampuan untuk

melakukan pemeriksaan serologi HIV dengan cara berbeda apabila pada tes cepat antibodi HIV menghasilkan

indeterminate

• Sarana pemerikasaan darah lengkap dan hitung jenis, pemeriksaan CD4c • SGPT (pemeriksaan fungsi hati) • Pemeriksaan kehamiland • Pemeriksaan dahak untuk TB • Pemerikasaan antibodi HIV dengan pemeriksaan cepat (rapid test) sesuai prosedur yang berlaku (strategi II dan III)

• Sarana

pemerikasaan darah lengkap dan hitung jenis, pemeriksaan CD4c

• Kimia darah lengkap (termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati/ enzim, lipid) • Pemeriksaan kehamiland • Pemeriksaan dahak untuk TB • Pemeriksaan viral loade Keterangan:

a Tabel di atas hanya memuat pemeriksaan laboratorium minimal yang diperlukan guna melaksanakan pemantauan toksisitas, efikasi dan dua kondisi penting (kehamilan dan TB) ARV dengan baik. Bukan laboratorium lengkap untuk memberikan perawatan komprehensif kepada ODHA.

b Sarana laboratorium di Puskesmas biasanya terbatas atau tidak ada, maka dapat digunakan pemeriksaan Hb dengan skala warna bersama-sama dengan pemeriksaan fisik untuk menilai anemia (untuk penjelasan lebih lengkap lihat www.who.int/bct/).

c Pemeriksaan CD4 tidak harus tersedia di setiap titik layanan tapi dapat dengan cara rujukan. d EFV tidak boleh diberikan kepada perempuan usia subur, kecuali memakai kontrasepsi yang efektif,

juga tidak boleh untuk perempuan hamil trimestrer pertama.

e Sehubungan dengan masalah teknis dan biaya maka pemeriksaan viral load pada saat ini tidak direkomendasikan sebagai bagian dalam pedoman terapi. Namun, diharapkan tersedia teknologi yang lebih hemat biaya di tingkat rujukan mengingat pentingnya pemeriksaan ini dalam menilai kegagalan terapi.

(45)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 31 Tabel 5. Pemantauan laboratorium dasar untuk rejimen ARV lini-I

di Layanan Kesehatan Dasar, dan Menengah

Rejimen Penilaian laboratorium dasar (pra-terapi) Penilaian laboratorium selama terapi

AZT + 3TC + NVP

Diharuskan: Hb

Perlu tapi tidak diharuskan: darah lengkap (DL), CD4

Pemeriksaan Hb, Lekosit, fungsi hali (ALT/SGPT) tergantung gejala untuk memantau toksisitas

CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi

AZT + 3TC + EFV

Diharuskan: Pemeriksaan kehamilan, Hb

Perlu tapi tidak diharuskan: CD4, darah lengkap (DL)

Pemeriksaan Hb, Lekosit untuk memantau toksisitas bila ada gejala CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi

D4T + 3TC +

NVP Perlu tapi tidak diharuskan: CD4

Pemeriksaan fungsi hati (ALT/SGPT) bila ada gejala untuk memantau toksisitas

CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi

d4T + 3TC + EFV

Diharuskan: Pemeriksaan kehamilan

Perlu tapi tidak diharuskan: CD4

Pemeriksaan untuk memantau toksisitas tergantung gejala (tidak rutin)

CD4 setiap 6 -12 bulan, bila tersedia, untuk memantau efikasi

VI Alasan mengganti ART pada ODHA dewasa

Ada kemungkinan perlu mengganti ART baik oleh karena toksisitas atau kegagalan terapi.

Toksisitas. Toksisitas terkait dengan ketidak mampuan

untuk menahan efek samping dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai dan sarana pelayanan kesehatan yang ada.

Bila toksisitas terkait dengan obat atau rejimen yang dapat diidentifikasi dengan jelas, maka diganti dengan obat yang tidak memiliki efek samping serupa, misalnya, mengganti AZT dengan d4T (untuk anemia), atau EFV diganti NVP bila ada toksisitas susunan saraf pusat atau kehamilan.

(46)

DEPKES RI – Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral – 2004 32

Dengan terbatasnya pilihan kombinasi ARV, maka penggantian obat hanya bila sangat diperlukan, tidak dianjurkan mengganti obat yang terlalu dini. Tabel 6 memuat daftar toksisitas dan pilihan pengganti dari keempat rejimen lini-pertama. Untuk keadaan yang mengancam jiwa, atau situasi klinis yang kompleks, dianjurkan untuk dirujuk ke rumah sakit rujukan.

Tabel 6. Toksisitas utama pada rejimen ARV lini-pertama dan anjuran obat penggantinya

Rejimen Toksisitas Obat Pengganti

Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang berat

Ganti AZT dengan d4T

Hepatotoksis berat oleh karena NVP

Ganti NVP dengan EFV

(kalau hamil ganti dengan NFV, LPV/r atau ABC) Ruam kulit berat karena NVP (tetapi tidak

mengancam jiwa yaitu tanpa pustula dan tidak mengenai mukosa)

Ganti NVP dengan EFV

AZT/3TC/NVP

Ruam kulit berat yang mengancam jiwa (Stevens-Johnson syndrome) oleh karena NVP

Ganti NVP dengan PIb

Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang

berat Ganti AZT dengan d4T

AZT/3TC/EFV

Toksisitas susunan saraf pusat menetap oleh karena EFV

Ganti EFV dengan NVP

Neuropati oleh karena d4T atau

pankreatitis Ganti d4T dengan AZT Lipoatrofi oleh karena d4T Ganti d4T dengan TDF atau ABCa

Hepatotoksik berat oleh karena NVP

Ganti NVP dengan EFV (kalau hamil ganti dengan NFV, LPV/r atau ABC) Ruam kulit berat oleh karena NVP (tetapi

tidak mengancam jiwa)

Ganti NVP dengan EFV

d4T/3TC/NVP

Ruam kulit berat yang mengancam jiwa oleh karena NVP (Stevens-Johnson

Gambar

Tabel 2. Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa  Golongan/ Nama
Tabel 3.  Rejimen ARV Lini-pertama untuk ODHA remaja
Tabel 4.  Jenjang Layanan Kesehatan menurut kemampuan  laboratorium untuk memantau ART a
Tabel 8.  Saat untuk memulai ART pada bayi dan anak
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tanaman umur enam bulan setelah tanam (bst) disubkultur pada medium New Phalaenopsis (NP) dengan konsentrasi Nitrogen (N) setengah dari NP (1/2NP), dengan atau

Pada alat tenun ini benang lusi dalam posisi vertikal dan selalu tegang karena ada pemberat atau beban, sedangkan benang pakan disisipkan dengan suatu alat yang disebut

Guru menugaskan peserta didik supaya memperlihatkan rubrik “Insya Allah Aku Bisa” dalam buku teks kepada orang tuanya dengan memberikan komentar dan paraf (halaman terakhir

Hasil analisa dengan menggunakan metode RULA adalah untuk sisi kanan dan kiri masih dapat diterima namun, perlu diadakan perubahan karena dapat menimbulkan

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Disamping itu, kebanyakan studi efisiensi hanya fokus pada pengukuran kinerja efisiensi teknis, sementara penelitian yang melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang

Guru yang juga merupakan peneliti menjalankan tugas sebagai penilai sementara siswa yang lain diberi kebebasan untuk memberikan apresiasi sastra geguritan dengan memilih salah

Corruption models don’t take account the fact that individuals can be induced to evade taxes when, say, bribery exists among tax collectors, a government official, and conduct