• Tidak ada hasil yang ditemukan

BALIKPAPAN DAN PROSES SOSIAL KELUARGA PENDATANG MISKIN

Keluarga pendatang di Balikpapan berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Mereka datang dengan waktu yang berbeda,dimana dari tahun 1940-1960 program transmigrasi masih berlangsung khususnya di daerah Karang Joang Balikpapan. Program transmigrasi sebagian besar di lakukan oleh Etnis Jawa. Sementara itu, Etnis Bugis yang pada dasarnya sudah memiliki kebudayaan merantau dan mengarungi lautan ke Balikpapan. Mereka awalnya tinggal di pinggiran wilayah kota dan bekerja sebagai nelayan. Namun, sebagian dari mereka melebarkan wilayah mata pencaharian hingga ke Karang Joang sebagai petani. Selanjutnya, pada tahun 1988 mulai diberlakukan pengawasan hutan lindung di pinggiran Sungai Wain. Sebagian besar penduduk yang mendiami hutan lindung tersebu tmerupakan dari Etnis Banjar. Pemerintah lalu mengalokasikan penduduk Etnis Banjar tersebut di wilayah transmigran Karang Joang. Berikut adalah data jumlah responden berdasarkan tahun kedatangannya di Karang Joang Balikpapan.

Tabel 5.1 Tahun Kepindahan Responden (%) a

Etnis Tahun Kepindahan Total

1940-1960 1970-2000 2000-sekarang Ambon 0 0 1.2 1.2 Banjar 0 3.5 7.1 10.6 Bugis 3.5 9.4 16.5 29.4 Jawa 10.6 16.5 23.5 50.6 Madura 0 2.4 2.4 4.7 Sunda 0 1.2 2.4 3.5 Total 14.1 32.9 52.9 100 a

Sumber: Data primer (diolah)

Merujuk pada tabel 5.1, jumlah pendatang dari tahun ke tahun semakin bertambah. Hal tersebut disebabkan oleh faktor penarik maupun faktor pendorong. Faktor pendorong yang paling kuat keluarga pendatang ke Balikpapan adalah karena penghasilan di daerah tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka (Lampiran). Selain itu, terdapat proses sosial yang mengandalkan jaringan etnis. Keluarga pendatang miskin yang mengandalkan sesama etnis juga banyak dijumpai. Faktor penarik masyarakat untuk datang ke Balikpapan terdiri dari berbagai faktor yaitu program transmigrasi dan pemanfaatan jaringan sosial. Berikut adalah penjelasan dari faktor-faktor penyebab keluarga untuk datang ke Balikpapan.

Keluarga pendatang di Kelurahan Karang Joang tidak terlepas dari adanya program transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah sejak zaman kolonial. Kondisi kemiskinan di Etnis Jawa, membuat program emigrasi perlu dilaksanakan.

5

SEJARAH KETIKA MEMULAI KEHIDUPAN DI

Begitu pula dengan kepadatan penduduk akibat pertumbuhan penduduk yang pesat di Etnis Jawa menyebabkan banyak pengangguran dan petani yang tidak punya tanah. Hal tersebut yang memacu Pemerintah pada saat itu untuk membuat program transmigrasi untuk keluarga miskin yang tidak memiliki tanah.

Pada masa orde lama tahun 1948 pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk pelaksanaan transmigrasi dengan berbagai permasalahannya yang diketuai oleh A.H.D Tambunan. Pada saat itu Presiden Soekarno tidak memfokuskan transmigrasi pada kelebihan penduduk Etnis Jawa, tetapi melihat adanya ketimpangan kepadatan penduduk pulau Etnis Jawa dan luar Etnis Jawa. Hal tersebut menjadi acuan dalam Undang-undang No.20/1960 bahwa tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

Perpindahan penduduk masih mengutamakan pertanian sebagai sektor usaha. Namun beberapa perubahan kebijaksanaan dari kebijaksanaan kolonisasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Adapun perubahan yang dilakukan Pemerintah antara lain (1) golongan penduduk yang ditransmigrasikan diperbanyak, bukan hanya petani kecil, tetapi juga petani yang terkena bencana alam atau proyek pembangunan bahkan juga golongan eks Angkatan Bersenjata, (2) memperluas jatah tanah garapan menjadi 2 Ha tanah dan menambah bekal transmigrasi untuk mengatasi kesulitan dalam masa setelah penempatan di daerah baru tersebut, (3) penghapusan politik enclave dan bersatu dalam kesatuan yang baru yang lebih besar (Pratama 2012).

Pada jaman orde lama, ada pengkategorian transmigrasi, sehingga dikenal istilah transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi biaya sendiri, transmigrasi spontan. Dalam sistem transmigrasi umum segala keperluan transmigrasi, sejak pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta alat—alat pertanian. Transmigrasi keluarga merupakan sistem transmigrasi beruntunan, artinya jika ada keluarga transmigrasi ingin mengajak keluarganya yang masih tinggal di daerah asal. Transmigrasi biaya sendiri, mengharuskan calon transmigran mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat ke lokasi dengn ongkos sendiri, setelah sampai di lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti transmigrasi umum. Sedangkan transmigrasi spontan selain menganggung sendiri ongkos ke lokasi, mereka pun harus menanggung sendiri keberangkatannya. Di tempat tujuan baru mereka lapor untuk mendapatkan lahan di daerah yang telah diberikan.

Balikpapan mulai menerima transmigran pada masa kolonial untuk digunakan sebagai pekerja industri minyak dan di lahan pertanian. Salah satu wilayah untuk menampung para transmigran adalah kelurahan Karang Joang. Seperti Pak AD (67 tahun) yang berasal dari Magelang, Etnis Jawa pindah ke kelurahan Karang Joang, Balikpapan pada tahun 1960-an. Pak AD mengikuti program transmigrasi yang diadakan oleh Pemerintah dan diberikan tanah 2 hektar untuk rumah dan untuk dia berkebun. Adapun alasan Pak AD untuk pindah ke Balikpapan disebabkan oleh tidak adanya lahan dia miliki di Etnis Jawa membuat dia tidak memiliki pekerjaan. Berikut hasil wawancara dengan Pak AD (67 tahun):

“Saya dan keluarga pindah ke Balikpapan agar saya bisa memiliki tanah yang bisa saya garap dan kelolah sendiri,karena di tempat asal semua tanah sudah punya orang lain” (Wawancara, 5 April 2014)

Faktor pendorong yang membuat Pak AD untuk pindah dari pulau Etnis Jawa ke Balikpapan adalah karena kondisi tempat asal. Lahan yang disediakan dari pemerintah tidak bisa langsung ditanami karena lahan masih berupa hutan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon besar. Hal tersebut membuat lahan yang disediakan harus dirintis terlebih dahulu. Selain itu kondisi tanah dengan lahan gambut dan belum bisa ditanami membuat petani harus melakukan pemulihan tanah dengan pemupukan selama beberapa bulan.

Pada tahun 1961 jumlah penduduk Balikpapan 91 760 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 3.81 % pertahun. Pada tahun 1970 jumlah penduduk bertambah menjadi 130 306 jiwa. Kenaikan jumlah penduduk yang tinggi setelah tahun 1960-an disebabkan adanya pembukaan industri-industri di bidang kehutanan yang menyerap banyak buruh. Industri dalam bidang kehutanan ini menerima tenaga kerja cukup besar terutama di bidang pekerjaan kasar seperti menebang pohon, merintis jalan di hutan, menguliti pohon dan lain sejenisnya. Pekerjaan ini banyak digemari pada masa itu karena tidak memerlukan keahlian khusus (Pratama 2012).

Kegiatan merintis hutan juga banyak dilakukan oleh keluarga pendatang pada saat itu, dimana mereka digunakan sebagai pekerja untuk menebang pohon. Hasil merintis digunakan untuk berkebun, dan kayunya dijual. Pratama (2012) juga menuliskan bahwa sebagian penduduk pribumi Balikpapan bercocok tanam, berladang, mengumpulkan hasil hutan seperti rotan, sarang burung dan berburu. Hasil tersebut selain digunakan untuk konsumsi masyarakat, juga dijual kepada beberapa pedagang Tionghoa atau pengepul perusahaan Belanda.

Pada tahun 1954, merupakan pembukaan lahan bagi kaum transmigran . Sebagian dari mereka hutan untuk membuat lahan pertanian dan jalan umum. Keluarga pendatang dari Etnis bugis pada saat itu juga ikut berpastisipasi dalam penebangan hutan atau merintis dilakukan secara berkelompok. Mereka berjumlah sekitar 15 sampai 20 orang yang berasal dari anggota keluarga maupun dari warga pendatang lainnya. Hasil dari rotan, penebangan pohon dan sarang burung tersebut dijual kepada para pedagang tionghoa dan perusahaan kayu.

Pada kegiatan merintis tahap I pada tahun 1954 belum terdapat stratifikasi dalam hal kepemilikan lahan. Keluarga miskin pendatang yang ikut dalam program transmigrasi melakukan pembukaan lahan merintis bersama dengan warga lainnya. Hasil penjualan kayu tersebut menjadi modal awal bertani dan bertahan hidup di tempat transmigran. Setiap kepala keluarga diberikan lahan 2 Ha, dan masing- masing dikerjakan oleh anggota keluarga. Lalu kemudian dilanjutkan dengan periode merintis tahap II, dimana keluarga yang berhasil di periode merintis tahap I memanggil keluarga mereka di kampung halaman untuk ikut dalam pembukaan lahan.

Tabel 5.2 Moda Produksi Komersil Pada Produksi Merintis tahun 1954-1990 a Hub.Produksi

Kekuatan Produksi

Batas Sosial Hub. Produksi

Struktur Hub.Produksi

Sifat Hub. Produksi Alat Produksi Produksi Merintis

Tahap 1

Lahan atau tanah dikuasai oleh masing-masing keluarga. Tidak terdapat hirarki Produksi Merintis Tahap II

Lahan atau tanah dikuasai oleh pemilik modal berdasarkan etnis. Terdapat Hirarki yaitu pemilik modal dan pekerja pembuka lahan (merintis) Organisasi (unit) Produksi Produksi Merintis Tahap 1 Keluarga inti, dimana setiap anggota keluarga dan diluar keluarga inti Pembagian kerja belum memiliki pemilik modal atau pemimpin (non hirarki). Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab Produksi Merintis Tahap II

Keluarga inti dan diluar keluarga inti berdasarkan etnis. Pembagian memiliki hirarki, dimana terdapat pemilik modal dan pekerja Tenaga Kerja Utama Produksi Merintis Tahap I Keluarga Inti Produksi Merintis Tahap II

Keluarga inti dan diluar keluarga inti berdasarkan etnis.

a

Sumber: Data primer (diolah)

Periode merintis tahap II pada tahun 1990 terjadi pembentukan kelas dimana terdapat pemilik modal dan pekerja. Pemilik modal merupakan pendatang yang telah berhasil mengumpulkan modal untuk membuka lahan yang dimana hasil pembukaan lahan seperti pohon yang ditebang kemudian dijual. Surplus produksi dari hasil penebangan pohon pada saat pembukaan lahan diserap oleh pemilik modal. Hal tersebut memberikan keuntungan lebih banyak bagi pemilik modal. Hampir sama dengan periode merintis tahap II dimana pekerja yang membuka lahan berjumlah 15 sampai 20 orang dan setiap pekerja diberikan upah Rp 20.000/hari kerja, tempat tinggal, dan makanan. Pembagian ciri-ciri produksinya dapat dilihat pada tabel 5.2.

Pekerja pembuka lahan (merintis) merupakan keluarga miskin pendatang yang tidak memiliki pekerjaan di tempat asal atau pendapatan mereka sangat kecil. Hal tersebut membuat mereka ingin pindah dan mencari kehidupan baru di Balikpapan. Pada saat mereka berhasil membuka lahan, mereka diberikan 2 Ha lahan untuk setiap keluarga pekerja. Sebagian dari pekerja menggunakan lahan untuk menanam padi dan sebagiannya lagi digunakan untuk berkebun.

Pemilik modal memiliki cukup modal untuk membuka usaha dan membeli alat produksi seperti mobil truk. Mobil truk tersebut disewakan kepada perusahaan atau masyarakat yang ingin menggunakan mobil truk tersebut sebagai alat pengangkut barang atau sebagai alat transportasi bagi masyarakat sekitar. Hal tersebut membuat pemilik modal mendapatkan keuntungan sekitar Rp5 000 000 /bulan. Pendapatan tersebut sangat beda jauh dengan keluarga miskin yang bekerja sebagai petani yang hanya memiliki lahan untuk berkebun.

Kegiatan merintis merupakan kegiatan penebangan pohon di hutan yang akan dijadikan lahan untuk sawah maupun kebun oleh masyarakat transmigran. Merintis dilakukan oleh 15-20 orang yang dilakukan secara gotong royong, bekerja sama untuk membuka lahan. Pohon yang sudah ditebang lalu mereka jual dan menjadi tambahan modal untuk berkebun dan membeli kebutuhan hidup sehari-hari.

Gambar 5.1 Struktur Pekerja dan Pembagian Lahan Periode Merintis II a

aSumber: Data primer

Dari gambar 5.1, pada proses produksinya jika pohon sudah ditebang dan dari masing-masing anggota merintis membereskan lahannya. Selanjutnya beberapa perwakilan dari mereka akan mengurus sertifikat kepemilikan tanah ke kantor lurah. Terdapat kondisi dimana masyarakat yang telah merintis melakukan manipulasi data kepemilikan tanah. Mereka menggunakan 3-4 identitas nama agar mendapatkan lanah lebih dari 2 hektar. Sehingga pada saat itu banyak para perintis yang memiliki tanah lalu menjual tanah sebagai modal awal membentuk usaha baru di luar pertanian. Hal tersebut menyebabkan pendapatannya makin meningkat dan sekarang statusnya berubah menjadi masyarakat kelas atas di daerah tersebut. Selain itu, setelah mereka telah memiliki sertifikasi tanah, mereka bisa menjual

Pemiik modal

Pemilik modal merupakan penyedia modal untuk pekerja

Hasil lahan yang telah dirintis dibagi

Setiap orang mendapatkan lahan seluas 2 Ha

Diurus ke kantor lurah/ kantor transmigrasi untuk

sertifikasi lahan

Hasil rintisan juga bisa dibeli oleh orang kota bergantung pada kesepaakatan.

Hasil penebangan pohon dijual dan diberikan kepada

pemilik modal dan dibagikan juga ke pekerja

Setiap pekerja diberikan upah Rp 5000 dan sisanya diambil oleh pemilik modal.

Pekerja

tanah tersebut kepada pemerintahan maupun orang kota yang sanggup membeli dengan harga yang mahal. Akan tetapi tidak semua para perintis berniat menjual lahan mereka. Sebagian dari mereka berniat untuk mengelolah lahan tersebut hingga menjadi kebun produktif.

Keluarga yang menjual tanahnya, menggunakan hasil jualannya untuk membangun rumah dan memanggil orang dari kampung untuk kembali merintis/ membuka lahan baru. Sehingga mereka menjadi pemimpin sekaligus pemilik modal baru yang mengakomodasi para pekerja dari kampung halaman mereka. Hasilnya kembali ke pemilik modal dan para pekerja juga mendapatkan lahan hasil rintisan. Pada zaman orde baru, pemerintah memberikan penekanan pada tujuan memproduksi beras dalam pencapaian swasembada pangan. Pembukaan daerah transmigrasi dipeluas ke wilayah Kalimantan, Sulawesi bahkan sampai ke Papua. Pada periode rencana pembangunan lima tahun (repelita) ke-2 antara tahun 1974- 1979, konsep mengenai transmigrasi diitegrasikan ke dalam pembangunan nasional (Setiawan 2006).

Pada periode rencana pembangunan lima tahun (repelita) ke-2 antara tahun 1974-1979, konsep transmigrasi diitegrasikan ke dalam pembangunan nasional. Masa selanjutnya pada repelita ke-3 (1979-1983) ada penekanan yang lebih mendalam terhadap kepentingan penahanan dan keamanan. Pada periode ini diintroduksikan konsep pelestarian lingkungan, sehingga transmigrasi juga diberi misi agar bisa memulihkan sumber daya alam yang sudah tereksploitasi dan memelihara lingkungan hidup.

Keluarga Miskin yang mengikuti program transmigrasi pada masa orde baru masih mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Salah satu kesulitan yang dihadapi mereka ialah transportasi. Hal tersebut membuat mereka harus berjalan kaki dan memikul hasil kebun mereka ke kota. Berikut ialah hasil wawancara dengan salah satu responden yaitu Pak SD (63 tahun) dari Magelang:

“Saya dan keluarga pindah ke Balikpapan tahun 1989 dan pada saat itu

Pemerintah sedang mengadakan program pembagian tanah. Tetapi kehidupan kami susah, dimana lahan yang diberikan pemerintah berada di pelosok dan susah transportasinya, sehingga pada saat panen kami harus memikul berkilo-kilo meter ke kota untuk menjual hasil kebun kami. Kemudian pemerintah memberikan kami sapi jantan dan betina untuk dipelihara agar kami tidak usah berkebun. Alhamdulillah sapi kami bisa beranak hingga kami memiliki 10 ekor sapi dan dibeli warga kota. Hingga pada saat Kelurahan Karang Joang mulai dikembangkan dan jalanan mulai diperbaiki, saya dan keluarga kembali bertani” (16 April 2014) Kesulitan akses transportasi yang dihadapi Pak SD membuat dia harus meninggalkan lahannya dan menjadi peternak sapi. Berbagai permasalahan yang dihadapi keluarga miskin pendatang yang mengikuti program transmigran tidak menyurutkan niat mereka untuk tetap tinggal di Balikpapan. Namun selain masalah akses jalan, program pembukaan lahan yang dilakukan pemerintah membuat terbentuknya stratifikasi pemilik lahan, dimana terdapat pemiliki lahan lebih dari luas lahan yang telah ditentukan yaitu 2 Ha setiap kepala keluarga. Hal tersebut terjadi pada saat transmigrasi keluarga.

Responden yang datang ke Balikpapan pada periode orde baru sebanyak 24 KK akan tetapi mereka yang ikut dalam program transmigrasi pemerintah lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang mengikuti program transmigrasi pada jaman orde lama. Pola kedatangan mereka adalah melalui jaringan sosial keluarga dan sesama etnis. Berikut ialah pola jaringan kedatangan keluarga miskin tahun 1970-2000.

Gambar 5.2 Pola Jaringan Kedatangan Keluarga Miskin di Balikpapan a

a

Sumber: Data primer

Berdasarkan gambar 5.2, terdapat ikatan sosial antar keluarga di kampung asal. Portes (2013) menjabrakan sumber modal sosial yang berasal dari penggunaan adalah penanaman nilai dan ikatan solidaritas. Sumber yang berasal dari instrumental lebih menekankan pada pertukaran timbal balik dan kepercayaan yang dapat dilaksanakan. Baik sumber dari penggunaan yang terdiri dari penanaman nilai serta ikatan solidaritas dan sumber dari instrumental yang terdiri dari pertukaran timbal balik dan kepercayaan yang dapat dilaksanakan, pada akhirnya berujung pada kemampuan untuk menjamin keuntungan seluruh anggota dalam jaringan maupun struktur sosial dan memiliki konsekuensi postif maupun konsekuensi negatif.

Keluarga miskin pendatang yang berada di Balikpapan tidak terlepas dari peran hubungan jaringan sosial yang juga menjadi sumber modal mereka berupa jaringan keluarga maupun dari jaringan sesama etnis. Hal tersebut membuat mereka tetap memiliki hubungan kekeluargaan dan etnis yang sangat kental walaupun berada di tempat asing. Seperti hasil wawancara dari Pak WW (52 tahun) berasal dari Etnis bugis Soppeng salah satu kabupaten dari Sulawesi Selatan:

“Saya ke sini karena diajak oleh Keluarga MP yang sudah lebih dulu datang kesini tahun 1989, awalnya saya dipekerjakan sebagai buruh untuk membuka lahan dengan upah 250/hari. Untuk buka lahan kami bekerja sebanyak 15 orang karena harus membuka lahan hutan dengan pohon yang besar-besar jadi perlu banyak orang untuk kerja. Hasil dari buka lahan, pohonnya dijual lalu diserahkan ke keluarga yang mengajak untuk membayar upah dan biaya hidup selama disini. Sesudah kami membuka lahan, kami lalu berkebun dan alhamdulillah hasil kebunnya bisa dijual di pasar. Lahan yang dipakai juga sekarang sudah ada sertifikitnya dan jadi mulik saya dengan luas 2 hektar”(Wawancara, 17 April 2014).

KELUARGA DI

BALIKPAPAN Sebagai Penyedia Modal dan Fasilitas KELUARGA dari desa

(Diajak ke Balikpapan

Pembukaan Lahan Baru

Mendapatkan lahan baru Mendapatkan modal baru dari hasil pembukaan lahan

Awal dari kedatang Pak WW ke Balikpapan karena ajak keluarga MP yang lebih dulu pindah ke Balikpapan. Pak MP merupakan warga yang dulunya ikut program transmigran tahun 1956 dan mendapatkan lahan seluas 2 hektar. Kemudian Pemerintah Balikpapan membuka program pembukaan lahan tambang yang akan diubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan serta deforestasi hutan untuk transmigran membuat keluarga MP dan warga yang ikut dalam program transmigrasi memanggil keluarga di tempat asal. Lalu hasil dari pembukaan lahan tersebut diberikan kepada keluarga Pak MP untuk menjadi modal hidup keluarga yang dipanggi sekaligus sebagai anak buah Pak MP. Hal tersebut menjadikan Pak MP sebagai pemilik modal dan mendapatkan surplus modal dari produksi pembukaan lahan.

Pada saat pembagian lahan bagi para pendatang seperti Pak WW, dimana setiap kepala keluarga hanya diberikan 2 Ha sesuai dengan ketentuan program transmigran yang dimiliki Pemerintah. Apabila lahan yang dibuka memiliki sisa pada saat pembagian maka sisanya diambil oleh keluarga Pak MP sebagai pemilik modal, sehingga sampai saat ini lahan milik Pak MP sekitar 6 Ha dan mendapatkan keuntungan dari pembukaan lahan tersebut. Hal ini mengakibatkan stratifikasi kepemilikan lahan, dimana terdapat pemilik modal dengan lahan yang begitu luas dan pekerja yang memiliki lahan yang sempit. Etnis bugis di kelurahan Karang Joang yang menjadi responden penelitian sangat kental dengen sistem kekeluargaannya seperti keluarga miskin pendatang WW dan MP.

Berbeda dengan Etnis Banjar, dimana mereka masing-masing memiliki lahan 2 Ha sesuai dengan ketentuan pemerintah, namun mereka juga bekerja di lahan milik orang kota. Lahan yang tersedia banyak dimiliki oleh warga di luar kelurahan Karangjoang karena pada saat pembagian lahan, banyak dari pihak pemerintah memboyong lahan untuk kepentingan mereka. Petani yang berada di Kelurahan Karang Joang menjadi buruh di lahan tersebut. Namun hasil dari lahan tersebut diambil oleh Petani. peran dari petani tersebut hanyalah sebagai pengelolah dan penjaga lahan bukan sebagai pemilik.

Kelurahan Karang Joang memiliki letak wilayah yang berdekatan dengan kawasan Hutan Lindung Sungai Wain. Pada tahun 1980 terdapat beberapa keluarga miskin pendatang dari Etnis Banjar yang tinggal di kawasan Hutan Lindung Sungai Wain. Hutan Lindung Sungai Wain pada mulanya dikenal sebagai “Hutan Tutupan” yang ditetapkan oleh Sultan Kutai pada tahun 1934 dengan Surat Keputusan Pemerintah Kerajaan Kutai No. 48/23-ZB-1934 sebagai Hutan Lindung 1 . Berdasarkan pada peta kawasan hutan Propinsi Kalimantan Timur, dengan luas ± 3 295 ha (lampiran SK Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/I/1983) merupakan bagian dari kelompok hutan lindung Balikpapan, sedangkan sisanya seluas ± 6 100 ha termasuk hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Selanjutnya, kondisi hutan tersebut masih terawat dengan baik, berdasarkan Surat Gubernur Kepala Daerah TK. I Kalimantan Timur No. 552.12/311/KLH-III/1988, diusulkan agar kelompok hutan Sungai Wain seluas ± 6 100 ha tersebut ditetapkan sebagai Hutan Lindung. Hal tersebut dipertegas dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 118/Kpts- VII/1988 “Tentang Pembentukan Kelompok Hutan Lindung Sungai Wain Seluas ± 6.100 ha yang terletak di Kotamadya DATI II Balikpapan, Propinsi DATI I

1

Kalimantan Timur Menjadi Hutan Lindung”. Maka dengan masuknya daerah aliran Sungai Bugis seluas 3.925 ha ke dalam kawasan HLSW, luas areal kawasan secara keseluruhan menjadi 10 025 ha. Pada Tahun 1993, Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Kotamadya Balikpapan mengusulkan perubahan batas HLSW, yaitu bagian kawasan yang telah dirambah dikeluarkan dari kawasan sepanjang ± 500 meter dari jalan raya Balikpapan – Samarinda sehingga luas kawasan tersebut menjadi 9 782.80 ha yang untuk selanjutnya usulan tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 416/Kpts-II/1995.

Dalam RTRW Balikpapan tahun 2012 terdapat rencana perwujudan pengembangan kawasan hutan lindung meliputi (1) mengembangkan kawasan wisata alam, (2) mengembangkan wisata pendidikan alam/ lingkungan hidup, (3) mengembangkan kegiatan penelitian flora fauna khas Kalimantan, dan (4) mencegah terjadinya alih fungsi lahan. Hal tersebut memiliki efek terhadap warga pendatang yang tinggal di kawasan hutan lindung.

Dokumen terkait