• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urbanisasi Di Balikpapan: Formasi Sosial Keluarga Pendatang Miskin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Urbanisasi Di Balikpapan: Formasi Sosial Keluarga Pendatang Miskin"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

URBANISASI DI BALIKPAPAN: FORMASI SOSIAL

KELUARGA PENDATANG MISKIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Urbanisasi di Balikpapan: Formasi Sosial Keluarga Pendatang Miskin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

(3)
(4)

RINGKASAN

A. NURUL MUTMAINNAH. Urbanisasi di Balikpapan: Formasi Sosial Keluarga Pendatang Miskin. Dibimbing oleh LALA M KOLOPAKING dan EKAWATI SRI WAHYUNI.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji urbanisasi dan formasi sosial keluarga pendatang miskin. Dalam hubungan ini, urbanisasi di Balikpapan ditandai dengan perkembangan penduduk yang tinggal di perkotaan relatif cepat. Pada periode 2000-2010 perkembangan penduduk di wilayah tersebut mencapai 3.24 %. Tingkat pertumbuhan migrasi dalam beberapa tahun lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan alami. Sementara itu, masih ditemukan keluarga miskin di Balikpapan dengan persentase sebesar 2.23 % dan jumlah kemiskinan yang menonjol pada wilayah pinggiran Balikpapan di Kelurahan Karang Joang.

Penelitian dilakukan di Kelurahan Karang Joang Balikpapan dan dilakukan dalam dua tahap. Penelitian tahap pertama dilakukan pada bulan Juli-Oktober 2013 dan tahap kedua pada bulan April-Mei 2014. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus (case study), dengan metode pengumpulan data melalui full enumeration terhadap 85 keluarga, wawancara mendalam dan catatan harian lapangan. Selain itu, penelitian ini menggunakan studi pustaka yang bersumber dari data kependudukan serta artikel lainnya terkait dengan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden merupakan pendatang dari luar kota Balikpapan. Awal kedatangan keluarga pendatang miskin di Balikpapan tidak terlepas dari peran serta kerabat sesama etnis untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Proses sosial yang terjadi antara pada keluarga pendatang miskin adalah solidaritas, kesetiaan, dan kerjasama yang berakibat pada melanggengkan kelas sosial antar sesama etnis. Keluarga pendatang miskin tergabung dalam proses produksi yang dijalani oleh kerabat mereka yang sukses. Selanjutnya, yang terjadi pembentukan kelas dalam proses produksi yang dijalaninya yaitu terdapat kelas pemilik modal dan kelas pekerja. Dalam hal ini, keluarga miskin masuk dalam kelas bawah yaitu sebagai pekerja.

Selanjutnya, moda produksi kaum pendatang terbentuk melalui sektor mata pencaharian yang dikerjakan oleh masing-masing keluarga pendatang. Penyediaan alat produksi tidak terlepas dari hubungan dengan pemilik modal sesama etnis. Melalui hubungan produksi dengan pemilik modal maka terjadi penyerapan surplus produksi ke pemilik modal yang berakibat pada eksploitasi. Selain itu, pemilik modal menggunakan jaringan etnis dan ikatan kekerabatan ke kampung asal agar mendapatkan pekerja yang bisa dibayar dengan upah murah. Dengan demikian, proses sosial melalui ikatan kekerabatan etnis menciptakan kelas sosial produksi yang timpang dan memiskinkan. Kebijakan pemerintah menanggulangi kemiskinan hanya mampu menfasilitasi dan meringankan kebutuhan keluarga miskin. Selain itu, kedatangan keluarga miskin yang terus meningkat karena kerabat yang menarik mereka untuk kerja ke Balikpapan. Hal ini menyebabkan kemiskinan akan selalu bertambah di kota.

(5)

ABSTRACT

A. NURUL MUTMAINNAH. Urbanization at Balikpapan: Social Formation of Pauper Migrant Family. Supervised by LALA M KOLOPAKING and EKAWATI SRI WAHYUNI.

This research intended to examine the urbanization and social formation of pauper migrant family. In this relation, urbanization at Balikpapan marked by the population growth that live at the city is relativity fast. At 2000-2010 periods the population growth at the region reached 3.24%. Thereby, the urbanization contributor at Balikpapan is the present of migrant family from outside region. Meanwhile, there was found pauper family at Balikpapan with percentage at 2.23% and the prominent poverty area was at suburban area that is Karang Joang Village. The research was conduct at Karang Joang Village Balikpapan City and done on two stage. First stage was conduct on July-October 2013 and the second stage conduct on April-May 2014. This was case study research, with data gathering method through full enumeration over 85 family, in-depth interview and the field log book. Besides that, the research also using literature study from demography data and related articles due to the research.

The result shown that most of the respondent was migrant from out of Balikpapan. The early arrival of the pauper migrant family at Balikpapan impartially from the role of the family with the same ethnic to have a job. The social process that happened among the pauper migrant family was solidarity, loyalty, and cooperation that imply on preserve social class among the ethnic. The pauper migrant family are bound in production process taken by their success relative. Furthermore, there are class formation on the production process that their have on, which is the lenders class and the worker class. In this condition, the pauper family include in lower class as worker.

Furthermore, the production mode of the urban form through working sector that applied by each migrant family. The providing of working tools is related with the ethnic lenders. Through the production relation with the lenders it create surplus production from the pauper migrant family to the lenders that cause exploitation. Meanwhile, the lenders using the ethnic networks and the family bond to the home land to gain cheap labor. Thus, the social process through the bond of ethnic relative create unbalanced and poverty of social production classes. The government policy to prevent poverty only can facilitate and helping out the needs of pauper family. Meanwhile, the migration of pauper family that more commonly is because the influence of their relative for work in Balikpapan. This cause poverty always increase in the city.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

URBANISASI DI BALIKPAPAN: FORMASI SOSIAL

KELUARGA PENDATANG MISKIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah urbanisasi dan kemiskinan, dengan judul URBANISASI DI BALIKPAPAN: FORMASI SOSIAL KELUARGA PENDATANG MISKIN.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Lala M Kolopaking dan Ibu Dr Ekawati Sri Wahyuni selaku pembimbing, serta Bapak Dr Sofyan Sjaf yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Joko dari Mantan Kepala Kelurahan Karang Joang Balikpapan, Bapak Kosir beserta seluruh pemangku kepentingan di Kelurahan Karang Joang, serta teman-teman Persatuan Pemuda Karang Joang, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Andi Jamaluddin Syam, Ibunda Alm.Andi Herawati, dan kakak serta adik atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan dan Kegunaan 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Urbanisasi 4

Formasi Sosial dan Moda Produksi 4

Proses Sosial 6

Keluarga Miskin 8

Sektor Informal dan Kelas Kemiskinan Kota 9

Kaum Pendatang dan Etnis 11

Kerangka Pemikiran 12

3 PENDEKATAN PENELITIAN 14

Metode Penelitian 14

Pengumpulan dan Analisis Data 14

Metode Pemilihan Daerah Penelitian 15

Teknik Pengambilan Data Keluarga Miskin Pendatang 15

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17

Sejarah Balikpapan 17

Urbanisasi di Balikpapan 21

Kondisi Masyarakat dan Kemiskinan di Balikpapan 25 5 SEJARAH KETIKA MEMULAI KEHIDUPAN DI BALIKPAPAN DAN

PROSES SOSIAL KELUARGA PENDATANG MISKIN 32

Awal Kedatangan Keluarga Pendatang 33

Pemanfaatan Jaringan Sosial Melalui Perekrutan Kerabat di Tempat Asal 41

Proses Asosiatif 45

Proses Disosiatif 51

Dominasi Kelas Produksi Dalam Hubungan Etnis 54

6 MODA PRODUKSI KAUM PENDATANG MISKIN 58

Peranan Etnis Sebagai Penentu Moda Produksi Pada Diskursus Formasi

Sosial 58

Etnis Jawa 61

Etnis Banjar 65

Etnis Bugis 67

(12)

Moda Produksi Subsisten 72

Moda Produksi Komersil 74

Moda Produksi Kapitalis 76

7 URBANISASI DAN FORMASI SOSIAL KELAS MISKIN KOTA 79

Urbanisasi dan Penetrasi Kapitalis 79

Penguasaan Moda Produksi Kapitalis Pembentu Kelas Miskin Kota 81

Kebijakan Pemerintah Menanggulangi Kemiskinan 85

8 KESIMPULAN DAN SARAN 87

Kesimpulan 87

Saran 88

DAFTAR PUSTAKA 88

LAMPIRAN 93

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jenis Data dan Sumber/ Responden Penelitian Lapangan 16

Tabel 4.1 Pertumbuhan penduduk tahun 1961-2010a 21

Tabel 4.2 Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Kecamatan Balikpapan (%)a 21 Tabel 4.3 Sebaran Penduduk Berdasarkan Suku di Kalimantan Timur a 24 Tabel 4.4 Persentase Penduduk Berdasarkan Suku di Balikpapan (%)a 24

Tabel 4.5 Jumlah Keluarga Miskin di Balikpapan a 27

Tabel 4.6 Jarak Ibukota Kecamatan Kota ke Kelurahan Balikpapan Utara

2012 a 28

Tabel 4.7 Sebaran Asal Pendatang a 29

Tabel 5.1 Tahun Kepindahan Responden a 31

Tabel 5.2 Moda Produksi Komersil Pada Produksi Merintis tahun 1954

-1990 a 34

Tabel 5.3 Faktor Pendorong Keluarga Pendatang ke Balikpapan a 41 Tabel 5.4 Proses sosial antar etnis keluarga pendatang miskin a 54 Tabel 5.5 Tahun Kedatangan dengan Pendapatan Responden a 55 Tabel 6.1 Artikulasi Produksi Petani Keluarga Miskin Etnis Jawa a 63

Tabel 6.2 Artikulasi Moda Produksi Subsisten Berkebun Petani Keluarga

Miskin Etnis Banjar a 66

Tabel 6.3 Artikulasi Berdagang (Pedagang Baju dan Tengkulak) pada

Keluarga Miskin etnis Bugis a 69

Tabel 6.4 Artikulasi Proses Produksi Pemecah Batu Etnis Madura a 71

Tabel 6.5 Moda Produksi Subsisten a 74

Tabel 6.6 Moda Produksi Komersil a 76

Tabel 6.7 Moda Produksi Kapitalis a 79

Tabel 7.1 Moda produksi basis etnis a 82

Tabel 7.2 Jumlah Responden yang mendapatkan Bantuan Pemerintah a 87

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema moda produksia 6

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran 13

Gambar 4.1 Grafik Struktur Umur Penduduk Balikpapan Tahun 2011 a 22

Gambar 4.2 Migrasi Balikpapan a 23

Gambar 4.3 Grafik Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Kelurahan

di Balikpapan a 27

Gambar 4.4 Persentase Tingkat Pendidikan Responden a 30

Gambar 4.5 Mata Pencaharian Responden a 30

(14)

Gambar 5.3 Perkembangan Pola Jaringan Kedatangan Keluarga Miskin di

Balikpapan a 44

Gambar 5.5 Proses Pembentukan Startifikasi Sosial a 56 Gambar 6.1 Pendapatan responden pada setiap etnis a 59

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Kependudukan Balikpapan 94

Lampiran 2 Rekapitulasi Data Responden (%) 95

(15)

Latar Belakang

Urbanisasi di Indonesia sampai saat ini memiliki sumbangsih terhadap pembangunan namun di sisi lain juga menjadi masalah terhadap tingkat kesejahteraan pada sebagian masyarakat. Urbanisasi merupakan proses meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di perkotaan (Rusli 2012). Berkaitan dengan dengan hal tersebut, Todaro1 (1981) menuliskan masyarakat yang cukup beruntung memperoleh pekerjaan di kota mempunyai penghasilan jauh lebih besar dibanding di desa. Namun di sisi lain, sebagian masyarakat mengisi sektor mata pencaharian informal di kota dengan berpendapatan rendah dan dalam kondisi miskin.

Pada Survei Penduduk` Antara Sensus 2010, tingkat urbanisasi di Indonesia menjadi 49.8 % penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan. Angka ini meningkat dari 14.8 % dari tahun 1961 (Rusli 2012). Di Indonesia terdapat beberapa provinsi yang memiliki tingkat urbanisasi lebih tinggi dibanding provinsi-provinsi lainnya. Salah satu provinsi-provinsi yang memiliki tingkat urbanisasi tinggi yaitu Kalimantan Timur. Berdasarkan perkembangan penduduk sejumlah kota di Indonesia antar Sensus 2010 tingkat urbanisasi di Kalimantan Timur mencapai 66.2 % per tahun.

Persebaran penduduk di Kalimantan Timur menurut luas wilayah sangat timpang, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat penduduk antara daerah terutama antar daerah Kabupaten dengan Kota. Wilayah Kabupaten dengan luas 99.17 % dari wilayah Kalimantan Timur dihuni oleh sekitar 54.31 % dari total penduduk Kalimantan Timur. Selebihnya yaitu sekitar 45.56 % menetap di daerah kota dengan luas hanya 0.83 % dari luas wilayah Kalimantan Timur. Akibatnya, kepadatan penduduk di daerah kabupaten hanya berkisar 1-48 jiwa/km2

dibandingkan kepadatan penduduk di wilayah kota seperti Balikpapan sebanyak 1 148.35 jiwa/km2, Samarinda 1 087.30 jiwa/km2, Tarakan 767.61 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk Kalimantan Timur adalah 18.18 jiwa/km2 (Kalimantan Timur Dalam Angka 2012). Dalam hal ini, salah satu kota yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi adalah Balikpapan. Kepadatan penduduk di Balikpapan diakibatkan oleh perkembangan penduduk yang relatif cepat. Pada periode 2000-2010 perkembangan penduduk di Balikpapan mencapai 3.24 % (Rusli 2012). Tingkat pertumbuhan migrasi dalam beberapa tahun lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan alami di Balikpapan. Hal tersebut menjadi penjelasan pertumbuhan penduduk di Balikpapan juga dipicu oleh penduduk pendatang dari luar Balikpapan (Lampiran 1).

Pendatang dari berbagai daerah menjadi sumbangsih urbanisasi dan keanekaragaman suk/etnis di Balikpapan. Dalam hal ini, pada tahun 2011, tingkat urbanisasi di Balikpapan mencapai 93.45% (BPS 2012). Dengan demikian, Balikpapan menjadi kota dengan masyarakat heterogen yang terdiri dari berbagai macam suku/etnis dan budaya. Penduduk di Balikpapan didominasi oleh penduduk

1Dalam buku “Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota” disunting oleh Manning dan

(16)

pendatang dari berbagai etnis dimana etnis yangbanyak dijumpai adalah Etnis Jawa, Banjar, Bugis, Madura dan etnis lainnya seperti Batak, Buton, Sunda, Ambon. Berdasarkan BPS (2010), nilai gini rasio Balikpapan 0.140 lebih besar dibanding gini rasio Ibukota Kaltim yaitu Samarinda 0.110 dan untuk keseluruhan masih lebih rendah dibanding indeks gini Kalimantan Timur sebesar 0.202. Dalam artian indeks gini di Balikpapan masih sangat merata2. Walaupun indeks gini di Balikpapan sangat merata, masih ditemukan penduduk miskin. Berdasarkan data Bappeda Balikpapan persentase penduduk miskin pada tahun 2012-2013 sebesar 2.23 % (Lampiran 3).

Balikpapan terkenal sebagai kota minyak, dimana terdapat pusat kilang minyak Pertamina dari tahun 1957. Letak kota industri di kota ini terpusat pada dua kelompok areal yang cukup dominan dalam konteks ekonomi kota, yaitu: pertama, kawasan industri kilang minyak milik Pertamina dengan luas areal sekitar 250 Ha. Keberadaan kilang ini sangat strategis karena merupakan bagian dari cikal bakal pertumbuhan kota sekaligus memberikan jiwa pada fungsi utama kota sebagai kota industri. Kedua, kawasan industri pendukung pengelolahan tambang/migas, berupa pengelompokkan pabrik, tempat usaha, bengkel/workshop dan distribusi/supplier. Pertumbuhan industri di Balikpapan juga seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.

Berkaitan dengan hal tersebut terdapat 2 sektor perekonomian yang saling berdampingan ditemukan di kota. McGee (1971) mengutip penelitian dari Geertz bahwa struktur perekonomian di Mojokerto terbagi dalam 2 bagian. Pertama, perekonomian firma merupakan perniagaan dan industri berlangsung melalui seperangkat pranata sosial dan mengorganisir berbagai pekerjaan khusus dengan memperhatikan tujuan-tujuan produksi dan distribusinya yang utama. Kedua, perekonomian bazaar yang didasarkan atas “ kegiatan-kegiatan tidak terikat yang dilakukan oleh sekumpulan pedagang komoditi yang bersaing ketat dan berhubungan satu sama lain melalui sejumlah besar transaksi yang ad hoc (tidak menentu). Dalam hal ini, hampir mirip dengan sektor perekonomian di kota. Seperti perekonomian firma merupakan sektor formal yang dimiliki oleh industri, pemerintahan yang memiliki aturan kontrak hukum yang berlaku. Sementara itu, perekonomian bazaar hampir mirip dengan sektor informal di kota. McGee (1971) juga menjelaskan bahwa kedua sektor tersebut tidak dapat dipisahkan karena produksi serta arus barang dan jasa yang diciptakan dan disalurkan melalui kota, dihasilkan dalam masing-masing sektor tersebut.

Balikpapan menyediakan berbagai sector formal dari industri dan jasa yang menjamin pendapatan yang tinggi. Namun, tidak semua keluarga pendatang mampu untuk masuk dalam sektor pekerjaan tersebut. Walaupun Balikpapan memiliki pusat industri minyak, namun tidak semua masyarakat terserap dalam sektor industri tersebut. Hal ini, disebabkan oleh diperlukannya keahlian-keahlian dan pendidikan yang tinggi untuk bisa masuk dalam sektor industri dan jasa. Akibatnya

2Todaro (2000) indeks gini (Gini Ratio) merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat

(17)

keluarga yang datang dari desa ke Balikpapan tanpa memiliki keahlian dan pendidikan yang terendah akan terserap di sektor informal dengan pendapatan yang rendah. Hal tersebut, menjadi penyumbang kemiskinan dalam hal ini masuk dalam kategori keluarga pendatang miskin di Balikpapan. Hal menarik untuk diteliti dan menjadi pertanyaan besar dari penelitian ini adalah Bagaimana kehidupan keluarga pendatang miskin di tengah kota yang maju seperti Balikpapan?

Penelitian ini dilakukan tidak hanya menjelaskan kemiskinan dari sisi ekonomi saja, akan tetapi kemiskinan dijelaskan dari proses sosial keluarga miskin. Selain itu, dari cara bertahan hidup yang dimiliki keluarga miskin tidak terlepas dari cara produksi (mode of production) sehingga terbentuknya formasi sosial. Oleh karena itu, penelitian ini menguraikan urbanisasi di Balikpapan dan kehidupan keluarga miskin pendatang yang dijelaskan melalui proses sosial dan formasi sosial mereka.

Rumusan Masalah

Todaro dan Smith (2006) menjelaskan bahwa urbanisasi di dunia ketiga tidak hanya diikuti oleh penambahan fasilitas perkotaan dan lapangan pekerjaan tapi menyebabkan munculnya kantong-kantong miskin di perkotaan. Akibatnya terbentuknya nilai sosial yang mengarah ke kebudayaan kemiskinan lebih disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ekonomi di kota ketimbang oleh proses kemiskinan di desa. Perbedaan lingkungan dan kebudayaan yang dihadapi oleh keluarga pendatang miskin, mengharuskan mereka untuk melakukan adaptasi dengan masyarakat sekitar. Adaptasi yang dilakukan merupakan proses sosial yang mereka alami untuk bisa bertahan di Balikpapan. Oleh karena itu hal yang menarik untuk diteliti bahwa bagaimana proses sosial yang dialami keluarga pendatang miskin ketika memulai kehidupan di Balikpapan?

Daerah perkotaan yang belum siap menerima tambahan tenaga kerja, maka menghasilkan pekerja sektor informal. Breman dalam Manning dan Effendi (1985) menjelaskan di perkotaan khususnya sektor informal terdapat dimensi sosial dalam pembagian kerja dalam kelompok sosial tertentu. Berhubungan dengan hal ini, masih terdapat struktur pekerjaan yang beranggotakan suatu kasta, daerah, kelompok etnis, kesukuan atau komunitas agama tertentu yang merupakan faktor penting untuk mencari kerja. Dengan demikian, maka bagaimana formasi sosial yang terjadi pada keluarga pendatang miskin di Balikpapan? Hal tersebut sangat menarik untuk diteliti. Keluarga miskin yang melakukan migrasi ke kota memiliki harapan mendapatkan pendapatan yang lebih baik daripada di tempat asal. Dalam hal ini, melalui proses sosial yang melibatkan jaringan sosial dan kelompok etnis.

Tujuan dan Kegunaan

(18)
(19)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Urbanisasi

Definisi urbanisasi adalah proses meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di perkotaan (Rusli 2012). Perpindahan penduduk atau migrasi menjadi salah satu faktor terjadinya peningkatan proporsi jumlah penduduk di kota. Strategi pembangunan pedesaan seperti pembangunan pasar-pusat pertumbuhan (growth center) maupun program kawasan terpadu seperti membentuk konsep desa kota ternyata kurang efektif dalam mencegah migrasi yang masuk ke kota karena mau tren urbanisasi di Indonesia hingga sekarang ini masih terjadi pada tataran perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kota (Yunus 2005).

Lee (1992) menjelaskan bahwa volume migrasi di suatu wilayah berkembang sesuai dengan tingkat keanekaragaman daerah-daerah di wilayah tersebut. Di daerah asal dan di daerah tujuan menurut Lee (1992), terdapat faktor-faktor yang disebut sebagai (a) faktor positif (+) yaitu faktor yang memberikan nilai keuntungan bila bertempat tinggal di tempat tersebut, (b) faktor negatif (-) yaitu faktor yang memberikan nilai negatif atau merugikan bila tinggal di tempat tersebut sehingga seseorang merasa perlu untuk pindah ke tempat lain. Dengan demikian, perekonomian perkotaan akan merupakan dasar tujuan bagi para pekerja yang berasal dari pedesaan, karena nilai produk marginal dari tenaga kerja yang positif maka menunjukkan bahwa fungsi produksi belum berada pada kondisi optimal yang mungkin dicapai, sehingga industri di perkotaan masih menyediakan lapangan kerja di mana akan diisi oleh pekerjan dari pedesaan dengan jalan bermigrasi. Todaro menyebutkan kebijakan yang mementingkan industri dan mengabaikan pertanian ditambah pula dengan kecendrungan mementingkan kota (urban bias) dalam investasi pemerintah di bidang sarana umum makin mendesak dan merangsang kaum miskin di desa untuk pindah ke kota.

McGee (1971) menjelaskan dua fakta yang menjadi ciri umum di kebanyakan negara di Dunia Ketiga. Pertama, dalam dasawarsa terakhir, kota-kota di dunia ketiga telah berkembang secara besar-besaran; kedua, perkembangan kota itu ternyata tidak disertai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat untuk menyediakan kesempatan kerja bagi pertambahan penduduk kota yang makin meningkat.

Todaro dan Smith (2006) menjelaskan bagi negara berkembang, kebijakan pembangunan yang mengabaikan sektor pertanian telah menimbulkan kemandekan atau tidak memadainya pertumbuhan pendapatan di daerah pedesaan. Mayoritas negara berkembang mengabaikan sektor pertanian untuk mendapatkan sumber daya dalam upaya meningkatkan usaha industrialisasi dan urbanisasi. Kebijakan ini sangat mengutamakan urban bias (kecendrungan mengutamakan kota) akan memperlebar jurang pendapatan antara kota dan desa. Kaum migran dari desa akan terus mengalir ke kota untuk mencari pekerjaan di sektor modern yang upahnya lebih baik walaupun sukar.

(20)

kelembagaan dari kegiatan usaha dalam sistem perekonomian bazaar masih keluarga, meskipun para anggota keluarga ini bisa bertindak dengan bebas di pasar, dan keterlibatan pekerja pada umumnya masih bersifat total. Dengan demikian, kepala rumah tangga bertanggung jawab atas masuknya anggota-anggota keluarganya ke dalam sistem. Kedua, sistem arus barang dan jasa yang menjadi ciri sistem bazaar memungkinkan masuknya lebih banyak pekerja. Ketiga, sistem bazaar mempunyai ciri yang memungkinkan pertumbuhan secara mandiri. Seperti, berlipat gandanya penjual-penjual makanan jadi yang jumlahnya meningkat bersamaan dengan pertumbuhan penduduk kota. Faktor keempat adalah hubungan sektor bazaar dengan ekonomi pertanian. Sering terjadi perpindahan penduduk serta arus barang dan jasa antara dua sektor itu. Ciri terakhir meliputi hubungan antara sektor bazaar dan sektor yang padat modal. Keuntungan yang lebih besar di sektor padat modal mengalir ke bawah. Dalam hal ini, seperti upah pembantu atau kesempatan kerja pada bangunan proyek-proyek mewah, maupun dalam bentuk penghasilan dari berbagai macam fasilitas kesejahteraan memungkinkan sektor bazaar untuk menyerap jumlah penduduk yang lebih besar.

Formasi sosial banyak dibahas oleh kaum Marxisme yang merupakan konsep dari cara produksi (mode of production) yang ada dalam masyarakat. Formasi sosial adalah gejala dimana dua atau lebih moda produksi hadir bersamaan dalam masyarakat dan salah satu moda produksi mendominasi yang lainnya (Budiman 2000). Pada konsep formasi sosial tersebut dimuat suatu artikulasi cara produksi, yakni proses strukturasi dalam konteks budaya tertentu dimana sekurangnya dua cara produksi berbeda (kapitalis dan non-kapitalis) berdampingan dalam suatu pola saling mengkait yang bersifat asimetris, yang berarti cara produksi kapitalis mendominasi non kapitalis.

Mode of production atau moda produksi terdiri dari kekuatan produksi dan hubungan produksi. Kekuatan produksi mencakup alat-alat kerja, manusia dan kecakapannya, dan pengalaman-pengalaman dalam produksi (teknologi) (Budiman 2000). Sementara itu, hubungan produksi adalah hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi, yakni struktur pengorganisasian sosial produksi, seperti hubungan antara pemilik modal dan pekerja (Magnis-Suseno 1999). Hubungan-hubungan produksi tersebut ditentukan oleh tingkat pembagian kekuatan produksi, dan struktur kelas yang tercipta dalam masyarakat juga ditentukan oleh susunan efisiensi produksi seperti hubungan produksi feodal, komunitas primitif, perbudakan, sosialisme/komunisme, dan kapitalis (Sanderson 1993).

Sjaf (2006) mengutip dari Kahn bahwa artikulasi cara produksi yang hadir dalam masyarakat Minangkabau terdiri dari tiga, masing-masing: (a) cara produksi subsisten (subsistence production), yaitu usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terbatas dalam keluarga inti antara pekerja yang bersifat egaliter; (b) cara produksi komersil (petty commodity production) yakni usaha pertanian atau luar pertanian yang sudah berorientasi pasar dengan hubungan produksi menunjuk pada gejala eksploitasi surplus melalui ikatan kekerabatan, dan hubungan sosial antara pekerja bersifat egaliter tetapi kompetitis, dan (c) cara produksi kapitalis (capitalis production) yakni usaha padat modal berorientasi pasar dimana hubungan produksi mencakup struktur majikan-buruh, atau pemilik

(21)

pemilik tenaga. Selain itu, terdapat teori lain tentang moda produksi yang kekuatan produksinya diartikulasikan sebagai basis material produksi, mencakup: alat-alat produksi (teknologi), manusia dengan kecakapannya, pengalaman-pengalaman produksi, dan terkadang pembagian teknis kerja (Sjaf 2006). Peet (1999) juga menjelaskan bahwa moda produksi terdiri atas kekuatan produksi dan hubungan produksi yang terbentuk akibat adanya peran ideologi dan budaya serta negara dan politik (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Skema moda produksia

a Sumber : Peet (1999)

Ideologi dan budaya dari masyarakat multikultur, seperti di Indonesia lebih menekankan unsur etnis di dalamnya (Barlan 2014). Kekuatan produksi yang tidak terlepas dari peran teknologi dan lahan sebagai alat produksi yang membentuk moda produksi tertentu mendominasi moda produksi lainnya. Seperti dalam penelitian Kano (1990) di Desa Pagelaran Malang. Ciri produksi di wilayah tersebut terdiri atas non kapital dan kapitalis. Non-kapitalis merujuk pada sistem pertanian padi sawah sebagai artikulasinya. Usaha padi sawah untuk keperluan sendiri dan sedikit yang dipertukarkan sehingga proses produksinya masih bersifat subsisten. Di sisi lain, pertanian tebu sangat komersial dengan artikulasi ciri kapitalis. Usaha tani tebu dikembangkan oleh perusahaan gula Krebet baru diintodusir oleh penjajah Belanda. Perluasan tanaman padi pada satu areal persawahan dapat menggeser tanaman padi. Hal ini menunjukkan dominasi tanaman tebu (artikulasi moda produksi kapitalis) atas tanaman padi (artikulasi moda produksi pertanian tradisional).

Menurut Watson (1997) teknologi dapat dibagi ke dalam tiga bentuk, yaitu (1) teknologi modern, memiliki ukuran kecil sampai ukuran yang besar, (2) teknologi tradisional, memiliki ukuran workshop kecil; dan (3) teknologi rumah tangga, dengan tenaga kerja satu orag hingga rumah tangga secara luas.

(22)

keterbatasan akses pekerjaan, lahan sumber produksi dan pelayanan sosial pada keluarga miskin. Walaupun mereka berada dalam formasi sosial, dimana mereka memiliki moda produksi atau alat produksi namun mereka tetap berada dalam hubungan produksi yang mengalami ketimpangan dimana pihak keluarga miskin pendatang sebagai proletar yang tereksploitasi serta tetap dalam posisi miskin.

Proses Sosial

Proses sosial adalah suatu hubungan timbal balik dalam kehidupan manusia. Menurut Soekanto (2002) proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menemukan sistem bentuk-bentuk hubungan atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan pola-pola kehidupan yang telah ada. Proses sosial digolongkan menjadi dua macam yaitu pertama, proses asosiatif, yang mencakup akomodasi dan kerja sama. Kedua yaitu proses disosiatf, yang mencakup persaingan, pertentangan, atau pertikaian yang berupa konflik. Keluarga pendatang miskin di kota tidak terlepas dari proses sosial yang akan selalu mengalami perubahan karena kondisi masyarakat yang berbeda pada setiap wilayah. Begitu pula masyarakat atau keluarga miskin yang akan mengalami proses sosial berupa kerjsama, pertentangan, dan perubahahan kondisi sosial. Hal tersebut membuat mereka terus bergerak demi mempertahankan sumber matapencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Proses asosiatif berupa kerjasama terbagi dalam beberapa bagian seperti bergaining, cooptation, dan koalisi. Masyarakat Balikpapan yang heterogen menjadikan kondisi masyarakat yang terpilarisasi berdasarkan etnis. Kelompok etnis membentuk paguyuban sebagai media kerjasama sesama etnis. Paguyuban juga memiliki peran dalam pengaman bagi masyarakat miskin (Barlan, 2014). Sehubungan dengan itu, untuk keluarga pendatang miskin tidak sedikit dari mereka yang masuk dalam puguyuban dan bekerja dengan kelompok sesama etnis.

Kerjasama yang dilakukan oleh setiap kelompok etnis dapat dilihat dari bagaimana cara mereka saling membantu hingga mencapai tujuan. Tujuan dari keluarga miskin pendatang adalah untuk memperoleh kehidupan dan pendapatan yang lebih baik. Berkaitan dengan itu, terdapat aktor pemilik modal yang mampu mereka difasilitasi dengan tujuan untuk mendapat surplus modal. Dalam hal ini, mereka mampu bekerjasama karena memiliki tujuan yang saling menguntungkan satu sama lain.

Proses sosial dimulai dari kerjasama hingga terbentuknya solidaritas antar etnis di keluarga pendatang miskin. Menurut Ritzer (2011), solidaritas terbagi dalam 2 bagian yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Bentuk solidaritas terdiri dalam empat dimensi kesadaran kolektif. Keempat dimensinya adalah volume, kekuatan, kejelasan, dan isi. Volume adalah sejumlah orang yang diikat bersama oleh suatu kesadaran kolektif. Kekuatan adalah bagaimana sebenarnya individu merasakan kesadaran kolektif tersebut. Kejelasan adalah bagaimana aplikasi di lapangannya, dan isi adalah bentuk yang dihasilkan oleh kesadaran kolektif di dalam masyarakat.

(23)

masyarakat yang memiliki solidaritas organis, kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok; tidak dirasakan terlalu mengikat; kurang rigid dan isinya adalah kepentingan individu yang lebih tinggi dari pada pedoman moral (Ritzer 2011).

Berhubungan dengan hal itu, solidaritas terbentuk dalam kelompok sosial. Kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan di antara mereka. Adapun hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan menimbulkan suatu kesadaran untuk saling tolong menolong. Dasar untuk membedakan kelompok-kelompok sosial adalah faktor-faktor antara lain adanya kesadaran akan jenis yang sama, adanya hubungan sosial dan orientasi pada tujuan yang sudah ditentukan. Ferdinand Tonnies dalam Soekanto (2002) membagi tipe kelompok sosial bahwa hubungan-hubungan positif antara manusia selalu bersifat gemmeinschaft (paguyuban) dan gesselschaft (patembayan). Paguyuban merupakan bentuk kehidupan bersama dimana anggota kelompok diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat alamiah dan bersifat kekal. Bentuk paguyuban dapat ditemukan pada kelompok keluarga, kelompok kekerabatan atau etnis, rukun tetangga dan sebagainya. Pada kelompok paguyuban terdapat suatu kemauan bersama (common will), pengertian (understanding) serta hal-hal yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Bila terdapat perselisihan di antara anggota paguyuban akan sangat mempengaruhi elemen-elemen lainnya karena hubungan yang begitu menyeluruh di antara anggota-anggotanya. Patembayan merupakan ikatan lahiriyah yang bersifat pokok dalam jangka waktu yang pendek, strukturnya bersifat mekanistik sebagaimana fungsi sebuah mesin. Hubungan anggota dalam kelompok berdasarkan ikatan timbal balik karena mempunyai kepentingan-kepentingan rasional. Artinya, kepentingan individual berada di atas kepentingan hidup bersama. Pertentangan yang terjadi antara anggota dapat dibatasi pada bidang-bidang tertentu karena keeratan antar anggotanya tidak seperti paguyuban karena darah dan keturunan.

Proses sosial dalam bentuk disosiatif berupa pertentangan, persaingan, dan pertikaian atau konflik juga terjadi dalam kelompok keluarga pendatang miskin. Konflik bisa terjadi dalam kelomppok karena disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor penyebab dari munculnya konflik bisa berhubungan dengan konrol terhadap alat-alat produksi maupun sumber produksi.

(24)

bergantung pada pemilik modal karena faktor ekonomi yang membelenggu bertahannya terciptanya ketergantungan. Namun yang terjadi adalah mereka digunakan sebagai pekerja upah rendah oleh para pemilik modal dari kerabat etnis mereka sendiri.

Keluarga Miskin

Keluarga miskin merupakan keluarga yang memiliki kriteria kemiskinan ataupun berada dalam garis kemiskinan. BPS Provinsi telah menetapkan konsep, definisi dan kriteria keluarga miskin berdasarkan sejumlah variabel yang berkaitan dengan masalah kemiskinan.

Keluarga miskin juga memiliki 7 (tujuh) variabel kemiskinan yaitu : l) Luas lantai hunian < 8 m2 per anggota keluarga, 2) Jenis lantai hunian sebagian besar tanah atau lainnya, 3) Tidak ada fasilitas air bersih, 4) Tidak memiliki fasilitas jamban/WC sendiri/bersama, 5) Konsumsi lauk pauk tidak bervariasi dalam seminggu, 6) Tidak mampu membeli pakaian minimal 1 (satu) stel setahun untuk setiap, anggota keluarga, dan 7) Tidak memiliki set seperti tanah, sawah, warung, bengkel, motor, perhiasan yang disimpan. Beberapa aspek yang menjadi tolok ukur untuk mengukur kemiskinan yaitu pangan, pakaian, perumahan, pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan yang ada di perkotaan dan di pedesaan menurut Sajogyo (1997) membagi menjadi 3 kelompok berdasarkan pengeluaran perkapita per tahun setara dengan nilai tukar beras. Wilayah desa dan kota memiliki ukuran sebaga berikut: (1) miskin = 320 kg dan 480 kg, (2) sangat miskin= 240 kg dan 360 kg, serta (3) melarat= 180 kg dan 270 kg.

Suharto (2003) menjelaskan ada tiga kategori kemiskinan yaitu: (1) kelompok yang paling miskin (destitute) atau sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara tetap memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan dan umumnya tidak mempunyai sumber-sumber pendapatan dan tidak mempunyai akses untuk meningkatkan kesejahteraan. (2) kelompok miskin (poor), kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki jalan masuk terhadap peningkatan pendapatan, seperti memiliki sumber-sumber keuangan, memiliki pendidikan yang memadai atau tidak buta huruf. (3) kelompok rentan. Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari miskin, karena memiliki tingkat kehidupan yang relatif lebih baik dibanding kelompok paling miskin dan miskin. Namun sebenarnya kelompok ini sering disebut near poor (mendekati miskin), karena kelompok ini masih sangat rapuh terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya.

(25)

Hart (1970) menuliskan perbedaan sektor formal dan informal pada pokoknya didasarkan atas perbedaan antara pendapatan dari gaji dan pendapatan dari usaha sendiri.Dia mengelompokkan usaha kegiatan informal yang sah, salah satunya adalah kegiatan-kegiatan primer dan sekunder. Kegiatan primer dan sekunder antara lain pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar. Selain itu, distribusi kecil-kecilan seperti pedagang pasar, kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar dan pengangkut barang, agen atas komisi dan penyalur. Sesuai dengan pendapat Breman (1976) yang menegaskan bahwa sektor informal meliputi massa pekerja kaum miskin yang produktivitasnya jauh lebih rendah daripada pekerja di sektor modern yang tertutup bagi kaum miskin. Akibatnya sektor informal mampu menciptakan kelas kemiskinan di kota.

Berhubungan dengan hal tersebut, maka kelas miskin kota difenisikan sebagai sekelompok masyarakat yang tinggal di perkotaan yang tidak berharta benda atau serba kekurangan dan berada pada sektor informal kelas rendah. Kelas kemiskinan kota juga bisa terjadi karena keterbelakangan modernisasi. Keterbelakangan merupakan akibat dari banyaknya kekurangan yang ada di dalam suatu masyarakat. Praktek dan teknik bisnis kuno sebagai faktor-faktor penghambat perkembangan ekonomi. Beberapa tokoh berpendapat masyarakat yang terbelakang biasanya tidak mempunyai teknik modern yang rasional dalam hal pemasaran, akuntansi, keuangan, penjualan, dan lain-lain yang sudah sangat umum untuk di negara maju. Kegagalan masyarakat seperti itu untuk mengadopsi praktek-praktek bisnis modern yang rasional menjadikan produktivitas dan tingkat keuntungan tetap rendah dan menghambat perkembangan yang berarti dalam masyarakat tersebut (Sanderson 1993).

Dalam konsep kemiskinan menurut Suharto (2003) terdapat beberapa kategori kemiskinan salah satunya kategori masyarakat yang rentan terhadap kemiskinan. Sementara itu, Breman (1976) menyebutkan masyarakat yang rentan masuk dalam kelas kemiskinan kota/sub proletar. Angkatan kerja di kota yang merupakan kaum sub proletar. Breman mengutip kata Worsley bahwa mereka adalah korban urbanisasi tanpa industrialisasi. Menurut Breman (1976), mereka tidak hanya mencakup buruh-buruh tidak tetap dan tidak terampil, tetapi juga orang-orang yang bekerja pada tempat kerja yang kecil serta cadangan pekerja untuk perusahaan-perusahaan besar. Mereka terpecah dalam kelompok-kelompok kecil, kumpulan-kumpulan pekerja, yang komposisinya senantiasa berubah dan jarang terikat dengan tempat kerja yang tetap. Namun mereka akan mengalami kekurangan pekerjaan dan kesempatan yang terbatas untuk mengumpulkan modal atau untuk berinvestasi lewat pendidikan formal, bisa menggiring pada posisi bertahan untuk mencari perlindungan sebanyak-banyaknya pada kegiatan yang biasanya dilakukan, dan jalur untuk memasukinya hanya terbuka bagi mereka yang bisa menuntut kesetiaan partikularistis meskipun dalam kenyataan keberhasilannya cukup bervariasi. Kesetiaan partikularistis bisa berupa menjadi salah satu keanggotaan suatu kasta, daerah, kelompok etnis, kesukuan, atau komunitas agama tertentu masih merupakan faktor penting untuk mencari pekerjaan, menyebabkan banyak orang menyimpulkan bahwa sistem tradisional masih kokoh, meskipun dengan beberapa penyesuaian.

(26)

Soto (2000) menjelaskan bahwa penduduk miskin dari negara-negara miskin sebagai mayoritas melimpah memiliki barang-barang tapi tidak dapat merepresentasikan properti mereka dan tidak mampu menghasilkan kapital. Mereka memiliki rumah tetapi tidak memiliki izin, memiliki alat produksi tetapi tanpa surat kepemilikan, dan memiliki bisnis tetapi tanpa status perusahaan. Soto (2000) menyebutkan ketiadaan representasi ditunjukkan melalui bentuk adaptasi masyarakat terhadap dunia barat mulai dari klip kertas sampai reaktor nuklir. Namun, mereka belum mampu memproduksi kapital yang diperlukan untuk memborong kapitalisme domestik bisa bekerja. Dalam hal iniSoto (2000) membuat suatu jalan keluar dari kelemahan kapitalis di dunia berkembang melegalkan aset-aset propertis, struktur yang berasaskan hukum dan perluasan jaringan pada sektor informal.

Kaum pendatang dalam penelitian ini merujuk pada definisi komunitas transmigran dalam Sjaf (2006). Kaum pendatang hampir mirip dengan situasi komunitas transmigran dalam hal ini didefinisikan sebagai penduduk yang sengaja maupun tidak sengaja didatangkan untuk menempati suatu lokasi dari latar belakang sosial-budaya beragam yang mempunyai organisasi produksi dalam sistem produksi yang relatif beragam dan ditandai dengan hubungan produksi yang tidak setara disebabkan perbedaan struktur sosial. Sjaf (2006) mengambil konsep komunitas ala Marxis yang salah satunya adalah komunitas dengan ciri-ciri komunisme kuno terlihat pada moda produksi kekerabatan.

Identitas kekerabatan seseorang akan mengontrol semua akses kehidupan yang dihubungkan dengan simbol. Simbol dalam hal ini dianalogikan sebagai hubungan biologis seperti perkawinan, keturunan lineal, keturunan affinal (melalui perkawinan), dan aktivitas-aktivitas individu terorganisasi ke dalam tingkah laku kelompok. Kelompok-kelompok kekerarabatan seperti keluarga secara luas, silsilah keturunan, dan marga yang menentukan organisasi produksi. Ketidaksamaan utama di dalam masyarakat komunisme kuno berdasarkan antara senior dan yunior atau laki-laki dan wanita atau seseorang yang lebih dekat pada suatu keturunan gaib (Pattner 1989).

Wolf dalam Pattner (1989) membagi moda produksi kekerabatan membaginya ke dalam dua bagian, yaitu sumberdaya tersedia lebih luas bagi siapa saja dengan keahlian tertentu dan dan akses sumberdaya terstruktur melalui kelompok kekerabatan yang terorganisasi. Pimpinan dalam kelompok kekerabatan diranking berdasarkan prestise dan kekuasaan, dimana pemimpin tertinggi (migran) dapat mengorganisasi secara baik pekerjaan dan perdagangan. Sehubungan dengan itu, adanya kelas-kelas ekonomi dalam kelompok terdefinisikan secara jelas dan mempunyai akses perbedaan nyata terhadap kekayaan produksi. Kondisi ini kemudian menyebabkan perbedaan hubungan dalam tingkat kehidupan sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat komunisme kuno. Dalam hubungan ini, seperti dominasi laki-laki atas wanita, dan keeratan geneologi terhadap “pendiri” patrilineal atau matrilineal (Sjaf 2006).

Sanderson (1993) menuliskan bahwa kelompok-kelompok etnis ialah penduduk yang dapat dibedakan secara kultural, bukan secara fisik. Sanderson (1993) menjelaskan etnis dari sudut pandang stratifikasi. Dia membagi dua tipe utama hubungan ras/etnis yaitu paternalistik dan kompetitif. Relasi paternalistik

(27)

adalah karakteristik pada masyarakat praindustri, yang didasarkan pada pertanian perkebunan dan perbudakan. Pembagian seperti kasta di antara suatu kelompok ras yang dominan dan kelompok subordinasi timbul, dan suatu etiket ras yang luas mengatur hubungan di antara kelompok-kelompok itu. Hubungan ras yang kompetitif diasosiasikan dengan masyarakat kapitalis industri yang mempunyai perekonomian manufaktur dan tenaga kerja upah. Paternalisme dan etiket ras masa lalu membuka jalan untuk timbulnya konflik di antara kelompok-kelompok ras/ etnik mengenai akses ke posisi-posisi ekonomi.

Kerangka Pemikiran

Penetrasi kapitalis melalui perindustrian dan pertambangan yang berkembang sejak jaman kolonial memicu urbanisasi di Balikpapan. Kapitalisme hadir di Balikpapan sejak berkembangnya sektor indsutri minyak dari jaman kolonial Belanda dan Jepang. Hal tersebut, secara tidak langsung juga mempengaruhi struktur sosial dan karakteristik masyarakat menjadi masyarakat pekerja dan industri. McGee (1971) menjelaskan bahwa suatu perubahan struktur sistem ekonomi bazaar yang masih tradisional atau prakapitalis yang banyak dijumpai di negara berkembang terjadi dengan adanya campur tangan sektor kapitalis. Dalam hal ini penetrasi kapitalis mampu merubah sistem bazaar menjadi komersial dan oraganisasional. Selain itu, perubahan terjadi hingga mendobrak batas kultural (cultural insulation) yang membuat kantong pada modal kapitalis dan sektor tradisional bisa terhubung.

(28)

Keterangan:

: Berhubungan langsung : Merupakan bagian dari

Gambar 2.2 Kerangka pemikiran Urbanisasi Penetrasi kapitalis Kemiskinan

Formasi Sosial: Moda Produksi (atau cara produksi) dalam Hubungan Alat Produksi dan Kekuatan

Produksi

Keluarga Miskin Pendatang

Kebijakan Pemerintahan Kota

Kondisi Ekonomi:

1. Pendapatan setiap bulan

2. Pekerjaan (Waktu)

3. Konsumsi beras

Kondisi Sosial: 1. Etnis

2. Jaringan Sosial

Proses Sosial: 1.Proses Asosisatif

yang mencakup akomodasi dan kerjasama 2.Proses Disosiatif

yang mencakup persaingan, pertentangan atau pertikaian yang berupa konflik.

(29)

3

PENDEKATAN PENELITIAN

Metode Penelitian

Penelitian ini akan menguraikan urbanisasi keluarga miskin yang memiliki pengaruh terhadap proses sosial dan formasi sosial mereka selama berada di Balikpapan dengan menggunakan metode studi kasus (case study). Data yang digunakan adalah data kualitatif. Data kualitatif untuk mendalami data secara subjektif dan historis keluarga miskin pendatang di Balikpapan. Sitorus (1998) menjelaskan bahwa penggunaan studi kasus sebagai strategi penelitian memungkinkan terjadinya dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubyektifitas yang lahir akibat interaksi antara peneliti dan tineliti. Strategi studi kasus diterapkan pada keluarga miskin di Balikpapan yang sesuai dan dapat menjawab permasalahan penelitian sehingga keterwakilan dan tujuan penelitian dapat terlaksana. Studi kasus didasarkan pada (1) kesesuaian dengan pertanyaan penelitian yang bersifat eksploratif, (2) peluang peneliti sangat kecil untuk mengontrol peristiwa atau gejala sosial yang hendak diteliti, (3) pumpunan penelitian adalah peristiwa atau gejala sosial kontemporer (masa kini) dalam kehidupan nyata (Sitorus 1998).

Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer mencakup data-data yang sesuai untuk pertanyaan penelitian. Data ini diperoleh dengan menggunakan panduan pertanyaan atau , wawancara mendalam, catatan harian lapangan dan pengamatan langsung. Sumber data responden yaitu pegawai pemerintah daerah yang memiliki peran penting dalam kemiskinan di Balikpapan, tokoh masyarakat, dan keluarga miskin. Data sekunder yang digunakan penelitian ini berupa data dokumentasi dari pemerintah berupa data kependudukan, sejarah perkembangan kota, data kelurahan, dan data kemiskinan. Adapun data etnis di Balikpapan akan menggunakan data BPS atau langsung dikumpulkan dari hasil lapangan.

Metode kualitatif yang digunakan ialah dengan wawancara mendalam dengan pemerintah daerah mengenai perkembangan urbanisasi di Balikpapan, dan wawancara dengan keluarga miskin tentang proses sosial yang mereka alami serta sistem hubungan alat produksi yang mereka miliki. Penentuan responden mengenai hubungan alat produksi dimiliki oleh keluarga miskin khususnya pemilik alat produksi dilakukan dengan teknik Snow Ball sampling, dimana jawaban dari rumusan penelitian ditentukan oleh tineliti hingga fakta yang ditemukan berada pada titik jenuh.

(30)

Metode Pemilihan Daerah Penelitian

Pemilihan terhadap daerah penelitian dilakukan dengan observasi lapangan dan studi literatur yaitu dokumentasi Rekapitulasi Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2012-2013 yang dimiliki oleh Bappeda Balikpapan, ditemukan jumlah keluarga miskin yang paling banyak berada di wilayah Kelurahan Karangjoang. Dalam hal ini wilayah penelitian yang dipilih berdasarkan atas pertimbangan Kelurahan Karang Joang, kecamatan Balikpapan Utara merupakan wilayah yang berada pada pinggiran kota dan masih memiliki karakteristik pedesaan. Berdasarkan dari data Bappeda Balikpapan ditemukan bahwa di kelurahan Karang Joang juga memiliki keluarga miskin tinggi dengan persentase sebesar 8.77 % (Lampiran) dan masyarakatnya banyak bekerja di sektor perkebunan. Kelurahan Karang Joang juga berdekatan dengan Kawasan Hutan Lindung dan perkebunan karet.

Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling), dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan kantong kemiskinan yang sesuai untuk penelitian dan mayoritas mereka adalah kaum pendatang berdasarkan data Bappeda Balikpapan.

Metode pengambilan data diawali dengan studi dokumentasi untuk mengetahui jumlah keluarga miskin di Balikpapan. Data yang di dapat berasal dari Bappeda Balikpapan dan Kantor Keluarahan Karangjoang. Data dari Kelurahan tersebut di temukan beberapa RT yang memiliki jumlah Keluarga Miskin yang tinggi. Setelah itu dilakukan random sampling untuk full enumeration1 ke 85 keluarga di wilayah tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan mata pencaharian, pendapatan, dan asal daerah atau etnis. Setelah itu untuk memperdalam kasus penelitian, dilakukan penelitian secara kualitatif melalui wawancara mendalam pada beberapa responden yang termasuk dalam keluarga miskin pendatang.

Dalam menunjang aspek kualitatif, dipilih responden keluarga miskin pendatang dari hasil enumerasi dan dilakukan wawancara mendalam mengenai bentuk formasi sosial dan proses sosial yang mereka alami. Penemuan data formasi sosial dalam hal kepemilikan alat produksi, hubungan produksi, dan kekuatan produksi dilakukan Snow Ball Sampling untuk mengetahui secara pasti aktor-aktor yang berperan dalam pembentukan formasi sosial keluarga miskin hingga data mengalami titik kejenuhan.

1 Full enumeration survey yaitu mewawancarai seluruh rumah tangga yang ada dalam suatu dukuh/kampung/kelurahan, atau dalam wilayah yang bersangkutan sehingga data yang disajikan merupakan gambaran lengkap dari wilayah penelitian .

(31)
(32)

4

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Balikpapan memiliki luas wilayah daratan sebesar 503.3 km2 dan luas pengelolaan laut mencapai 160.10 km2, Balikpapan yang terletak pada posisi

116.5 °Bujur Timur dan 117 °Bujur Timur serta diantara 1.0 °Lintang Selatan dan 1.5 °Lintang Selatan. Balikpapan terdiri atas 5 (lima) kecamatan dan 27 kelurahan dan lima kecamatan tersebut adalah Balikpapan Selatan, Balikpapan Timur, Balikpapan Utara, Balikpapan Tengah dan Balikpapan Barat. Balikpapan di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, di sebelah barat dengan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Selat Makassar. Pada topografinya, kemiringan dan ketinggian permukaan tanah dari permukaan air laut sangat beragam. Mulai yang terendah dari wilayah pantai dengan ketinggian 0 meter sampai dengan wilayah berbukit dengan ketinggian 100 meter dari permukaan laut (d.p.l). Dominasi wilayah berbukit membuat sebagian besar wilayah, yaitu 42.33 % mempunyai kelas kemiringan antara 15 persen sampai dengan 40 % yang rawan tanah longsor (Balikpapan Dalam Angka 2012).

Berdasarkan arahan pembangunan jangka panjang kedua (PJP II) Balikpapan, untuk itu arah pengembangan kegiatan perkotaan untuk masing-masing-masing kecamatan di Balikpapan adalah (1) Kecamatan Balikpapan Timur, diarahkan untuk perluasan pemukiman, pengembangan obyek wisata dan pengembangan sektor perikanan, (2) Kecamatan Balikpapan Utara diarahkan untuk perdagangan dan jasa, (3) Kecamatan Balikpapan Barat diarahkan untuk perdagangan, jasa dan pemukiman, (4) Kecamatan Balikpapan Tengah, diarahkan untuk pemukiman dan fasilitas pelayanan kota.

Melalui keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur No.19 Tahun 1996, sejak tanggal 15 Oktober 1996 ditetapkan 7 kelurahan persiapan menjadi kelurahan definitive. Selanjutnya, pada tanggal 17 Mei 1996 ditetapkan pula melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur terdapat perubahan status Desa menjadi Keluarahan secara definitif dan saat ini wilayah Balikpapan terdiri dari 27 Kelurahan.

Sejarah Balikpapan

(33)

Balikpapan termasuk sebagai pusat penghasil minyak bumi di Indonesia. Asal usul nama Balikpapan memiliki berbagai versi, dimana Pemerintah Balikpapan dalam website resminya menuliskan bahwa terdapat beberapa versi terkait dengan asal-usul nama Balikpapan yaitu versi Pertama dalam Buku 90 Tahun Balikpapan yang mengutip buku karya F. Valenijn tahun 1724. Dalam buku tersebut menjelaskan menurut legenda asal nama Balikpapan adalah karena sebuah kejadian yang terjadi pada tahun 1739, sewaktu dibawah Pemerintahan Sultan Muhammad Idris dari Kerajaan Kutai, yang memerintahkan kepada pemukim-pemukim di sepanjang Teluk Balikpapan untuk menyumbang bahan bangunan guna pembangunan istana baru di Kutai lama. Sumbangan tersebut ditentukan berupa penyerahan sebanyak 1 000 lembar papan yang diikat menjadi sebuah rakit dan dibawa ke Kutai Lama melalui sepanjang pantai. Setelah tiba di Kutai lama, terdapat 10 keping papan yang kurang (terlepas selama dalam perjalanan) dan hasil dari pencarian menemukan bahwa 10 keping papan tersebut terhanyut dan timbul disuatu tempat yang sekarang bernama "Jenebora". Peristiwa tersebut membuat nama Balikpapan itu diberikan, dimana dalam istilah bahasa Kutai "Baliklah - papan itu" atau papan yang kembali yang tidak mau ikut disumbangkan.

Versi Kedua menurut Pemerintah Balikpapan dalam legenda rakyat yang dimuat dalam buku 90 Tahun Balikpapan, dituliskan bahwa legenda dari orang-orang suku Pasir Balik atau biasa disebut Suku Pasir Kuleng, maka secara turun menurun telah dihikayatkan tentang asal mula nama "Negeri Balikpapan". Orang-orang suku Pasir Balik yang bermukim di sepanjang pantai teluk Balikpapan adalah berasal dari keturunan kakek dan nenek yang bernama "KAYUN KULENG dan PAPAN AYUN". Keturunan tersebut berasal dari kampung nelayan yang terletak di Teluk Balikpapan yang memberi nama "KULENG - PAPAN" artinya "BALIK - PAPAN" dalam bahasa Pasir, Kuleng artinya Balik dan Papan artinya Papan sekitar pada tahun 1527.

Perjalanan sejarah terbentuknya Balikpapan tidak terlepas dari pertambangan minyak. Sumur minyak yang ada pertama kali di Balikpapan ialah sumur pengeboran minyak Mathilda, sumur pengeboran perdana tersebut diresmikan pada tanggal 10 Februari 1897 di kaki gunung Komendur wilayah pantai Teluk Balikpapan (Pratama 2012). Penamaan sumur minyak Mathilda berasal dari nama anak JH Menten dari JH Menten dan Firma Samuel dan Co sebagai pemenang hak konsesi pengeboran ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda yang telah mengontrak Balikpapan dari Kesultanan Kutai. Pada saat itu Balikpapan merupakan bagian daerah sebelah selatan Kesultanan Kutai.

Pada tanggal 15 April 1898 ditemukan sumur minyak cukup banyak di daerah konsensi Matilda di Balikpapan yang menghasilkan 32 618 Barrel minyak di tahun 1899. Dalam meningkatkan proses produksi dan pengiriman hasil minyak, maka didirikan pelabuhan di Balikpapan dengan menggunakan tanah pemberian Sultan Kutai seluas 16 100 m2 yang diserahkan kepada pemegang konsensi tambang

minyak pada tanggal 1 Maret 1900 (Pratama 2012).

(34)

Penajam Paser Utara), (2) Kampung Karang Anyar daerahnya meliputi Rapak hingga Gunung Sari Ulu, (3) Kampung Klandasan Ilir meliputi Kawasan Klandasan sampai Manggar, (4) Kampung Klandasan Ulu meliputi Klandasan Ulu hingga daerah sekitar Melawai, (5) Kampung Prapatan meliputi Prapatan sampai Gunung Sari Ilir (Pratama 2012). Daerah sekitar Balikpapan yang termasuk wilayah penyangga seperti Samboja diberi status Onderdistrict Samboja. Balikpapan dan wilayah Samboja oleh Pemerintahan Kolonial Belanda kemudian dirubah statusnya menjadi Onderafadeling1 Balikpapan.

Perkembangan pemukiman di Balikpapan pada masa kolonial Belanda mengikuti pola umum perkembangan kota-kota pada masa kolonial. Pembagian masyarakat pada masa kolonial yang dibagi menjadi 3 kelompok utama dengan berdasarkan perbedaan ras, yakni Orang Pribumi, Eropa, Timur Asing (Tionghoa dan Arab). Pertumbuhan kampung-kampung di sekitar instalasi indsutri minyak terus mengalami penambahan pada masa tersebut. Kampung-kampung di Balikpapan tidak dibangun untuk kegiatan agrikultur atau bercocok tanam, akan tetapi sebagai sebuah pemukiman bagi para pendatang atau orang-orang pribumi pendatang (migran) yang berdagang atau bekerja pada industri minyak di Balikpapan (Pratama 2012).

Pembangunan infrastruktur oleh BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) berupa jalan, jaringan pipa minyak, fasilitas pergudangan, pemukiman pekerja, serta pembangunan stasiun serta perluasan jaringan kabel telegram antara Balikpapan hingga Tarakan. Pembangunan tersebut dilakukan semenjak adanya industri minyak seperti BPM. BPM mendatangkan kuli-kuli kontrak yang berasal dari Etnis Jawa dan buruh-buruh Tionghoa. Pelayanan rutin dengan KPM disediakan untuk keperluan mobilitas barang serta masyarakat yang masuk atau keluar dari Balikpapan. Konikkijk Nederlandsch-Indie Luchvaart Maatschappij pada tahun 1935 bukan hanya membuka jalur laut dalam menghubungkan Batavia (Etnis Jawa) dengan Balikpapan tetapi juga menyediakan jalur udara, sehingga sampai saat ini Bandara Internasional Sepinggan di wilayah Kalimantan Timur hanya berada di Balikpapan bukan di pusat kota Samarinda (Pratama 2012).

Pada masa kolonial Belanda, orang-orang Eropa bermukim di sekitar daerah Klandasan. Di daerah tersebut pemerintah kolonial Belanda juga membangun rumah sakit, gedung pusat administrasi BPM, sekolah pemerintahan, gedung dinas kapal motor, dan gedung kesenian di daerah pusat pemukiman. Pusat perekonomian di Balikpapan pada awal abad XX terletak di dua daerah, yaitu Klandasan dan Kebun Sayur. Pada kedua daerah tersebut terdapat pusat-pusat pertokoan yang dimiliki oleh orang Tionghoa, Jepang dan India. Adapula orang-orang India berdagang kain dan tekstil sedangkan orang-orang-orang-orang Jepang biasanya membuka toko serba ada yang menyuplai kebutuhan sehari-hari, tetapi ada juga yang membuka usaha studio foto dan perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan. Orang-orang Tionghoa baik yang totok maupun yang peranakan umumnya menjadi pedagang, mulai dari pedagang besar, menengah, hingga pedagang kelontong. Sebagian penduduk pribumi Balikpapan juga bercocok tanam,

1Onderafadeling: Suatu wilayah administratif yang diperintah oleh seorang kontrolir (wedana Bangsa Belanda

(35)

berladang, mengumpulkan hasil hutan, seperti rotan, sarang burung, dan berburu (Pratama 2012).

Setelah Kalimantan Timur bergabung dengan RI pada 24 Maret 1950, masih banyak masalah administrasi yang masih mengganjal dalam beberapa wilayah di Kalimantan Timur, khususnya Balikpapan. Undang-Undang No.3 Tahun 1953 Daerah Istimewa Kutai di Provinsi Kalimantan Timur yang dianggap setingkat dengan kabupaten. Balikpapan termasuk dalam kewedanaan Kutai Selatan yang terdiri atas Kecamatan Balikpapan, Kecamatan Balikpapan Seberang dan Kecamatan Samboja. Terbitnya Undang-Undang No.27 Tahun 1959 yang berisi pengurangan wilayah dari Daerah Istimewa Kutai yaitu Balikpapan dan Samarinda yang kemudian kedua daerah tersebut dijadikan Kotapraja (Pratama 2012).

Pada tanggal 21 Januari 1960 diadakan acara serah terima antara Kepala Daerah Istimewa Kutai dengan Kepala Daerah Kotapraja Balikpapan. Penetapan batas-batas wilayah Kotapraja Balikpapan telah ditetapkan dalam SK Gubernur Kalimantan Timur no.26 Tahun 1960. Pada saat itu Menteri Dalam Negeri tidak menetapkan batas-batas wilayah Balikpapan, sehingga pemerintahan sehari-hari memakai penetapan batas wilayah menggunakan SK Gubernur.

Kilang minyak yang hancur akibat Perang Dunia ke II mulai diperbaiki pada awal tahun 1946, dengan membangun unit Trumble 1 dan Trumble II. Pada ttahun 1949 diselesaikan rehabilitasi unit penyulingan hampa. Unit tersebut berfungsi menghasilkan minyak paraffin yang merupakan produksi bahan baku lilin. Kapasitas Kilang Balikpapan juga ditingkatkan menjadi 50 000 Barrel perhari pada tahun 1948, kilang minyak kembali dioperasikan oleh BPM pada tahun 1950. Restorasi tidak hanya dilakukan di daerah kilang minyak juga diperbaiki. Perbaikan infrastruktur di sekitar kilang minyak tersebut juga memacu pertumbuhan ekonomi lainnya, yaitu berkembangnya industri perdagangan dan jasa sehingga menarik kehadiran tenaga kerja dari daerah lain untuk datang ke Balikpapan. Setelah tahun 1966 peran ekonomis industri minyak bagi pertumbuhan ekonomi kota sudah mulai tergantikan oleh sektor-sektor lain seperti jasa perhotelan, kehutanan dan transportasi. Akan tetapi motor penggerak perekonomian Balikpapan tetap pada industri minyak setelah perang dunia II hingga tahun 1960an (Pratama 2012).

Pada tahun 1960 juga dibuka program transmigrasi, dimana adanya pembukaan lahan untuk perkebunan sehingga masyarakat yang ingin memiliki lahan bisa ikut dalam program tersebut. Salah satu wilayah di Balikpapan yang menjadi tempat menampung transmigran adalah wilayah Kelurahan Karang Joang, kecamatan Balikpapan Utara. Peserta transmigran banyak diikuti oleh Etnis Jawa, karena sebelumnya sudah banyak Etnis Jawa yang bekerja di perusahaan minyak lalu memanggil keluarganya di Etnis Jawa untuk mengikuti program transmigrasi. Selain itu Pemerintahan memfokuskan untuk para petani yang tidak memiliki lahan dan masyarakat yang masih tinggal di dalam hutan lindung untuk menempati wilayah transmigran tersebut.

(36)

dengan adanya Bandara Udara Internasional, pelabuhan serta berbagai fasilitas jasa di Balikpapan.

Urbanisasi di Balikpapan

Urbanisasi merupakan petunjuk suatu wilayah mengalami tingkatan penduduk yang dalam kajian demografi dilihat sebagai peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di daerah yang berkategori sebagai perkotaan. Dalam hal ini, seperti yang didefiniskan Rusli (2012), urbanisasi merupakan proses meningkatnya proporsi jumlah penduduk yang bermukim di perkotaan. Peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan ini disebabkan tiga faktor mendasar, yaitu (1) migrasi dari daerah pedesaan ke perkotaan, (2) pertumbuhan penduduk alamiah, pertumbuhan penduduk alamiah (selisih antar jumlah kelahiran dan jumlah kematian) diwilayah perkotaan, dan (3) reklasifikasi wilayah yang semula daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan sebagai akibat dari pembangunan wilayah (Yunus 2005).

Tingkat urbanisasi di Balikpapan termasuk tertinggi di Kalimantan Timur dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat. Sejarah Balikpapan yang menjelaskan aktivitas industri minyak berlangsung yang menyebabkan dalam waktu yang relatif singkat Balikpapan mengalami lonjakan penduduk. Berdasarkan hasil sensus penduduk Balikpapan mulai tahun 1961 – 2010 (Tabel 4.1):

Tabel 4.1 Pertumbuhan penduduk tahun 1961-2010 di Balikpapana

No Tahun Jumlah

Penduduk (Jiwa)

Tingkat Pertumbuhan Selang Tahun (% per tahun)

1 1961 91 706 3.81

2 1971 137 340 4.16

3 1980 280 675 8.17

4 1990 344 405 2.07

5 2000 406 833 1.74

6 2010 614 681 3,24

a

Sumber: Sensus Penduduk 2010

Berdasarkan data pada Tabel 4.1, tingkat pertumbuhan penduduk mengalami fluktuatif. Selama kurun waktu 52 tahun yaitu dari tahun 1961-2010 jumlah penduduk Balikpapan mencapai 7 kali lipat. Pertumbuhan penduduk yang tinggi pada kurun waktu 1971–1980 yaitu 8.17 % yang sebelumnya 4.16 % pada periode tahun 1961–1971 berkaitan dengan pembukaan industri minyak dan industri di bidang kehutanan yang menyerap banyak buruh (Pratama 2012). Berdasarkan data Balikpapan dalam angka penduduk perkotaan sebanyak 93 % dan yang tinggal di pedesaan sebesar 7 %.

(37)

Tabel 4.2 Pertumbuhan penduduk berdasarkan kecamatan di Balikpapan (%)a

Merujuk pada tabel 4.2, data pertumbuhan penduduk berdasarkan kecamatan di Balikpapan, menunjukkan kecamatan Balikpapan Selatan memiliki jumlah penduduk terbanyak yaitu sebesar 191 737 jiwa atau sekitar 34.39 % penduduk, sedangkan Kecamatan Balikpapan Timur mempunyai jumlah paling sedikit yaitu 60 664 jiwa atau sekitar 10.88 % (Balikpapan Dalam Angka 2012).

Urbanisasi di Balikpapan juga memiliki pengaruh pada struktur umur penduduk. Struktur umur ini adalah informasi yang sangat penting karena berkaitan dengan perkembangan presentase kelompok sasaran pembangunan (RPJMD Balikpapan 2016). Berikut ini ialah grafik struktur umur penduduk tahun 2011 Balikpapan

Gambar 4.1Grafik struktur umur penduduk di Balikpapan Tahun 2011 a

a

Sumber: Balikpapan Dalam Angka 2012

Struktur umur penduduk Balikpapan yang tergolong menonjol adalah pada golongan usia dini (5-9 tahun) dan pada usia masa kerja (30-34 tahun) artinya saat ini di Balikpapan memiliki struktur umur penduduk muda karena umur median rendah serta usia masa kerja yang tinggi mengindikasikan di Balikpapan memiliki migrasi masuk yang besar, yaitu banyaknya penduduk pendatang yang mencari kerja di Balikpapan. Rasio beban tanggungan Umur Muda di Balikpapan juga lebih

(38)

tinggi dengan persentase sebesar 14.51 % dibandingkan rasio beban tanggungan Umur Tua dengan persentase hanya 3.97 %.

Urbanisasi di Balikpapan dapat terjadi karena dipicu oleh pertumbuhan industri. Selain itu, jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh migrasi pendatang, dan penduduk yang keluar. Berikut ini adalah gambar migrasi masuk dan kembali Balikpapan dalam 5 tahun terakhir.

Gambar 4.2 Migrasi Balikpapan a

a

Sumber: Bappeda Balikpapan (2013)

Pada gambar 4.2 di atas menegaskan bahwa migrasi datang merupakan faktor dari bertambahnya jumlah penduduk di Balikpapan. Selain itu, Balikpapan juga memiliki letak yang strategis yang berada pada posisi silang jalur perhubungan nasional dan internasional. Perkembangan kota sebagai pusat jasa, perdagangan, dan industri yang tidak hanya berskala regional Kalimantan Timur, namun juga berkembang sebagai salah satu sentra di Indonesia Tengah. Potensi sumber daya yang besar di sekitar kota, terutama di wilayah hinterland seperti Kabupaten Kutai dan Pasir, maka Balikpapan menjadi daya tarik bagi perekonomian serta ditambah keberadaan Pelabuhan Laut Semayang dan Bandara Udara Sepinggan yang memudahkan masyarakat untuk datang ke Balikpapan.

Balikpapan memiliki keunggulan yaitu terdekat dengan jalur pelayaran internasional dari Selat Makassar selanjutnya ke Selat Malaka dan seterusnya ke Asia Timur atau Timur Tengah sehingga dapat dikatakan sebagai kota kolektor seperti Singapura. Selain itu Balikpapan memiliki potensi yang dapat mendorong pertumbuhan Balikpapan, potensi tersebut dipengaruhi oleh posisi geografis, pencapaian regional melalui kemudahan aksesbilitas di jasa perhubungan, sebagai pusat perekonomian yang dilengkapi saran dan prasarana kota, serta petumbuhan dan perkembangan kegiatan eksplorasi/pengilangan minyak dan gas bumi.

Gambar

Tabel 3.1 Jenis Data dan Sumber/ Responden Penelitian Lapangan
Tabel 4.2 Pertumbuhan penduduk berdasarkan kecamatan di Balikpapan (%)a
Gambar 4.2 Migrasi Balikpapan a
Tabel 4.3 Sebaran penduduk berdasarkan suku/etnis di Kalimantan Timur a
+7

Referensi

Dokumen terkait

A. Tesis atas nama Achmad Wildan Fahmi Ifza Habibi Program Studi Program Pascasarjana , Universitas Jember judul “Hak Ahli Waris Yang Murtad Dalam Pembagian Waris

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa media poster kandungan gizi buah apel (Malus sylvestris) yang diperjualbelikan di kota

Hasil studi menunjukkan bahwa pengelolaan asuhan keperawatan pada pasien STEMI dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman dan keselamatan dengan masalah keperawatan kecemasan

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengevaluasi kesesuaian tingkat kenyamanan termal, visual, dan akustik lingkungan pabrik dengan standard yang berlaku, dan

Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dikelas, tidak hanya tergantung dalam penguasaan bahan ajar atau penggunaan metode pembelajaran, tetapi proses pembelajaran yang baik

Untuk menghitung kadar dalam cuplikan digunakan metode komparatif, untuk itu diperlukan cuplikan standar yang mengandung unsur yang akan ditentukan, yang jumlah dan komposisi

14/06/2016 Salinan informasi nilai hasil SBMPTN 2014, a.n Julian Hadi Prasetyo, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Lintasan belajar matematika mempunyai tiga bagian penting yakni: tujuan pembelajaran matematika yang ingin dicapai, lintasan perkembangan yang akan dikembangkan oleh siswa