• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 URBANISASI DAN FORMASI SOSIAL KELAS MISKIN KOTA

Urbanisasi dan Penetrasi Kapitalis

Urbanisasi merupakan proses meningkatnya proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan (Rusli 2012). Namun kesejahteraan penduduk yang tinggal di perkotaan tidak bisa disamaratakan. Masih terdapat penduduk kota yang hidup di garis kemiskinan. Balikpapan memiliki jumlah penduduk yang selalu mengalami peningkatan. Peningkatan penduduk bisa terjadi karena memiliki beberapa faktor yaitu kelahiran, kematian,migrasi, dan perubahan wilayah pedesaan menjadi perkotaan. Berkaitan dengan hal ini, berdasarkan data Bappeda Balikpapan jumlah migrasi yang datang lebih besar jumlahnya dibanding jumlah kelahiran dan kematian (Lampiran 1). Tambahan lagi, etnis yang tersebar di Balikpapan yang dimana jumlah penduduk dari etnis asli Balikpapan lebih kecil jumlahnya dibanding dari etnis di luar pulau kalimantan. Dalam hubungan ini, data mengindikasikan bahwa faktor terbesar yang menjadi penunjang urbanisasi di Balikpapan adalah keluarga pendatang atau migrasi.

Schoorl (1993) menjelaskan bahwa permulaan lahirnya kota modern kebanyakan terjadi dalam rangka penjajahan. Banyak kota perkembangannya berhubungan dengan kebijaksanaan kolonial yang juga bertujuan untuk memantapkan kekuasaan ekonomi, militer dan politik. Berkaitan dengan itu, Balikpapan juga berkembang karena diawali oleh penemuan sumber minyak pada jaman penjajahan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa pada saat itu mengambil beberapa kebijakan terkait dengan buruh yang akan bekerja di pertambangan minyak tersebut. Selain itu, perusahaan minyak seperti BPM dan KPM menyediakan jasa transportasi baik laut maupun udara. Tambahan lagi, perusahaan minyak yang berdiri pada saat itu banyak mendatangkan buruh dari etnis Jawa dan Tionghoa. Akibatnya, peningkatan fasilitas kota seiring dengan bertambahnya jumlah keluarga pendatang di Balikpapan.

Industrialisasi yang terjadi di Balikpapan ternyata membawa implikasi luas terhadap perubahan struktur sosial. Budiman (2000) menegaskan bahwa dampak revolusi industri yang menimbulkan kelas borjuis dan kelas buruh merupakan contoh nyata pengaruh indutrialisasi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat. Marx dalam Sanderson (1993) menggambarkan bahwa kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi yang kemungkinan beberapa individu menguasai sumberdaya produktif vital, yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan maksimal. Marx menyebut para individu ini sebagai kaum borjuis. Kaum borjuis memperkerjakan sekelompok orang yang disebut Marx sebagai golongan proletar. Golongan proletar ini memproduksi barang-barang yang oleh kaum kapitalis kemudian dijual di pasar untuk meraih keuntungan. Para kapitalis tersebut bisa memperoleh keuntungan karena mereka membayar buruh (golongan proletar) kurang dari nilai murni barang-barang yang dihasilkan. Dalam buku Sanderson (1993), dalam masa awal kapitalisme industri, para buruh ini dipekerjakan dalam kondisi yang sangat menderita. Ada kerja lembur yang kejam di pabrik dan dibayar dengan upah yang sangat rendah, dalam banyak kasus sangat jarang mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup. Mereka tinggal di wilayah kumuh yang sangat bising

dan sering menderita kekurangan gizi dan penyakit. Banyak dari mereka adalah anak-anak, yang dibayar rendah daripada orang dewasa laki-laki dan perempuan. Situasi di paruh awal abad xix masa industri di Inggris dicirikan oleh penindasan dan keterbelakangan sebagian besar penduduk (Sanderson 1993).

Pada hakikatnya modernisasi melalui indutrialisasi tersebut membawa implikasi yang luas terhadap perubahan struktur sosial. Terdapat diferensiasi sosial melalui terbentuknya organisasi-organisasi sosial serta adanya pelapisan sosial baru (Budiman 2000). Berkaitan dengan hal ini, kota Balikapapn dalam sejarahnya telah terjadi perubahan structural yang dimana dalam struktur masyarakat terbentuk kelas atas dan kelas bawah di perusahaan minyak. Struktur dan moda produksi kapitalis sudah terbentuk sebelum terbentuknya Balikpapan.

Pada tahun 1960 Balikpapan mulai pemekaran wilayah dan pembukaan lahan hutan untuk dijadikan pemukiman dan perkebunan. Barlan (2014) menjelaskan bahwa seiring berkembangnya Balikpapan yang pada akhirnya menjadi kotamadya berdampak pada diperbaikinya sistem administrasi kepemilikan lahan di Balikpapan. Lahan menjadi barang langkah dan bernilai jual tinggi. Dalam arus pembangunan kapitalistik lahan menjadi sumber keuntungan. Etnis Bugis yang dan etnis Jawa yang sebelumnya memiliki kelompok perintis untuk membuka lahan. Hasil pembukaan lahan tersebut kemudian sebagian mereka jual dan sebagiannya lagi diinvestasikan ke kerabat mereka. Lahan yang tidak dijual dipinjamkan kepada keluarga pendatang miskin untuk dikelolah. Keluarga pendatang miskin yang merupakan kerabat dari kampung asal. Pemanfaatan jaringan ke tempat asal digunakan untuk memperoleh pekerja dan penjaga lahan.

Penguasaan lahan yang terjadi menimbulkan kelas sosial. Mereka yang telah berhasil menjual lahan dengan harga yang cukup tinggi lalu berpindah ke sektor lain seperti berdagang atau menjadi tengkulak. Selain itu, mereka yang memiliki tanah yang luas memperkerjakan buruh tani untuk mengelolah lahan mereka. Dia juga membeli mobil untuk transportasi. Transportasi digunakan untuk menjual sayuran di pasar. Pak HJ termasuk petani sukses yang telah melebarkan usahanya menjadi tengkulak. Dia membeli alat transportasi untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. HJ menjadi tuan tanah dan menjadi petani kaya. Dia menggunakan hasil produksi lahannya dan hasil produksi lahan lain untuk dijual ke pasar. Kemudian pekerja yang menjual menyetor hasil penjualannya ke HJ. Dia memperkerjakan buruh tani dan supir dari tempat asalnya di Jawa. Omzet penghasilan per bulannya sekitar Rp75 000 000. Apabila panen musim sudah datang, maka penghasilannya bisa mencapai ratusan juta. Kemudian dia berika upah kepada buruhnya sekitar Rp350 000 /bulan dan diberikan tunjangan musiman sesuai denga hasil penjualan yang dilakukan. Buruh yang dia kerjakan adalah 23 orang. Anak kandung HJ bernama SP berperan sebagai manajer keuangan. Sebagian dari pekerjanya adalah petani yang memiliki keluarga. Akhirnya terjadi eksploitasi surplus. Dimana HJ semakin kaya, dan para buruh masih dengan statusnya sebagai keluarga miskin. Terdapat stratifikasi dan struktur sosial karena perbedaan kepemlikan alat produksi. Begitu pula, dengan petani miskin, dimana mereka masih memiliki ketergantungan dengan tengkulak yang juga kerabat etnis mereka. Akibatnya, kapitalisme yang hadir di masyarakat Balikapapan selain mengakibatkan kelas sosial juga mengakibatkan ketergantungan antara kelas pemiliki modal dengan kelas bawah pekerja.

Selain itu, sektor-sektor pertanian yang diproduksi oleh petani seperti sayur, buah, dan rotan didistribusikan ke kota untuk dijual. Mereka menjual pada sektor tersier dan formal di kota seperti pedagang sayur, pengusaha restoran/tempat makan, swalayan dan mall. Begitu pula sebaliknya, keluarga pendatang miskin akan ke kota untuk membeli beberapa kebutuhan sandang papan di kota. Berkaitan dengan hal tersebut Frank (1967) menjelaskan bahwa dalam keberlangsungan perkembangan kota melalui modernisasi, umumnya akan melibatkan pihak eksternal yang berperan dalam penetrasi kapital. Bagi kalangan dependensia, adanya penetrasi kapital oleh pihak eksternal dalam kegiatan ekonomi di negara berkembang akan menciptakan struktur ketergantungan yang merugikan masyarakat lokal. Dalam sistem kapitalisme yang demikian, terdapat hubungan ketergantungan antar kelas, yakni elit masyarakat lokal (satelit) dengan pihak metropolis eksternal yang menarik surplus ekonomi satelit untuk membiayai kemajuan ekonominya. Dengan demikian satelit tereksploitasi dan tidak berdaya memajukan ekonomi serta selalu tergantung pada kekuatan metropolis. Hal ini juga berimplikasi pada dominasi moda produksi kapitalis yang terjadi pada keluarga pendatang miskin. Dalam hal ini, baik keluarga miskin yang menjadi petani maupun tukang pemecah batu memiliki ketergantungan dengan pemilik modal. Surplus produksi diserap oleh pemilik modal dan keluarga pendatang miskin mengalami pembatasan dari hasil produksi (pendapatan).

Penguasaan Moda Produksi Kapitalis Pembentuk Kelas Miskin Kota

Kapitalisme di negara berkembang seperti Indonesia tidak bisa berkembang karena artikulasinya, atau kombinasi unsur-unsurnya, tidak efisienn dan terdapat banyak penghambat. Dari hal tersebut teori artikulasi muncul untuk menjelaskan proses terhambatnya moda produksi kapitalis untuk berkembang. Bagi teori artikulasi, tiap-tiap negara tentunya mempunyai kombinasi cara-cara produksi yang unik, berbeda dengan yang lainnya yang disebabkan oleh proses perjalanan sejarah masing-masing (Budiman 2000). Begitu pula dengan kondisi moda produksi keluarga miskin yang ada di kelurahan Karang Joang yang belum sepenuhya berada dalam formasi kapitalis. Moda produksi yang terjadi pada keluarga miskin di Karang Joang masih dalam tahap moda produksi subsisten dan komersil. Hal tersebut bisa dilihat dari alat produksi, hubungan produksi dan kekuatan produksi yang mereka punya. Selain itu, yang paling mencolok dari penguasaan moda produksi kapitalis adalah ketergantungan keluarga miskin pendatang pada pemilik modal maupun pada tengkulak. Ketergantungan tersebut disebabkan oleh ikatan kekerabatan maupun jaringan sosial yang sudah berjalan cukup lama. Ditambah fasilitas untuk kegiatan ekonomi, seperti kurangnya modal usaha/ kepemilikan lahan, transportasi, jalanan yang masih banyak rusak, pasar yang belum bekembang menjadi penghambat keluarga miskin pendatang untuk bisa berada dalam pasar sempurna. Dalam hal ini, penguasaan moda produksi kapitalis terjadi akibat hubungan produksi dan kekuatan produksi dikuasai oleh pemilik modal. Berikut adalah tabel yang menjelaskan moda produksi beradasarkan etnis.

Tabel 7.1 Moda produksi basis etnis a Moda

Produksi

Artikulasi Moda Produksi Etnis

Jawa Bugis Madura Banjar Lainnya

Subsisten √ √ - √ √

Komersil √ √ √ √ √

Kapitalis √ √ √ - √

a

Sumber: Data primer

Pada tabel 7.1, hanya dari 4 etnis yang memiliki moda produksi kapitalis. Pada tulisan sebelumnya dijelaskan artikulasi produksi dari berbagai etnis. Setiap etnis memiliki alat produksi, hubungan produksi dan kekuatan produksi yang memiliki kesamaan dan perbedaan moda produksi dengan etnis lainnya. Moda produksi kapitalis dimiliki oleh kalangan masyarakat menengah ke atas seperti pemilik modal, pemilik lahan, tengkulak dan pemilik usaha pemecah batu. Dalam moda produksi kapitalis menurut Khan (1975) dalam Sjaf (2006) dimana modal sebagai alat produksi, perusahaan sebagai unit produksi, buruh upahan sebagai tenaga kerja utama dan komoditi ekspor/konsumsi domestik sebagai produk utama. Hal terpenting dari moda produksi kapitalis adalah majikan sebagai pemilik modal dan buruh hanya menjual tenaga untuk menghasilkan nilai. Surplus nilai diserap oleh pemilik moda serta orientasi produksi adalah pasar.

Pemilik lahan dan pemilik usaha pemecah tukang batu masing-masing memiliki buruh yang dipekerjakan. Mereka mempekerjakan buruh dengan menyediakan berbagai fasilitas untuk menunjang hasil produksi. Pemilik lahan menyediakan lahan dan tempat tinggal untuk pekerja, begitu pula dengan pemilik usaha pemecah batu. Upah yang diberikan sesuai dengan jumlah produksi yang buruh hasilkan. Namun, ketika hasil produksi dijual ke kota maka harganya bisa naik hingga 4 kali lipat dari harga buruh. Buruh tersebut banyak didatangkan dari pedesaan tempat asal pemilik usaha. Jadi, apabila mereka kekurangan tenaga kerja, mereka bisa mendatangkan orang dari desa untuk bekerja. Akibatnya, harga buruh menjadi murah karena kemudahan menemukan orang-orang yang mau bekerja di usaha mereka.

Sebagaimana McGee (1971) dalam tulisannya bahwa keberhasilan penetrasi kapitalis dalam menembus sektor tradisional terletak tidak hanya pada pengaruhnya melakukan pemusatan ekonomi di kota. Tambahan lagi, McGee (1971) bahwa sektor jasa perkotaan yang tradisional amat bergantung pada proses produksi di pedesaan yang tradisional atau subsisten. Kemudian, akibatnya perkembangan atau kelangsunga hidup sektor ekonomi pasar di perkotaan di kota Dunia Ketiga bukanlah suatu proses yang berjalan sendiri. pada akhirnya dia tergantung pada kegiatan-kegiatan dan kebijakan sektor kapitalis. Dengan berlangsungnya penetrasi terhadap struktur tradisional oleh cara produksi dan apropiasi kapitalis di kota atau di desa kemampuan untuk menyerap tenaga kerja tradisional akan merosot, dan polarisasi antara sektor padat modal yang modern dan kaum rakyat jelata yang menganggur di kota semakin menajam.

Moda produksi kapitalis merupakan akar dari kuatnya kehadiran kapitalisme. Magnis-Suseno (1999) menuliskan dari segi output perbedaan kapitalisme dari sistem produksi lain adalah bahwa keutamaannya pada nilai tukar dan bukan nilai pakai. Maksudnya, orang yang memproduksi atau membeli sesuatu bukan karena

ia mau menggunakannya, melainkan karena ia ingin menjualya lagi dengan keuntungan setinggi mungkin. Hal ini yang menjadi orientasi moda produksi kapitalis yang dilakukan oleh pemilik lahan dan pemilik usaha tukang pemecah batu. Mereka menggunakan membeli produksi dari petani dan tukang pemecah batu dengan harga yang murah dan menjual ke kota dengan harga yang mahal. Orientasi produksi mereka adalah mendapatkan barang/ komoditi dengan harga yang murah agar keuntungan yang didapatkan berlipat ganda.

Formasi sosial terdiri atas moda produksi subsisten, moda produksi komersil, dan moda produksi kapitalis. Dalam bab sebelumnya, terdapat perbedaan dalam hubungan produksi yang dimiliki oleh keluarga pendatang miskin. Pada sesama keluarga pendatang miskin, moda produksi subsisten banyak dialami oleh keluarga pendatang miskin yang jadi petani. Adapula moda produksi komersil yang dialami oleh tukang pemecah batu. Moda produksi subsisten dan komersil bisa berdiri sendiri tanpa perlu hadirnya moda produksi komersil. Namun, struktur masyarakat yang mengadakan perlu adanya pertukaran barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, aktor-aktor yang terlibat dalam moda produksi apapun akan terus berhubungan dan bergantung dengan moda produksi kapitalis.

Aktor-aktor yang terlibat dalam hubungan produksi, kekuatannya dilihat dari alat produksi dan modal yang mereka miliki. Pada faktanya keluarga pendatang miskin tidak memiliki modal dan hanya memiliki keterampilan dan tenaga. Mereka yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan rendah, bertujuan ke Balikpapan dengan satu tujuan yang sama. Tujuannya yaitu untuk mendapatkan kehidupan dan pendapatan yang lebih baik dibanding di daerah asal. Kemudian, kerabat memberikan akomodasi dan jaminan hidup selama di Balikpapan. Akan tetapi mereka harus bekerja dalam usaha yang kerabat mereka geluti. Mereka diberikan fasilitas tempat tinggal, lahan untuk digarap, dan biaya hidup. Tempat tinggal mereka rata-rata berukuran 4x8 meter dan ditinggali oleh istri dan anak. Mereka yang tinggal di Kelurahan Karang Joang yang memiliki jarak sangat jauh dari kota. Akibatnya segala fasilitas kota seperti air bersih, pemukiman layak, dan fasilitas umum jauh dari jangkauan mereka. Air bersih yang mereka gunakan adalah air sumur atau air tadah hujan. Dari jaman orde baru hingga saat ini, fasilitas yang disediakan untuk keluarga miskin pendatang yang berkembang adalah listrik yang sudah masuk ke rumah mereka. Fasilitas seperti air PDAM, pasar untuk menjual hasil kebun mereka, dan jalanan yang mulus belum mereka bisa nikmati.

Garis kemiskinan Balikpapan pada tahun 2012 sebesar Rp389 982 (BPS 2013). Berdasarkan pendapatan yang dimiliki respoden (gambar 4.4), dapat disimpulkan bahwa sebesar 30% responden berada dekat dengan garis kemiskinan. Dalam hal ini, mereka yang memiliki yang penghasilan Rp500 000 /bulan adalah buruh tani, tukang pemecah batu, dan serabutan. Situasi kemiskinan di Balikpapan hanya sebagian yang sesuai dengan karakteritisk BPS diantaranya fasilitas air bersih dari sumur, bahan bakar yang menggunakan minyak/kayu, kepala keluarga yang tidak sekolah atau tidak lulus SD, jenis dinding yang terbuat dari kayu. Selebihnya untuk respoden yang rentan miskin, mereka masih mampu mencicil motor, membeli beberapa peralatan elektronik dan emas. Hal tersebut mengindikasikan bahwa gaya hidup mereka yang konsumtif menjadi pemicu mereka tidak memiliki simpanan uang dan tetap miskin. Selain itu, apabila mereka masih kekurangan, maka mereka meminta pinjaman dengan pemilik modal. Hal

tersebut, menjadikan mereka jadi terikat dan bergantung kepada pemilik modal dan tetap miskin.

Permasalahan yang dihadapi para petani di Karang Joang adalah kurangnya tempat untuk memasarkan hasil kebun mereka. Selain itu, pembangunan yang sekarang dijalankan oleh Pemeritah Kota di Kelurahan Karang Joang berdasarkan RTRW Balikpapan adalah wilayah Karang Joang akan dilakukan pembangunan kawasan Pusat perdagangan dan jasa skala kota di Sub Pusat Pelayanan Kota Kelurahan Karang Joang dan kawasan pendidikan Institut Teknologi Kalimantan. Dengan adanya pembangunan tersebut maka akan berpengaruh terhadap kondisi kelurahan Karang Joang yang dahulunya memiliki karakteristik pedesaan akan berubah menjadi sub kota dengan bertambahnya pelayanan dan fasilitas umum. Jika pembangunan tidak dibarengi dengan peningkatan hasil produksi petani, maka petani di Kelurahan Karang Joang menjadi berkurang dan hak-hak buruh petani akan tercabut dari akarnya karena ketidakpastian hukum mengenai lahan yang mereka miliki. Dalam artian mereka berada pada sektor informal yang hanya memakai kontrak sosial bukan pada kontrak hukum yang berlaku. Kepemilikan hukum yang dimaksud ialah kepemilikan property yang mereka miliki. Seperti yang dikatahui bahwa mereka hanyalah pendatang yang bekerja di lahan milik kerabat atau menyewa lahan milik pemerintah maupun swasta. Ketidakjelasan kepemilikan lahan semakin lama akan menjadi bumerang bagi mereka jika tidak memiliki legalitas kepemilikan property khsusunya lahan untuk digarap. Dalam artian mereka akan kehilangan lahan karena pembangunan yang menitikberatkan pada infrastruktur non pertanian.

Keluarga miskin pendatang dalam strategi nafkah yang masih mengandalkan modal sosial atau jaringan dengan sesama etnis atau dengan etnis yang berbeda. Seperti dalam Warren et al. (2001) bahwa modal sosial dapat digunakan untuk melawan kemiskinan dan memelihara pembangunan untuk masyarakat miskin. Orang miskin mengandalkan dukungan dari hubungan keluarga dan organisasi yang lebih formal untuk bertahan hidup. Namun modal sosial bukan merupakan pandangan yang sama sekali baru untuk memahami dinamika masyarakat miskin. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, terlihat bahwa modal sosial memiliki fungsi yang baik disegala aspek, dimana saat norms, jaringan dan trust dapat berkolaborasi dengan baik, maka masyarakat atau suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hal ini juga ditunjukan oleh Warren, Thompson dan Saegert dimana modal sosial dapat mengentaskan kemiskinan yang mana pengentasan kemiskinan dapat diatasi oleh masyarakat itu sendiri dengan membangun kelembagaan dan modal sosial yang kuat. Oleh sebab itu modal sosial sangat penting untuk terus direproduksi dalam hubungan antar individu. Mengacu pada pemaparan tersebut terlihat bahwa jaringan yang merupakan bagian dari modal sosial pada dasarnya memiliki peranannya dalam pembangunan dimana kelompok etnik memiliki peran tersendiri dalam perluasan jaringan tersebut (Barlan 2014).

Jaringan sosial yang menghasilkan pilarisasi etnis dapat dipakai sebagai jaringan pengaman keluarga pendatang miskin namun tidak membantu mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh moda produksi mereka yang masih susbsisten, tenaga kerja, dan modal yang minim. Selain itu, jaringan sosial yang mempertemukan keluarga pendatang miskin dengan pemilik modal membuat mereka digunakan sebagai pekerja dengan upah rendah. Mereka tidak mampu terlepas dari pemilik modal karena akomodasi yang diberikan

pemilik modal selama hidup di Balikapapan. Maka terjadi ikatan “utang budi” dimana keluarga pendatang miskin yang juga sebagai pekerja merasa terikat dengan pemilik modalnya. Akibatnya, walaupun mereka dibayar murah, mereka tetap bertahan sebagai konsekuensi utang budi yang diperoleh.

Walaupun, kota ini sudah termasuk dalam kota modern dan industrialisasi tidak menghilangkan identitas kesukuan di masyarakatnya. Kebijakan pemerintah mendukung terbentuknya paguyuban etnis agar terciptanya iklim politik yang seimbang antara masyarakat lokal dan pendatang. Tambahan lagi, jumlah suku pendatang di Balikpapan lebih besar dibanding dengan jumlah penduduk suku aslinya. Hal tersebut juga menjadi sarana keluarga pendatang untuk bisa memperoleh pekerjaan. Akibatnya, pemanfaatan modal sosial semakin kuat selain disebabkan oleh paguyuban juga unsur kekerabatan dan primordialisme masih berlaku di sistem kemasyarakatan Balikpapan.

Dalam penelitian ini, keluarga pendatang miskin secara keseluruhan bekerja dalam sektor informal. Mereka bekerja sebagai buruh tani, tukang pemecah batu dan buruh upah. Dalam hubungan produksi mereka masih bergantung dengan pemilik modal. Akibatnya baik hasil produksi maupun tenaga yang mereka gunakan seluruhya untuk pemilik modal. Pemilik modal menjadi penentu dari penghasilan mereka. Walaupun mereka hanya memiliki tenaga dan waktu untuk bekerja, mereka juga memiliki hak untuk mendapatkan upah yang lebih layak. Upah yang layak minimal disesuaikan dengan UMP (Upah Minimum Provinsi) agar mereka tidak masuk dalam garis kemiskinan. Namun mereka tidak mendapatkannya karena tidak ada undang-undang ataupun kebijakan yang mengawasi sektor informal. Sektor informal yang ada hanya memiliki kontrak sosial bukan kontrak hukum. Dalam hal ini, kekuatan kelompok etnis berpengaruh pada kontrak sosial yang dibuat oleh para pelaku usaha di sektor informal. Dominasi moda produksi kapital melalui hubungan produksi menciptakan ekspolitasi dan kemiskinan. Dalam hal ini formasi sosial kelas miskin kota terjadi akibat dominasi moda produksi kapitalis terhadap produksi keluarga pendatang miskin.

Kebijakan Pemerintah Menanggulangi Kemiskinan

Kebijakan pemerintah dalam hal ini mengenai kebijakan pembangunan dan program bantuan keluarga miskin. Kebijakan pembangunan/ developemntalism terus digalakkan pemerintah kota. Hal ini diiplementasikan melalui program kerja RPJMD (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah Balikpapan) 2011- 2016. Terdapat isu strategis yang salah satunya menyangkut tentang penanggulangan masyarakat miskin. Pembangunan yang masih mengutamakan terciptanya lahan-lahan kapital baru seperti pemukiman, Institut Teknologi Kalimantan, pusat perbelanjaan, tempat wisata yang mampu meningkatkan pendapatan ekonomi daerah. Namun di sisi lain memberikan dampak terhadap ketimpangan kelas-kelas sosial yang ada.

Kelurahan Karangjoang Balikpapan menjadi salah satu target pembangunan di bidang jasa. Salah satu pembangunan yang dicanangkan saat ini adalah

Dokumen terkait