• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

Dalam dokumen ProdukHukum BankIndonesia (Halaman 75-77)

Mishkin (2001) berargumen bahwa bank sentral dapat mendorong pemulihan krisis keuangan dengan memberikan pinjaman dalam rangka perannya sebagai the lender of last resort (LLR). Terdapat banyak contoh praktek LLR yang sukses di negara-negara maju (Mishkin, 1991). Lalu, bagaimana halnya dengan negara berkembang khususnya Indonesia?

Berdasarkan Undang-Undang No.13 Tahun 1967, Bank Indonesia berwenang memberikan pinjaman darurat kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang berat8. Namun, tidak terdapat peraturan dan prosedur yang jelas tentang bagaimana fungsi ini dilaksanakan. Selama krisis tahun 1997, Bank Indonesia memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank bermasalah untuk mencegah keruntuhan sistem perbankan dan untuk menjaga sistem pembayaran. Terus memburuknya kepercayaan terhadap sistem perbankan disertai dengan ketakpastian politik dan gejolak sosial telah menimbulkan systemic bank runs dari bank-bank yang dianggap bermasalah ke bank-bank yang lebih sehat.

Dengan memburuknya krisis, jumlah fasilitas saldo debet (overdraft) bank-bank meningkat dari Rp31 triliun pada Desember 1997 menjadi to Rp170 triliun in Desember 1998. Namun, bantuan likuiditas terkonsentrasi hanya pada lima bank yang mencapai 80% dari total bantuan kepada sistem perbankan. Semua bank tersebut mengalami penarikan simpanan besar-besaran, kecuali Bank Exim yang menderita kerugian transaksi valuta asing. Bank Central Asia, yang dimiliki Salim group, merupakan peminjam terbesar yakni Rp31 triliun sebagai dampak kerusuhan rasial pada Mei 1998.

Sesuai prinsip umum (Bagehot), bantuan likuiditas seharusnya hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven. Untuk mengurangi kemungkinan kerugian bank sentral harus meminta agunan yang memadai. Enoch (2001) berargumen bahwa harus terdapat batasan dalam pemberian pinjaman tersebut, mengingat kesulitan likuiditas tersebut cenderung menunjukkan adanya masalah solvensi. Setelah penutupan bank pada November 1997, pemerintah menyatakan bahwa tidak akan ada lagi

8 Undang-Undang (UU) BI yang lama No. 13 tahun 1967 menetapkan satus BI sebagai pembantu pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan moneter,

perbankan dan sistem pembayaran. Sementara UU BI saat ini No. 23 tahun 1999 memberikan independensi bagi BI dalam pelaksanaan tugasnya dari campur tangan politik.

penutupan bank. Hal ini mengakibatkan Bank Indonesia terpaksa untuk memberikan bantuan likuiditas. Sejak itu, BI memberikan bantuan kepada semua bank tanpa mensyaratkan agunan yang memadai dengan membolehkan saldo debet rekening giro mereka di Bank Indonesia. Sebagian besar bank hanya dimintai jaminan pribadi (personal guarantee) dari pemiliknya bahwa pinjaman tersebut digunakan untuk keperluan likuiditas dan menjaga kepatuhan terhadap seluruh regulasi prudensial. Akibatnya, BLBI meningkat tajam.

Besarnya biaya fiskal akibat kasus ini tersebut telah menimbulkan perbedaan pendapat antara pemerintah dan BI mengenai jumlah dan siapa yang bertanggungjawab atas BLBItersebut. Setelah melalui proses negosiasi panjang tercapai kesepakatan antara BI dan pemerintah untuk menyelesaikan kasus BLBI tersebut dengan perjanjian bagi beban (burden-sharing)9.

Kritik utama terhadap proses pemberian BLBI dalam rangka LLR tersebut adalah kelemahan pengawasan10. Enoch (2001), mengkritik bahwa seharusnya BI, selaku pengawas bank, mengecek penggunaan pinjaman tersebut apakah benar-benar digunakan untuk membayar penarikan simpanan nasabah. Sebenarnya, BI melakukan pengecekan tersebut dengan menempatkan beberapa orang pengawas di masing-masing bank bermasalah. Namun, adalah sulit untuk memverifikasi seluruh transaksi bank harus untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat penyalahgunaan BLBI oleh pengurus dan pemilik bank. Seharusnya hal tersebut merupakan tanggung jawab sepnuhnya manajemen bank. Belakangan, hasil pemeriksaan bank menunjukkan bahwa terdapat indikasi yang kuat moral hazard yang ditunjukkan oleh transaksi yang mencurigakan antar bank pada beberapa bank yang ditutup. Dan sayangnya, kasus-kasus penyalahgunaan tersebut hingga saat ini belum diproses secara konsisten akibat lemahnya proses peradilan dan law enforcement.

Sebagaimana dikemukakan oleh Sinclair (2000) dan Goodhart (2002), dalam rentang waktu terbatas, sulit dan mungkin mustahil bagi bank sentral untuk membedakan antara permasalahan likuiditas dan solvensi. Karena itu, masalah pokok BLBI adalah ketidakjelasan kriteria untuk membedakan antara bank yang sehat dan yang sakit, serta tiadanya kebijakan dan pedoman LLR yang jelas untuk meyakinkan akuntabilitas. Juga terdapat kelemahan koordinasi antar lembaga dalam menangani krisis pada saat itu. Disamping itu, besarnya hutang luar negeri swasta menyulitkan Bank Indonesia untuk mendorong pemulihan krisis keuangan melalui kebijakan moneter yang ekspansif. Kebijakan tersebut cenderung mengakibatkan depresiasi rupiah yang tajam. Untuk alasan yang sama, seperti yang dikemukakan oleh Mishkin (2001), fasilitas LLR yang diberikan oleh bank sentral di negara-negara berkembang yang memiliki

9 Ditetapkan sebagai kriteria kinerja dalam Letter of Intent dengan IMF, 31 December 2001. 10 Antara lain dikemukakan dalam Laporan BPK.

hutang luar negeri yang besar, mungkin tidak seberhasil praktek LLR di negara-negara maju. Pinjaman Bank Indonesia kepada sistem perbankan pada saat krisis meningkatkan kredit. Hal ini mendorong depresiasi rupiah yang besar yang kemudian memperburuk kondisi keuangan bank-bank yang pada akhirnya membuat pemulihan dari krisis menjadi lebih sulit. Oleh karena itu, penggunaan LLR oleh bank sentral di negara-negara yang besar hutang luar negerinya menjadi lebih sulit karena pinjaman bank sentral bagaikan pedang bermata dua (Mishkin, 2001).

Berdasarkan Undang-Undang No.23 tahun 1999, peran Bank Indonesia sebagai LLR sangat terbatas. BI hanya dapat memberikan LLR kepada bank pada kondisi normal (maksimum 90 hari) dengan agunan berkualitas tinggi dan likuid, namun tidak untuk kondisi khusus. Agunan tersebut dapat berupa surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau surat berharga sejenis lainnya yang bernilai tinggi dan dapat segera dijual ke pasar. Dalam kenyataannya, yang memenuhi kriteria tersebut saat ini hanya obligasi rekapitalisasi yang diterbitkan pemerintah dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Fasilitas yang diberikan oleh BI tersebut berfungsi seperti fasilitas diskonto yang disediakan secara rutin oleh bank sentral untuk mengatasi kesenjangan (mismatches) likuiditas yang mungkin dihadapi oleh bank. Namun demikian, fasilitas tersebut tidak mencakup fungsi LLR yang khusus digunakan dalam rangka pemberian bantuan likuiditas darurat kepada sistem keuangan dalam masa krisis. Dalam hal ini bank- bank umumnya tidak memiliki agunan berkualitas tinggi sehingga diperlukan beberapa pengeculian dari persyaratan kondisi normal.

RANCANGAN BARU MANAJEMEN KRISIS

Dalam dokumen ProdukHukum BankIndonesia (Halaman 75-77)