• Tidak ada hasil yang ditemukan

Standardised Approach

Dalam dokumen ProdukHukum BankIndonesia (Halaman 131-135)

Pendekatan ini mencoba memodifikasi perhitungan permodalan bank agar lebih mendekati elemen- elemen kunci dari risiko bank dengan memberikan klasifikasi bobot risiko yang lebih luas dan pengakuan

terhadap credit risk mitigation techniques. Perbedaan utama dengan Accord 88 adalah penetapan bobot risiko didasarkan pada rating yang diberikan oleh rating agency yang telah memenuhi kualifikasi tertentu. Dalam pendekatan tidak dikenal lagi pengelompokan negara berdasarkan group tertentu (negara- negara OECD atau Non-OECD). Selain itu, bobot risiko negarasebagai batas minimum (sovereign floor)

A c c o r d 8 8

Bobot Risiko Jenis Tagihan

0% 0,10, 20 atau 50% (national discretion) 50% 50% 100% - Kas

- Tagihan kepada Pemerintah dan Bank Sentral dalam mata uang domestik dan dibiayai dalam mata uang yang sama

- Tagihan lainnya kepada Pemerintah negara-negara OECD den Bank Sentralnya. - Tagihan dengan agunan tunai dari surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah

negara-negara OECD atau dijamin oleh Pemerintah negara-negara OECD.

- Tagihan kepada domestic public-sector entities, diluar Pemerintah Pusat, den pinjaman

yang dijamin oleh lembaga-lembaga tersebut.

- Tagihan kepada multilateral development banks (lBRD, IADB, AsDB, AfDB, EIB) den tagihan yang dijamin oleh atau memiliki agunan surat berharga yang diterbitkan bank-bank tersebut.

- Tagihan kepada bank-bank dinegara-negara OECD

dan pinjaman yang dijamin oleh bank-bank di negara- negara OECD.

- Tagihan kepada bank-bank diluar negara-negara OECD dengan sisa jangka waktu kurang dari 1 tahun dan pinjaman dengan sisa jangka waktu kurang dari 1 tahun yang dijamin oleh bank-bank diluar negara-negara OECD.

- Tagihan kepada non-domesticOECDpublic-sector entities, diluar Pemerintah Pusat, den pinjaman yang dijamin oleh lembaga-lembaga tersebut.

- Uang tunai yang masih dalam proses penagihan.

- Pinjaman yang dijamin oleh sepenuhnya oleh mortgage on residential property yang akan

digunakan atau disewakan oleh debitur. - Tagihan kepada sektor swasta.

- Tagihan kepada bank-bank diluar negara-negara OECD dengan sisa jangka waktu lebih dari 1 tahun.

- Tagihan kepada Pemerintah Pusat dari negara-negara di luar OECD (kecuali dalam mata uang domestik dan dibiayai dengan mata uang yang sama).

- Tagihan kepada perusahaan komersial yang dimiliki masyarakat umum. - Tanah, bangunan den peralatan serta aktiva tetap lainnya.

- Real estate dan investasi lainnya (termasuk non-consolidated investment participation

pada perusahasn lain).

- Instrumen permodalan yang diterbitkan oleh bank lain (kecuali dikeluarkan dari modal). - Aktiva lainnya.

juga dihilangkan sehingga dimungkinkan suatu perusahaan memiliki bobot risiko yang lebih rendah dibandingkan bobot risiko negara dimana perusahaan itu berada.

Secara singkat, perbedaan pembagian bobot risiko antara proposal New Accord dengan Accord 88

dapat dilihat pada tabel :

Penggunaan rating dari rating agency sebagai acuan dalam penetapan bobot risiko menjadikan kondisi dan keberadaan rating agency menjadi hal yang sangat penting. Tanggungjawab dalam menetapkan rating agency yang memenuhi kualifikasi terletak pada otoritas pengawas. Kriteria-kriteria yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menetapkan lembaga pemeringkat tersebut (eligibility

criteria) mencakup objektivitas, independensi, transparan/International access, disclosure,

sumberdaya, dan kredibilitas.

JENIS TAGIHAN PERINGKAT

Tagihan kepada Pemerintah/Bank Sentral 0% 20% 50% 100% - 150% 100%

Tagihan kepada Bank/BUMN

- Option I 20% 50% 100% 100% 150% 100%

- Option II 20% 50% 50% 100% - 150% 50%

Tagihan kepada Perusahaan 20% 50% 100% - 150% - 100%

KPR 40% Retail 75%

Sekuritisasi Aset dan Aset Lainnya 100%

Aset berisiko tinggi (Rating dibawah BB-/B-, Past Due, den Pinjaman yang tidak di cover agunan) 150% Off-balance sheet: Cara perhitungan eksposur kredit dari Accord 88 masih dipertahankan

STANDARDISED APPROACH

AAA to AA- A+ to A- BBB+ to BBB- BB+ to B- Di bawah BB- Dibawah B- Unrated

Jika dibandingkan dengan Accord 88, standardised approach memiliki beberapa keunggulan dalam perhitungan credit risk, antara lain (i) memberikan keseimbangan antara kesederhanaan (simplicity) dan keakuratan (accuracy) dengan memberikan kesempatan kepada bank untuk memperhitungkan kebutuhan permodalannya berdasarkan praktek manajemen risiko yang sehat; (ii) lebih risk sensitive

yang digambarkan melalui klasifikasi bobot risiko yang lebih luas untuk masing-masing jenis tagihan dan memberikan kesempatan pada perhitungan kebutuhan modal bank yang lebih mendekati economic capital

sehingga alokasi modal bank lebih efektif; (iii) penilaian credit risk yang lebih transparan melalui penggunaan rating yang dikeluarkan oleh rating agency dalam penetapan bobot risiko sekaligus mengurangi perbedaan penilaian antara bank dengan para pelaku pasar. Hal ini pada akhirnya akan memberikan nilai tambah bagi bank dimata para pelaku pasar; (iv) pendekatan yang lebih didasarkan

pada pertimbangan ekonomis serta mengurangi pengaruh politis dengan menghilangkan batasan sover-

eign floor. Penilaian lebih didasarkan pada kinerja perusahaan dibandingkan keterkaitannya dengan negara

dimana perusahaan tersebut berada; (v) penetapan rating agency oleh otoritas pengawas sekaligus dapat dimanfaatkan untuk memperoleh informasi dan perbandingan metodologi yang digunakan dalam menilai kelayakan (creditworthiness) suatu perusahaan. Hal ini akan memperluas wawasan otoritas pengawas sekaligus menambah informasi dan ketrampilan dalam melakukan penilaian terhadap credit risk bank.

Namun disamping memiliki keunggulan, konsep standardised approach juga berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan dalam penerapannya Salah satu diantaranya terkait dengan pengenaan bobot risiko. Pengenaan bobot risiko berdasarkan rating secara langsung akan berpengaruh pada beberapa aspek antara lain terhadap capital requirement. Pada kenyataannya, ketentuan CAR saat ini tidak mesyaratkan penggunaan rating. Penerapan New Accord akan memberikan kebutuhan modal yang cukup signifikan khususnya jika sebagian besar aset perbankan dalam bentuk tagihan kepada pemerintah/ bank sentral maupun penempatan antar bank, yang pada saat ini dikenakan bobot risiko masing-masing sebesar 0% dan 20%. Dalam hal hasil rating berada diluar kualifikasi investment grade (misalnya dibawah B-) maka akan mengakibatkan peningkatan capital requirement karena dikenakan bobot risiko sebesar 150%. Sebagai contoh, saat ini sovereign rating Indonesia menurut S&P adalah CCC+ dengan konversi bobot risiko sebesar 150%. Mengingat saat ini portofolio obligasi rekap mencapai 36,03% dari total aset perbankan maka penerapan metode ini akan menuntut tambahan modal bank yang cukup signifikan. Dalam hal rating Indonesia menurun, maka Bank Indonesia akan menghadapi kendala/hambatan dalam melakukan transmisi kebijakan moneternya melalui perbankan mengingat instrumen moneter yang dikeluarkan (misalnya SBI) tidak akan memiliki daya tarik bagi perbankan karena tuntutan pengenaan bobot risiko sebesar 150%.

Permasalahan lainnya yang akan dihadapi otoritas perbankan dalam hal penetapan ratingagency

terkait dengan kompetensi dalam menilai rating agency yang memenuhi kualifikasi serta memantau pemenuhan kualifikasi tersebut secara berkesinambungan serta tanggung jawab moral apabila rating

agency yang direkomendasi ternyata sesungguhnya tidak memenuhi kualifikasi sehingga berpotensi

menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Selain tiu, setiap ratingagency menerbitkan definisi dan simbol rating yang berbeda-beda. Misalnya, S&P menggunakan simbol AAA, AA+, dst., sementara Moody’s menggunakan simbol Aaa, Aa1 dst., dimana kedua jenis simbol tersebut memiliki definisi yang serupa. Tantangan yang dihadapi otoritas pengawas adalah membuat pemetaan dan konversi hasil rating dari seluruh ratingagency yang direkomendasi untuk menghindari perbedaan hasil pengukuran risiko kredit. Untuk itu diperlukan “framework penilaian standar” yang obyektif dan konsisten sehingga dapat menjembatani perbedaan standar penilaian antara berbagai rating agency.

Implikasi lainnya terkait dengan penggunaan solicited rating dan unsolicited rating. Dalam prakteknya, ratingagency dapat menerbitkan rating terhadap suatu entitas maupun instrumen di pasar uang/modal atas permintaan (solicited rating) maupun di luar permintaan pihak yang berkepentingan

(unsolicited rating). Penggunaan solicited/unsolicited rating berpotensi menimbulkan beberapa isu

yang terkait dengan tekanan yang diberikan rating agency kepada perusahaan untuk menggunakan

solicited rating. Dalam prakteknya, pengawasan terhadap praktek tersebut akan sangat sulit untuk

dilakukan oleh otoritas perbankan.

Penggunaan rating sebagai acuan juga berpotensi menimbulkan masalah sebagai dampak dari pro-

cyclicality. Secara teoritis maupun historis, kondisi perekonomian suatu negara akan selalu mengalami

siklus. Konsekuensinya, hasil rating akan dipengaruhi oleh siklus perekonomian tersebut (pro-cyclicality). Pada saat perekonomian dalam kondisi baik (boom), maka ratingagency akan memberikan penilaian yang baik sehingga menurunkan exposure risiko kredit perbankan dan meningkatkan rasio kecukupan modal (overcapitalized). Sebaliknya, pada saat perekonomian menurun (recession), maka exposure

risiko kredit akan meningkat karena memburuknya rating sehingga rasio modal perbankan akan menurun

(undercapitalized). Permasalahan akan muncul jika pada saat overcapitalized perbankan terdorong

untuk melakukan ekspansi kredit. Jika perbankan tidak memiliki cadangan (buffer)permodalan yang cukup maka pada saat perekonomian memburuk (downturn) perbankan akan dihadapkan pada kredit bermasalah karena meningkatnya risiko kredit yang pada gilirannya akan menggerogoti permodalan. Melihat keterkaitan ini maka diperlukan suatu proses pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa perbankan memiliki tambahan modal yang cukup yang berfungsi sebagai cadangan (buffer) sehingga dapat mengantisipasi pergerakan siklus perekonomian.

Potensi permasalahan lainnya bersumber dari terbatasnya agunan yang diakui sebagai faktor mitigasi risiko kredit. Sebagaimana kebanyakan negara berkembang, struktur agunan kredit perbankan di Indo- nesia masih didominasi oleh tanah dan bangunan, khususnya agunan yang dimiliki oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Penerapan standardised approach dikhawatirkan akan berdampak pada keengganan perbankan di Indonesia untuk menyalurkan kredit kepada sektor UKM terutama karena faktor agunan yang tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang risiko kredit.

Dalam dokumen ProdukHukum BankIndonesia (Halaman 131-135)