• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. MANFAAT PENELITIAN

E.1 Batasan Konsep a.Partisipasi a.Partisipasi

Perkataan partisipasi berasal dari perkataan Inggris “to partyicipate” yang mengandung pengertian “to make part” yang dalam bahasa Indonesia berarti mengambil bagian. Sedang participation

berarti “the act participating”. Seseorang dikatakan berpartisipasi terhadap sesuatu usaha atau organisasi apabila secara sadar ia ikut

aktif mengambil bagian di dalam kegiatan-kegiatan dari usaha tersebut.

Menurut Sudharto P. Hadi (1995) partisipasi merupakan

proses dimana masyarakat turut serta mengambil bagian dalam

pengambilan keputusan. Keikutsertaan publik membawa pengaruh

positif, mereka akan bisa memahami atau mengerti berbagai

permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang

akan diambil. Pada hakikatnya pelibatan masyarakat merupakan

bagian dari proses perencanaan yang dimaksudkan untuk

mengakomodasi kebutuhan, aspirasi, dan concern mereka. Tujuannya adalah untuk mengeliminir kemungkinan terjadi dampak negatif.

Partisipasi masyarakat bukan hanya sebagai cara untuk meredam dan

menghindari berbagai protes dikemudian hari, namun juga sebagai

perencana untuk memperoleh input dari masyarakat tentang segala

commit to user

10

Keikutsertaan itu meliputi keterlibatan warga dalam segala

tahapan kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan hingga penilaian

keputusan, dan termasuk juga ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.

Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus

pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musyawarah.

Namun disaat ini penggunaan kata partisipasi (politik), sering

mengacu pada dukungan warga untuk pelaksanaan kebijakan yang

sudah ditentukan oleh pemerintah. Disini tidak terlihat partisipasi

masyarakat sebagai aktor utama dalam pembuatan keputusan. Konsep

semacam ini di era pasca runtuhnya orde baru sangat tidak relevan

dengan konsep reformasi yang menjunjung demokrasi. Menurut

Miriam Budiarjo (1998:1) partisipasi politik adalah kegiatan seseorang

atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan

politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara

langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah

(public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi

anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan

hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya.

Menurut Herbert McClosky (dalam Miriam Budiarjo, 1998:2),

commit to user

11

“The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rules and, directly or indirectly, in the formation of public policy”.

“Kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung dan tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.”

Bagi negara yang menegakkan demokrasi dalam menjalankan tata

pemerintahan, unsur penting yang tidak bisa dilepaskan adalah tentang

partisipasi. Pemerintahan yang baik adalah, jika aktifitas partisipasi

dari masyarakatnya meningkat di segala sektor kehidupan. Gaventa

dan Valderama dalam buku Ichwan Prasetyo (2007), merupakan tokoh

lain yang juga memberi definisi terhadap partisipasi, setidaknya ada

tiga macam partisipasi dalam pembangunan masyarakat demokratis

yaitu; partisipasi politik, partisipasi sosial,dan partisipasi warga.

Pertama, Partisipasi politik yang merepresentasikan demokrasi keterwakilan. Partisipasi politik, lebih dikaitkan dengan proses-proses

politik formal, yaitu pertisipasi rakyat dalam Pemilihan Umum baik

tingkat daerah maupun nasional dan juga pada kegiatan

lembaga-lembaga negara. Partisipasi politik berorientasi pada “mempengaruhi”

dan “mendudukkan wakil rakyat” dalam Pemerintahan daripada

“partisipasi aktif” dan “langsung” dalam proses Pemerintahan itu

sendiri.

Kedua, partisipasi sosial sebagai keterlibatan Beneficiary dalam proyek pembangunan. Oleh Stiefel dan Wolfe dalam buku Ichwan

commit to user

12

meningkatkan pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga

pengatur dalam keadaan sosial tertentu oleh pelbagai kelompok dan

gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan. Kelompok partisipasi

ini berada di luar lembaga formal atau pemerintah...”. Partisipasi sosial

ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang

sebagai ‘benefeciary’ pembangunan dalam konsultasi atau

pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek

pembangunan dari penilaian kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan,

sampai pemantauan dan evaluasi program.

Ketiga, partisipasi warga sebagai pengambil keputusan langsung dalam kebijakan publik. Berbeda dengan kedua jenis partisipasi

sebelumnya, oleh Gaventa dan Valderama ‘partisipasi warga’

mendapat perhatian lebih, dimana lebih menekankan pada ‘partisipasi

warga’ dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pada lembaga

dan proses pemerintahan. Partisipasi aktif warga berubah, dari hanya

menjadi ‘penerima kebijakan’ menuju sebuah kepedulian warga itu

sendiri dengan keikutsertaannya dalam pengambilan keputusan atau

kebijakan di berbagai bidang kehidupan mereka.

Perlunya masyarakat terlibat langsung dalam kebijakan publik

ditunjukan selain sebagai warga masyarakat atau rakyat yang memiliki

hak sebagai masyarakat sosial dan politik untuk menjaga ruang

publiknya, mengagregasikan persoalan dan kepentingan di ruang publik, merancang agenda publik, dan terus menerus mengawasi agar

commit to user

13

kinerja wakil rakyat dan pemerintah supaya bekerja sesuai dengan

mandatnya. Apalagi jika berkaitan dengan kebijakan yang berimplikasi

terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat harus melibatkan

anggota masyarakat dan formulasi dan pengambilan keputusan. Oleh

Anthony Giddens (1999), dipandang sebagai satu perwujudan

demokrasi deliberatif atau sebagai langkah mendemokrasikan

demokrasi (Democratizing democracy).

Dalam penelitian ini konsep Gaventa dan Valderama tentang

partisipasi dapat digunakan sebagai indikator partisipasi Forabi.

Berikut ini indikator untuk melihat partisipasi Forabi,

1. Partisipasi politik yang merepresentasikan demokrasi keterwakilan.

2. Partisipasi sosial sebagai keterlibatan Beneficiary dalam proyek pembangunan.

3. Partisipasi warga sebagai pengambil keputusan langsung dalam

kebijakan publik.

b. Kebijakan Publik

Kebijakan dalam bahasa Inggris disebut dengan public policy. Wikipedia (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik) mengartikan kebijakan publik merupakan keputusan-keputusan yang

mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersiafat garis

commit to user

14

Harold Laswell dan Abraham Kaplan (dalam buku HAR. Tilaar &

Riant Nugroho, 2008: 183) mendefinisikan sebagai suatu program

yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, praktik-praktik

tertentu (a projected program of goals, values, and practices).

“Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh Negara, Khususnya Pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengawal masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan”(HAR. Tilaar & Riant Nugroho, 2008: 182)

Kebijakan Publik (Inggris:Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau

bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai

keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah

dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari

publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan

untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan

publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan

oleh birokrasi pemerintah serta mencapai amanat konstitusi.

Kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan

pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan,

mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus

kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan,

pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana

keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi

commit to user

15

berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi

agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan

dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh

terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada

tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan

pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni

proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan

dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan.

Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau

pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan

cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan

keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka

diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa

yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui

apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan

atau tidak.

Dalam masyarakat otoriter kebijakan publik adalah keinginan

penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi

dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah

commit to user

16

yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik

untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan

mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan

para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu

keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa

ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap

saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak

memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha

mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan

dijalankannya. dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat

dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan

dan publik. terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan

tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. artinya kebijakan

merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik

dari pilihan-pilihan yang ada. dalam konteks makro hal ini kemudian

diangkat dalam porsi pengambilan keputusan.

Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan

dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang

berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang

penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang

menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya,

siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga

commit to user

17

(negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima

layanan. Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian

politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah

proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan

pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini

tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau

budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan

kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.

c. Civil Society

Konsep tentang Civil Society di Indonesia telah marak terdengar dari awal tahun 90-an. Di negara Barat konsep Civil Society

sebenarnya berakar, namun setelah sekian lama telah terlupakan dalam

wacana perdebatan ilmu sosial dan kemudian mengalami revitalisasi

terutama setelah reformasi di Eropa Timur di pertengahan tahun 80-an

hingga 90-an.

Istilah Civil Society sendiri di Indonesia banyak memiliki perpadanan arti. Civil Society di Indonesia diartikan antara lain menjadi masyarakat sipil, masyarakat warga, masyarakat madani, masyarakat beradab, masyarakat berbudaya, atau masyarakat kewarganegaraan.

Banyak tokoh yang mepersepsikan arti dari istilah Civil Society

sama maupun saling berbeda bahkan bertentangan. Tokoh klasik

commit to user

18

dari political society (dalam artian bisa dimaknai sebagai negara atau

state) disamakan dengan civil society itu sendiri. Sedangkan pemikir lainnya seperti Hegel, Marx, Gellner, Cohe, dan Arato,

mempersepsikan kedua hal tersebut tidak sama dan bertentangan satu

sama lain. Hal ini dilihat dari representasi dari entitas yang berdiri

sendiri atau dua domain sosial politik yang berbeda. (Adi Suryadi

Culla: 1999)

Terjadi banyak kontroversi tentang pemaknaan dari civil society

dari para pemikir. Tokoh Indonesia yang memaknai civil society

sebagai masyarakat madani adalah Nurcholis Ma’jid. Nurcholis dalam

buku Andi Malarangeng merujuk pada kata Madani yang berasal dari

kata “Madinah”, sebuah kota di Arab dan pada jaman Nabi Muhammad SAW menjadi kota dengan peradaban yang tinggi dengan

menjunjung keberadaban warga di kota tersebut. “Madinah” sendiri berasal dari kata “Madaniyah” yaitu peradaban. Sehingga Nurcholis Ma’jid memaknainya sebagai masyarakat madani dan berasosiasi

menjadi “masyarakat beradab”.(Andi Malarangeng.Dkk, 2001)

Masyarakat madani mungkin sementara ini bisa saja menjadi

padanan sitilah bagi civil society. Masyarakat madani menggambarkan pola hidup dan tingkah laku masyarakat yang beradab, partisipatif, dan

demokratis. Di Barat ada beberapa tokoh yang mengkonsepkan tentang

masyarakat madani. Konsep ini pertama kali dimunculkan dan

(1723-commit to user

19

1816), dalam karya klasiknya An Essay History Of Civil Society

(1767), hingga perkembangan konsep masyarakat madani lebih lanjut

olehkalangan pemikir modern seperti Locke, Rousseau,, Hegel,

Marx,dan Tocqueville.

Tokoh lain yang memberikan penjelasan tentang konsep civil society (masyarakat madani) adalah Gellner. Gellner (dalam Adi Suryadi Cula, 1999) mengemukakan , bahwa kondisi sosial yang

didefinisikan sebagai masyarakat madani, sesungguhnya bermuatan

politis. Definisi paling sederhana dari konsep ini, menurut Gellner,

merujuk pada masyarakat yang terdiri atas berbagai institusi non

pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi

negara. Mengimbangi, artinya bahwa kelompok ini memiliki

kemampuan untuk menghalangi dan membendung negara dalam

mendominasi kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti

bahwa konsep ini mengingkari kegiatan negara dalam menjalankan

peranan sebagai penjaga perdamaian, dan peran negara sebagai

pengadil dalam berbagai konflik kepentingan besar yang dapat

menghancurkan tatanan sosial dan politik keseluruhan.

Dalam pengertian luas menurut Gellner, masyarakat madani

disamping merupakan sekelompok institusi atau lembaga dan asosiasi

yang cukup kuat mencegah tirani politik baik oleh negara maupun

komunal atau komunitas, juga cirinya yang menonjol adalah kebebasan

commit to user

20

penolakan dari segala domisasi atas dirinya, dan juga sebagai institusi

yang bersifat non-state. Pemikiran Gellner merupakan gaya dan produk Barat, hal ini ditunjukkan dengan individu yang sebagai aktor

sosial yang bebas (masyarakat moduler) dan menurutnya inilah

prasayarat membentuk masyarakat madani.

d. Forum

Penulis mencoba mendefinisikan tentang pengertian forum itu,

Forum adalah ruang intelektual yang terdiri dari seorang atau lebih,

satu lembaga atau lebih, yang dimaksudkan untuk menampung suatu

keseragaman visi dan misi para anggota forum. Di dalam Forum tidak

ada suatu ikatan yuridis yang membuat seseorang atau kelompok

menjadi terbebani dengan suatu tanggung jawab. Forum sifatnya

adalah terbuka, intinya selama seseorang atau kelompok memiliki visi

atau pandangan yang sama dengan forum yang ada bisa saja masuk

menjadi anggota forum.

Pengertian lain forum adalah suatu lembaga, badan, atau wadah

yang merupakan tempat untuk membicarakan keputusan bersama

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 243 : 1989). Sumber lain

menyebutkan forum adalah ruang untuk melaksanakan atau membahas

suatu serta bertukar pikiran secara bebas (JS. Badudu, 231 :1994).

Dalam Garis Besar Haluan Forum FORABI sendiri, telah

didefinisikan Forum Rakyat Boyolali adalah sebuah media atau

commit to user

21

masyarakat dalam rangka mendefinisikan pendapat, merumuskan

kesepakatan dan memperjuangkan aspirasi bersama secara demokratis

dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Melalui Forum

Rakyat Boyolali pemerintah daerah dan DPRD akan diawasi/dimonitor

kinerjanya oleh masyarakat, agar pemerintah daerah dan DPRD

benar-benar bekerja demi kepentingan rakyat.

Melalui Forum Rakyat Boyolali masyarakat memberikan

gagasannya mengenai kepentingan masyarakat agar pemerintah daerah

dan DPRD berdaya melaksanakan amanah memperjuangkan

kepentingan dan prakarsa masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat.

e. Otonomi Daerah

Otonomi daerah dalam Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 (telah direvisi dalam UU No 12

Tahun 2008) tentang Pemerintahan Daerah adalah kewenangan daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau

"dengan pemerintahan sendiri", Sedangkan "daerah" adalah suatu

"wilayah" atau "lingkungan pemerintah" (KBBI Daring). Dengan

demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah

"wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan

commit to user

22

Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada

suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan

wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan

pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial,

budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah

lingkungannya.

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan,

ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.

Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti

politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal,

dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah

pusat .Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi,

keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang telah direvisi

dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2004 merupakan landasan

yuridis untuk pengembangan Otonomi daerah, desentralisasi

merupakan titik tekan yang diamanatkan dalam Undang-Undang

tersebut. Ada dua misi utama di dalamnya, pertama Desentralisasi Pemerintahan lebih menekankan pada terciptanya kehidupan

masyarakat yang demokratis di tingkat lokal, kedua Desentralisasi Fiskal tujuan utama adalah untuk menciptakan pemerataan pembangunan di seluruh daerah dengan mengoptimalkan kemampuan,

commit to user

23

prakarsa, kreasi, dan partisipasi masyarakat, serta kemampuan untuk

mengurangi dominasi pemerintah dalam pembangunan serta

pemerintahan.

Dokumen terkait