Pembangunan Daerah
Bagan 3.2 Kedudukan Musrenbang
D. Partisipasi FORABI Dalam Pembangunan di Kabupaten Boyolali
Cita-cita otonomi adalah pemerataan pembangunan, sedangkan
commit to user
105
pembangunan yang terarah dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
mengambil bagian di dalam kegiatan-kegiatan dari usaha tersebut. Partisipasi
merupakan proses dimana masyarakat turut serta mengambil bagian dalam
pengambilan keputusan. Keikutsertaan publik membawa pengaruh positif,
mereka akan bisa memahami atau mengerti berbagai permasalahan yang
muncul serta memahami keputusan akhir yang akan diambil. Pada hakikatnya
pelibatan masyarakat merupakan bagian dari proses perencanaan yang
dimaksudkan untuk mengakomodasi kebutuhan, aspirasi, dan concern
mereka. Tujuannya adalah untuk mengeliminir kemungkinan terjadi dampak
negatif. Partisipasi masyarakat bukan hanya sebagai cara untuk meredam dan
menghindari berbagai protes dikemudian hari, namun juga sebagai perencana
untuk memperoleh input dari masyarakat tentang segala sesuatu yang
menyangkut nasib mereka (Sudharto P. Hadi, 1995:93).
Ada usaha dari Pemerintah untuk membuat ruang partispasi
masyarakat dalam pembangunan daerah, namun permasalahannya pada
kurangnya kesadaran dan partisipasi dalam hal ini masyarakat Boyolali secara
umum. Disisi lain Suwardi, anggota komisi III DPRD Kabupaten Boyolali
menyebutkan tentang alur penyerapan aspirasi melalui Musrenbang,
“Yang saya sampaikan yang formal ya, artinya dalam penyusunannya. Jadi artinya pelaksanaan pemerintah dalam kurun waktu 1 tahun dalam bentuk APBD. Lha dalam rangka menyusun APBD itu dimulai adanya musyawarah tingkat dusun, kemudian musyawarah pembangunan tingkat desa, kemudian musrengbang tingkat kecamatan dan musrengbang tingkat kabupaten. Hasil dari itu nanti dikaji, dianalisis, kemudian kita juga melakukan suatu diskusi yang cukup bagus,mengundang dari bagian masyarakat. Artinya lembaga-lembaga yang ada dalam rangka untuk menyusun
commit to user
106
KUAPPS menjadi pedoman APBD. Jadi dilibatkan dari tingkat RT, Desa, Kecamatan, maupun tingkat Kabupaten. Itu formal, jelas itu ada PERDA nya.” (wawancara, 2April 2010)
Namun ada pula pernyataan ketidakpuasan terhadap proses
Musrenbang seperti diungkapakan informan I, Eko BS mengenai partisipasi
masyarakat Boyolali dalam pembangunan daerah ini,
“Jika dilihat dari Musrenbang itu saya kira masih belum representatif, karena Musrenbang itu diawali dari tingkat RT, tapi kenyataanya itu tidak diawalai dari tingkat RT atau masyarakat-masyarakat misalnya petani, pedagang, dan sektor-sektor lain tidak diundang tahu-tahu itu sudah dilaksanakan di Desa lalu ke Kecamatan tanpa partisipasi aktif dari masyarakat atau keterlibatan aktif dari semua stake holder yang ada di masyarakat”. (wawancara,9 Maret 2010)
Jika melihat dari petikan wawancara diatas, representasi dari
kegiatan Musrenbang menurut Eko belumlah representatif. Menurutnya
tidak semua bagian dari masyarakat itu bisa mengikuti Musrenbang,
karena praktek di lapangan musrenbang tiba-tiba langsung muncul di
tingkat Desa lalu ke Kecamatan dengan tidak banyak masyarakat yang
tahu. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk berpartisipasi dari
masyarakat itu belum terpenuhi. Masyarakat yang ingin menyalurkan
aspirasi politik dalam membantu Pemerintah membuat suatu kebijakan
belum bisa diadvokasikan.
Di sisi lain Pemkab Boyolali tidak menyangkal kurang
maksimalnya program Musrenbang, melalui Informan VI Seno Samudro
mengatakan,
“Jadi gini, kalau Musrenbang itu dijaring dari bawah, disini juga kecenderungan partisipasi masyarakat juga masih rendah biasanya
commit to user
107
yang tampil itu adalah tokoh – tokoh dan diluar mereka juga diundang LSM-LSM yang cukup kritis. Sebetulnya proses-prosesnya sudah bagus, permasalahannya terkadang jika mereka mengusulkan anggaran itu, mohon maaf, tidak realistis mungkin juga karena tidak tahu ya. Kadang satu desa itu ada yang mengusulkan nilai pembangunan itu sampai diatas Rp 10 milyar, padahal anggaran hanya berapa puluh juta. Maka kedepan saya akan mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan LSM untuk diberi penjelasan untuk diberi penserahan usul yang baik itu seperti apa, yaitu yang murwat (logis).red. Usulnya apa, berapa lalu dilihat berapa anggarannya yang Pemerintah mampu jangan sampai impiannya itu yang banyak tapi anggarannya tidak mencukupi. Bukannya menolak usulan, namun memang duitnya yang tidak ada. Idenya itu bagus, tapi kalau uangnya tidak ada bagaimana lagi. Lha maka dari itu diperlukan komunikasi dua arah bahwa sebaiknya tidak begitu . Nah nanti, Insya Allah akan saya perbaiki. Sering orang itu berlomba-lomba untuk mengajukan anggaran pembangunan, bahkan sampai empat atau lima kali tapi yang diajukan tentang itu-itu saja dan itu tidak akan disetujui, ini hanya faktor ketidak tahuan. Seperti itulah yang menurut saya itu sering muluk-muluk pengajuannya. Pertanyaan saya simpel, sebenarnya berapa anggaran untuk satu desa itu, taruhlah anggarannya Rp 300 juta maka buatlah program yang anggaranya sesuai dengan budget itu. Sementara yang mengusulkan itu puluhan milyar, ya sudah tidak ketemu. Bukan kita itu angel tapi memang duitnya yang ngga ada.” (wawancara, 27 Juli 2010)
Menurut Seno proses Musrenbang sudah sesuai aturan, yaitu penjaringan
mulai dari tingkat bawah. Jika dikoonfrontir antara pernyataan Eko (Informan
I) dengan Seno Samudro (Informan VI) terdapat perbedaan yaitu, Eko
menyatakan bahwa Musrenbanglah yang tidak representatif karena dianggap
tidak menyerap aspirasi dari bawah. Namun, menurut Seno partisipasi
masyarakatlah yang rendah sehingga yang diundang adalah LSM dan tokoh
saja. Seno juga menyayangkan sikap masyarakat mengenai pengajuan
anggaran untuk Pembangunan, menurutnya tidak ada kreatifitas dan
cenderung mengajukan dana yang tidak logis. Sehingga gagasan-gagasan dari
commit to user
108
Sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki keberpihakan pada
masyarakat, Forabi memiliki peran penting untuk menjadi alternatif pada saat
masyarakat Boyolali secara umum tidak peka terhadap problematika yang di
hadapi di daerah mereka. Namun, tidaklah Forabi merupakan satu lembaga
yang seakan-akan adalah “satria”, menjadi bagian terdepan untuk
menyelesaikan semua masalah di Boyolali. Lebih dijelaskan lagi oleh Eko
tentang Forabi yang merupakan sebuah Forum yang terbuka bagi seluruh
elemen masyarakat untuk bisa berembug dan berdiskusi mencari jalan keluar untuk permasalahan di Boyolali.
“Forabi, bukanlah suatu lembaga atau yayasan. Forabi adalah Forum, yang artinya terbuka bagi Organisasi,NGO’s, perseorangan, Tokoh masyarakat, atau Tokoh agama semua bisa masuk. Jadi Forabi merupakan sebuah Forum untuk membicarakan, mendiskusikan, dan memecahkan suatu masalah secara bersama-sama yang akhirnya bermuara pada kepentingan Boyolali. Satu lagi bedanya, di dalam Forabi terdapat komunitas-komunitas atau kaukus. Masing –masing kaukus mendelegasikan seseorang untuk menjadi Badan Pekerja di Forabi.” (wawancara, 10 Maret 2010). Lebih ditekankan lagi oleh Sinam yang menyatakan letak Forabi di
masyarakat Boyolali seperti dikutip dalam wawancara berikut,
“Forabi hanya merepresentasikan secara kondisi. Untuk representasi sesungguhnya terletak pada DPRD yang dipilih rakyat melalui Pemilu untuk mewakili suaranya di Pemerintahan. Forabi bukan Forum representasi, namun ruang diskusi lintas pihak, iya. Kekuatan Forabi terletak pada Forum diskusi saja tidak lebih dari itu. Forabi adalah ruang untuk “obrolan rakyat” jika sudah tidak ada obrolan berarti Forabi sudah tidak ada. Forabi mencoba mengawal partisipasi melalui kaukus-kaukus yang ada, namun jika dikatakan merepresentasikan seluruh rakyat Boyolali itu belum, karena untuk mengukur keterwakilan rakyat itu harus ada perbandingan perwakilan, misalnya satu banding berapa orang. Pendekatan kami lebih pada issue base bukan community base,
commit to user
109
karena memang kami tidak punya ukuran terhadap prinsip keterwakilan itu.”(wawancara, 9 Maret 2010)
Dari kedua pernyataan “orang dalam” Forabi diatas, dapat
dipahami bahwa letak Forabi bukanlah sebagai perwakilan masyarakat
untuk mengekspresikan partisipasinya. Namun lebih tepatnya, Forabi
merupakan sebuah ruang untuk masyarakat bersama-sama agar dapat
berpatisipasi dalam kegiatan pembangunan daerah, sehingga nantinya bisa
bersama Pemerintah menghasilkan produksi kebijakan yang partisipatif
dan menitik beratkan pada kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal ini Forabi mencoba menggambarkan konsep dari civil society. Seperti yang diungkapkan Gellner yang mendifinisikan civil society sebagai masyarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi
negara. Mengimbangi, artinya bahwa kelompok ini memiliki kemampuan
untuk menghalangi dan membendung negara dalam mendominasi
kehidupan masyarakat (Gellner dalam buku Adi Suryadi Culla, 2002).
Forabi bukan kemudian menjelma menjadi sosok antagonis bagi
Pemerintah yang senantiasa akan bisa menjatuhkannya, jelas tidak seperti
itu juga. Seperti dijelaskan oleh Eko dan Sinam bahwa Forabi merupakan
ruang untuk berdialog, berdiskusi,dan menyatukan unsur-unsur
masyarakat agar memiliki kekuatan untuk membantu Pemerintah dalam
menentukan suatu kebijakan atau arah Pembangunan dan juga untuk
mengawasi kinerja Pemerintah beserta pelaksanaan kebijakan yang
commit to user
110
Dari Forabi telah muncul banyak ide-ide untuk kemajuan Boyolali
menghadapi tantangan otonomi daerah. Memunculkan ide tentang
Alokasi Dana Desa adalah salah satu usaha Forabi untuk membantu
Pemerintah dalam permasalahan pemerataan pembangunan. Dengan ADD
(Alokasi Dana Desa) pada tahun 2002 memungkinkan setiap desa di Boyolali memiliki peluang untuk mengembangkan daerahnya
masing-masing.
“...Dulu kita pernah ada inisiatif untuk ada masukan ke pemerintah tentang dana alokasi desa. Pelopor pertama adalah forabi sampai menjadi kebijakan menteri dalam negeri itu digagas bersama elemen- elemen yang ada di Forabi. Lalu ada forum ketahanan pangan itu juga hasil dari pemikiran forabi, sehingga terbentuk forum ketahanan pangan dan masih banyak keberhasilan dari forabi yang di golkan di Pemerintahan Boyolali.” (wawancara Eko, 10 Maret 2010)
Ditambahkan oleh Sinam mengenai hal ini,
“...Ada satu konsep Forabi yang menjadi issue nasional yaitu tentang DAD (Dana Alokasi Desa), Dimulai pada tahun 2003 yang dulu tidak ada dana untuk Desa namun setelah itu ada dana anggaran sebesaar 63 milyar rupiah. Kami menyebut ini sebagai suatu kemeneangan-kemenangan kecil, usaha itu memang kami rasa ada pengaruhnya artinya ada partisipasi yang ditampung dan diakomodir...” (Wawancara,9/3/2010)
Awal pengusulan DAD (Dana Anggaran Daerah) yang sekarang
diubah menjadi ADD (Alokasi Dana Desa) diinisiasi oleh Asosiasi
Perangkat Desa se-Boyolali dengan menggalang petisi ke setiap
Kecamatan untuk meng-goal-kan Kebijakan tentang DAD. Asosiasi Perangkat Desa yang sudah tergabung dalam Forabi mencoba memperkuat
commit to user
111
kedalam ruang Forum. Disana dibahas mengenai awal mula hingga
tentang proses kedepannya Kebijakan mengenai DAD tersebut.
Dalam kesempatan lain, Suwardi Anggota DPRD Boyolali juga
membenarkan adanya usaha dari Forabi ini. Disebutkan bahwa pernah ada
usulan dari Forabi yang dilegalkan menjadi undang-undang. Namun
pelaksanaannya tidak semua permintaan atau usulan Forabi mengenai
ADD itu dapat dipenuhi secara maksimal, menurutnya kemampuan
keuangan daerah masih belum mampu memaksimalkan itu.
“Gini, kalau itu saya terlibat. ADD itu mulai muncul tahun 2000an, sekitar 2001, 2002, 2003 itu. Itu memang saya menjadi salah satu pembicara dan saya ikut langsung Public Hearing. Jadi memang dari teman-teman forabi termasuk dulu itu yang motori saya. Memang sekarang menjadi, boleh saya katakan tradisi yang memang dilegalitas dengan adanya UU. Jadi kita mengacu pada dana penimbangan, cuma besaran yang diinginkan teman-teman forabi belum terpenuhi oleh kemampuan keuangan daerah. Sehingga ADD ini flutuaktif, pasang surut, seperti tahun ini surut dibandingkan tahun kemarin. Ya, jadi bentuk partisipasi dari forabi yang paling menonjol adalah ADD itu, dana alokasi desa.”
Dalam dokumen Forabi mengenai DAD yang juga menjadi bahan
pembicaraan dalam Jambore Forum Warga yang diadakan di Makasar,
pada tanggal 14-18 April 2008 (selengkapnya lihat lampiran)
menyebutkan tentang awal mula pengusulan kebijakan DAD (sekarang
ADD) hingga perkembangannya sekarang.
Usaha dalam mensukseskan kebijakan ini diawali dengan tuntutan
commit to user
112 n Bagikan dan Jadikan Sisa Dana Tahun anggaran 2001 sejumlah: Rp. 14.733.449.450,92 merata keseluruh desa yang ada di Boyolali (263
desa) sebagai Dana Alokasi Desa. Yang dikelola dan diatur langsung
oleh Pemerintahan Desa dan masyarakat desa dengan APB Desanya.
n Ciptakan dan adakan di Boyolali Dana Alokasi Desa yang tercantum dan merupakan bagian dari struktur Anggaran di APBD Kabupaten
sesuai tahun anggarannya dengan alokasi setiap 1 Tahun Anggaran.
n Segera selesaikan persoalan asset-aset/ kekayaan desa yang dikuasai pemkab, pemerintah dan pihak diluar desa. Dan adanya pembagian
secara proporsional dan adil antara Pemerintahan Desa dan Pemerintah
Kabupaten atau pihak lain.
(Disampaikan dalam dialog dengan pemkab boyolali 15 Mei 2002)
Pergerakan semacam ini memiliki maksud dan tujuan sebagai berikut:
n Desa sebagai pemilik otonomi asli berhak mendapatkan alokasi anggaran yang adil untuk menjalankan otonominya.
n Desa sebagai basis pelayanan publik yang paling dasar sudah saatnya mendapatkan hak atas anggaran untuk membangun kemajuan rakyat
desa.
n Anggaran yang terpusat pada kabupaten akan semakin mengecilkan desa.
commit to user
113
Selain itu Forabi juga menginisiasi langkah bersama dengan komponen
Pemerintahan seperti Eksekutif maupun Legislatif seperti,
n Melakukan kajian tentang otonomi desa
n Mulai tahun 2001 menginisiasi terbentuknya Forum Badan Perwakilan Desa se kabupaten Boyolali sehingga terbentuk FL BPD.
n Menggalang kekuatan dengan beberapa elemen desa yakni
n FLBPD (Forum Lintas Badan Perwakilan Des).
n Parade (Paguyuban Kepala Desa).
n PPD (Paguyuban Perangkat Desa) sekarang PAPERDES.
n Kajian strategis antar elemen desa dan beberapa LSM tentang urgensi DAD (Dana Alokasi Desa) bagi pembangunan desa.
n Pengembangan dialog dengan pihak eksekutif dan legislatif .
n Membangun kontrak politik dengan 441 Calon DPRD Boyolali pada pemilu tahun 2004.
n Membangun kontrak politik dengan Calon Bupati dan Wakil Bupati pada Pilkada tahun 2005.
Dalam dokumen tersebut juga dikemukakan perkembangan DAD
(sekarang ADD) mulai dari awal inisiasi hingga setelah diiplementasikan
commit to user
114 n Masa Inisiasi (Tahun 2002)
DAD pada masa ini banyak dipengaruhi oleh inisiatif lokal yang direspon
oleh bupati dan DPRD
n Masa Setelah SEB Mendagri 140/640/SJ (Tahun 2003)
Surat Edaran Mendagri ini sedikit mendorong kesadaran politisi daerah
untuk mengalokasikan DAD namun dalam prosestanse yang masih kecil
n Masa Setelah PP 72 Tahun 2005
Masa ini sudah mulai geliat dari pemkab dan DPRD namun masih sangat
kecil dgn menggunakan standar minimal 10 % dari DAU non Gaji PNS.
Melalui ini kita bisa melihat kekuatan pergerakan civil society di Boyolali untuk menyeimbangkan antara peran Pemerintah maupun
masyarakat sehingga tidak ada dominasi dari salah satu pihak. Partisipasi
Forabi yang merupakan bagian masyarakat dapat membantu Pemerintah
dalam menentukan kebijakan yang lebih pro rakyat. Terbitnya Peraturan
Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Alokasi Dana
Desa sehingga keluar implementasi Perda dengan adanya Peraturan
Bupati Boyolali Nomor 3 Tahun 2009 tentang Petunjuk pelaksanaan
Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali, yang diatur dalam Peraturan Bupati
tersebut adalah:
commit to user
115 - Besarnya ADD setiap Tahun Anggaran ditetapkan minimal 15%
dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah.
- Perhitungan ADD untuk masing-masing desa dilakukan dengan
menggunakan asas Keadilan dan Pemerataan (sesuai rumus yang
telah ditetapkan).
- Komponen ADD yang diterimakan desa setiap tahun terdiri atas
ADD Minimal (ADDM) sebesar 60% dari ADD dan ADD
Proporsional (ADDP) sebesar 40% dari ADD.
b. Penggunaan ADD
- 30% dari ADD untuk operasional pemerintahan desa dan BPD.
- 70% untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan digunakan antara lain sebagai berikut :
ü Pemugaran perumahan keluarga miskin;
ü Pemeliharaan/peningkatan prasarana irigasi, air bersih, jalan dan jembatan;
ü Pehabilitasi balai desa /kantor desa;
ü Peningkatan tertib administrasi desa;
ü Peningkatan kegiatan kelembagaan kemasyarakatan;
ü Peningkatan kualitas SDM aparatur pemerintah desa;
ü Mendukung kegiatan musrenbangdes/musdes;
ü Dalam hal bidang pembangunan infrastruktur diaolkasikan paling banyak 3% dari jumlah dana kegiatan yang
commit to user
116
dilaksanakan, untuk administrasi, honor, monitoring dan
evaluasi.
c. Institusi pengelola dan mekanisme pengelolaan ADD,
Institusi pengelola ADD terdiri :
ü Tim fasilitasi pengelolaan ADD Tingkat Kabupaten;
ü Tim Fasilitasi pengelolaan ADD Tingkat Kecamatan;
ü Tim pengelola ADD Tingkat Desa.
Mekanisme penyaluran ADD diatur sebagai berikut :
1. Desa mengajukan permohonan penyaluran ADD kepada Camat
dengan dilampiri :
- Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD) tahun sebelumnya;
- Peraturan Desa tentang APBDesa yang sudah disahkan pada tahun berkenaan;
- Daftar Rencana Kegiatan (DRK) penggunaan dana;
- Fotocopy nomor rekening Pemerintah Desa;
- Kuitansi penerimaan ADD yang ditanda tangani Kepala Desa rangkap 5;
- Surat Pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan ADD tahun sebelumnya untuk pengajuan ADD Tahap Pertama atau Surat
Pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan ADD Tahap Pertama
commit to user
117
2. Permohonan penyaluran ADD diverifikasi kebenarannya secara
administratif dan teknis oleh Tim Fasilitasi Pengelolaan ADD
Tingkat Kecamatan.
3. Camat mengajukan permohonan penyaluran ADD secara kolektif
kepada Bupati melalui Kepala Bagian Pemerintahan Desa dan
Kelurahan Setda Kabupaten Boyolali dengan melampirkan semua
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
4. Kepala Bagian Pemerintahan Desa dan Kelurahan Setda atas dasar
pengajuan dari Camat mengajukan SPP kepada Kepala Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD)
dan selanjutnya menyalurkan ke rekening ADD desa
masing-masing desa secara bertahap.
d. Pertanggungjawaban, Pengendalian dan pengawasan ADD.
e. Besaran Alokasi Dana Desa
ADD Kab. Boyolali Tahun 2007 sebesar Rp. 17.301.885.789,-
ADD Kab. Boyolali Tahun 2008 sebesar Rp. 14.074.000.000,-
ADD Kab. Boyolali Tahun 2009 sebesar Rp. 10.144.647.450,-
Munculnya ide ataupun gagasan masyarakat yang terdelegasikan
melalui Forabi, menunjukkan bahwa adanya usaha partisipasi masyarakat
untuk memberikan masukan pada Pemerintah tentang kebijakan apa yang
commit to user
118
keinginan masyarakat dengan kebijakan yang akan diambil Pemerintah.
Kebijakan tentang Alokasi Dana Desa merupakan salah satu usulan dari
sekian banyak gagasan yang mungkin mereka berikan pada Pemerintah
Kabupaten Boyolali. Namun bukan hanya itu saja peran yang harus
mereka jalani, sebagai bagian dari masyarakat Boyolali tentunya mereka
harus memonitor dan memberi evaluasi dalam perjalanan setiap kebijakan
yang diambil oleh Pemerintah