• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa batasan (definisi) operasional yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon ya ng secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan

b. Hutan alam adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya

xxii c. Hutan tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan

potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif d. Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah

upaya- upaya yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat

e. Masyarakat setempat adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal di dalam atau sekitar hutan dan yang memiliki ciri sebagai suatu komunitas, yang didasarkan pada kekerabatan, kesamaan mata pencaharian yang berkait dengan hutan (profesi), kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal bersama serta faktor ikatan komunitas lainnya

f. Social forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan

g. Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) adalah konsep pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dilaksanakan bersama-sama (kemitraan) antara perusahaan dengan masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar, atau yang terkait dengan lahan atau areal pengusahaan HTI, dengan prinsip saling menguntungkan

h. Areal kerja MHBM adalah areal yang terdapat pada/atau dalam kawasan HPHTI perusahaan pengelola HTI dalam luasan tertentu untuk dikelola oleh kelompok

i. Jasa Kerja adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak perusahaan atau pengelola HTI kepada kelompok masyarakat atau kontraktor (pemborong) sebagai imbalan atas hasil pelaksanaan dari setiap komponen pekerjaan pengelolaan HTI berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

j. Jasa Manajemen adalah sejumlah uang yang disepakati berdasarkan besaran prosentase tertentu dari jasa kerja kelompok masyarakat atau kontraktor (pemborong) sebagai imbalan dari ikatan pengelolaan areal MHBM

xxiii k. Jasa produksi adalah sejumlah uang yang diberikan oleh perusahaan pengelola HTI kepada kelompok masyarakat atas hasil panen kayu tanaman daur kedua.

l. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.

xxiv II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Sumberdaya Alam, Hak Pemilikan, dan Akses Sumberdaya

Sumberdaya alam dalam pengertian umum adalah segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat pula diartikan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Rees (1990) dalam Fauzi (2004a) menyatakan bahwa sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya harus memiliki dua kriteria, yaitu: (1) Harus ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan (skill) untuk memanfaatkannya, (2) Harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Selain itu Fauzi (2004a) menyebutkan bahwa selain dua kriteria di atas, sumberdaya juga terkait pada dua aspek, yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan, dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan.

Masalah yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah berbagai dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya sering tidak seimbang dengan bia ya sosial yang ditanggung. Pada dasarnya masalah ini timbul karena beberapa sumberdaya dikategorikan sebagai barang publik (public goods) dimana konsumsi yang berlebihan (over consumption) akan dapat terjadi.

Pemanfaatan sumberdaya terkait dengan hak-hak kepemilikan (property rights). Yakin (1997), menyebutkan bahwa hak pemilikan atau status penguasaan sumberdaya sangat menentukan alokasi sumberdaya yang efisien. Bagaimana produsen dan konsumen menggunakan sumberdaya alam atau lingkungan tergantung pada hak pemilikan (pengelolaan) yang mengatur sumberdaya tersebut. Hanley et al. (1997) dalam Fauzi (2004a) dan Tietenberg (1992) dalam Yakin (1997) menyebutkan bahwa struktur hak pemilikan atau pengusahaan sumberdaya yang bisa menghasilkan alokasi yang efisien harus mempunyai empat karakteristik penting, yaitu :

(1) Universalitas (universality) bahwa semua sumberdaya adalah dimiliki secara pribadi dan seluruh hak-haknya dirinci dengan jelas dan lengkap

xxv (2) Eksklusivitas (exclusivity) bahwa semua keuntungan dan biaya yang dibutuhkan sebagai akibat dari pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya itu harus dimiliki hanya oleh pemilik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain

(3) Bisa dipindah-tangankan (transferability) bahwa seluruh hak pemilikan itu bisa dipindah-tangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang bebas dan jelas

(4) Bisa dipertahankan (enforcebility) bahwa hak pemilikan tersebut harus aman (secure) dari perampasan atau pengambil-alihan secara tidak baik dari pihak lain.

Jika hak kepemilikan sumberdaya tidak dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, tidak ada hak yang sah memungkinkan mereka melarang pihak lain untuk mengkonsumsi sumber daya tersebut. Menurut Gibb dan Bromley (1989) dalam Fauzi (2004a) ada beberapa hak pemilikan terhadap sumberdaya alam yang umumnya terdiri dari :

(1) State property dimana klaim pemilikan berada di tangan pemerintah,

(2) Private property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi)

(3) Common property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama.

Dalam pemanfaatan sumberdaya, terdapat dua tipe akses yang berbeda, yaitu akses terbuka (open access) dan akses terbatas (limited access). Berkaitan dengan hak pemilikan, maka Fauzi (2004a) menyatakan bahwa secara umum ada empat kemungkinan kombinasi antara hak pemilikan dan akses terhadap sumber daya, yaitu :

(1) Tipe pertama dimana hak pemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari

(2) Tipe kedua dimana sumber daya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan teridentifikasi dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari

xxvi (3) Tipe ketiga dimana terdapat kombinasi antara hak pemilikan komunal dengan akses yang terbuka. Tipe inilah yang dalam perspektif Hardin akan melahirkan “the tragedy of the common”. Tragedi ini terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumber daya dalam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna.

(4) Tipe keempat dimana kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumber daya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumber daya ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumber daya akan cepat terkuras habis.

The tragedy of the common terjadi pada sumber daya bersama (common resources) – biasanya mengarah sebagai a common pool resources – yang dimanfaatkan (diakses) oleh banyak pihak. Sumber daya itu bisa berupa ekosistem laut yang diambil hasilnya berupa ikan, atmosfir dengan pelepasan gas-gas ke udara atau hutan yang diambil hasilnya berupa kayu. Penggunaan (pemanfaatan) yang berlebihan memunculkan permasalahan yang sering mengancam kelestariannya (sustainability). Jika setiap pihak yang memanfaatkannya dapat mengendalikan pemanfaatannya, maka sumber daya dapat lestari (Hardin 1968 dalam Ostrom et al. 2001).

Lloyd (1977) dalam Ostrom et al. (2001), menyatakan bahwa pada sumberdaya yang bersifat a common pool resources akan terjadi penggunaan yang berlebihan, karena penggunaan saat ini akan memberikan keuntungan yang besar daripada biaya potensial yang akan ditanggung di masa ya ng datang dengan penggunaan yang tidak dibatasi, terutama saat para pengguna hanya menanggung sebagian biaya tetapi mengambil seluruh keuntungan saat ini.

Sedangkan menurut Yakin (1997), keberadaan penggunaan sumber daya bersama (common resources) tidak me menuhi prinsip-prinsip pemilikan sumber daya yang bisa mendorong ke arah alokasi yang efisien. Oleh karena itu pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatannya tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumber daya tersebut, sehingga tidak memiliki kendali untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumber daya yang efisien. Sumber daya jenis ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen

xxvii ekonomi tertentu sehingga akses terhadap sumber daya ini tidak dibatasi, sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Eksploitasi sumber daya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan dan mengeruk terus menerus keuntungan yang masih bisa diperoleh dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya.

Rappaport (1984) dalam Ostrom et al. (2001) menyatakan bahwa the tragedy of the common dapat dicegah melalui suatu mekanisme penggunaan sehingga tindakan yang diambil oleh para pengguna lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi merupakan motivator dan mekanisme sosial berfungsi untuk mengontrol kepentingan pribadi tersebut, seperti komunikasi, kepercayaan dan kemampuan untuk menjalin kerjasama serta peraturan (rules) akan dapat mengendalikan (mengurangi) terjadinya tragedi.

Menurut Wade (1988) dalam Agrawal (2001), menyebutkan ada 14 (empatbelas) kondisi penting yang dapat memfasilitasi keberhasilan pengelolaan sumber daya bersama (common resources), yaitu :

1. Sistem karakteristik sumber daya a. Berukuran kecil

b. Ditetapkan batasnya secara baik 2. Karakteristik kelompok masyarakat

a. Berukuran kecil

b. Ditetapkan batasnya secara jelas

c. Pengalaman keberhasilan masa lalu – kapital sosial

(1 dan 2) Hubungan antara sistem karakteristik sumber daya dan karakteristik kelompok masyarakat

(1) Overlap antara kelompok masyarakat lokal dan lokasi sumber daya (2) Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sistem sumber daya oleh

anggota kelompok masyarakat 3. Pengaturan kelembagaan

a. Merencanakan akses kelompok masyarakat lokal dan ketentuan pengelolaan

xxviii b. Mudah dalam penerapan ketentuan (peraturan)

c. Pengelompokan sanksi-sanksi

(1 dan 3) Hubungan antara sistem sumber daya dan pengaturan kelembagaan yaitu penyesuaian dalam pembatasan pemanfaatan/pengambilan sumber daya untuk regenerasi sumber daya

4. Lingkungan eksternal

a. Teknologi : pengeluaran teknologi biaya rendah

b. Negara : Pemerintah pusat seharusnya tidak mengurangi hak (kewenangan) masyarakat lokal

2.2. Pembangunan Hutan Tanaman

Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, karena hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi manusia dan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global. Mengingat begitu besarnya manfaat dan peranan hutan maka harus dijaga kelestariannya.

Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa sumber daya hutan di Indonesia mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu fungsi lindung, fungsi produksi dan fungsi konservasi, maka dalam penyelenggaraan (pengelolaan dan pemanfaatan) hutan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.

Selain itu disebutkan juga bahwa penyelenggaraan hutan bertujuan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan :

a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;

xxix c. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)

d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan

keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/1997 disebutkan bahwa hutan tanaman industri (HTI) merupakan hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan dan diharapkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi deforestasi; yang bertujuan untuk :

a. menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa

b. meningkatkan produktifitas lahan dan kualitas lingkungan hidup c. memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha

HTI merupakan hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan berdasarkan asas manfaat yang lestari dan asas ekonomi perusahaan dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif. Menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 435/Kpts-II/1997 tanggal 1 Agustus 1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pembangunan Hutan Tanaman maka sistem silvikultur yang dapat diterapkan, yaitu: (1) sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaaan Buatan (THPB) utamanya untuk jenis tanaman pokok, dan (2) Sistem Tebang Tanam Jalur (TPTJ) dengan berbagai modifikasi.

Kartini (2002), menyatakan jika dilihat dari sistem silvikultur yang digunakan yaitu THPB, maka sistem ini mempunyai peranan yang tinggi dari dua aspek yaitu :

1. Aspek produksi atau industri, karena : (a) operasi pemanenan terkonsentrasi pada areal yang relatif kecil dan produksinya tinggi; (b) kua litas kayu mudah ditingkatkan sesuai dengan permintaan industri; (c) peremajaan hutan dilakukan setelah pemanenan; (d) bersifat terpusat dan menghasilkan

xxx tegakan seumur, murni (sejenis), teratur dan relatif cepat tumbuh, sehingga memperoleh kualitas kayu yang relatif seragam dan cepat dipungut hasilnya. 2. Aspek sosial, karena : (a) pelaksanaan peranannya dapat dilakukan dengan

sistem tumpangsari sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat; (b) kegiatan yang harus dilakukan dalam sistem THPB cukup banyak sehingga memerlukan banyak tenaga kerja dalam pelaksanaannya.

Beberapa jenis tanaman yang ditanam dalam pembangunan HTI dengan sistem silvilultur THPB sesuai Petunjuk Teknis Pembangunan HTI, yaitu : 1. Tanaman pokok yang dibudidayakan adalah jenis tanaman yang cepat

tumbuh, memiliki nilai ekonomis tinggi, dan memiliki prospek pasar nasional dan regional

2. Tanaman unggulan setempat; dikembangkan untuk areal-areal tertentu dalam rangka upaya konservasi tanah maupun jenis (misalnya jenis Meranti) 3. Tanaman campuran; dapat dikembangkan dari jenis tanaman unggulan atau andalan dan tanaman pohon kehidupan atau serba guna. Tanaman kehidupan atau unggulan ditanam pada areal yang berbatasan/ (berdekatan) dengan pemukiman, berfungsi sebagai pengamanan sekaligus sebagai media pengembangan ekonomi rakyat setempat

Gagasan pembangunan hutan tanaman (HTI) yang pada awalnya ditujukan untuk merehabilitasi lahan- lahan hutan yang kritis dan tidak produktif dan mempunyai tujuan utama untuk turut menjamin penyediaan pasokan bahan baku industri pengolahan kayu di Indonesia, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam prakteknya pembangunan HTI tidak berjalan mulus

Menurut Anwar (2000) bahwa dalam pelaksanaan HTI, permasalahan yang timbul sama dengan permasalahan pada hutan secara umum, yaitu permasalahan dari dalam (intern) dan dari luar (ekstern), sebagai berikut :

1. Permasalahan teknis; meliputi kesulitan dalam pengadaan bibit unggul yang teruji, land clearing tanpa pembakaran sulit dilakukan

2. Permasalahan sosial budaya seperti adanya konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan pelaksana HTI, hilangnya mata pencaharian masyarakat, kebakaran hutan dan lahan akibat kebiasaaan pembukaan lahan dengan membakar

xxxi 3. Permasalahan finansial, karena sistem pendanaan HTI yang sebelumnya dilakukan yaitu melalui pinjaman Dana Reboisasi (DR) saat ini tidak lagi diberikan kepada perusahaan pelaksana HTI

4. Permasalahan lingkungan, seperti berkurangnya keragaman hayati berupa habitat satwa dan tumbuhan

5. Permasalahan politik, seperti terjadinya gejolak politik membuat kekacauan kebijaksanaan kehutanan terutama dalam pengelolaan hutan tanaman; dan adanya sorotan dari LSM dan lembaga pencinta lingkungan terhadap kebijakan pembangunan HTI

Perusahaan HTI dalam melakukan pembangunan HTI di lapanga n mengalami benturan-benturan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan seperti (Kanwil Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan 1998) :

a. Adanya perambahan oleh masyarakat baik untuk motivasi untuk dapat menuntut ganti rugi ataupun untuk tujua n menguasai lahan tersebut

b. Adanya klaim dari masyarakat yang menyebutkan bahwa didalam areal pencadangan HPHTI terdapat hak ulayat atau tanah adat mereka yang tidak boleh diganggu

Tabel 4 menunjukkan realisasi penanaman HTI di Provinsi Sumatera Selatan yang mulai dilakukan tahun 1990 sampai dengan 2002 sesuai dengan kelas perusahaan masing- masing pelaksana HTI.

Tabel 4 Realisasi penanaman HTI sesuai kelas perusahaan sampai dengan tahun 2002 di Provinsi Sumatera Selatan

Nama Perusahaan HTI Luas

HPHTI

Realisasi penanaman

Keadaan perusahaan HTI Kayu Pulp/Serat

PT. Musi Hutan Persada 296.400 198.000 Aktif PT. Ciptamas Bumisubur 6.000 3.000 Aktif PT. Pakerin 43.380 7.600 Tidak aktif PT. SBA Wood Industries 40.000 2.037 Aktif HTI Kayu Pertukangan

PT. Inhutani V

- Eks PT. Rimba Jaya Borang 8.950 500 Tidak aktif

- Eks HPH 232.500 1.500 Tidak aktif

PT. Waihijau Hutani 21.250 17.000 Tidak aktif PT. Tunas Bentala 13.288 1.750 Aktif Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, 2002

xxxii Selain itu menurut Muhshi (1999), berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan LATIN, jumlah konflik yang terjadi dalam areal HPH dan HTI dari tahun 1990 – 1996 masing- masing berjumlah 8741 dan 5757. Secara umum hambatan yang dihadapi dalam pembangunan HTI disebabkan oleh 2 (dua) faktor yaitu :

1. Sebagai usaha komersial belum layak secara finansial terutama oleh investor yang tidak terikat pada investasi industri. Pasokan kayu dari hutan alam terus melimpah – karena dipasok dari kayu hasil illegal logging – yang menyebabkan harga kayu HTI sangat murah, bahkan tidak ada pasarnya, maka perusahaan HTI tidak pernah diperhitungkan layak secara finansial, jika ia mandiri. Oleh sebab itu perhitungan kelayakan finansial dilakukan dengan mengkaitkan HTI dengan industri yang mengolah hasil kayunya; 2. Konflik penggunaan lahan dengan masyarakat lokal (sekitar hutan) sebagai

akibat dari peraturan perundang-undangan yang belum mengakomodir sistem dan praktek penguasaan serta pengelolaan hutan yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Oleh sebab itu berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan nomor 177/Kpts-II/2003 tanggal 12 Juni 2003 tentang Kriteria dan Indikator Usaha Pengelolaan Hutan Secara Lestari pada Unit Manajemen Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman, maka agar pengelolaan hutan dapat secara lestari maka pengelolaan hutan harus mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologi antara lain meliputi: (a) kawasan hutan yang mantap; (b) produksi yang berkelanjutan; (c) manfaat sosial bagi masyarakat di sekitar hutan; dan (d) lingkungan yang mendukung sistem penyangga kehidupan.

Pesan itu semakin menegaskan paradigma penyelenggaraan kehutanan secara benar dalam hal (Sutisna 2004) :

1. Hutan fungsi manapun harus bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya untuk kelompok masyarakat kaya atau sedang berkuasa, sesuai fungsi hutan tersebut (lindung, produksi, konservasi)

2. Manfaat hutan bukan hanya dapat dinikmati masyarakat yang ada saat ini melainkan harus berkelanjutan, baik dalam hal nilai ekonomis maupun nilai- nilai lainnya (estetika, ilmiah, budaya). Artinya bila ada kawasan hutan

xxxiii yang rusak, maka generasi sekarang berkewajiban memperbaikinya sampai menjadi produktif kembali dalam fungsi utamanya

3. Penyelenggaraan kehutanan tidak dapat ditentukan dan atau dilakukan sepihak oleh pemerintah seperti masa lalu, melainkan harus bersama masyarakat secara berkeadilan dan terpadu. Begitupun anggota masyarakat yang menguras manfaat hutan secara sewenang-wenang untuk kepentingan sendiri harus dihentikan demi hukum, karena manfaat hutan harus secara berkeadilan dinikmati bersama oleh masyarakat luas.