• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5. Manfaat Lingkungan

5.5. Manfaat Lingkungan

Sebelumnya telah disebutkan bahwa keberhasilan kegiatan MHBM selain dapat memberikan manfaat ekonomis dan manfaat sosial, juga memberikan manfaat lingkungan. Dalam penelitian ini, manfaat lingkungan yang diterima masyarakat adalah dengan melihat indikator : peningkatan luas areal yang berpenutupan hutan dan penurunan kebakaran hutan tanaman

Peningkatan Luas Areal yang Berpenutupan Hutan

Yang dimaksud dengan areal yang berpenutupan hutan disini adalah kawasan hutan bekas tebangan tanaman daur pertama yang ditanami dengan jenis tanaman pokok HTI akasia (Acacia mangium) dan diharapkan pada akhir daur (tanaman berumur 7-8 tahun) dapat memberikan hasil baik berupa kayu maupun jasa.

Berrdasarkan hasil pengumpulan data, luas kawasan hutan bekas tebangan yang menjadi areal MHBM telah direalisasikan kegiatan penanamannya di lingkup wilayah pene litian sejak tahun 2001 – 2005 adalah seluas 7.701,843 ha.

civ Sedangkan secara keseluruhan areal HPHTI, PT. MHP telah memanen dan menanam kembali untuk daur tanaman kedua dengan jenis A.mangium seluas 137.594,9 ha sampai dengan tahun 2002. Penanaman tersebut dilakukan pada areal eks tebangan tanpa merubah kondisi areal. Dengan dilakukannya kegiatan penanaman, areal MHBM yang semula berupa areal kosong atau terbuka menjadi areal yang berpenutupan hutan tanaman kembali.

Penurunan Kebakaran Hutan Tanaman

Berdasarkan hasil pengumpulan data, pada tahun 1997 telah terjadi kebakaran hutan yang cukup besar seluas 1.133,23 ha yang menurut pihak PT. MHP dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam berupa panjangnya musim kemarau yang terjadi. Pada saat musim kemarau, tanaman akasia umumnya menggugurkan daunnya akibatnya lantai hutan akan ditutupi oleh daun-daun akasia yang sudah kering dan mengandung bahan sejenis resin yang mudah terbakar. Dengan kondisi seperti itu, pada musim kemarau yang panjang tanaman akasia sangat rentan terbakar. Walaupun faktor alam memiliki potensi penyebab terjadinya kebakaran, namun tanpa adanya faktor manusia (sengaja maupun tidak sengaja) sebagai pemicu yang membawa sumber api ke dalam kawasan hutan, maka peluang terjadinya kebakaran cukup kecil. Dengan adanya kegiatan MHBM di wilayah tersebut, maka selama kurun waktu pelaksanaan MHBM, terjadi penurunan intensitas terjadinya kebakaran hutan. Perkembangan intensitas terjadinya kebakaran hutan pada Tabel 33.

Tabel 33 Perkembangan kejadian kebakaran PT. Musi Hutan Persada

Tahun Luas kebakaran Keterangan

1997 4.688,37

1998 -- Tidak ada laporan

1999 -- Tidak ada laporan

2000 -- Tidak ada laporan

2001 -- Tidak ada laporan

2002 5.138

2003 0

2004 0

2005 0

cv Penurunan intensitas kebakaran tersebut dikarenakan kepedulian masyarakat yang semakin tinggi terhadap keberhasilan tanaman HTI dan adanya rasa memiliki terhadap tanaman yang sudah ada. Dengan adanya program MHBM di wilayah tersebut, masyarakat bersama dengan pihak PT. MHP bersama-sama melakukan kegiatan pencegahan dan pengendalian terhadap terjadinya kebakaran hutan. Rendahnya intensitas kebakaran hutan tanaman di wilayah itu juga disebabkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi oleh masyarakat peserta MHBM sesuai dengan yang tercantum dalam Akta Kesepakatan. Sebagai insentif kepada masyarakat kelompok tani MHBM, dalam upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran dalam musim kemarau tahun 2005, PT. MHP memberikan insentif kepada masyarakat Desa Subanjeriji sebesar Rp. 200.000,- per bulan selama 3 (tiga) bulan.

Menurut Society American Forester dalam Affianto (2004), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohon-pohon/tumbuhan berkayu lainnya secara predominan menempati wilayah yang luas dan keadaannya cukup rapat sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan iklim mkiro yang berbeda dengan iklim yang berada di luarnya.

Selain itu menurut Brown (1995) dalam Affianto (2004), aktifitas manusia di sektor kehutanan mempunyai dampak yang nyata terhadap konsentrasi CO2 di atmosfir. Hutan berperan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon melalui penyimpanan sejumlah besar karbon pada pohon, tumbuhan bawah, lantai hutan dan tanah. Perubahan pada hutan seperti pertumbuhan pohon akan mengurangi CO2 di atmosfir. Karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga.

Saat ini di dunia internasional telah berkembang trend baru melalui perdagangan karbon (CO2). Perdagangan karbon diawali dengan disepakatinya Kyoto Protocol 1997 bahwa negara-negara penghasil emisi karbon harus menurunkan tingkat emisinya dengan menerapkan teknologi tinggi dan juga menyalurkan dana kepada negara- negara yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi karbon secara alami, misalnya melalui vegetasi (hutan) melalui penyerapan karbon (carbon sink) (Suryatmojo 2005). Menurut Upik di dalam Kompas (2005) disebutkan bahwa jenis kegiatan penyerapan

cvi karbon hutan berdasarkan definisi reforestasi dan aforestasi (upaya mengonversi lahan bukan hutan sejak 50 tahun lalu menjadi hutan), masing- masing adalah : penghutana n kembali (reforestasi), penanaman hutan atau hutan tanaman industri, hutan kemasyarakatan, perhutanan sosial (agroforestri dan penanaman jenis pohon serba guna), reboisasi/penghijauan, hutan rakyat, dan perubahan lahan pertanian menjadi hutan. Atas dasar kemampuan yang dimiliki hutan itu, maka negara-negara maju yang menghasilkan karbon dari kegiatan industri dan transportasi dinegaranya tetapi tidak mempunyai hutan untuk menyerap limbah karbon tersebut, bersedia menyalurkan dana kepada negara yang memp unyai potensi sumberdaya yang mampu menyerap karbon secara alami. Kemampuan hutan Indonesia menyerap karbon 1.238,525 Gt (Giga ton) per tahun. Saat ini harga karbon di pasar berkisar US$ 1 sampai US$ 30 per ton CO atau US$ 0,3 sampai US$ 8,0 per ton C (Kompas 2003).

Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Pematangsiantar dapat diketahui bahwa tanaman Acacia mangium mampu meyerap 133,39 ton C per hektar. Jika per ton C dapat laku US$ 10 per ton maka rehabilitasi HTI bisa mendapatkan dana sebesar US$ 1.333,9 per hektar ( Kompas 2003)

Dari uraian di atas, maka dengan adanya peningkatan luas areal yang berpenutupan hutan melalui kegiatan penanaman serta penurunan kebakaran hutan karena dilakukannya MHBM maka hutan mempunyai kemampuan untuk menjalankan fungsi perlindungan lingkungan yang mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari mengatur tata air, mengendalikan banjir dan mencegah erosi karena terserapnya air hujan dengan baik, menciptakan udara bersih dan segar, melindungi habitat flora dan fauna serta terbentuknya kembali lapisan humus yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Namun selain memberikan fungsi perlindungan, ternyata bila dana sebesar US$ 1.333,9 per hektar itu dikalikan dengan luas hutan yang ada dan dijaga kelestariannya, maka akan diperole h keuntungan pengolahan sumber daya hutan yang cukup besar.