• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.6. Definisi dan Batasan Operasional

3.6.2. Batasan Operasional

1. Data yang diambil adalah data dalam kurung waktu tahun 1995-2015 meliputi data PDRB sektor perkebunan Sumatera Utara

2. Data volume dan nilai ekspor kakao, data nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (kurs nominal), data produksi kakao, dan bea keluar terhadap ekspor kakao di Sumatera Utara meliputi tahun 2008-2015 dalam bentuk kuartal.

3. Waktu penelitian dilakukan pada tahun 2017.

4. Data jenis ekspor kakao yaitu biji kakao.

36

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Keadaan Geografis

Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perkebunan di Indonesia. Perkebunan di Sumatera Utara telah dibuka sejak jaman penjajahan Belanda. Komoditi hasil perkebunan yang paling penting dari Sumatera Utara saat ini antara lain kelapa sawit, karet, kopi, coklat dan tembakau.

Provinsi Sumatera Utara berada di bagian Barat Indonesia, terletak pada garis 10 – 40 Lintang Utara dan 980 - 1000 Bujur Timur. Sumatera Utara tersohor karena luas perkebunannya, hingga kini perkebunan tetap menjadi primadona perekonomian provinsi Sumatera Utara, karena letak provinsi Sumatera Utara sangatlah strategis. Provinsi ini berbatasan dengan daerah perairan dan laut serta dua provinsi lain yaitu sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Provinsi Aceh

- Sebelah Timur : Negara Malaysia di selat malaka - Sebelah Selatan : Provinsi Riau dan Sumatera Barat - Seblah Barat : Samudera Hindia

Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 72.981,23 km2 , sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias, Pulau Batu dan beberapa pulau-pulau kecil lainnya, Baik di bagian Barat ataupun bagian Timur pantai Pulau Sumatera. Dengan luasan tersebut Sumatera Utara sangat potensial dalam membantu dan berkontribusi besar terhadap pendapatan negara.

4.2. Kondisi Iklim dan Topografi

Karena terletak dekat garis khatulistiwa, Provinsi Sumatera Utara tergolong ke dalam daerah beriklim tropis. Ketinggian permukaan daratan Provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerah datar, hanya beberapa meter di atas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa mencapai 330C, sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai , beriklim sedang dan sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai 150C.

Sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara mempunyai musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Januari sampai dengan Juli dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember, di antara kedua musim itu terdapat musim pancaroba.

4.3. Kondisi Demografi

Sumatera Utara merupakan Provinsi keempat dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk berjumlah 10,26 juta jiwa, kemudian dari hasil sensus (SP) 2000, jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 11,51 juta jiwa. Selanjutnya dari hasil sensus 2010 jumlah penduduk Sumatera Utara 12.982.204 jiwa.

Laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun, dan pada tahun 2000-2010menjadi 1,22 persen per tahun.

38

Pada tahun 2015 penduduk Sumatera Utara berjumlah 13.937.797 jiwa yang terdiri dari 6.954.552 jiwa penduduk laki-laki dan 6.983.245 jiwa perempuan atau dengan rasio jenis kelamin/sex rasio sebesar 99,59.

4.4. Perkembangan Komoditi Kakao di Sumatera Utara

Sumatera Utara merupakan salah satu sentra produksi kakao di Indonesia.

Produksi kakao Sumatera Utara sebagian diolah dalam negeri dan sebagian lagi di ekspor ke luar negeri. Pada tahun 2005 luas areal tanaman kakao cukup luas yaitu 73.258 Ha dan peningkatan luas areal tanamterus meningkat hingga tahun 2010 mencapai 92.930 Ha. Namun seteah tahun 2010, luas areal perkebunan kakao semakin menurun, sesuai pada Tabel.8 dapat kita lihat luas areal perkebunan kakao hanya 64.875 Ha, dan angka ini cukup jauh dari luas areal pada tahun 2010.

Tabel.10 Total Luas Lahan dan Produksi Kakao Sumatera Utara

Sumber : Badan Pusat Statistik 2005-2015 (di olah)

Penurunan luas lahan yang terjadi tentu saja menyebabkan produksi kakao Sumatera Utara juga menurun. Sementara kebutuhan ekspor dan kebutuhn dalam negeri terus meningkat.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kontribusi Ekspor Kakao terhadap PDRB Sektor Perkebunan dan Perkembangan kakao di Sumatera Utara

5.1.1. Kontribusi Ekspor Kakao terhadap PDRB Sektor Perkebunan di Sumatera Utara

Tabel.11 Kontribusi Ekspor Kakao terhadap PDRB Sektor Perkebunan di Sumatera Utara

*FOB dalam bentuk Dollar, diubah ke Rupiah dengan dikali Rp 10000 Sumber : Badan Pusat Statistik 1995-2015

40

Komoditi kakao memang memberika kontribusi positif namun ternya kontribusinya hanya sedikit terhadap PDRB sektor perkebunan di Sumatera Utara. Hal ini dapat dilihat dari Tabel.9, dimana kontibusi terbesar hanya mendekati angka 15% dari total PDRB sektor perkebunan di Sumatera Utara.

Nilai ekspor kakao pada tahun 1995 adalah sebesar Rp 462.10 dan PDRB sektor perkebunan sebesar Rp 4957.80 atau ekspor kakao berkontribusi sebesar 9,32%

terhadap PDRB sektor perkebunan di Sumatera Utara. Kemudian kontribusi ekspor kakao terus stabil hingga pada tahun 1998 terjadi penurunan yang cukup tajam, diduga akibat gejolak pemerintahan yang terjadi pada saat itu. Kontribusi ekspor yang awalnya 8,60% turun menjadi 4,51% pada tahun 1999 dan 2,74%

pada tahun 2000 padahal beberapa komoditi pertanian lain justru mengalami peningkatan ekspor. Setelah tahun 2000 barulah kontribusi ekspor mulai bergerak meningkat hingga mencapai 14,28% pada tahun 2010, dengan nilai ekspor sebesar Rp 1639.08 dan PDRB sektor pekebunan sebesar Rp 11475.71. Setelah tahun 2010, kontribusi ekspor kakao terhadap PDRB terus menurun bahkan hampir tidak ada karena persentasi kontribusinya hanya 0,26%.

Karena ekspor menurun maka wajar jika kostribusi ekspor terhadap PDRB menurun, namun kini sedang ditingkatkan lagi pengolahan dalam negeri dan diharapkan mampu berkontribusi kepada masyarakat sebagai penyedia lapangan pekerjaan yang besar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Seperti berita yang dimuat pada harian kompas terbitan 26 November 2016, kini industri hilir pengolahan biji kakao dalam negeri sudah semakin berkembang, berdasarkan pernyataan Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Soetanto (2016)

ada sekitar 30 industri pengolah kakao saat ini dengan kapasitas mencapai

Sumber : Badan Pusat Statistik 1995-2015

Berdasarkan data yang diperoleh, volume ekspor kakao di Sumatera Utara berfluktuasi. Dari tahun 1995 hingga tahun 1998, volume ekspor kakao cenderung meningkat, namun setelah tahun 1998 ekspor kakao menurun hingga tahun 2002 hanya 28 053 ton, kemudian turun 24% pada tahun 2003 dari tahun sebelumnya.

Dan volume ekspor cenderung terus meningkat hingga tahun 2009 mencapai

42

semenjak tahun 2009, volume ekspor terus mengalami penurunan dan sangat anjlok volumenya terutama tahun 2014 hingga saat ini.

Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara, saat ini ekspor kakao Sumatera Utara sedang karam, dahulu ada pabrik coklat yang berada di Medan, namun kini sudah tutup, pabrik kakao hanya ada sedikit saat ini, kebanyakan pegelolanya adalah orang asing, dan mereka saat ini lebih tertarik berinvestasi pada komoditi perkebunan lain seperti kelapa sawit dan kopi. Sebelumnya ekspor kakao Sumatera Utara menembus negara-negara Eropa, namun kini hanya mencapai negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Padahal jika kakao tetap kita kembangkan, melihat harga kakao biji kering yang tergolong mahal, maka pasti akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daerah pengelola kakao itu sendiri.

5.1.2. Perkembangan Kakao di Sumtera Utara 5.1.2.1. Produksi Kakao

Propinsi penghasil kakao terbesar pada tahun 2012 adalah Sulawesi Selatan (198.682 ton), Sulawesi Tengah (168.401 ton), Sulawesi Tenggara (154.229 ton), Sulawesi Barat (101.319 ton), dan Sumatera Utara (63.597 ton). Selain itu terlihat bahwa perkebunan kakao di Indonesia ternyata sebagian besar dimiliki oleh rakyat (smallholder).

Produksi kakao kebanyakan menurun di berbagai provinsi karena petani mulai kurang tetarik terhadap usahatani kakao terutama karena pengolahan pasca panen yang agak merepotkan serta alih fungsi lahan yang dilakukan secara besar-besran terutama ke perkebunan sawit di Sumatera Utara.

Produksi kakao di Sumtera Utara berfluktuatif. Antara tahun 1995 hingga 2015 terjadi peningkatan dan penurunan produksi di tiap tahunnya. Produksi tertinggi komoditi kakao yaitu pada tahun 1995 sebesar 95.752 ton, kemudian produksi terus mengalami penurunan dan peningkatan secara bergantian setiap tahunnya, hingga diketahui produksi terendah terjadi pada tahun 2000 hanya sebesar 17.425 ton selamakurun waktu 1995-2015.

Gambar.2 Produksi Komoditi Kakao Tahun 1995-2015

Semenjak tahun 2000, produksi kakao Sumatera Utara pun mulai tumbuh kembali dan terus meningkat hingga tahun 2010 mencapai 66.466 ton, setelah itu produksi kembali turun hingga kini 2015 produksi kakao di Sumatera Utara hanya 41.117.

5.1.2.2. Kurs Mata Uang

Kurs adalah perbandingan nilai/harga antara mata uang suatu negara dengan negara lain. Perbandingan ini disebut dengan kurs (exchange rate). Perubahan pada kurs antara mata uang Indnesia dengan Malaysia atau kurs antara Rupiah dengan dolar Malaysia menunjukkan peningkatan secara perlahan setiap

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

Total Produksi (Ton)

Total Produksi (Ton)

44

Gambar.3 Perkembangan Nilai Kurs Indonesia dengan Malaysia

Selama kurun waktu 2008 hingga 2015, nilai kurs antara mata uang Indonesia dan mata uang Malaysia adala pada tahun 2014 kuartal ke 2, dan kurs mata uang Indonesia dengan mata uang Malaysia paling rendah mencapai titik Rp 2.763 pada tahun 2010 kuartal pertama.

5.1.2.3. Perkembangan kebijakan Bea Keluar terhadap ekspor kakao

Pada tahun 2010, pemerintah secara resmi menerapkan kebijakan Bea Keluar (BK) secara progresif terhadap eskpor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Barang ekspor yang dikenakan bea keluar sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini adalah rotan, kulit, kayu, kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya serta biji kakao.

Skema penetapan besarnya bea keluar untuk biji kakao seperti disajikan pada Tabel.7

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

2008.1 2008.3 2009.1 2009.3 2010.1 2010.3 2011.1 2011.3 2012.1 2012.3 2013.1 2013.3 2014.1 2014.3 2015.1 2015.3

Kurs Jual

Kurs Jual

Tabel.7 Skema Penetapan Bea Keluar Biji Kakao

No Harga Referensi (US $) Besarnya Bea Keluar (%)

1. < 2.000 0

2. 2.000 – 2.750 5

3. 2.750 – 3.500 10

4. > 3.500 15

Secara umum kebijakan ini bertujuan untuk menjamin pasokan bahan baku biji kakao bagi industri pengolahan kakao di dalam negeri serta mendorong berkembangnya industri pengolahan kakao di Indonesia. Pengenaan bea keluar atas biji kakao juga dimaksudkan untuk merangsang tumbuhnya industri pengolahan kakao di Indonesia yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai tambah ekspor kakao.

5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Kakao di Sumtera Utara

5.2.1. Hasil Asumsi Regresi Linier Berganda 5.2.1.1. Uji Linieritas

Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel dependen dan variabel independen mempunyai hubungan yang linier. Kriteria penilaian adalah jika F-Hitung>F-Tabel adalah signifikan, yaitu 530.042>2.95 sehingga dapat diperoleh persamaan yang digunakan adalah linier.

Selain berdasarkan nilai F, linieritas juga dilihat dari nilai signifikansi. Nilai sig 0.00 < 0.05 sehingga disimpulkan ada hubungan yang linier antara produksi, kurs, dan bea keluar dengan ekspor kakao.

46

5.2.1.2. Uji Multikolonieritas

Menurut Gujarati (1995) dalam Aulia (2012), multikolinearitas dapat dideteksi dengan beberapa metode, antara lain :

1. Jika nilai Toleransi atau VIF (Variance Inflation Factor) kurang dari 0,1 atau nilai VIF melebihi 10.

2. Terdapat koefisien korelasi sederhana yang mencapai atau melebihi 0,8.

3. Jika nilai F-hitung melebihi F-tabel dari regresi antar variabel bebas.

Nilai tersebut dapat kita lihat coefficients hasil uji SPSS pada Tabel.13 sebagai berikut.

Tabel.13. Coefficients

Model T Sig. Collinearity Statistics

Tolerance VIF

1. (Constant) -6.082 .000

Produksi 18.167 .000 .240 4.174

Kurs 3.045 .005 .252 3.972

Bd -11.369 .000 .765 1.307

Untuk mengetahui apakah terjadi multikolonieritas pada model persamaan, maka dapat dietahui dengan melihat nilai VIF dan Tolerance.

Dari Tabel.13 Coefficients di atas dapat kita lihat bahwa seluruh nilai VIF < 10, yang artinya tidak terjadi Multikolonieritas. Dan seluruh nilai tolerance dari masing-masing variabel > 0,10, yang artinya tidak terjadi multikolonieritas.

5.2.1.3. Uji Autokorelasi

Metode perhitungan autokorelasi secara statistik dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya ialah berikut :

Statistik Durbin Watson (DW test) digunakan untuk melakukan pengujian autokorelasi, sering juga disebut dengan uji Durbin Watson. Dan nilai Durbin Watson dapat kita lihat pada Model Summary hasil uji SPSS pada Tabel.14.

Tabel.14 Model Summary a. Predictors: (Constant), bd, Kurs, Produksi

b. Dependent Variable: Ekspor

Dengan melihat pada Tabel.14 Model Summary, maka diketahui nilai Durbin-Watson nya yaitu 1.232. Dengan menggunakan nilai n=32 k=3 maka nilai Dl dan DF diketahui sehigga diperoleh nilai dL (1.1805) < d (1.232) < dU (1.6503), atau dL < d < dU. Sehingga jika melihat Tabel.9kriteria pengambilan keputusan, dapat di ambil kesimpilan bahwa tidak ada autokorelasi positif pada persamaan.

Tabel.9 Kriteria Pengambilan Keputusan Autokorelasi

Hipotesis Nilai d Keputusan

Tidak ada autokorelasi positif

terdapat tiga kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi model ekonometrika yaitu : (1) kriteria ekonomi, (2) kriteria statistik, dan (3) kriteria ekonometrika.

Berdasarkan kriteria ekonomi model evaluasi dengan melihat apakah tanda dan besarnya parameter dugaan peubah-peubah penjelas dalam persamaan sesuai

48

dengan hipotesis. Berdasarkan kriteria statistik, akan dilihat besarnya nilai kouffefisien determinasi (R2), nilai uji F dan uji t.

5.2.2.1. Pengujian Koefisien Determionasi (R2)

Untuk mengetahui besarnya kemampuan variabel-variabel independen menerangkan variabel dependen pada model secara bersama-sama. Nilai R2 dapat dilihat pada Tabel 14. Semakin besar nilai R2, maka semakin besar pula kemampuan variabel-variabel independen menerangkan variabel dependen. Untuk lebih akuratnya prediksi pengaruh kita dapat berpatokan pada nilai Adjusted R Square. a. Predictors: (Constant), bd, Kurs, Produksi

b. Dependent Variable: Ekspor

Tabel. 14 Model Summary di atas menunjukan bahwa nilai koefisien determinasi (Adjusted R Square) sebesar 0.98. Artinya 98% variabel independen mampu menerangkan variabel ekspor kakao, sisanya 2% dipengaruhi oleh faktor lain atau variabel bebas lain di luar persamaan.

5.2.2.2 Pengujian Secara Serempak (Uji F)

Uji F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara serentak terhadap variabel dependen. Di dalam uji F digunakan hipotesis sebagai berikut :

H0 : β1 = β2 = β3 =0, artinya semua variabel independen bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen. Adapun hipotesis alternatifnya adalah H1 :

H1 : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ 0, artinya semua variabel independen secara simultan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.

Dan berikut ini untuk menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan ke dalam model mempunyai pengaruh secara serentak terhadap varibel dependen.

Tabel. 15 ANNOVA Model

Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 6.359E8 3 2.120E8 530.042 .000a

Residual 1.120E7 28 399890.820

Total 6.471E8 31

a. Predictors: (Constant), bd, Kurs, Produksi b. Dependent Variable: Ekspor

Nilai F-tabel di diperoleh dari Tabel Statistik F dengan cara melihat degree of freedom (df) untuk pembilang atau dikenal dengan df1 dan degree of freedom (df)

untuk penyebut atau dikenal dengan df2. Nilai df1 diperoleh dari rumus k - 1, dimana k adalah jumlah variabel (variabel terikat ditambah variabel bebas) sedangkan nilai df2 diperoleh dari rumus n - k, dimana n adalah jumlah observasi/sampel pembentuk regresi. Maka dapat ditentukan df1 = 4 - 1 = 3 dan df2 = 32 - 4 = 28. Pengujian dilakukan pada α = 5% maka nilai F-tabelnya adalah 2.95.

50

Tabel.15 di atas menunjukkan nilai F hitung yaitu 530.042 dengan tingkat signifikansi 0.000 sedangkan F tabel pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05) adalah 2.95. oleh karena diperoleh hasil Fhitung (530.042) > Ftabel (2.95) dan tingkat signifikansi (0.000) < 0.05, artinya Ho ditolak atau H1 diterima. Artinya variabel Produksi, Kurs, dan kebijakan pemerintah berupa Bea Keluar secara serempak berpengaruh nyata terhadap ekspor kakao.

5.2.2.3. Pengujian Secara Parsial (Uji t)

Nila t-tabel diperoleh dari Tabel Statistik t dengan melihat nilai pada degree of freedom (df) dan probabilita (tingkat/taraf signifikansi). Nilai tersebut dapat kita

lihat pada coefficients uji SPSS pada Tabel.13 Sebagai berikut.

Tabel. 13 Coefficients observasi/sampel sedangkan k adalah banyaknya variabel (bebas dan terikat).

Sedangkan nilai probabilita didapat dengan melihat dua nilai taraf yang tertera.

Nilai yang lebih kecil menunjukkan probabilita satu arah sedangkan nilai yang lebih besar menunjukkan probabilita dua arah. Maka dapat ditentukan nilai df = 32 – 4 = 28. Probabilita dilihat pada kolom dengan nilai pada judul kolom

angka yang lebih besar, yaitu 0,05 karena pengujian dilakukan pada α = 5%.

Dengan demikian diperoleh nilai t-tabel adalah 1,70113.

Berdasarkan Tabel.12 dapat kita lihat bahwa variabel produksi dan Kurs secara parsial masing-masing berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap ekspor kakao. Dan kebijakan ekspor kakao berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap ekspor kakao.

5.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Kakao di Sumatera Utara

Dalam penelitian ini dijelaskan tentang variabel-variabel yang mempengaruhi ekspor kakao di Sumatera Utara. Dari hasil uji dapat diinterpretasikan pengaruh variabel produksi biji kakao (X1), kurs mata uang Indonesia dengan Malaysia (X2), dan kebijakan pemerintah berupa penerapan bea keluar (bd) terhadap ekspor biji kakao.

Berdasarkan hasil uji t maka rumus persamaan regresinya adalah : Ŷ = -21544.179 + 1.802X1 + 2.221X2 – 3231.993bd

Konstanta bernilai (-21544). Ini berarti jika semua variabel bebas memiliki nilai nol (0) maka nilai variabel terikat (Y) sebesar –21544 satuan.

5.3.1. Pengaruh Produksi (X1) terhadap Ekspor Kakao di Sumatera Utara Variabel produksi kakao (X1) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah ekspor kakao dengan nilai koefisien sebesar 1.802. Koefisien regresi tersebut berarti jika terjadi peningkatan produksi biji kakao domestik sebesar satu ton maka akan meningkatkan ekspor kakao Sumatera Utara sebesar 1.802 ton.

52

Berdasarkan Variabel produksi biji kakao (X1) secara parsial menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap jumlah ekspor kakao yaitu pada taraf kepercayaan 95%. Dimana t-hitung (18.167) > t-tabel (2,04841), dan tingkat signifikansi 0,000 < 0,05.

Hipotesis menyatakan bahwa variabel kakao berpengaruh positif terhadap ekspor kakao di Sumatera Utara. Dari dari hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel produksi kakao berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor kakao di Sumatera Utara. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar produksi kakao yang dihasilkan di Sumatera Utara akan meningkatkan ekspor kakao Sumatera Utara.

Peningkatan produksi kakao berpengaruh langsung secara positif terhadap ekspor kakao. Apabila produksi meningkat maka ketersediaan produk kakao juga meningkat sehingga kebutuhan biji kakao untuk industri dalam negeri dan juga permintaan kakao ekspor juga meningkat. Dan apabila terjadi penurunan produksi maka jangankan penawaran ekspor kakao, kebutuhan dalam negeri saja masih kekurangan.

Produksi sangat berpengaruh terhadap ekspor, sehingga apabila produksi meningkat maka penawaran ekspor kakao juga meningkat. Namun hasil produksi kakao Sumatera Utara masih di bawah standard, diduga karena pengolahan pasca panen yang kurang baik atau tidak di lakukan permentasi. Sehingga diperlukan peningkatan kualitas produksi kakao.

Peningkatan kualitas hasil produksi biji kakao ditandai dengan adanya peningkatan standar mutu biji kakao sesuai dengan syarat mutu biji kakao untuk diekspor. Hal tersebut dilakukan dengan cara memperhatikan mutu cita rasa yang

berasal dari proses fermentasi secara benar. Beberapa negara pengimpor biji kakao yang berasal dari Indonesia sangat mempertimbangkan beberapa hal, antara lain keamanan produk untuk dikonsumsi, produk yang ramah lingkungan dan cita rasa produk. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, produksi biji kakao Sumatera Utara yang sesuai dengan syarat mutu akan mampu meningkatkan ekspor biji kakao ke luar negeri.

Pada penelitian terdahulu,hasil pada penelitian Chairul (2016) menunjukkan bahwa variabel produksi kakao menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap ekspor kakao Indonesia. Dan pada penelitian Dmanik (2014) menunjukkan produksi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap ekspor kakao.

5.3.2. Pengaruh Nilai Kurs (X2) terhadap Ekspor Kakao di Sumatera Utara Variabel Kurs (X2) memiliki pengaruh yang sgnifikan terhadap jumlah ekspor kakao dengan nilai koefisien sebesar 2.221. Koefisien regresi tersebut berarti jika terjadi peningkatan nilai kurs mata uang Indonesia dengan Malaysia sebesar satu satuan maka akan meningkatkan ekspor kakao Sumatera Utara sebesar 2.221 ton.

Variabel nilai kurs terhadap ekspor kakao (X2) secara parsial menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap ekspor biji kakao yaitu pada taraf kepercayaan 95%. Dimana t-hitung (3.045) > t-tabel (2,04841) dan tingkat signifikansi 0,005 < 0,05.

Apabila kurs valuta kita baik, maka harga barang-barang kita ikut naik dan secara relatif harga barang-barang di luar negeri menjadi murah, hal demikian akan

54

lebih baik, apabila memang ekspornya sendiri tidak menjadi terhambat sama sekali oleh kenaikan kurs tersebut (Amalia, 2007).

Hipotesis pada penelitian ini menyatakan bahwa variabel nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (Malaysia) berpengaruh positif terhadap ekspor kakao di Sumatera Utara. Dari penelitian ini kita ketahui bahwa variabel kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor kakao di Sumatera Utara. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi apresiasi terhadap nilai tukar rupiah terhadap mata uang Malaysia, maka ekspor kakao akan meningkat.

Pada penelitian Anggraini (2016) diperoleh hasil penelitian bahwa produksi mempunyai hubungan positif dan tidak signifikan terhadap ekspor biji kakao Indonesia ke Malaysia dengan koefisien sebesar 0.034318. Harga pesaing mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap ekspor biji kakao Indonesia ke Malaysia dengan koefisien sebesar 0.981934. Nilai tukar mempunyai hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap ekspor biji kakao Indonesia ke Malaysia dengan koefisien sebesar -1.863939.

Untuk produksi dan nilai tukar, penelitian lain mempunyai perbedaan hasil dengan penelitian saat ini, hal ini mungkin disebabkan oleh hal lain diluar penelitian.

5.3.3. Pengaruh Bea Keluar (bd) terhadap Ekspor Kakao di Sumatera Utara Variabel kebijakan bea keluar kakao (bd) memiliki pengaruh yang negatif terhadap ekspor kakao dengan nilai koefisien sebesar -3231.993. Koefisien regresi tersebut berarti jika terjadi peningkatan pada bea keluar ekspor kakao maka akan menurunkan ekspor biji kakao Sumatera Utara sebesar 3231.993 ton.

Variabel kebijakan pemerintah berupa penerapan bea keluar terhadap ekspor kakao (bd) secara parsial menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap ekspor biji kakao yaitu pada taraf kepercayaan 95%. Dimana t-hitung (-3,480) < t-tabel (0,04841) dan tingkat signifikansi 0,000 < 0,05.

Hail penetian ini sesuai dengan penelitian lain yaitu pada penelitian Chairul (2016) yang enyatakan hasil penelitiannya bahwa penerapan bea keluar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ekspor kakao.

Berbagai kebijakan dilakukan pemerintah untuk meningkatkan nilai komoditas kakao dan pendapatan dari ekspor komoditas kakao. Dari sektor hulu selama ini telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi seperti pemberdayaan petani melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT), Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE) serta penerapan teknologi pengendalian dengan metoda PSPSP (pemangkasan, sanitasi, panen sering dan pemupukan) untuk pengendalian PBK dan VSD serta penyediaan benih unggul.

Kebijakan-kebijakan di sektor hulu yang telah dilakukan masih parsial dalam

Kebijakan-kebijakan di sektor hulu yang telah dilakukan masih parsial dalam