• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PANDANGAN UMUM TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DAN

A. Pandangan Umum tentang Lingkungan Hidup

3. Beberapa Pandangan tentang Lingkungan Hidup

Seorang filsuf dan sekaligus ekolog dari Norwegia yang bernama Arne Naess mengungkapkan sebagaimana yang dikutip oleh Keraf (2002: xiv), bahwa krisis

lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Dalam hal ini budaya cinta lingkungan hidup hendaknya sungguh dihayati secara utuh, baik secara pribadi maupun bersama-sama. Oleh karena itu, pelbagai pandangan tentang lingkungan hidup perlu dipahami, agar dapat diketahui sejauhmana pengaruh pandangan tersebut pada relasi antara manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami pandangan manusia tentang lingkungan hidup, akan dibahas tentang beberapa pandangan manusia tentang lingkungan hidup.

Dalam hubungan manusia dengan alam, menurut Pare (1992b: 70-72) ada tiga sikap manusia menanggapi dunia yaitu: sikap geosentris, antroposentris, dan biosentris. Sikap ini didasari oleh tiga pandangan manusia terhadap lingkungan hidup. Keraf (2002: 1) juga mengungkapkan bahwa ada tiga pandangan manusia terhadap lingkungan hidup yakni antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.

a. Antroposentrisme

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap paling menentukan dalam tatanan ekosistem. Alam semesta hanya mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang kepentingan manusia. Cara pandang antroposentris telah mendorong manusia untuk menguras alam semesta. Seandainya manusia mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidupnya saja, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri yang pantas untuk dilindungi. Cara pandang ini telah melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia tidak

mempertimbangkan kelestarian alam (Keraf, 2002: 33-35). Pada akhirnya sikap antroposentris ini telah mempengaruhi dan berakar pada manusia zaman modern sekarang ini, manusia angkuh dan merasa berhak menguasai lingkungan hidup yang ada di sekitarnya (Pare, 1992b: 71).

Pandangan manusia terhadap alam yang bersifat antroposentris menciptakan hubungan manusia dengan alam yang hanya didasarkan atas pemuasan kebutuhan manusia sesaat saja. Nilai alam dan lingkungan ditentukan secara sepihak oleh manusia, dengan pertimbangan bahwa alam bermanfaat atau tidak bagi hidupnya. Hubungan semacam ini cenderung bersifat negatif, karena alam tidak dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia, melainkan dianggap sebagai obyek kebutuhan manusia saja (Suprihadi Sastrosupeno, 1984: 75-78).

b. Biosentrisme

Biosentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang bahwa manusia mempunyai hubungan yang begitu erat dengan seluruh kosmos. Manusia dipandang sebagai salah satu organisme hidup dari alam semesta dan mempunyai rasa saling tergantung dengan penghuni alam semesta lainnya. Manusia tidak dipandang sebagai makhluk yang begitu agung yang berhak secara mutlak untuk mengatur dan menguasai alam. Manusia merupakan bagian dari alam semesta dan manusia adalah makhluk yang terbatas seperti makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini (Pare, 1992b: 72).

Pandangan biosentris melihat bahwa alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral, terlepas

apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak. Pandangan ini mengklaim bahwa manusia mempunyai nilai moral dan berharga justru karena kehidupan dalam diri manusia bernilai pada dirinya sendiri. Hal ini juga berlaku bagi segala sesuatu yang hidup dan yang memberi serta menjamin kehidupan bagi makhluk hidup (Keraf, 2002: 49-50).

Pandangan biosentris memberikan kesadaran dalam diri manusia, bahwa dirinya bergantung sepenuhnya pada alam yang di sekitarnya. Dalam kondisi semacam ini terlihat bahwa alam menguasai manusia, karena secara jasmaniah manusia memang tidak bisa melepaskan diri dari keadaan alam di sekitarnya. Kondisi manusia yang tergantung dengan alam dapat dimaknai, bahwa hidup manusia ditentukan oleh alam. Segala tindakan dan kelakuan manusia tergantung di mana ia berada dan pola kelakuannya juga ditentukan oleh alam di sekitarnya. Manusia tidak bisa memilih jalan untuk menentukan hidupnya selain menyerah kepada alam. Hidup manusia terutama keterampilan dan pekerjaannya ditentukan oleh alam yang ada di sekitarnya. Dalam kenyataan ini hubungan antara manusia dengan alam menjadi pasif, manusia hanya berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi alam di sekitarnya saja (Suprihadi Sastrosupeno, 1984: 70-74).

b. Ekosentrisme

Ekosentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memusatkan perhatian pada keseluruhan komunitas ekologis, baik yang hidup dan tidak hidup. Hal ini didasarkan, karena secara ekologis makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait antara satu sama lain. Salah satu versi teori ekosentrisme adalah Deep

Ekologi (kepedulian lingkungan hidup yang dalam), teori ini dipelopori oleh Arne

manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya. DE memusatkan perhatian kepentingan jangka panjang yang menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis. DE merupakan etika yang bernilai praktis, sebagai sebuah gerakan yang bersifat komprehensif dan konkret. DE menuntut dan menghimpun semua orang yang mempunyai sikap dan keyakinan yang sama dalam sebuah gerakan atau gaya hidup yang selaras dengan alam untuk memperjuangkan isu lingkungan hidup dan politik (Keraf, 2002: 75-77). DE memberikan kesadaran kepada manusia bahwa dirinya bukan penguasa dan bukan pula pusat alam semesta, karena keberadaan manusia terkait dan berhubungan dengan hukum saling ketergantungan dengan alam semesta yang ada di sekitarnya (Chang, 2001: 77).

Pandangan ekosentris menciptakan hubungan persahabatan antara alam dan manusia. Prinsip persahabatan dengan alam merupakan pilihan terbaik yang harus dilakukan, karena dalam prinsip ini manusia menempatkan dirinya sebagai unsur yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan unsur alam lainnya. Alam dan manusia ditempatkan secara sejajar sebagai sesama makhluk yang saling membutuhkan. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, manusia memang memerlukan alam untuk menunjang keberlangsungan dan kenyamanan hidupnya, namun manusia tidak perlu menguras dan merusaknya.

Hubungan antara manusia dengan alam sebagai sahabat merupakan keharusan, karena pada prinsipnya manusia membutuhkan alam begitu pula sebaliknya. Kondisi ini menyebabkan hubungan antara manusia dengan alam menjadi sebuah kebutuhan. Manusia sadar, bahwa hidupnya tidak dapat terlepas dari alam. Hubungan yang terjadi antara manusia dan alam ini mempunyai nilai rohani

yang menempatkan manusia dan alam pada tempat semula ketika manusia diciptakan sebagai mandataris Tuhan di dunia ini (Suprihadi Sastrosupeno, 1984: 79-83).

Cara pandang ekosentris sering juga dikenal dengan istilah geosentrisme, di mana pandangan ini didasarkan pada prinsip mutualisme atau kesalingtergantungan antar organisme. Manusia menyadari ketergantungannya dengan alam yang ada di sekitarnya. Keberadaan alam bukan hanya merupakan bagian dari manusia, melainkan manusia pun merupakan bagian integral dari alam (Pare, 1992b: 70-71).

d. Pandangan Gereja tentang lingkungan hidup

Pandangan Gereja tentang lingkungan hidup terangkum dalam pandangan Gereja terhadap dunia (Buntaran, 1996: 49-55). Pandangan ini muncul berdasarkan Kitab Suci baik Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Kitab Suci Perjanjian Baru. Selanjutnya Gereja mengeluarkan pandangan-pandangannya tentang lingkungan hidup dalam Ajaran Sosial Gereja, di mana pada dasarnya pandangan-pandangan yang ada dalam Ajaran Sosial Gereja ini diilhami oleh Kitab Suci. Munculnya Ajaran Sosial Gereja ini didorong oleh kesadaran untuk menghayati Injil yang sesuai dengan keprihatinan yang terjadi di tengah hidup umat manusia saat ini, dalam hal ini adalah krisis lingkungan hidup. Oleh karena itu, akan dibahas pandangan Gereja tentang lingkungan hidup berdasarkan Kitab Suci dan Ajaran Sosial Gereja.

1) Pandangan Gereja tentang lingkungan hidup berdasarkan Kitab Suci

Pandangan Gereja tentang lingkungan hidup berdasarkan Kitab Suci merupakan refleksi teologis umat Israel. Orang Kristen dan Yahudi tidak menggunakan Kitab Suci sebagai sumber pengetahuan tentang alam semesta, karena

Kitab Suci tidak secara eksplisit mengupas tentang gejala-gejala alam semesta. Para penulis Kitab Suci tidak menggunakan bahasa yang khas tentang ilmu alam, melainkan menempatkan manusia pada kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang hidup bersama makhluk ciptaan lain (Chang, 2001: 46). Walaupun Kitab Suci tidak membahas masalah lingkungan hidup secara ilmiah, namun para penulis Kitab Suci telah melukiskan keberadaan segala ciptaan dalam hubungannya dengan sabda Tuhan.

a) Kitab Suci Perjanjian Lama

Dalam PL, kosmos dipandang sebagai yang berbeda dari Tuhan. Dunia dilukiskan sebagai suatu keadaan dengan keindahan yang tidak sanggup diungkapkan secara penuh oleh gaya sastra mazmur dan kebijaksanaan. Kosmos adalah segala kandungan yang diciptakan melalui sabda Tuhan. Gagasan ini adalah ajaran iman yang kebenarannya terus-menerus dipertegas ketika manusia u berhadapan dengan rangkaian percobaan baru (Chang, 2001: 47).

Paham tentang lingkungan hidup banyak ditemui dalam Kitab Kejadian. Dalam kitab ini pengarang mengaitkan pengalaman hidup mereka dari kawasan lingkungan hidup dengan pemahaman tentang penyelenggaraan ilahi Israel, sebagai bangsa yang dipersatukan Tuhan dan bangsa yang dijanjikan tanah khusus. Mereka menggolongkan alam semesta ke dalam peristiwa penciptaan manusia dan menyisipkannya ke dalam terjadinya kehidupan. Pada bab-bab pertama Kitab Kejadian dilukiskan tentang refleksi peristiwa penciptaan. Pada bab ini dilukiskan hubungan ilahi dengan dunia bermula dari maksud awal Tuhan untuk menciptakan alam semesta bagi seluruh umat manusia (Chang, 2001: 48).

Kisah Penciptaan (Kej 1-2) mengungkapkan beberapa kesadaran bangsa Israel bahwa Allah mengubah kekacauan atau ketidakteraturan asali (khaos) menjadi kehidupan dan keteraturan (kosmos). Selain itu kisah penciptaan yang diungkapkan dalam Kitab Kejadian menunjukkan bahwa manusia mendapat kepercayaan dari Tuhan menjadi wakil-Nya di bumi. Tuhan telah memberikan kepercayaan kepada umat manusia untuk menjaga, memelihara dan mengelola dunia ciptaan supaya tetap dalam keadaan baik (Buntaran, 1996: 47).

Selain pada Kitab Kejadian, gagasan tentang kosmos juga diungkapkan dalam Kitab Mazmur. Doa-doa bangsa Israel dalam Kitab Mazmur mencerminkan kedekatan hidup mereka dengan makhluk ciptaan, seperti dengan keindahan matahari yang merupakan simbol kekuasaan ilahi. Kosmos yang dilukiskan dalam Kitab Mazmur adalah dunia yang bermakna, seperti penjelmaan makna yang diberikan Tuhan melalui sabda-Nya yang mencipta. Tiap benda adalah buah sabda Tuhan. Oleh karena itu, ciptaan membawa makna dalam dirinya (Chang, 2001: 5).

Allah telah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk memelihara bumi ini sesuai dengan rencana-Nya. Kepercayaan yang diberikan oleh Allah itu merupakan tanggungjawab manusia. Manusia hidup bersama makhluk ciptaan Allah lainnya dalam satu komunitas di bumi, maka manusia harus mengupayakan relasi yang baik dengan lingkungan hidup di sekitarnya.

b) Kitab Suci Perjanjian Baru

Dalam PB, keberadaan kosmos dikaitkan dengan Yesus Kristus dan manusia di hadapan Yesus Kristus. Kata kosmos dalam PB dihubungkan dengan gagasan “ruang”. Kata ini juga dipergunakan untuk melukiskan “kemanusiaan”. Gambaran

tentang kosmos dalam PB dipandang sebagai sarana untuk pewartaan Injil. PB tidak berbicara tentang kosmos dalam dirinya sebagai benda belaka, namun pembicaraan tentang kosmos dikaitkan dengan dunia manusia, tempat manusia bertindak dan melakukan sesuatu secara bertanggung jawab (Chang, 2001: 51).

Menurut Paulus, yang dimaksudkan dengan kosmos adalah segala sesuatu yang bukan Tuhan, yakni alam semesta (universum). Kosmos mencakup semua benda (Rm 11: 36); ini mencakup kemanusiaan yang dilukiskan sebagai alam semesta (Gal 3: 22); kosmos mencakup kekuasaan ilahi (1 Kor 8:4). Kosmos adalah ruang yang meliputi semua yang berada di luar Tuhan. Bagi Paulus secara pribadi kosmos tidak mempunyai arti keteraturan, karena dunia telah kehilangan keseimbangan dan keserasiannya (Chang, 2001: 52).

Ada tiga pokok pikiran Paulus yang menjadi permenungan manusia tentang kosmos (Chang, 2001: 52-53). Pertama, dunia sebagai penciptaan yang berdimensi kristosentris. Tidak ada satu pun unsur di permukaan bumi yang terpisah dari kuasa Kristus. Tuhan telah menciptakan dunia di dalam Kristus sebagai titik keteguhan yang kekal, awal dan akhir. Tuhan hadir dalam Yesus Kristus dan berkarya di dunia ini. Kedua, penebusan kosmos Allah merukunkan diri dengan semua makhluk yang ada di permukaan bumi melalui keselamatan yang terlaksana melalui dan di dalam Kristus. Kesetiakawanan antara manusia dan kosmos tetap berlaku hingga sekarang. Ketiga, manusia kristen dan dunia. Dalam hal ini, Paulus memegang dua pernyataan tentang sikap manusia kristen yang harus diwujudkan terhadap alam semesta, yaitu: dunia diciptakan Tuhan dengan baik dan dunia sekarang menjadi sasaran kuasa negatif dosa. Dari dua pernyataan ini, Paulus menganut prinsip yang pertama, karena

semua yang diciptakan itu baik dan dikuduskan oleh firman Allah. Orang Kristen bertugas untuk bertindak sesuai kehendak Tuhan dengan memandang dunia seperti yang dilakukan oleh Allah.

Alam semesta merupakan lambang kehendak baik Allah kepada manusia. Allah memulai karya penyelamatan dari peristiwa penciptaan dengan perantaraan sabda-Nya. Dalam diri Sang Sabda itulah karya keselamatan Allah berlangsung terus-menerus sepanjang sejarah, sampai memuncak dan terpenuhi dalam karya penebusan Kristus. Dalam penciptaan termuat pengharapan, maka dapat disimpulkan bahwa masih tampak perwujudan pengharapan segala makhluk ciptaan Tuhan akan pemulihan citra ilahi anak-anak Allah dalam hubungan dengan dunia alam semesta (Buntaran, 1996: 48).

2) Pandangan Gereja tentang lingkungan hidup dalam Ajaran Sosial Gereja

Pandangan Gereja terhadap masalah lingkungan hidup telah muncul semenjak kepemimpinan paus Paulus VI. Perhatian paus Paulus VI tentang krisis ekologi tertuang dalam teks-teks penting seperti ensiklik Populorum Progressio (1967), pesan dalam konferensi bangsa-bangsa tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972, dan pesan pada hari Lingkungan Hidup Sedunia V (1977). Dalam teks-teks tersebut paus berbicara tentang krisis lingkungan hidup beserta ancamannya. Paus mendesak perubahan tingkah laku manusia, dengan pembatasan dalam penggunaan kekayaan alam. Paus menegaskan pentingnya kerjasama untuk menanggulangi krisis lingkungan hidup (Chang, 2001: 62-63).

Pandangan pimpinan Gereja Katolik tentang lingkungan hidup yang telah dirintis sejak kepemimpinan paus Paulus VI, kemudian terungkap secara jelas sesudah Konsili Vatikan II. Pandangan Gereja Katolik terhadap lingkungan hidup dapat ditemukan di dalam pesan-pesan paus Yohanes Paulus II. Perhatian paus Yohanes Paulus II terhadap krisis lingkungan hidup tertuang dalam beberapa ajaran sosial gereja yakni Sollicitudo Rei Socialis, Laborem Exercens dan Centesimus

Annus (Purwo Hardiwardoyo, 2006: 52-54).

Dalam ajaran sosial gereja Sollicitudo Rei Socialis yang merupakan peringatan 20 tahun ensiklik Populorum Progressio, paus Yohanes Paulus II mengingatkan pentingnya kesadaran yang lebih mantap tentang batas-batas dari sumber daya alam dan perlunya penghormatan pada keutuhan alam (SRS, art. 26). Paus juga mengungkapkan tiga pertimbangan tentang perlunya sikap hormat terhadap ciptaan dalam perkembangan IPTEK bangsa-bangsa. Pertimbangan tersebut meliputi: pertama, tidak layaknya manusia menggunakan makhluk ciptaan lain semau sendiri; kedua, sumber daya alam terbatas, maka kesewenang-wenangan dalam penggunaan sumber daya alam akan membahayakan persediaannya, khususnya bagi generasi yang akan datang; ketiga, dampak langsung atau tidak langsung dari industri ialah pencemaran lingkungan hidup yang dapat membahayakan kesehatan penduduk (SRS, art. 34).

Paus Yohanes Paulus II juga mengungkapkan adanya perkembangan yang berat sebelah sebagai pendorong timbulnya krisis lingkungan hidup. Manusia dengan segala kemajuan dan penemuan IPTEK lebih menitikberatkan perkembangan yang bersifat duniawi, yakni perkembangan yang serba instan dan tak terbatas serta paham

ekonomistis yang mengejar penimbunan harta benda, kelimpahan, konsumerisme, materialisme dan pelbagai ketidakpuasan dalam diri manusia. Paus mendorong semua orang menggalang kekuatan menghadapi krisis ini. Secara khusus orang katolik diingatkan bahwa mereka wajib menjaga semua ciptaan berdasarkan kepercayaan akan Tuhan sebagai pencipta (SRS, art. 34).

Paus Yohanes Paulus II dalam dokumen Laborem Exercens yang menyoroti masalah kerja manusia, kembali mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan dunia dan perlindungan terhadap alam. Paus mengakui bahwa salah satu dari beberapa kenyataan positif dalam masyarakat moderen adalah berkembangnya kesadaran bahwa warisan alam ini terbatas dan sedang mengalami pencemaran yang tidak boleh dibiarkan lagi (LE, art. 1).

Selanjutnya paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa masalah lingkungan hidup kian berat. Paus mengkritik sikap manusia yang serakah dan boros dalam memanfaatkan kekayaan alam (CA, art. 38). Manusia seharusnya menjadi kolaborator Tuhan dan bukan menggantikan kedudukan dan peran Tuhan. Beliau juga berbicara tentang tanggungjawab manusia dalam perlindungan dan penyelamatan ekologi, melindungi jenis-jenis hewan yang terancam punah dan keseimbangan umum bumi (Chang, 2001: 65).

B. Gambaran Keadaan Lingkungan Hidup Di Keuskupan Agung Pontianak