• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. SPIRITUALITAS KOSMIS ST. FRANSISKUS ASISI

B. Keberadaan St. Fransiskus Asisi di Tengah-tengah Lingkungan Hidup

ciptaan dan hidup dalam kemiskinan karena ingin mengikuti Yesus. Baginya, kemiskinan menjadi sarana kedamaian yang dibawa oleh Kristus. Dalam hidupnya, ia suka berkotbah, bermati raga, berdoa dalam kesunyian dan sangat akrab dengan alam. Ia mendirikan ordo Fransiskan untuk pria dan ordo Klaris untuk wanita. Keseluruhan hidup rohaninya sangat khas, konkret, manusiawi, dan etis. Ia memelihara devosi mendalam kepada Yesus Kristus, sehingga ia memperoleh stigmata (Heuken, 2002: 92).

1. Riwayat Singkat Hidup St. Fransiskus Asisi

St. Fransiskus Asisi dilahirkan pada akhir tahun 1181 di Asisi. Oleh karena itu, ia diberi gelar Asisi karena ia berasal dan menutup usia di kota ini. Asisi adalah kota kecil di Italia Tengah. Kota ini terletak di daerah Umbria, tanah dataran yang membentang pada kaki Gunung Subasio. Ia berasal dari keluarga pedagang kaya. Ayahnya bernama Pietro Bernadone dan ibunya bernama Donna Piecca. Ayahnya adalah seorang pedagang yang cukup cerdik dan ulet. Ia memiliki sebuah toko kain wol yang cukup besar di Asisi. Oleh karena itu, semasa mudanya ia diberi kepercayaan untuk mengelola toko kain wol milik ayahnya (Groenen, 1997:11-12).

Keadaan sosial dan moral masyarakat Italia akhir abad ke-12 ikut mempengaruhi masa mudanya. Pada masa muda kegemarannya tak terkontrol dalam hal kesenangan material. Ia dididik menurut patokan-patokan duniawi secara mewah. Akibatnya, ia sering melakukan tindakan-tindakan yang tak disenangi. Ia pernah memimpin gerombolan anak-anak nakal menelusuri jalan-jalan raya di Babilonia. Ketika terjadi perang antara Asisi dan Perugia pada tahun 1202, St. Fransiskus Asisi ikut berperang di pihak Asisi. Dalam perang tersebut ia tertangkap dan dipenjara selama satu tahun. Setelah bebas dari penjara ia kembali hidup berfoya-foya seperti sebelumnya.

Pada tahun 1204 ia mengalami sakit yang serius, keadaan semacam ini membuat dia mulai muak dengan kehidupan yang digulatinya selama ini. Pada tahun 1205 ia mencoba untuk memberikan makna dalam kehidupannya dengan menjadi serdadu dalam peperangan di Apulina (Italia Selatan). Dalam perjalanan perang tersebut dia menginap di Spoleto (dekat kota Asisi), ia kemudian jatuh sakit dan

bermalam di situ. Ketika sedang tidur, ia bermimpi dan mendengar suara yang mengatakan kepadanya untuk kembali ke Asisi. Ia pun taat dan kembali ke Asisi, itulah awal pertobatan St. Fransiskus Asisi (Groenen, 1997: 63-64).

Setelah mengalami mimpi di Spoleto dan kembali ke Asisi. Ia mengumpulkan teman-temannya, namun ia tidak ditanggapi secara baik oleh teman-temannya. Ia kecewa dan berusaha mencari ketenangan dengan meneruskan perjalanan ke Roma, ketika tiba di lapangan gereja St. Petrus ia bergabung dan hidup bersama dengan orang-orang miskin. Pada tahun 1926, ketika bermeditasi di kapel St. Damiano, ia mendengar suara Yesus yang tersalib di altar yang menyuruhnya untuk memperbaiki gereja. Ia kemudian memperbaiki gereja dengan mempergunakan semua kekayaannya, namun ayahnya kemudian menuntutnya di pengadilan. Ayahnya meminta supaya ia mengganti uang yang telah dipergunakannya untuk memperbaiki gereja. Berhadapan dengan tuntutan ayahnya tersebut, dalam naungan uskup Asisi dan di hadapan umum ia menolak hak waris yang ia miliki dari keluarganya. Semenjak saat itu, ia mengabdikan diri dalam hidup doa, ketenangan, membantu orang miskin, dan memperbaiki gereja.

Pada tahun 1209, ketika mengikuti suatu perayaan misa di kapel Maria dari para Malaikat, ia mendengar kutipan Injil yang menggarisbawahi misi para rasul. Ia menjadi sadar akan tugasnya untuk mengumpulkan para pengikutnya. Sabda Kristus merupakan aturan hidup pertamanya. Pengikut yang pertama berjumlah 12 orang pada tanggal 16 April 1209, sehingga tanggal ini dianggap sebagai tanggal pendirian ordo yang sering dikenal dengan “Saudara-saudara Dina”. Semenjak saat itu ia

sepenuhnya mendalami hidup rohani, menjadi pewarta Kristus, mengumpulkan pengikut dari pelbagai daerah, dan membantu orang miskin.

Pada tahun 1225 St. Fransiskus Asisi mengalami penyakit mata dan Stigmata. Ia kemudian berangkat menuju Rieti untuk mendapat penyembuhan, namun penyakitnya itu tidak sembuh. Kemudian, pada tahun 1226 ia dibawa ke Siena untuk mendapat penyembuhan baru dan mengisi masa musim dingin. Ketika penyakitnya semakin mengganas, ia dibawa ke Asisi. Pada saat itulah ia menggubah “Gita Sang Surya”. Ia kemudian meminta dihantar ke Pontiuncula, karena merasa ajalnya sudah semakin dekat. Akhirnya ia meninggal di sana pada tanggal 3 Oktober dan dimakamkan di Gereja San Giorgio pada tanggal 4 Oktober 1226. Pada tahun 1228 Paus Gregorius IX menyatakan St. Fransiskus Asisi sebagai orang kudus, kemudian pada tahun 1230 jenazahnya dipindahkan ke Basilika San Fransesco di Asisi (Chang, 1989: 13-18).

Dalam perjalanan hidup St. Fransiskus Asisi, panggilan Allah telah menuntunnya dari jalan yang menyesatkan dan menunjukkan langkah baru dalam hidupnya. Ia terus menghayati hidup dalam pertobatan, sehingga membuat pembaharuan dalam hidup rohaninya. Pertemuan dengan Yesus dan peresapan sabda-Nya di gereja San Domino telah memperjelas arah pertobatannya. Pertobatan menghantar St. Fransiskus Asisi pada transformasi diri, yakni hidup dalam suasana keharmonisan dan persaudaraan dengan ciptaan maupun dengan Allah.

2. Situasi Lingkungan Hidup pada Zaman St. Fransiskus Asisi

Kota kelahiran St Fransiskus Asisi berada di daerah Umbria. Umbria adalah daerah yang khas, di sana tidak terdapat gunung-gunung yang megah atau pantai

yang mempersonakan. Daerah ini merupakan lembah gersang yang banyak ditumbuhi pohon Zaitun, semak-semak, dan beberapa pohon Saru yang memberikan warna permai. Seperti kebanyakan kota yang berada di daerah Umbria, kota Asisi pun terletak di lereng gunung yaitu Monte Subasio dengan ketinggian seribu tiga ratus meter dari permukaan laut (Gobry, 1976:7).

Pada zaman St. Fransiskus Asisi memang sudah terjadi pencemaran lingkungan hidup, walaupun tidak separah saat ini baik dari segi bentuk dan ukurannya. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi pada zamannya dipengaruhi oleh pelbagai penyimpangan pada bidang kehidupan publik. Pada bidang politik para penguasa saling memperebutkan kekuasaan melalui peperangan. Pada bidang sosial banyak terjadi penindasan dari para tuan tanah terhadap masyarakat kelas bawah. Pada bidang ekonomi banyak para pedagang yang hanya mencari keuntungan pribadi saja. Pada bidang religius juga banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para pemimpin agama. Sebagai akibatnya banyak muncul gerakan pembaharu yang sering disertai dengan kekerasan, sebagai reaksi terhadap penyimpangan tersebut.

Di tengah-tengah munculnya gerakan pembaharu terhadap penyimpangan pelbagai sendi kehidupan tersebut, hadirlah St. Fransiskus Asisi yang terdorong oleh ilham Ilahi ingin memperbaiki kehidupan masyarakatnya. Ia melakukan gerakan pembaharuan dengan cara berbeda, yakni dalam cinta kasih atau tanpa disertai kekerasan. Ia menghadapi segala macam pencemaran lingkungan hidup yang terjadi dengan sikap penuh perdamaian dan persaudaraan. Ia banyak mengajarkan kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup, apa yang diajarkannya tersebut sungguh dihayatinya sendiri dalam hidupnya (Buntaran, 1996: 58-59).

3. Munculnya Perhatian St. Fransiskus Asisi terhadap Lingkungan Hidup Perhatian St. Fransiskus Asisi terhadap lingkungan hidup muncul dari perjalanan hidup dan dalam relasinya dengan Allah. Kedekatannya dengan Allah membuat ia peka akan kehendak Allah dari dirinya, sehingga ia mampu menyadari bahwa Allah menghendaki agar dirinya mengupayakan relasi yang harmonis dengan sekalian ciptaanNya. Pengalaman hidup yang mendorongnya mencintai lingkungan hidup ini hadir melalui proses tahap demi tahap (Buntaran, 1996: 55-56).

a. Tahap pertama

Tahap ini dianggap paling menentukan dalam hidup St. Franiskus Asisi. Tahap ini adalah pengalamannya berjumpa dengan Allah secara pribadi lewat mimpinya, kemudian lewat salib di gereja San Damiano. Lewat penampakan-penampakan yang dialaminya, ia mulai mengenal Yesus Kristus sesungguhnya dan menyadari apa dikehendaki-Nya dari dirinya. Itulah saat awal pertobatan St. Fransiskus Asisi yang pada akhirnya mengubah sekaligus memperbaharui seluruh jalan hidupnya dan sejak saat itu hidupnya diperdamaikan dengan Allah.

b. Tahap kedua

Tahap ini terjadi dalam perjumpaannya dengan Allah lewat sesama manusia, yakni: dalam diri orang kusta, miskin, sakit, dan dalam diri musuhnya. St. Fransiskus Asisi sungguh menyadari bahwa Allah sungguh hadir dalam diri masing-masing ciptaan-Nya. Dengan kesadaran ini, ia sungguh menghargai orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia telah diperdamaikan dengan Allah dan kini telah membawa perdamaian bagi sesamanya manusia.

c. Tahap ketiga

Tahap ini terjadi ketika St. Fransiskus Asisi berjumpa dengan Allah melalui pelbagai ciptaan-Nya, antara lain: hewan, tumbuhan, batu, api, angin, dan air. Benih perdamaian dengan Allah yang dialaminya semenjak awal pertobatan telah mendorongnya membawa perdamaian kepada semua ciptaan-Nya di alam semesta. Tahap-tahap perjalanan hidup St. Fransiskus Asisi ini, telah menghantarnya pada kesadaran untuk memberikan perhatian yang penuh kepada semua ciptaan. Kesadaran ini memampukannya untuk menjalin hubungan dengan semua ciptaan dalam suasana persaudaraan sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Menurut Chang (1989: 38-42) munculnya perhatian St. Fransiskus Asisi terhadap alam juga mempunyai kaitan dengan pembawaan alamiah yang telah ia dapatkan semenjak kanak-kanak atau sebelum ia bertobat. Pembawaan ini tumbuh dan semakin menonjol ketika ia mengalami pertobatan seumur hidup dan penyelarasan kehendaknya dengan kehendak Allah.

Selain pembawaan alamiah yang ada dari dalam dirinya, perkembangan relasinya dengan semua ciptaan juga dipengaruhi oleh suasana hidup religiusnya yang menitik beratkan kemiskinan. Ia sungguh menyadari, bahwa penghayatan kemiskinan dapat menghantar seseorang pada pengakuan atas Allah sebagai pemilik segala sesuatu. Penghayatan kemiskinan dalam dirinya telah memberikan kesadaran, bahwa segala ciptaan adalah pemberian dan milik Allah. Ia menghapus segala kecendrungan manusiawi yang ada dalam dirinya untuk memiliki dan menguasai ciptaan lain. Dalam suasana penghayatan kemiskinan tersebut, ia hanya mengagumi keindahan dan kebaikan Allah yang hadir dalam tiap-tiap ciptaan. Ia sangat segan

untuk menguasai dan menyalahgunakan alam ciptaan yang telah dipercayakan oleh Allah kepadanya demi kepentingan pribadi.

Penghayatan kemiskinan dalam diri St. Fransiskus Asisi telah memampukannya melepaskan diri dari ikatan duniawi yang fana. Ia mengarahkan usaha dan keinginannya bukan tertuju pada kepentingan pribadi, melainkan tertuju kepada Allah. Pada akhirnya melalui pertobatan dan penghayatan kemiskinan tersebut, hidupnya dapat berakar dan tumbuh dalam suasana cinta terhadap sekalian ciptaan. Dengan mencintai segenap ciptaan, ia pun dapat bertemu dan semakin mengenal Pencipta.