• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi spiritualitas kosmis St. Fransiskus Asisi bagi pemberdayaan jemaat di Keuskupan Agung Pontianak dalam rangka pelestarian lingkungan hidup - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Relevansi spiritualitas kosmis St. Fransiskus Asisi bagi pemberdayaan jemaat di Keuskupan Agung Pontianak dalam rangka pelestarian lingkungan hidup - USD Repository"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK

DALAM RANGKA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Febriyanto NIM: 021124011

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii S K R I P S I

RELEVANSI SPIRITUALITAS KOSMIS ST. FRANSISKUS ASISI BAGI PEMBERDAYAAN JEMAAT

DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK

DALAM RANGKA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh: Febriyanto NIM: 021124011

Telah disetujui oleh:

Pembimbing,

(3)

iii

S K R I P S I

RELEVANSI SPIRITUALITAS KOSMIS ST. FRANSISKUS ASISI BAGI PEMBERDAYAAN JEMAAT

DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK DALAM RANGKA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

Dipersiapkan dan ditulis oleh Febriyanto

NIM: 021124011

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 1 September 2007 dan dinyatakan memenuhi syarat

SUSUNAN PANITIA PENGUJI

Nama Tanda Tangan Ketua : Drs. F.X. Heryatno W.W., S.J., M.Ed. ……… Sekretaris : F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd. ……… Anggota : 1. Dra. J. Sri Murtini, M.Si. ……… 2. P. Banyu Dewa HS., S.Ag., M.Si. ……… 3. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. ………

Yogyakarta, 1 September 2007 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma Dekan,

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada: bapakku

ibuku,

saudara-saudaraku, dan

(5)

v MOTTO

“Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal Tuhan; Ia pasti muncul seperti fajar, Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti hujan pada

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 23 Juli 2007 Penulis,

(7)

vii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “RELEVANSI SPIRITUALITAS KOSMIS ST. FRANSISKUS ASISI BAGI PEMBERDAYAAN JEMAAT DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK DALAM RANGKA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP”. Judul ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis akan krisis lingkungan hidup yang terjadi di Keuskupan Agung Pontianak. Krisis lingkungan hidup yang terjadi di Keuskupan Agung Pontianak saat ini telah mengancam kehidupan semua makhluk hidup yang ada saat ini dan generasinya yang akan datang.

Krisis lingkungan hidup yang terjadi di Keuskupan Agung Pontianak disebabkan oleh manusia yang cenderung berusaha menguasai dan mengeksploitasi lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Manusia menganggap lingkungan hidup yang ada di sekitarnya hanya sebagai obyek kebutuhannya saja, tanpa mempertimbangkan kelestarian dan penghargaan terhadap keagungan nilai ciptaan Allah yang terkandung di dalamnya. Kenyataan semacam ini memberikan tuntutan kepada manusia untuk memperbaharui pandangan, sikap dan perilakunya terhadap lingkungan hidup. Dalam rangka pembaharuan pandangan, sikap dan perilaku manusia ini, penulis mengajak manusia untuk bersahabat dan mencintai lingkungan hidup melalui pembentukan kepribadian berdasarkan spriritualitas kosmis St. Fransiskus Asisi. Dalam hidup sehari-hari, St. Fransiskus Asisi sungguh bersahabat dengan seluruh ciptaan yang ada di sekitarnya. Ia begitu mencintai dan menghargai keagungan Allah yang terkandung dalam tiap-tiap ciptaanNya. Pada akhirnya, persahabatan dengan ciptaan tersebut dapat menghantar dirinya dalam relasi yang harmonis dengan Allah Pencipta. Oleh karena itu, kepribadian St. Fransiskus Asisi perlu diteladani oleh manusia saat ini dalam rangka mewujudkan keutuhan ciptaan. Dalam upaya pembentukan kepribadian manusia yang senantiasa menjaga keutuhan ciptaan ini, katekese umat merupakan momen yang penting pertama-tama untuk membantu jemaat agar menyadari dan peka terhadap krisis lingkungan hidup yang terjadi di sekitarnya, kemudian berupaya untuk mengatasinya secara bersama-sama. Di dalam katekese umat, jemaat dapat menggali inspirasi dan belajar mencintai alam sesuai dengan teladan St Fransiskus Asisi. Maka, di dalam skripsi ini penulis membuat sekaligus menawarkan usulan program katekese umat dalam rangka pelestarian lingkungan hidup berdasarkan spiritualitas kosmis St. Fransiskus Asisi.

(8)

viii ABSTRACT

The title of the thesis is “THE COSMIC SPIRITUALITY OF ST. FRANCES DE ASISI FOR EMPOWERING THE FAITHFUL AT ARCHBISHOP PONTIANAK IN THE FRAME WORK OF ENVIRONMENTAL CONSERVATION”. This title has been chosen according the writer’s concern of environmental crisis which has been happening in the Archbishop Pontianak. Presently, the environmental crisis happeneing in the Archbishop Pontianak. Can threaten all God’s creatures now and in the future.

The environmental crisis that has happened in Archbishop Pontianak is caused by the people who try to control and exploit environmental conservation in their neighborhood. People think that the environment in their surrounding is only their object to get their needs. They never observe the conservation needs and appreciation towards the grandeur of God’s power. In reality, people must renew their capability to appreciate God’s mercy in taking care the environment. To revitalize people’s point of view, attitude, and behavior, the writer asks people to understand and love the environment through personal appreciation related to the cosmic spirituality of St. Frances. In the daily life, St. Frances Asisi declared his love and friendship to all God’s creatures. He really loved and appreciated God’s blessings, through his creatures. Finally, the friendship with all creatures could bring him in to a harmonic relation with God. Because of that, St. Frances’s personality needs to be applied by the faithful today to protect God’s creation wholly together. Through catechism, the faithful can find the inspiration and learn to love the universe as deep as what St. Frances has done. So, in the thesis the writer does not only make but also proporse the cathecism programs with the aim of conserving the environment according to cosmic spirituality St. Frances De Asisi.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasih-Nya yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “RELEVANSI SPIRITUALITAS KOSMIS ST. FRANSISKUS ASISI BAGI PEMBERDAYAAN JEMAAT DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK DALAM RANGKA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP”.

Skripsi ini ditulis berdasarkan keprihatinan penulis terhadap krisis lingkungan hidup yang terjadi saat ini, khususnya di Keuskupan Agung Pontianak. Krisis ini terjadi karena ulah manusia yang secara serakah mengekploitasi bumi. Sebagai akibatnya terjadilah kerusakan alam, selain itu pelbagai sendi kehidupan publik juga menjadi terpuruk, baik itu ekonomi, sosial, budaya, religius dan politik. Banyak masyarakat yang mengandalkan alam sebagai mata pencahariannya menjadi kehilangan sumber kehidupan, bahkan pelbagai pencemaran dan kerusakan alam telah menimbulkan bencana yang merugikan hidup manusia. Situasi yang memprihatinkan ini menuntut gerakan bersama dalam pelestarian lingkungan hidup.

(10)

x

mampu berelasi secara harmonis dengan alam ciptaan. Ia juga sungguh menyadari eksistensinya di tengah dunia sebagai mandataris Allah pencipta yang bertugas menjaga keutuhan dan keharmonisan ciptaan. Kedekatan St. Fransiskus dengan alam ciptaan ini pada akhirnya mampu menghantar dirinya pada pertemuan secara pribadi dengan Pencipta. Oleh karena itu, kepribadian St. Fransiskus Asisi layak untuk diteladani berkaitan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup saat ini. Secara nyata spiritualitas ini digali dalam katekese umat, sehingga dapat sungguh memberdayakan jemaat di Keuskupan Agung Pontianak dalam melestarikan lingkungan hidup yang ada di sekitar mereka.

Skripsi ini telah disusun berkat dukungan dan bantuan pelbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penulis dengan hati yang tulus mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dra. J. Sri Murtini, M.Si., selaku dosen pembimbing utama yang telah mendampingi, membimbing, memberikan perhatian, sumbangan pemikiran, dan memotivasi penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

2. P. Banyu Dewa HS., S.Ag., M.Si., selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing kedua yang telah bersedia membimbing, mendampingi, dan memotivasi penulis selama studi sampai dengan penyelesaian sripsi ini.

3. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen penguji ketiga yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan berkaitan isi skripsi ini.

(11)

xi

Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang membantu penulis selama studi sampai selesainya penulisan skripsi ini.

5. Rekan-rekan mahasiswa, angkatan 2001 dan 2002 yang telah meneguhkan, memberi dukungan, dan berjuang bersama dalam semangat persaudaraan untuk mewujudkan kepribadian katekis yang bermutu dan bijaksana.

6. Akhirnya, penulis berterima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberi bantuan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman, sehingga penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca yang membangun demi perbaikan skripsi ini. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam pelestarian lingkungan hidup.

Yogyakarta, 23 Juli 2007 Penulis

(12)

xii

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan... 9

E. Metode Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. PANDANGAN UMUM TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DAN GAMBARAN KEADAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK ... 12

A. Pandangan Umum tentang Lingkungan Hidup ... 12

1. Pengertian Lingkungan Hidup ... 13

2. Kedudukan dan Pergumulan Manusia di Tengah Lingkungan Hidup... 15

a. Kedudukan manusia di tengah lingkungan hidup ... 15

b. Pergumulan manusia di tengah lingkungan hidup ... 16

3. Beberapa Pandangan tentang Lingkungan Hidup... 18

(13)

xiii

d. Pandangan Gereja tentang lingkungan hidup ... 23

B. Gambaran Keadaan Lingkungan Hidup di Keuskupan Agung Pontianak . 29

1. Keadaan Geografis Keuskupan Agung Pontianak ... 30

2. Pola Pengelolaan Hutan dan Penyelamatan Keanekaragaman Hayati dalam Tradisi Masyarakat Adat Dayak di Keuskupan Agung Pontianak ... 31

a. Kearifan masyarakat adat Dayak mengelola hutan ... 32

b. Persepsi masyarakat adat Dayak mengenai hutan ... 33

c. Perladangan dalam masyarakat adat Dayak ... 34

d. Nilai alam bagi masyarakat adat Dayak... 35

3. Kerusakan Lingkungan Hidup di Keuskupan Agung Pontianak ... 36

a. Kerusakan sungai ... 36

b. Kerusakan hutan... 40

4. Ancaman Kelestarian Lingkungan Hidup di Keuskupan Agung Pontianak pada Masa yang Akan Datang ... 46

a. Perusahaan-perusahaan HTI... 46

b. Perusahaan-perusahaan HPH ... 48

5. Upaya Gereja dalam Pelestarian Lingkungan Hidup di Keuskupan Agung Pontianak... 50

a. Seruan Pastoral... 50

b. Lokakarya ... 51

BAB III. SPIRITUALITAS KOSMIS ST. FRANSISKUS ASISI... 55

A. Spiritualitas Kosmis ... 56

1. Pengertian Spiritualitas ... 57

2. Pengertian Spiritualitas Kosmis ... 58

B. Keberadaan St. Fransiskus Asisi di Tengah-tengah Lingkungan Hidup.. 59

1. Riwayat Singkat Hidup St. Fransiskus Asisi ... 60

2. Situasi Lingkungan Hidup Pada Zaman St. Fransiskus Asisi... 62

(14)

xiv

C. Perwujudan Spiritualitas Kosmis di dalam Hidup St. Fransiskus Asisi... 66

1. Relasi St. Fransiskus Asisi dengan Pelbagai Unsur Ciptaan ... 67

a. Relasi dengan makhluk hidup ... 67

b. Relasi dengan bukan makhluk hidup ... 72

c. Sikap dasar relasi St. Fransiskus Asisi ... 72

2. Relasi St. Fransiskus Asisi dengan Allah di dalam Doa ... 73

D. Gita Sang Surya sebagai Puncak Pengungkapan Spiritualitas Kosmis St. Fransiskus Asisi... 74

1. Kedudukan Gita Sang Surya sebagai Cermin Kepribadian Kosmis St. Fransiskus Asisi... 76

2. Gita Sang Surya sebagai Bentuk Pengungkapan Rasa Persaudaraan St. Fransiskus Asisi dengan Semua Unsur Kosmos... 76

3. Gita Sang Surya sebagai Ungkapan Kepribadian St. Fransiskus Asisi yang Senantiasa Mengangkat Martabat Ciptaan... 77

4. Gita Sang Surya Mengungkapkan Pandangan St. Fransiskus Asisi terhadap Pelbagai Unsur Kosmos ... 78

E. Relevansi Spiritualitas Kosmis St. Fransiskus Asisi bagi Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup di Keuskupan Agung Pontianak... 79

1. Dasar Relevansi ... 80

2. St. Fransiskus Asisi Sebagai Pola Anutan Pelestarian Lingkungan Hidup di Keuskupan Agung Pontianak... 81

BAB IV. KATEKESE UMAT SEBAGAI BENTUK PEMBERDAYAAN JEMAAT DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK DALAM RANGKA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP ... 84

A. Gambaran Umum Katekese Umat ... 85

1. Pengertian Katekese Umat ... 85

2. Tujuan Katekese Umat... 87

3. Isi Katekese Umat ... 89

4. Peserta Katekese Umat ... 91

(15)

xv

1. Arti dan Tujuan Analisis Sosial ... 96

2. Unsur-unsur dalam Analisis Sosial ... 97

a. Unsur historis ... 97

b. Unsur struktural ... 98

3. Pelbagai Pembagian Masyarakat ... 99

4. Pelbagai Derajat dan Tingkatan Masalah yang Ada ... 99

5. Analisis Sosial dengan “Tiga Poros” ... 100

a. Poros negara... 100

b. Poros pasar... 101

c. Poros masyarakat ... 101

6. Model atau Kerangka Pikir dalam Analisis Sosial ... 102

a. Model konsensus ... 102

b. Model konflik ... 104

7. Proses Katekese Umat dengan Metode Analisis Sosial ... 107

a. Langkah pertama: Melihat dan menyadari fenomena ketidakadilan sosial yang ada... 107

b. Langkah kedua: Merumpun fenomena ketidakadilan itu... 108

c. Langkah ketiga: Mencari akar ketidakadilan dan akibatnya... 109

d. Langkah keempat: Merefleksikannya dalam iman (Kitab Suci dan Ajaran Gereja)... 110

e. Langkah kelima: Merencanakan aksi yang kemudian disusul dengan aksi... 111

C. Usulan Program Katekese Umat bagi Jemaat di Keuskupan Agung Pontianak dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup... 111

1. Pengertian Program... 112

2. Tujuan Program ... 113

3. Latar Belakang Pemilihan Program ... 113

4. Alasan Pemilihan Tema ... 114

5. Tema dan Tujuan Program... 115

6. Penjabaran Program ... 118

(16)

xvi

b. Pemikiran dasar... 123

c. Pengembangan langkah... 124

BAB V. PENUTUP ... 137

A. Kesimpulan ... 137

B. Saran ... 141

1. Bagi Umat Beriman Kristiani pada Umumnya ... 142

2. Bagi Para Aktivis Sosial ... 143

3. Bagi Para Katekis... 144

4. Bagi Jemaat Kristiani di Keuskupan Agung Pontianak... 146

DAFTAR PUSTAKA ... 149

LAMPIRAN ... 152

Lampiran 1: Teks Cerita St. Fransiskus Asisi Tokoh Pelestarian Lingkungan Hidup... (1)

Lampiran 2: Peta Keuskupan Agung Pontianak ... (4)

Lampiran 3: Peta Kawasan Hutan di Pulau Kalimantan dari tahun 1900 sampai dengan Prakiraannya pada tahun 2020 ... (5)

Lampiran 4: Peta Kawasan Proyek Penanaman Kelapa Sawit di Pulau Kalimantan ... (6)

(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab

Deuterokanonika. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh

Lembaga Alkitab Indonesia). Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia, 2001, hlm 6.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CA: Centesimus Annus, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Kenangan Ulang Tahun Keseratus Ensiklik Rerum Novarum, 11 Mei 1991.

CT: Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1979.

LE: LaboremExercens, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Kerja

Manusia, 14 September 1981

PP: Populorum Progressio, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang

Perkembangan Bangsa-bangsa, 26 Maret 1967.

SRS: Sollicitudo Rei Socialis, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Keprihatinan Sosial, 30 Desember 1987.

C. Singkatan Tarekat/Kongregasi Religius

Singkatan tarekat/kongregasi religius mengikuti Komisi Liturgi KWI.

(18)

xviii D. Singkatan Lain

& : Dan

Art : Artikel

Bdk : Bandingkan

DAS : Daerah Aliran Sungai

DE : Deep Ecology

Ed : Editor Ha : Hektar

HPH : Hak Pengusahaan Hutan HTI : Hutan Tanaman Industri

IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kalbar : Kalimantan Barat

Komkat : Komisi Kateketik KOMSOS : Komisi Sosial

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat PB : Perjanjian Baru Pemda : Pemerintah Daerah

PL : Perjanjian Lama

PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia PSDA : Pelestarian Sumber Daya Alam

St : Santo

Thn : Tahun

(19)

A. Latar Belakang

Pada zaman sekarang ini, manusia banyak menemukan dan mendengar kabar tentang krisis lingkungan hidup baik di media cetak maupun elektronik. Krisis lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini telah mengancam kehidupan semua makhluk hidup termasuk manusia, padahal krisis ini adalah dampak ulah manusia sendiri. Sampai saat ini ternyata pengelolaan lingkungan hidup secara bertanggungjawab belum membudaya. Manusia cenderung menguras lingkungan hidup yang ada di sekitarnya, tanpa penghargaan dan penghormatan terhadap hak hidup mahluk ciptaan lain. Keadaan ini terutama menimpa negara-negara sedang berkembang dan berpenduduk padat, khususnya di Indonesia. Krisis ini tentunya menuntut keseriusan berpikir dan bertindak demi masa depan yang lebih baik dan luput dari bencana-bencana yang memprihatinkan (Chang, 2001: 29).

(20)

Kerakyatan Kalbar (PPSHK) ditambah lagi dengan kebakaran hutan serta pembukaan lahan perkebunan besar di Kalbar mencapai luas 500.000 Ha setiap tahun dan aktornya para pemegang HPH dan HTI (Kusmiran, 2005: 36). Dengan kenyataan ini, pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia. Dampak pemanasan global ini sangat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di kota Pontianak, karena pusat katulistiwa di dunia ini berada di kota Pontianak.

Eksploitasi hutan tak terkendali di Kalimantan Barat beberapa tahun ini telah menimbulkan banyak bencana lingkungan hidup. Akibat pembabatan hutan, daya serap air menjadi kecil. Pada musim kemarau, masyarakat dihadapkan pada kondisi kekurangan air. Sungai-sungai mengalami kekeringan, akibatnya transportasi macet. Padahal, dahulu kondisi semacam ini jarang atau tidak pernah terjadi di Kalbar. Ini adalah dampak penebangan hutan tak terkendali oleh perusahaan maupun kelompok perorangan yang menyebabkan lahan kritis terus bertambah. Keadaan ini berdampak buruk pada potensi kawasan hutan di Kalbar yang menjurus pada kehancuran sumber daya ekologi dan kehancuran hidrologi (Indil, 2004: 10).

Keadaan lingkungan yang buruk dewasa ini tentu menuntut pengembangan sikap etis yaitu mengurangi eksplorasi dan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab dari manusia terhadap lingkungan hidup. Sikap dan tindakan yang merusak lingkungan hidup harus ditinggalkan, karena merusak lingkungan hidup sama dengan membunuh kehidupan. Tuntutan etis ini bukan lagi hanya suatu nilai ideal, tetapi bernilai praktis untuk menyelamatkan kehidupan bersama (Pare, 1992a: 44).

(21)

berperan penting untuk merumuskan pandangan-pandangan mengenai alam dan menciptakan perspektif mengenai peran manusia di dalam alam. Olah karena itu, tinjauan mengenai pelbagai pandangan tentang dunia yang religius penting artinya untuk menganalisis akar-akar krisis lingkungan hidup maupun mengusulkan pemecahannya (Tucker & Grim, 2003: 7).

Secara khusus bagaimana peranan Gereja terhadap krisis lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini. Untuk menanggapi krisis ekologi dewasa ini, dogma kekristenan tentang penciptaan alam semesta diharapkan dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pelestarian lingkungan hidup. Pandangan kekristenan mengenai alam ciptaan secara implisit mengajak umat manusia untuk mengambil sikap yang pantas dan bijaksana menghadapi bukti cinta kasih Allah dan pentas kemuliaan-Nya. Sebab penciptaan alam semesta tidak hanya bertujuan memenuhi kebutuhan hidup jasmani umat manusia, tetapi juga menawarkan nilai-nilai luhur yang mendewasakan umat manusia (Chang, 1989: 109-110). Gereja juga mengingatkan jemaatnya bahwa para leluhur mereka sudah mewariskan cinta kodrati kepada alam dan binatang dengan mengajarkan hidup dalam keselarasan dengan alam dan hidup serba seimbang. Khususnya sebagai umat Katolik yang termotivasi iman, mereka harus mengembangkan penghayatan mendalam akan makna lingkungan hidup. Kemanusiaan sejati hanya ada dalam kesatuan dengan ciptaan lain (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996b: 38).

(22)

dunianya. Manusia hanyalah bagian dari seluruh ciptaan dan hidupnya disangga oleh alam semesta. Kesadaran ini hendaknya tidak dimengerti secara personal saja, melainkan dimengerti dari aspek sosial dan ekologis. Kesadaran ini penting dalam menjalin hubungan dan tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dan alam semesta (Konferensi Waligereja Indonesia, 1996a: 151).

Salah satu ungkapan keprihatinan Gereja yang mengundang kepedulian jemaatnya untuk menanggapi krisis lingkungan hidup adalah:

Selain masalah konsumerisme, yang memprihatinkan juga dan erat berhubungan dengan manusia ialah soal lingkungan hidup. Karena manusia lebih ingin memiliki daripada menemukan dan mengembangkan dirinya. Ia secara berlebihan dan tidak teratur menyerap sumber-sumber daya bumi maupun hidupnya sendiri. Di balik pengrusakan alam lingkungan yang bertentangan dengan akal sehat ada kesesatan di bidang antropologi, yang memang sudah tersebar luas. Manusia, yang menyadari bahwa dengan kegiatannya ia mampu mengubah dan dalam arti tertentu “menciptakan dunia”, melupakan bahwa kegiatannya itu selalu harus didasarkan pada pengurniaan segalanya oleh Allah menurut maksudnya semula. Manusia mengira boleh semaunya sendiri mendaya-gunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri seolah-olah bumi tidak mengemban tuntutan serta maksud-tujuannya semula yang diterimannya dari Allah, dan yang manusia memang dapat mengembangkan, tetapi tidak boleh mengkhianati. Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerja sama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya (CA, art. 37).

Berdasarkan dokumen di atas, secara jelas Gereja mengingatkan jemaat Kristiani bahwa masalah lingkungan hidup yang terjadi kian berat. Kritik tajam telah dilontarkannya terhadap sikap manusia yang memanfaatkan alam dengan semena-mena. Sikap peduli terhadap lingkungan hidup menjadi hal yang penting untuk menjawab keprihatinan ini.

(23)

Pontianak, Mgr Hieronymus Bumbun, OFM Cap., mengungkapkan bahwa bagaimanapun semua orang harus bertoleransi dan rekonsiliasi dengan alam di sekitarnya. Semua orang harus sadar bahwa perusakan lingkungan hidup melalui penebangan hutan, pertambangan emas, dan limbah industri raksasa sudah mengancam keberadaan dan kesehatan manusia (Yos, 2003: 35).

Manusia harus sadar bahwa dirinya diutus untuk mengatur dan memimpin dunia dengan baik adanya sesuai dengan kehendak Allah (Kej 1: 26–28). Sebagai warga gereja yang bertanggungjawab dalam menjawab krisis ekologi pada zaman sekarang ini. Jemaat memerlukan suatu teologi baru yang berkenaan dengan seluruh alam ciptaan dan kebutuhan akan spiritualitas kosmis. Agama-agama di dunia, termasuk agama tradisional dan penduduk asli dapat memberikan sumbangan banyak terhadap pencarian itu. St. Fransiskus dari Asisi pelindung ekologi, hendaknya dapat dijadikan sumber inspirasi manusia dalam hal visi masyarakat kosmis yang mencakup manusia, tumbuhan, binatang, matahari, bulan, dan seluruh alam ciptaan Allah (Komisi Internasional untuk Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan, 2001: 140).

(24)

mengherankan bahwa Paus Yohanes Paulus II menetapkan St. Fransiskus Asisi sebagai pelindung pelestarian lingkungan hidup.

Dalam hidupnya, St. Fransiskus Asisi sering mengundurkan diri untuk berdoa di alam yang ada sekitarnya. Ia mengajarkan bahwa dunia ciptaan ini adalah tanda langsung kegiatan ilahi yang penuh rahmat terhadap manusia. Ia memanggil mereka dengan sebutan “saudara” dan “saudari”, ia melihat semua binatang, tumbuhan dan gejala alami sebagai sahabat ciptaan Allah. Jalan hidup yang ia sarankan ialah kesederhanaan hidup, keutamaan yang tenang, tak tertarik akan usaha pencarian akal budi dan ambisi duniawi, dan hubungannya yang intim dan kekeluargaan dengan alam semesta. Ada yang mengatakan bahwa St. Fransiskus Asisi itu adalah orang yang paling mirip dengan Yesus dalam sejarah kristianitas. Teladan hidupnya, doa-doa yang ia tulis, pendekatan iman yang sederhana dan langsung, membuat banyak gerakan kaum awam dan kongregasi pria serta wanita yang mengikuti jalan hidupnya maupun gerakan kaum awam sendiri. Oleh karena itu spiritualitas St. Fransiskus dari Asisi ini merupakan salah satu yang paling berpengaruh dalam sejarah kristianitas (Michel, 2001: 131-132).

(25)

Fransiskus Asisi, sehingga pada akhirnya mereka dapat peka dan peduli terhadap krisis lingkungan hidup yang terjadi di sekitar mereka saat ini.

Katekese umat pertama-tama perlu diupayakan sebagai jalan untuk memberikan kesadaran kepada jemaat di Keuskupan Agung Pontianak akan adanya fakta krisis lingkungan yang terjadi di sekitar mereka. Berangkat dari kesadaran ini, diharapkan jemaat dapat belajar dari St. Fransiskus Asisi untuk melestarikan lingkungan hidup. Oleh karena itu, penyelenggaraan katekese umat sangat penting diupayakan bagi jemaat di Keuskupan Agung Pontianak secara terus menerus untuk menciptakan kelestarian lingkungan hidup.

Katekese umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota jemaat atau kelompok, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara semakin sempurna (Komisi Kateketik KWI, 1995: 11). Sikap hidup melestarikan lingkungan hidup merupakan salah satu bentuk penghayatan iman, karena pelestarian lingkungan hidup adalah mandat atau kehendak Allah. Tuhan menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Tuhan melalui hidupnya dan keharmonisan hubungan dengan alam ciptaan-Nya (Suprihadi Sastrosupeno, 1984: 15). Dalam hal ini, katekese umat mempunyai peranan penting bagi upaya Gereja dalam menghayati panggilan Allah untuk melestarikan lingkungan hidup saat ini.

(26)

strukturalnya. Analisis sosial berperan sebagai perangkat yang memungkinkan manusia menangkap dan memahami realitas yang dihadapi (Holland & Henriot, 1986: 30). Berkaitan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup, analisis sosial sangat diperlukan untuk membantu sekaligus memberikan gambaran kepada jemaat di Keuskupan Agung Pontianak tentang situasi krisis lingkungan hidup yang terjadi di sekitar mereka saat ini. Pada akhirnya melalui proses ini diharapkan jemaat di Keuskupan Agung Pontianak sadar dan peduli akan krisis lingkungan hidup yang terjadi di sekitar mereka.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penulis merasa terpanggil untuk memilih judul skripsi ”RELEVANSI SPIRITUALITAS KOSMIS ST. FRANSISKUS ASISI BAGI PEMBERDAYAAN JEMAAT DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK DALAM RANGKA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP”.

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa di Keuskupan Agung Pontianak terjadi krisis lingkungan hidup?

2. Apa relevansi spiritualitas kosmis St. Fransiskus Asisi bagi upaya pelestarian lingkungan hidup di Keuskupan Agung Pontianak?

3. Apa upaya penting yang harus ditempuh untuk memberdayakan jemaat di Keuskupan Agung Pontianak dalam melestarikan lingkungan hidup?

C. Tujuan Penulisan

(27)

2. Memaparkan relevansi spiritualitas kosmis St. Fransiskus Asisi bagi upaya pelestarian lingkungan hidup di Keuskupan Agung Pontianak.

3. Memaparkan upaya penting yang harus ditempuh untuk memberdayakan jemaat di Keuskupan Agung Pontianak dalam melestarikan lingkungan hidup.

4. Memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

D. Manfaat Penulisan

1. Memberikan inspirasi bagi penulis untuk memberdayakan jemaat di Keuskupan Agung Pontianak dalam rangka melestarikan lingkungan hidup.

2. Mendorong dan memberdayakan jemaat di Keuskupan Agung Pontianak untuk melestarikan lingkungan hidup melalui katekese umat berdasarkan spiritualitas kosmis St. Fransiskus Asisi.

E. Metode Penulisan

(28)

ini ditempuh untuk memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman bagi penulis secara pribadi maupun bagi jemaat di Keuskupan Agung Pontianak dalam rangka pelestarian lingkungan hidup.

F. Sistematika Penulisan

Judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah “RELEVANSI SPIRITUALITAS KOSMIS ST. FRANSISKUS ASISI BAGI PEMBERDAYAAN JEMAAT DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK DALAM RANGKA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP”. Judul ini akan diuraikan dalam lima bab, sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, manfaat, metode, dan sistematika penulisan skripsi ini.

Bab II : Pandangan Umum Tentang Lingkungan Hidup dan Gambaran Keadaan Lingkungan hidup di Keuskupan Agung Pontianak. Bab ini berbicara mengenai pandangan umum tentang lingkungan hidup dan keadaan lingkungan hidup di Keuskupan Agung Pontianak.

Bab III : Spiritualitas Kosmis St. Fransiskus Asisi. Bab ini menguraikan pemahaman tentang spiritualitas kosmis, keberadaan St. Fransiskus di tengah-tengah lingkungan hidup, perwujudan spiritualitas kosmis di dalam hidup St. Fransiskus Asisi, Gita Sang Surya sebagai puncak pengungkapan spiritualitas kosmis St. Fransiskus Asisi, dan relevansi spiritualitas kosmis St. Fransiskus Asisi bagi upaya pelestarian lingkungan hidup di Keuskupan Agung Pontianak.

(29)

analisis sosial sebagai salah usaha yang penting dalam pelestarian lingkungan hidup, dan usulan program katekese umat bagi jemaat di Keuskupan Agung Pontianak dalam rangka pelestarian lingkungan hidup.

(30)

GAMBARAN KEADAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK

Pada bab I penulis telah mengungkapkan latar belakang penulisan skripsi ini, yaitu keprihatinan akan krisis lingkungan hidup yang terjadi di pelbagai belahan dunia, khususnya di Keuskupan Agung Pontianak. Krisis lingkungan hidup yang terjadi di Keuskupan Agung Pontianak telah mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup. Oleh karena itu, upaya pelestarian lingkungan hidup sangat penting dilakukan untuk menjamin keberlangsungan hidup semua makhluk hidup yang ada di Keuskupan Agung Pontianak, baik yang ada saat ini maupun bagi generasi yang akan datang.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, penulis menyadari pentingnya menggali pandangan umum tentang lingkungan hidup itu sendiri, agar dapat dipahami sejauhmana pengaruh pandangan tersebut dalam relasi antara manusia dengan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Dengan memahami pandangan-pandangan tentang lingkungan hidup yang ada, diharapkan dapat ditemukan penyebab krisis lingkungan hidup itu itu sendiri beserta solusinya. Maka, pada bab II ini penulis akan membahas pandangan umum tentang lingkungan hidup dan gambaran keadaan lingkungan hidup di Keuskupan Agung Pontianak.

A. Pandangan Umum tentang Lingkungan Hidup

(31)

Pelbagai pandangan tentang lingkungan hidup ini muncul dari kesadaran, bahwa antara manusia dan lingkungan hidup terdapat hubungan yang tak dapat terpisahkan. Hal ini terutama didasarkan atas kesadaran, bahwa lingkungan hidup merupakan tempat tinggal sekaligus sumber kehidupan umat manusia. Kesadaran ini muncul secara berangsur-angsur dalam proses interaksi manusia dengan lingkungannya secara turun-temurun hingga saat ini.

1. Pengertian Lingkungan Hidup

Pada masa sekarang ini dalam pelbagai pembahasan tentang lingkungan hidup, perhatian manusia pasti akan segera terarah pada persoalan seputar sampah, pencemaran limbah industri, pembabatan dan kerusakan hutan, ataupun konversi lahan untuk perkebunan besar. Pemahaman tentang lingkungan hidup yang dipersempit semacam ini sebenarnya tidak salah, namun menurut Halid Muhamad sebagaimana yang diungkapkan oleh Mifa (2005: 3) pemahaman semacam ini amatlah sempit. Menurutnya esensi dari lingkungan hidup adalah tapak kehidupan manusia, yakni soal ruang dan interaksi yang ada di dalamnya.

(32)

memajukan seluruh unsur alam dalam semesta (Chang, 1989: 19). Ekologi juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup (Buntaran, 1996: 21).

Berdasarkan pemahaman yang ada di atas, munculnya ekologi sebagai ilmu berangkat dari kesadaran akan adanya permasalahan dalam hubungan antar organisme yang ada dalam jagat raya ini, terutama dalam hubungan manusia dengan lingkungan hidup di sekitarnya. Manusia merupakan salah satu unsur yang ada di dalam lingkungan hidup. Hidup manusia di dunia ini selain berhubungan dengan sesamanya, ia juga mempunyai hubungan dengan tumbuhan, hewan, dan benda-benda di sekitarnya. Dunia binatang, tumbuhan, dan zat-zat hidup yang dibutuhkan bagi kebutuhan hidup manusia termasuk dalam pengertian lingkungan hidup (Suprihadi Sastrosupeno, 1984: 46).

(33)

2. Kedudukan dan Pergumulan Manusia di Tengah Lingkungan Hidup

Eksistensi manusia di dunia ini tidak terpisahkan dan sangat tergantung dari lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Menurut Buntaran (1996: 14-15) eksistensi manusia dapat dilihat dalam kedudukan dan pergumulan manusia di tengah lingkungan hidup sebagai berikut:

a. Kedudukan manusia di tengah lingkungan hidup

Tempat dan kedudukan manusia di tengah lingkungan hidup dapat dilihat dari dua segi.

1) Segi struktur perilaku dan kemampuan:

a) Tingkatan anorganik (benda mati): hanya memiliki berat dan gaya, bergerak bukan atas kemauan sendiri;

b) Tingkatan tumbuh-tumbuhan; sudah memiliki kehidupan untuk bertumbuh tetapi masih bergantung pada kekuatan di luar dirinya;

c) Tingkatan hewan: ada kehidupan dan pertumbuhan, ada semangat dan kehendak yang berdasarkan keteraturan (insting; naluri);

d) Tingkatan manusia: mempunyai kelengkapan sebagai makhluk hidup yang berkehendak dan berakal budi yang pada prinsipnya dapat berbuat menurut kemauan sendiri.

2) Kedudukan manusia dalam keseluruhan ekosistem

Manusia dan unsur-unsur lainnya memberi sumbangan kepada seluruh ekosistem dari tempatnya masing-masing dan dengan caranya yang khas.

Lingkungan Biotik

Lingkungan Abiotik Manusia

(34)

Keunggulan manusia yang memiliki akal budi bukan merupakan keunggulan yang harus dimanfaatkan demi diri sendiri saja melainkan juga yang harus diabdikan demi keseluruhan ekosistem. Oleh karena itu, dari gambar di atas dapat dilihat bahwa manusia berada di antara unsur-unsur lainnya. Unsur-unsur itu membentuk suatu lingkaran ekosistem yang berkaitan satu sama lain.

Berdasarkan dua teori di atas, dapat dilihat bahwa dalam hal perilaku dan kemampuan, kedudukan manusia memang lebih “tinggi” dari unsur-unsur lain yang ada di dunia ini. Perilaku dan kemampuan manusia ditempatkan dalam struktur tertinggi, karena akal budi yang dimiliki manusia tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Keunggulan manusia dalam bidang perilaku dan kemampuan ini tidak memberikan arti bahwa manusia merupakan pusat dari lingkungan hidup yang ada di sekitarnya, melainkan manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup. Dalam eksistensinya di jagat raya ini manusia merupakan bagian dari ekosistem atau lingkungan yang ada di sekitarnya. Selain itu, pada prinsipnya hidup manusia tergantung dari ekosistem yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, untuk menjamin keberlangsungan hidupnya, manusia diharapkan dapat memanfaatkan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya dalam prinsip keseimbangan ekosistem tersebut.

b. Pergumulan manusia di tengah lingkungan hidup

(35)

manusia hadir di bumi, karena dapat merugikan manusia. Terutama semenjak manusia hadir dan berperan di bumi, proses perubahan atau peristiwa alam pada permukaan bumi terjadi semakin kompleks. Kehadiran manusia di bumi ini menimbulkan semakin banyak masalah lingkungan hidup, pada akhirnya kerusakan lingkungan hidup ini mengancam hidup manusia sendiri dan pelbagai makhluk lainnya (Buntaran, 1996: 16).

Secara historis, pergumulan manusia di tengah lingkungan hidup yang ada di sekitarnya berkaitan langsung dengan pola ekonomi dan kebudayaan masyarakat tertentu (Buntaran, 1996: 17-21). Pola tersebut adalah sebagai berikut:

1) Masyarakat peramu

Pada masa ini, manusia memanfaatkan alam dengan cara sederhana yakni dengan berburu, memetik buah-buahan, dan mengumpulkan hasil hutan. Hidup manusia pada saat ini sangat ekologis, karena mereka sangat dekat dengan alam. Pada masa ini manusia masih sangat peka terhadap gejala-gejala alam yang terjadi di sekitarnya. Mereka tidak mengeksploitasi lingkungan hidup yang ada di sekitarnya dan pada saat-saat tertentu mereka membiarkan lingkungan hidup itu pulih kembali setelah dimanfaatkan.

2) Masyarakat peladang atau petani

(36)

revolusi yang menyangkut metode, teknik, peralatan, dan pengolahan hasil pertanian. Manusia juga mulai mampu mengolah energi alam, seperti: air dan angin untuk kepentingan pertanian. Revolusi di bidang pertanian ini memberikan banyak bahan makanan bagi manusia. Banyaknya bahan makanan ini membawa pengaruh pada pertambahan jumlah penduduk. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, manusia menyadari bahwa semakin banyak juga bahan makanan yang diperlukan untuk menunjang kehidupannya. Maka, manusia mulai membuka lahan secara besar-besaran dan tidak jarang terjadi kerusakan alam akibat manajemen pertanian yang buruk. Pada masa inilah manusia mulai menciptakan pola hidup yang merusak alam.

3) Masyarakat industri

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan manusia di bidang pertanian dan pelbagai bidang kehidupan lainnya. Manusia juga semakin berusaha mengubah dan menguasai alam dengan mengembangkan eksplorasi sumber daya alam. Hal ini terutama dimulai pada abad kedelapan belas yang ditandai dengan munculnya masyarakat industri. Pada masa ini manusia telah merintis suatu gerakan raksasa dalam penggunaan energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas bumi untuk produksi yang menghasilkan pelbagai barang industri. Peningkatan eksplorasi sumber daya alam pada masa ini telah menimbulkan banyak kerusakan di permukaan bumi yang sekaligus mengancam kehidupan semua makhluk yang tinggal di atasnya.

3. Beberapa Pandangan tentang Lingkungan Hidup

(37)

lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Dalam hal ini budaya cinta lingkungan hidup hendaknya sungguh dihayati secara utuh, baik secara pribadi maupun bersama-sama. Oleh karena itu, pelbagai pandangan tentang lingkungan hidup perlu dipahami, agar dapat diketahui sejauhmana pengaruh pandangan tersebut pada relasi antara manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami pandangan manusia tentang lingkungan hidup, akan dibahas tentang beberapa pandangan manusia tentang lingkungan hidup.

Dalam hubungan manusia dengan alam, menurut Pare (1992b: 70-72) ada tiga sikap manusia menanggapi dunia yaitu: sikap geosentris, antroposentris, dan biosentris. Sikap ini didasari oleh tiga pandangan manusia terhadap lingkungan hidup. Keraf (2002: 1) juga mengungkapkan bahwa ada tiga pandangan manusia terhadap lingkungan hidup yakni antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.

a. Antroposentrisme

(38)

mempertimbangkan kelestarian alam (Keraf, 2002: 33-35). Pada akhirnya sikap antroposentris ini telah mempengaruhi dan berakar pada manusia zaman modern sekarang ini, manusia angkuh dan merasa berhak menguasai lingkungan hidup yang ada di sekitarnya (Pare, 1992b: 71).

Pandangan manusia terhadap alam yang bersifat antroposentris menciptakan hubungan manusia dengan alam yang hanya didasarkan atas pemuasan kebutuhan manusia sesaat saja. Nilai alam dan lingkungan ditentukan secara sepihak oleh manusia, dengan pertimbangan bahwa alam bermanfaat atau tidak bagi hidupnya. Hubungan semacam ini cenderung bersifat negatif, karena alam tidak dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia, melainkan dianggap sebagai obyek kebutuhan manusia saja (Suprihadi Sastrosupeno, 1984: 75-78).

b. Biosentrisme

Biosentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang bahwa manusia mempunyai hubungan yang begitu erat dengan seluruh kosmos. Manusia dipandang sebagai salah satu organisme hidup dari alam semesta dan mempunyai rasa saling tergantung dengan penghuni alam semesta lainnya. Manusia tidak dipandang sebagai makhluk yang begitu agung yang berhak secara mutlak untuk mengatur dan menguasai alam. Manusia merupakan bagian dari alam semesta dan manusia adalah makhluk yang terbatas seperti makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini (Pare, 1992b: 72).

(39)

apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak. Pandangan ini mengklaim bahwa manusia mempunyai nilai moral dan berharga justru karena kehidupan dalam diri manusia bernilai pada dirinya sendiri. Hal ini juga berlaku bagi segala sesuatu yang hidup dan yang memberi serta menjamin kehidupan bagi makhluk hidup (Keraf, 2002: 49-50).

Pandangan biosentris memberikan kesadaran dalam diri manusia, bahwa dirinya bergantung sepenuhnya pada alam yang di sekitarnya. Dalam kondisi semacam ini terlihat bahwa alam menguasai manusia, karena secara jasmaniah manusia memang tidak bisa melepaskan diri dari keadaan alam di sekitarnya. Kondisi manusia yang tergantung dengan alam dapat dimaknai, bahwa hidup manusia ditentukan oleh alam. Segala tindakan dan kelakuan manusia tergantung di mana ia berada dan pola kelakuannya juga ditentukan oleh alam di sekitarnya. Manusia tidak bisa memilih jalan untuk menentukan hidupnya selain menyerah kepada alam. Hidup manusia terutama keterampilan dan pekerjaannya ditentukan oleh alam yang ada di sekitarnya. Dalam kenyataan ini hubungan antara manusia dengan alam menjadi pasif, manusia hanya berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi alam di sekitarnya saja (Suprihadi Sastrosupeno, 1984: 70-74).

b. Ekosentrisme

Ekosentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memusatkan perhatian pada keseluruhan komunitas ekologis, baik yang hidup dan tidak hidup. Hal ini didasarkan, karena secara ekologis makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait antara satu sama lain. Salah satu versi teori ekosentrisme adalah Deep

Ekologi (kepedulian lingkungan hidup yang dalam), teori ini dipelopori oleh Arne

(40)

manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya. DE memusatkan perhatian kepentingan jangka panjang yang menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis. DE merupakan etika yang bernilai praktis, sebagai sebuah gerakan yang bersifat komprehensif dan konkret. DE menuntut dan menghimpun semua orang yang mempunyai sikap dan keyakinan yang sama dalam sebuah gerakan atau gaya hidup yang selaras dengan alam untuk memperjuangkan isu lingkungan hidup dan politik (Keraf, 2002: 75-77). DE memberikan kesadaran kepada manusia bahwa dirinya bukan penguasa dan bukan pula pusat alam semesta, karena keberadaan manusia terkait dan berhubungan dengan hukum saling ketergantungan dengan alam semesta yang ada di sekitarnya (Chang, 2001: 77).

Pandangan ekosentris menciptakan hubungan persahabatan antara alam dan manusia. Prinsip persahabatan dengan alam merupakan pilihan terbaik yang harus dilakukan, karena dalam prinsip ini manusia menempatkan dirinya sebagai unsur yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan unsur alam lainnya. Alam dan manusia ditempatkan secara sejajar sebagai sesama makhluk yang saling membutuhkan. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, manusia memang memerlukan alam untuk menunjang keberlangsungan dan kenyamanan hidupnya, namun manusia tidak perlu menguras dan merusaknya.

(41)

yang menempatkan manusia dan alam pada tempat semula ketika manusia diciptakan sebagai mandataris Tuhan di dunia ini (Suprihadi Sastrosupeno, 1984: 79-83).

Cara pandang ekosentris sering juga dikenal dengan istilah geosentrisme, di mana pandangan ini didasarkan pada prinsip mutualisme atau kesalingtergantungan antar organisme. Manusia menyadari ketergantungannya dengan alam yang ada di sekitarnya. Keberadaan alam bukan hanya merupakan bagian dari manusia, melainkan manusia pun merupakan bagian integral dari alam (Pare, 1992b: 70-71).

d. Pandangan Gereja tentang lingkungan hidup

Pandangan Gereja tentang lingkungan hidup terangkum dalam pandangan Gereja terhadap dunia (Buntaran, 1996: 49-55). Pandangan ini muncul berdasarkan Kitab Suci baik Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Kitab Suci Perjanjian Baru. Selanjutnya Gereja mengeluarkan pandangan-pandangannya tentang lingkungan hidup dalam Ajaran Sosial Gereja, di mana pada dasarnya pandangan-pandangan yang ada dalam Ajaran Sosial Gereja ini diilhami oleh Kitab Suci. Munculnya Ajaran Sosial Gereja ini didorong oleh kesadaran untuk menghayati Injil yang sesuai dengan keprihatinan yang terjadi di tengah hidup umat manusia saat ini, dalam hal ini adalah krisis lingkungan hidup. Oleh karena itu, akan dibahas pandangan Gereja tentang lingkungan hidup berdasarkan Kitab Suci dan Ajaran Sosial Gereja.

1) Pandangan Gereja tentang lingkungan hidup berdasarkan Kitab Suci

(42)

Kitab Suci tidak secara eksplisit mengupas tentang gejala-gejala alam semesta. Para penulis Kitab Suci tidak menggunakan bahasa yang khas tentang ilmu alam, melainkan menempatkan manusia pada kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang hidup bersama makhluk ciptaan lain (Chang, 2001: 46). Walaupun Kitab Suci tidak membahas masalah lingkungan hidup secara ilmiah, namun para penulis Kitab Suci telah melukiskan keberadaan segala ciptaan dalam hubungannya dengan sabda Tuhan.

a) Kitab Suci Perjanjian Lama

Dalam PL, kosmos dipandang sebagai yang berbeda dari Tuhan. Dunia dilukiskan sebagai suatu keadaan dengan keindahan yang tidak sanggup diungkapkan secara penuh oleh gaya sastra mazmur dan kebijaksanaan. Kosmos adalah segala kandungan yang diciptakan melalui sabda Tuhan. Gagasan ini adalah ajaran iman yang kebenarannya terus-menerus dipertegas ketika manusia u berhadapan dengan rangkaian percobaan baru (Chang, 2001: 47).

(43)

Kisah Penciptaan (Kej 1-2) mengungkapkan beberapa kesadaran bangsa Israel bahwa Allah mengubah kekacauan atau ketidakteraturan asali (khaos) menjadi kehidupan dan keteraturan (kosmos). Selain itu kisah penciptaan yang diungkapkan dalam Kitab Kejadian menunjukkan bahwa manusia mendapat kepercayaan dari Tuhan menjadi wakil-Nya di bumi. Tuhan telah memberikan kepercayaan kepada umat manusia untuk menjaga, memelihara dan mengelola dunia ciptaan supaya tetap dalam keadaan baik (Buntaran, 1996: 47).

Selain pada Kitab Kejadian, gagasan tentang kosmos juga diungkapkan dalam Kitab Mazmur. Doa-doa bangsa Israel dalam Kitab Mazmur mencerminkan kedekatan hidup mereka dengan makhluk ciptaan, seperti dengan keindahan matahari yang merupakan simbol kekuasaan ilahi. Kosmos yang dilukiskan dalam Kitab Mazmur adalah dunia yang bermakna, seperti penjelmaan makna yang diberikan Tuhan melalui sabda-Nya yang mencipta. Tiap benda adalah buah sabda Tuhan. Oleh karena itu, ciptaan membawa makna dalam dirinya (Chang, 2001: 5).

Allah telah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk memelihara bumi ini sesuai dengan rencana-Nya. Kepercayaan yang diberikan oleh Allah itu merupakan tanggungjawab manusia. Manusia hidup bersama makhluk ciptaan Allah lainnya dalam satu komunitas di bumi, maka manusia harus mengupayakan relasi yang baik dengan lingkungan hidup di sekitarnya.

b) Kitab Suci Perjanjian Baru

(44)

tentang kosmos dalam PB dipandang sebagai sarana untuk pewartaan Injil. PB tidak berbicara tentang kosmos dalam dirinya sebagai benda belaka, namun pembicaraan tentang kosmos dikaitkan dengan dunia manusia, tempat manusia bertindak dan melakukan sesuatu secara bertanggung jawab (Chang, 2001: 51).

Menurut Paulus, yang dimaksudkan dengan kosmos adalah segala sesuatu yang bukan Tuhan, yakni alam semesta (universum). Kosmos mencakup semua benda (Rm 11: 36); ini mencakup kemanusiaan yang dilukiskan sebagai alam semesta (Gal 3: 22); kosmos mencakup kekuasaan ilahi (1 Kor 8:4). Kosmos adalah ruang yang meliputi semua yang berada di luar Tuhan. Bagi Paulus secara pribadi kosmos tidak mempunyai arti keteraturan, karena dunia telah kehilangan keseimbangan dan keserasiannya (Chang, 2001: 52).

(45)

semua yang diciptakan itu baik dan dikuduskan oleh firman Allah. Orang Kristen bertugas untuk bertindak sesuai kehendak Tuhan dengan memandang dunia seperti yang dilakukan oleh Allah.

Alam semesta merupakan lambang kehendak baik Allah kepada manusia. Allah memulai karya penyelamatan dari peristiwa penciptaan dengan perantaraan sabda-Nya. Dalam diri Sang Sabda itulah karya keselamatan Allah berlangsung terus-menerus sepanjang sejarah, sampai memuncak dan terpenuhi dalam karya penebusan Kristus. Dalam penciptaan termuat pengharapan, maka dapat disimpulkan bahwa masih tampak perwujudan pengharapan segala makhluk ciptaan Tuhan akan pemulihan citra ilahi anak-anak Allah dalam hubungan dengan dunia alam semesta (Buntaran, 1996: 48).

2) Pandangan Gereja tentang lingkungan hidup dalam Ajaran Sosial Gereja

(46)

Pandangan pimpinan Gereja Katolik tentang lingkungan hidup yang telah dirintis sejak kepemimpinan paus Paulus VI, kemudian terungkap secara jelas sesudah Konsili Vatikan II. Pandangan Gereja Katolik terhadap lingkungan hidup dapat ditemukan di dalam pesan-pesan paus Yohanes Paulus II. Perhatian paus Yohanes Paulus II terhadap krisis lingkungan hidup tertuang dalam beberapa ajaran sosial gereja yakni Sollicitudo Rei Socialis, Laborem Exercens dan Centesimus

Annus (Purwo Hardiwardoyo, 2006: 52-54).

Dalam ajaran sosial gereja Sollicitudo Rei Socialis yang merupakan peringatan 20 tahun ensiklik Populorum Progressio, paus Yohanes Paulus II mengingatkan pentingnya kesadaran yang lebih mantap tentang batas-batas dari sumber daya alam dan perlunya penghormatan pada keutuhan alam (SRS, art. 26). Paus juga mengungkapkan tiga pertimbangan tentang perlunya sikap hormat terhadap ciptaan dalam perkembangan IPTEK bangsa-bangsa. Pertimbangan tersebut meliputi: pertama, tidak layaknya manusia menggunakan makhluk ciptaan lain semau sendiri; kedua, sumber daya alam terbatas, maka kesewenang-wenangan dalam penggunaan sumber daya alam akan membahayakan persediaannya, khususnya bagi generasi yang akan datang; ketiga, dampak langsung atau tidak langsung dari industri ialah pencemaran lingkungan hidup yang dapat membahayakan kesehatan penduduk (SRS, art. 34).

(47)

ekonomistis yang mengejar penimbunan harta benda, kelimpahan, konsumerisme, materialisme dan pelbagai ketidakpuasan dalam diri manusia. Paus mendorong semua orang menggalang kekuatan menghadapi krisis ini. Secara khusus orang katolik diingatkan bahwa mereka wajib menjaga semua ciptaan berdasarkan kepercayaan akan Tuhan sebagai pencipta (SRS, art. 34).

Paus Yohanes Paulus II dalam dokumen Laborem Exercens yang menyoroti masalah kerja manusia, kembali mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan dunia dan perlindungan terhadap alam. Paus mengakui bahwa salah satu dari beberapa kenyataan positif dalam masyarakat moderen adalah berkembangnya kesadaran bahwa warisan alam ini terbatas dan sedang mengalami pencemaran yang tidak boleh dibiarkan lagi (LE, art. 1).

Selanjutnya paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa masalah lingkungan hidup kian berat. Paus mengkritik sikap manusia yang serakah dan boros dalam memanfaatkan kekayaan alam (CA, art. 38). Manusia seharusnya menjadi kolaborator Tuhan dan bukan menggantikan kedudukan dan peran Tuhan. Beliau juga berbicara tentang tanggungjawab manusia dalam perlindungan dan penyelamatan ekologi, melindungi jenis-jenis hewan yang terancam punah dan keseimbangan umum bumi (Chang, 2001: 65).

(48)

bukannya dirusak atau dieskploitasi. Untuk mengetahui keadaan lingkungan hidup ini, pertama-tama akan disajikan tentang keadaan lingkungan hidup di Keuskupan Agung, kemudian krisis lingkungan hidup yang terjadi di Keuskupan Agung Pontianak.

1. Keadaan Geografis Keuskupan Agung Pontianak

Keuskupan Agung Pontianak terletak di propinsi Kalimantan Barat. Keuskupan ini meliputi kota madya Pontianak, kota Singkawang, kabupaten Pontianak, kabupaten Sambas, dan kabupaten Bengkayang. Posisi teritorial Keuskupan Agung Pontianak secara umum berada dari ujung pantai Barat propinsi Kalimantan Barat membentang ke pantai Utara sampai tanjung Datuk (perbatasan Malaysia Timur atau Serawak). Luas Keuskupan Agung Pontianak kurang lebih 37.000 km² [Lamp. 2: (4)]. Keuskupan ini memiliki 19 paroki yang tersebar di daerah pesisir pantai dan pedalaman (Hasto Rosariyanto ed., 2001: 220-221). Jumlah umat Katolik di Keuskupan Agung Pontianak pada tahun 2003 mencapai 242.853 jiwa.

(49)

Keadaan hutan di Keuskupan Agung Pontianak masuk ke dalam golongan hutan tropis yang dibagi lagi dalam beberapa formasi yaitu: hutan payau, hutan nipah, hutan rawa, hutan bukit-bukit, belukar dan hutan gunung. Keuskupan Agung Pontianak merupakan daerah yang mengandung banyak hujan. Rata-rata hujan setiap bulan 100-350 mm, di mana pada bulan Januari – Februari dan Juni curah hujan sangat sedikit. Bahan tambang yang banyak ditemukan adalah emas, intan, kaolin, batubara, dan bauksit (Nila Riwut ed., 2003: 3-8).

Menurut data yang dikeluarkan Pemda Kalbar 1996, luas hutan yang ada di Kalbar adalah 9.204.425 ha atau sekitar 67% dari luas wilayahnya. Sisanya kawasan non hutan 33% digunakan untuk pelbagai kepentingan, seperti pemukiman, jalan dan lahan pertanian. Potensi lahan yang tersedia di Kalimantan Barat memang cukup luas, baik untuk pertanian tanaman pangan lahan kering 1.500.000 ha, lahan basah (sawah) pada daerah cekungan dan lahan untuk perkebunan 2.300.000 ha, lahan penggembalaan ternak 2.700.000 ha dan lahan untuk pertambakan 13.000.000 ha. Sebagian besar tanahnya merupakan tanah yang sangat rendah tingkat kesuburannya, karena memiliki kandungan yang asam yang tinggi. Struktur dan tekstur tanah yang kurang baik ini membuat tanahnya mudah tererosi dengan topografi yang bergelombang hingga berbukit-bukit (Andasputra & Jueng ed., 1996: 73).

2. Pola Pengelolaan Hutan dan Penyelamatan Keanekaragaman Hayati dalam Tradisi Masyarakat Adat Dayak di Keuskupan Agung Pontianak

(50)

nilai dan tradisi sehari-hari. Menurut Surjani (1996: 15-22), ada beberapa pola pengelolaan hutan dan penyelamatan keanekaragaman hayati dalam masyarakat dayak di Kalimantan Barat. Pola pengelolaan hutan ini menunjukkan bahwa masyarakat Dayak telah memiliki tradisi dalam melestarikan lingkungan hidup yang ada di sekitar mereka.

a. Kearifan masyarakat adat Dayak dalam mengelola hutan

Peran serta masyarakat adat di Kalimantan Barat dalam mengelola hutan dan menyelamatkan keanekaragaman hayati sudah dilakukan sejak dahulu. Hal ini terbukti dengan keberadaan kawasan hutan lindung yang dikukuhkan dengan hukum adat setempat. Tradisi pengelolaan hutan ini telah diwariskan secara turun-temurun, sehingga masyarakat adat menyadari bahwa alam merupakan bagian dari diri mereka. Warisan ini dijadikan motivasi dan komitmen untuk menciptakan aturan-aturan yang menata kehidupan sehari-hari orang Dayak, termasuk tata cara masyarakat adat berperilaku terhadap alam.

(51)

b. Persepsi masyarakat adat Dayak mengenai hutan

Bagi masyarakat adat Dayak, hutan adalah suatu kawasan atau kumpulan tumbuhan yang tumbuh alami (hutan alam) maupun kawasan yang ditanami tumbuhan yang diinginkan (hutan modifikasi) yang menjadi penopang seluruh aspek kehidupan. Masyarakat Dayak Kanayatn (merupakan penduduk mayoritas yang tinggal di Keuskupan Agung Pontianak) mengklasifikasikan 3 jenis hutan, yaitu: tembawang, udas dan hutan garapan. Pertama, Tembawang artinya bekas perkampungan yang sudah lama tidak dihuni lagi (ditinggalkan). Hutan tembawang dalam masyarakat Dayak merupakan sebuah kawasan yang banyak ditumbuhi beraneka ragam jenis buah-buahan, baik itu yang sengaja ditanam oleh para leluhur mereka maupun tumbuh secara alami. Di kawasan ini tumbuh tanaman buah-buahan dan tumbuhan lain yang dilindungi dengan hukum adat. Kedua, udas adalah sebuah kawasan tumbuhan, yang pohonnya belum pernah ditebang atau belum mengalami gangguan serius. Udas juga sering dinamakan dengan hutan tua. Ketiga, hutan garapan yaitu kawasan hutan yang biasa digunakan oleh masyarakat dayak untuk bercocok tanam atau kebun.

(52)

c. Perladangan dalam masyarakat adat Dayak

Masyarakat adat Dayak sering membuka ladang secara berpindah. Sistem ladang berpindah ini bertujuan agar kesuburan lahan yang telah diladangi dapat pulih kembali. Bagi masyarakat Dayak, perladangan semacam ini sering disebut dengan perladangan daur ulang. Sistem ladang berpindah yang dilakukan masyarakat Dayak ini sering menimbulkan opini yang negatif bagi pihak lain. Masyarakat Dayak sering dipandang sebagai perusak hutan, karena sering melakukan ladang berpindah. Sebernarnya kegiatan perladangan berpindah ini mempunyai banyak manfaat dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat Dayak. Pertama, merupakan salah satu sumber pemenuhan kebutuhan pangan. Kedua, Masyarakat dayak mempunyai tradisi dalam membuka hutan yang diwariskan secara turun temurun. Perladangan adalah usaha untuk memelihara tradisi, karena hampir seluruh aspek budaya Dayak bersumber pada sistem perladangan.

(53)

budaya yang memelihara eksistensi masyarakat adat Dayak itu sendiri, sebagai masyarakat yang beradab dan mempunyai kekayaan kebijaksanan warisan nenek moyang mereka. Oleh karena itu, upaya pelestarian budaya masyarakat Dayak dalam menjaga keutuhan alam akan memberikan kontribusi yang penting dalam menghadapi krisis lingkungan hidup di Keuskupan Agung Pontianak.

d. Nilai alam bagi masyarakat adat Dayak

Bagi masyarakat adat Dayak yang ada di Keuskupan Agung Pontianak, fenomena kehancuran alam yang terjadi sekarang ini merupakan awal kehancuran total (genocide). Keberadaan alam terutama hutan, tanah, dan sungai adalah tiga elemen utama yang memungkinkan orang Dayak untuk tetap eksis. Ketiga elemen alam ini telah membentuk identitas tersendiri yang melahirkan “orang Dayak” atau “budaya Dayak”. Ketiga elemen di atas merupakan penopang dan sekaligus identitas yang menentukan harkat dan martabat hidup orang Dayak.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak memandang bahwa alam beserta unsur-unsurnya sangat diperlukan untuk dapat menjaga eksistensi budayanya. Upacara-upacara adat, ritual, dan kepercayaan orang Dayak berhubungan erat dengan alam yang ada di sekitarnya. Kehadiran alam, terutama hutan beserta isinya bagi masyarakat Dayak bukan hanya bernilai ekonomis, tetapi lebih bernilai sosial budaya (Atok ed., 1998: 23-24).

(54)

mereka bersemayam. Oleh karena itu, keberadaan hutan juga berhubungan erat dengan kehidupan spiritual masyarakat adat Dayak (Edi Petebang, 1999a: 8)

3. Kerusakan Lingkungan Hidup di Keuskupan Agung Pontianak

Di Keuskupan Agung Pontianak sumber daya alam dinilai sebagai potensi yang menghasilkan pemasukan besar dalam pembangunan. Bersamaan dengan itu, terjadi pula kerusakan alam yang disebabkan dari kegiatan pembabatan hutan terutama oleh perusahaan-perusahahan HPH, HTI, dan pertambangan emas liar. Kondisi semacam ini diperburuk lagi oleh limbah-limbah perindustrian yang mengolah produk kehutanan, perkebunan dan pertambangan tersebut yang dibuang secara sembarangan.

Kerusakan lingkungan hidup di Keuskupan Agung Pontianak terutama meliputi dua bagian yaitu: kerusakan sungai dan kerusakan hutan. Berikut ini akan diuraikan mengenai kedua pokok masalah tersebut.

a. Kerusakan Sungai

(55)

1) Pendangkalan Sungai

Di Kalimantan Barat, telah terjadi pendangkalan sungai Kapuas sebagai akibat sendimentasi karena kurangnya vegetasi hutan. Sejumlah pejabat daerah di Kalbar menuding bahwa rusaknya vegetasi hutan di Kalbar disebabkan oleh masyarakat peladang yang telah membabat hutan. Pendapat para pejabat ini, kemudian dibantah oleh Soemarsono Suryoprojo, presidium Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar. Menurutnya, masyarakat peladang sangat kecil kontribusinya terhadap kerusakan lingkungan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Sandra Moniaga, SH., Koordinator Pengembangan Hukum Lingkungan Sekretariat WALHI. Beliau menyatakan bahwa:

Pendangkalan air sungai, baik karena penyusutan volume air maupun karena pengendapan air lumpur, bukan disebabkan oleh peladang berpindah, melainkan oleh beroperasinya perusahaan-perusahaan HPH, pertambangan, proyek perkebunan, pengembangan pemukiman dan proyek-proyek HTI (Andasputra & Djueng ed., 1996: 52).

(56)

2) Pencemaran sungai

Selain pendangkalan sungai, masalah kerusakan sungai yang terjadi adalah tercemarnya beberapa sungai di Keuskupan Agung Pontianak oleh bahan kimia. Salah satu contoh kasus pencemaran sungai di Keuskupan Agung Pontianak dapat dilihat dari tercemarnya sungai yang berada di Kecamatan Mandor. Mandor merupakan salah satu tempat wisata yang berada di Kabupaten Pontianak. Dahulu, hampir setiap hari kawasan wisata alam sungai Mandor dikunjungi oleh para wisatawan yang ingin mandi menikmati dingin dan beningnya air bebatuan di sana. Bagi masyarakat setempat, air sungai Mandor ini menjadi satu-satunya sumber air bersih untuk kebutuhan rumah tangga. Keadaan semacam ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang merindukan suasana alam yang dilatarbelakangi kehidupan alam pedesaan yang asri dengan adat-istiadat masyarakat pedalaman.

Setelah kegiatan pertambangan emas liar beroperasi di sepanjang sungai Mandor, kini yang tampak hanya kegersangan dan tidak ada kehidupan biota sungai Mandor yang patut dibanggakan lagi. Warna airnya keruh, sepekat tanah liat. Penduduk yang dulunya menggantungkan sumber air bersih dari sungai kini menggali sumur untuk bisa mendapatkan air bersih. Ada juga penduduk yang membeli tong atau drum bekas untuk menadah air hujan. Bagi kaum perempuan, ada sesuatu yang hilang. Mereka tidak bisa lagi mencuci dan mandi di sungai, karena di tempat itulah mereka saling berbagi cerita dan rasa. Sedangkan bagi anak-anak, semakin sempit ruang gerak bermainnya, karena sungai tempat mereka oceng

(57)

terjadi di Keuskupan Agung Pontianak yang disebabkan oleh kegiatan penambangan emas. Ada dugaan bahwa limbah air raksa (Mercury) yang digunakan untuk meleburkan emas dibuang ke sungai itu juga, padahal air raksa merupakan zat yang berbahaya (Andasputra ed., 1999: 39-40).

Selanjutnya Ryo (2006, 15) mengungkapkan bahwa “Sejumlah sungai di Kalimantan Barat tercemar Merkuri”. Hal ini disebabkan karena penambangan emas tanpa ijin oleh penambang tradisional. Dalam jangka panjang, pencemaran ini akan menyebabkan degradasi kualitas lingkungan yang mengakibatkan penurunan populasi ikan dan terakumulasinya unsur kimia pada manusia. Menurut Tri Budiarto Kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalimantan Barat “Kami menemukan beberapa titik di sejumlah sungai di Kalimantan Barat tercemar merkuri. Pemerintah daerah harus segera meneliti. Apalagi, merkuri sangat berbahaya bukan saja bagi satwa, tetapi juga manusia”. Diungkapkan juga bahwa beberapa sungai yang kandungan merkurinya di atas ambang batas yaitu sungai Mandor, Perabi, Landak, dan sungai Kapuas. Sungai-sungai ini berada di wilayah Keuskupan Agung Pontianak.

(58)

b. Kerusakan Hutan

Kasus kerusakan hutan di Keuskupan Agung Pontianak, dapat dilihat dari adanya fakta penyusutan luas area hutan di Kalimantan Barat pada tahun 1998 dan 2002 yang cukup signifikan.

Penyusutan kawasan hutan di Kalimantan Barat

No Kelompok Hutan Thn 1998 (Ha) Thn 2002 (Ha)

1 Hutan lahan kering primer 1.873.767 1.362.166

2 Hutan lahan kering sekunder 2.024.234 2.247.746

3 Hutan pegununan 24.553 22.616

4 Hutan mangrove 188.592 136.999

(Indil, 2004: 10) Dari kenyataan di atas dapat diketahui bahwa penyusutan hutan di Kalimantan Barat dari tahun 1998-2002 adalah 565.131 ha. Penyusutan hutan di atas terutama disebabkan dari kegiatan pembukaan lahan perkebunan oleh perusahaan HTI dan penebangan kayu oleh perusahaan HPH [(Lamp. 3: (5)].

1) Kerusakan hutan akibat proyek perusahaan HTI

Di Kalimantan Barat banyak perusahaan yang membuka lahan untuk proyek penanaman kelapa sawit. Sering kali dijumpai kasus perambahan hutan lindung milik masyarakat sebagai proyek perusahaan HTI. Keadaan semacam ini tentu membuat banyak kawasan hutan lindung di Kalimantan Barat menjadi rusak. Selain masalah rusaknya hutan, proyek perusahaan HTI juga menimbulkan masalah lain yakni masalah kabut asap dan lebih parah lagi adalah kebakaran hutan (terutama hutan lindung) yang tidak terkendali akibat mekanisme pembersihan lahan yang buruk.

(59)

Kalimantan Barat, khususnya di Keuskupan Agung Pontianak. Sejak tahun 1991, hampir setiap akhir bulan Juli sampai Oktober warga Kalimantan Barat dibuat resah oleh kabut asap. Kabut asap yang menyelimuti kota Pontianak membuat terhambatnya dunia penerbangan. Selain itu, dampak yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat adalah cuaca yang tidak mengenakan, mata terasa perih dan nafas sesak. Dampak kabut asap ini juga dirasakan oleh warga Indonesia lainnya, bahkan negara Malaysia, Brunei, dan Singapura memprotes Indonesia karena kabut asap tersebut.

Kebakaran hutan, kabut asap dan kemarau merupakan simbol nyata kehancuran lingkungan hidup di Keuskupan Agung Pontianak. Kabut asap menjadi pengganti embun pagi di bumi Katulistiwa. Banyak pihak yang saling menuding tentang aktor pelaku kabut asap tersebut. Para peladanglah yang sering dituding sebagai penyebab utamanya, padahal pembakaran ratusan ribu hektar hutan oleh perusahaan didiamkan saja. Di Kalimantan Barat banyak perusahaan yang mengusahakan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar. Perkebunan kelapa sawit menjadi primadona Kalimantan Barat, sehingga hampir semua Kabupatennya dapat ditemukan hamparan perkebunan sawit yang luas.

(60)

Banyak perusahaan yang melakukan pembersihan lahan (land clearing) untuk lokasi pembangunan perkebunan besar, seperti perkebunan kelapa sawit, karet, dan tanaman industri lainnya. Sarwono menyarankan alternatif baru dalam pembersihan lahan yakni dengan metode Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) caranya: semak belukar atau pohon yang ditebang ditambah zat adiktif, lalu dipendam dalam tanah menjadi kompos (Andasputra ed., 1999: 44-47).

(61)

Berdasarkan kenyataan di atas, dapat disadari bahwa tudingan mengenai para peladang tradisional sebagai aktor penyebab kebakaran hutan dan kabut asap di Keuskupan Agung Pontianak bersifat keliru. Dalam pengolahan lahan, para peladang tradisional tidak melakukan pembakaran pada areal yang luas seperti perusahaan-perusahaan perkebunan. Perusahaan-perusahaan-perusahaan perkebunan melakukan pembakaran ratusan bahkan ribuan hektar. Kalaupun para peladang tradisional melakukan pembakaran ladang, para peladang tradisional (Dayak) memiliki manajemen pembakaran ladang tersendiri. Managemen ini diwariskan secara turun temurun atas dasar pengalaman hidup masyarakat Dayak.

Pembakaran ladang oleh masyarakat Dayak mempertimbangkan sejumlah faktor seperti arah dan kekencangan angin yang masing-masing berbeda pada saat pagi, siang, dan sore. Sebelum ladang dibakar telah dibuat jalur pengamanan api

(piadang) agar api tidak merambah ke hutan sekitarnya. Jika api merambah, mungkin

akan menghabiskan kebun atau hutan di sekitarnya. Selain itu, api juga dapat melahap tanah keramat atau tanah perkuburan. Jika tanah keramat tersebut terbakar, maka peladang akan dihukum secara adat dan menanggung resiko dari perbuatannya, misalnya mengalami sakit tertentu dan ladangnya tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Situasi seperti ini memang sulit dipahami secara ilmiah, tetapi inilah kepercayaan masyarakat adat Dayak dalam mempertahankan keharmonisan hubungan mereka dengan alam yang telah berlangsung selama berabad-abad (Andasputra & Djuweng ed., 1996: xii).

(62)

terjadinya kabut asap dan kebakaran hutan. Masalah kabut asap dan kebakaran hutan yang tidak terkendali baru muncul ketika banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit hadir di bumi Kalimantan Barat, sementara masyarakat Dayak telah berladang selama berabad-abad dan baru satu dekade terakhir ini masalah kabut melanda bumi khatulistiwa dan sekitarnya.

2) Kerusakan Hutan Akibat Penebangan Kayu

Masalah kerusakan hutan di Keukupan Agung Pontianak bukan hanya disebabkan dari pembukaan lahan perkebunan oleh perusahaan HTI. Kerusakan hutan di Kalimantan juga disebabkan oleh kegiatan penebangan kayu oleh masyarakat dan perusahaan HPH. Penebangan kayu di bumi Kalimantan membabi buta, baik secara illegal logging maupun legal loging. Setiap hari beratus-ratus truk perampok (illegal) dan pengusaha ala “legalisasi” pemerintah regional, atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD) telah mengambil kayu yang ada di bumi Kalimantan. Pengambilan kayu ini telah memporak-porandakan ekosistem tanah, air, hutan. Sebagai akibatnya, keberadaan masyarakat adat turut terancam.

(63)

Perusahaan HPH beroperasi di Kalimantan Barat sejak tahun 1968. Pada waktu itu ada 75 perusahaan HPH diberi ijin untuk mengambil kayu yang ada di Kalimantan Barat. Pada tahun 1967 luas hutan di Kalimantan B

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dapat digunakan mengendalikan dari jarak jauh khususnya tegangan yang dapat menaikkan dan menurunkan tap-tap pada trafo yang memiliki 12 tap tegangan

Pelajari terus sampai hapal di luar kepala (misalnya Anda tidak perlu membalik kartu untuk mengetahui artinya, atau Anda mengetahui bahasa Inggris suatu kata

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 40 ibu didapatkan hasil bahwa sikap ibu tentang ketepatan imunisasi polio pada bayi di Posyandu RW 10 Kampung Banteng Kota

Harga minyak turun hampir dua persen pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), karena investor fokus pa- da pembengkakan pasokan minyak mentah global, yang meningkat lebih

Peningkatan konsentrasi larutan NaCl 0,1% sudah dapat memberikan perbedaan nyata terhadap WHC pada bubur daging II karena semakin tinggi konsentrasi larutan NaCl pada

Siswa mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu; (2) Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika

Moleong, L. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wawasan Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit Marja. Standar Kompetensi dan

As stated earlier, it was predicted that employees who received neither OFJT nor refresher training and possessed more education would be more satisfied, paid higher