• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar Lagi Menjadi Modern

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID (Halaman 181-185)

D. KEISLAMAN DALAM TANTANGAN MODERNITAS 1. Pendahuluan: Tugas Suci sebagai Saksi Tuhan di Bumi

5. Belajar Lagi Menjadi Modern

Seringkali istilah modern” dipakai dalam pembicaraan tentang persoalan Islam dan dunia modern ini, misalnya pada perkataan “modernisme Islam”—sebuah disiplin yang mengacu pada pembicaraan pemikiran dan gerakan Islam modern. Tetapi dalam konteks ini, Cak Nur lebih menyukai penggunaan istilah “modernitas”. Orang Islam, menurutnya harus mene-rima modernitas, tetapi tidak modernisme.264

Persis dalam soal modernitas inilah seringkali dipersoalkan tentang ada-nya kesan yang sangat kuat bahwa Islam tidak cocok dengan modernitas.

Sebabnya kalau modernitas dipahami dalam kenyataan sehari-hari, yang sekarang menjadi kenyataan ekonomi, sosial, dan politik maka bangsa-bangsa yang paling modern adalah—seperti diungkap dalam sebuah entri—bangsa-bangsa Anglo-Saxon, bangsa-bangsa Eropa Utara, yaitu Jerman atau bangsa-bangsa Skandinavia, Inggris, dan keturunan mereka di Amerika Utara (AS dan Kanada), serta di Australia dan Selandia Baru. Mereka inilah, menurut Cak Nur, bangsa yang paling modern di muka bumi, dan kalau boleh diranking berdasarkan agama, maka agama mereka adalah Protestan.

Yang kedua paling modern—masih dalam intern Kristiani—adalah bangsa-bangsa Eropa Mediteranian, seperti Prancis, Italia, dan sebagainya. Sementara itu, Spanyol dan Portugis tidak bisa dimasukkan ke dalamnya, sebabnya keduanya sampai sekarang masih mempunyai ciri sebagai negara Eropa yang belum semodern negara-negara Eropa Barat.

Menurut Cak Nur, yang segera menyusul menjadi modern, setelah bangsa-bangsa Barat sendiri, bukanlah sesama bangsa kulit putih seperti Bangsa Eropa Timur, tetapi justru Jepang. Inilah bangsa non-Barat yang pertama kali menjadi modern. Sehingga Jepang disebut oleh Cak Nur se-bagai “The Non-Western Modernity.” Dengan contoh Jepang, menurut Cak Nur maka satu tesis yang sangat penting telah dibenarkan, yaitu bahwa modernitas bukanlah “kebaratan”, melainkan sesuatu yang universal, yang bisa dipakai oleh siapa saja, termasuk bangsa-bangsa Timur Jauh.265 Tesis ini sangat penting untuk menolak anggapan adanya kaitan yang tak ter-pisahkan antara menjadi modern dan menjadi Barat. Dengan begitu pun, suatu bangsa misalnya yang beragama Islam, bisa menjadi modern. Tanpa harus menjadi Barat. Dan untuk ini umat Islam perlu belajar dari Jepang, sebabnya dewasa ini orang Jepang berada di urutan ketiga dalam jajaran negara-negara paling modern.

Kemudian disusul oleh orang-orang bangsa Slavia (orang-orang Eropa Timur yang beragama Kristen (Katolik) dan Yunani (Ortodok). Kemudian yang muncul sebagai bangsa-bangsa yang paling modern selanjutnya adalah negara-negara Industri Baru (New Industrialized Countries—NIC’s) yang oleh pers Barat dulu sering dijuluki “Little Dragon”, yaitu Korea Selatan,

Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Dan dasar etik mereka, paling tidak menurut Lee Kwan Yew, adalah berasal dari Konfusianisme. Lee Kwan Yew menyebutnya “Asia Values”, tapi yang dia maksudkan dengan itu ialah Konfusianisme. Sementara itu, kalau diurut terus, menurut Cak Nur, India ternyata lebih maju dibanding negara mana pun.266 Dan pada urutan ber-ikutnya adalah (baru) negara-negara Islam. Menurut Cak Nur, meskipun urutannya ada di belakang, tidak berarti bahwa negara-negara Islam itu paling miskin. Beberapa negara (seperti negara-negara Arab di Teluk), justru luar biasa kaya. Tetapi kekayaan mereka (yang karena minyak) itu ibaratnya ditemukan “di belakang rumah”. Dan itu masih akan berlangsung satu-dua generasi. Artinya, belum mempunyai dampak yang nyata di dalam soal kemajuan iptek.

Walaupun, menurut Cak Nur, Sekarang ini memang sudah terlihat penggunaan yang bijaksana dari kekayaan dari minyak tersebut, untuk disebut sebagai negara modern, mereka masih belum bisa, kecuali ke-modernan dalam arti lahiriah seperti bangunan-bangunan. Di Arab Saudi, misalnya, menurut Cak Nur, yang “paling halal” barangkali ialah teknologi. Sementara itu ilmu-ilmu sosial, apalagi filsafat, masih dianggap “haram.” Ini menunjukkan bahwa memang masih ada kepincangan-kepicangan yang besar pada umat Islam.

Karena itu, melihat fenomena ini bagaimanakah sikap orang Islam menghadapi fenomena kemodernan sekarang ini? Menurut Cak Nur, se-benarnya sudah banyak usaha-usaha untuk melakukan modernisasi di ka-langan Islam, termasuk yang diusahakan oleh Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla, dan Kemal Attaturk, Mohamad Iqbal, dan sebagainya, dari kalangan yang disebut modernis Islam.267 Tapi walaupun sudah di usahakan sejak akhir abad lalu, sampai sekarang umat Islam belum berhasil menjadi negara modern. Dalam penilaian Cak Nur, ini disebabkan karena kemodernan itu

tidak tumbuh secara organik dari keislaman itu sendiri (yang kesadaran

ini-lah menjadikan Cak Nur menggeluti soal dasar-dasar teologis agar umat Islam menjadi modern,268 seperti tertuang dalam seluruh entri). Ini, menurut Cak Nur bisa dimengerti, sebabnya memang masalahnya sangat sulit, menyangkut soal bagaimana umat Islam memasuki zaman yang

sangat berbeda dengan zaman di mana umat Islam telah berpengalaman untuk hidup, dan memimpin pada suatu suasana kebudayaan yang oleh Marshall Hodgson disebut Agrarianate Citied Society (keunggulan suatu masyarakat agraria berkota). Dan lebih celaka lagi, dikatakan Cak Nur, modernitas itu datang dari suatu bangsa yang orang Islam (pada zaman kejayaannya) telah terlatih untuk menghinanya, yaitu orang Barat.269

Menurut Cak Nur, kompleks inilah yang membuat orang Islam secara psikologis relatif paling sulit menerima peradaban modern. Jauh lebih mudah orang-orang Hindu dan orang-orang India, sehingga ketika Inggris masuk India dan orang Hindu melihatnya sebagai superior, mereka lang-sung menerima dan belajar modernitas kepada orang Inggris tersebut. Ber-beda dengan orang Islam yang bersikap reaksioner bahkan melawan, se-hingga ketika Inggris pergi dan India menjadi merdeka, nasib orang Islam di India, menurut Cak Nur, sama dengan nasib orang Islam di mana-mana, yaitu menjadi ‘underdog’. Karena pendidikannya kurang dan penyerapan terhadap modernitas pun kurang.

Semua itu memang bisa mempunyai efek peninaboboan. Tapi juga, me-nurut Cak Nur, diharapkan bisa mempunyai efek menumbuhkan rasa per-caya diri. Sebabnya rasa perper-caya yang besar bisa menumbuhkan sikap kreatif dan proaktif. Islam mundur pada abad ke-12 antara lain karena orang Islam menutup pintu ijtihad. Dan ijtihad itu kalau diberi makna yang lebih luas sebetulnya adalah berpikir kreatif dan proaktif. Dengan ditutupnya pintu ijtihad, maka yang kemudian muncul di dunia ilmu pengetahuan (Islam) ialah tradisi menghafal. Hafal dari bahasa Arab ‘hafazh’, artinya memelihara. Jadi menghafal itu sebetulnya hanya tindakan memelihara yang sudah ada, tidak kreatif.

Ada yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak ada batasnya. Dalam Al-Quran, banyak sekali ilustrasi tentang itu, misalnya, “Katakan

(hai Muhammad) kalau seandainya seluruh lautan itu menjadi tinta untuk menuliskan ilmu pengetahuan-Ku, maka seluruh lautan akan kering sebelum ilmu pengetahuan-Ku habis meskipun kami datangkan tinta sebanyak itu lagi.”

Inilah gambaran yang sangat kuat bahwa ilmu pengetahuan itu tidak ada batasnya, karena batasnya ada pada Allah Swt. Maka dari itu, ketika orang

Islam masih kreatif, mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak ada batasnya, yang ada adalah perbatasan. Perbatasan ialah titik terakhir yang telah dicapai manusia dalam ilmu pengetahuan. Dan setiap perbatasan selalu bisa ditembus melalui sikap kreatif, yaitu kemampuan untuk menembus perbatasan ilmu pengetahuan atau frontier.270 Itulah yang dilakukan orang-orang Islam dulu. Nabi sendiri, menurut Cak Nur, pernah menganjurkan, “Tuntutlah ilmu meskipun ke negeri Cina.”271

Maka salah satu hambatannya mengapa umat Islam sekarang itu susah sekali maju, ialah masalah psikologi: yaitu bersikeras memelihara yang ada sehingga menumbuhkan tradisi menghafal, lalu ada kecenderungan takut melakukan kontak dengan orang lain. Tetapi walaupun demikian, Cak Nur membuat apologi:

Memang pada saat ini umat Islam dilanda krisis menghadapi dan memasuki kemodernan. Dan krisis itu sama sekali tidak dapat diremehkan. Tetapi mengingat hakikat Islam yang amythical dan sangat mendukung ilmu pengetahuan … mungkin pada akhirnya nanti umat Islam adalah justru yang paling banyak mendapatkan manfaat dari kemodernan, sebagaimana mereka dahulu telah membuktikan diri sebagai yang paling banyak mendapatkan manfaat dari warisan budaya dunia … Dan perlu diingat bahwa masa keunggulan Islam di dunia di masa lalu masih jauh lebih panjang berlipat ganda (sekitar enam sampai delapan abad) daripada keunggulan Barat modern sekarang ini (baru sekitar dua abad, sejak Revolusi Industri).272

E. PENUTUP

1. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID (Halaman 181-185)