• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Kultus dan Fundamentalisme

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID (Halaman 190-197)

D. KEISLAMAN DALAM TANTANGAN MODERNITAS 1. Pendahuluan: Tugas Suci sebagai Saksi Tuhan di Bumi

2. Tantangan Kultus dan Fundamentalisme

Sebuah karangan ditulis Cak Nur dalam rangka Ceramah Budaya, Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992, yang berjudul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Men-datang.”280 Karangan ini sangat menarik, dan bolehlah disebut sebagai ring-kasan keprihatinan terhadap bentuk keberagamaan (secara umum, dan terutama Islam) dewasa ini.

Karangan ini dimulai dengan pertanyaan, “Apakah ada harapan baik

bagi kehidupan beragama di masa depan? Pertanyaan ini didorong oleh

ada-nya pandangan bahwa di zaman modern ini baada-nyak orang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan merongrong kehidupan ke-agamaan. Menurut Cak Nur, anggapan ini secara epistemologis sangat absah, tetapi yang menarik adalah zaman ini tidak ditandai oleh runtuhnya agama, malah komunisme—yang oleh Cak Nur disebut sebagai usaha besar-besaran menghapus agama—ambruk terlebih dahulu. Tetapi pe-nanyaan kritis terhadap peran agama tetap penting, paling tidak sebagai “pengerem” optimisme yang terlalu berlebihan terhadap agama.

Di sini, menarik Cak Nur mengutip pendapat A.N. Wilson dalam bu-kunya, Against Religion: Why We Should Try to Live Without It (Melawan Agama: Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia). Sebuah pernya-taan keras terhadap agama di awal buku itu, dikutip Cak Nur.

Dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama

mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.281

Cak Nur mengutip Wilson ini, sebagai peringatan bahwa dalam agama-agama, atau tepatnya lingkungan penganut agama-agama-agama, selalu ada po-tensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya. Tetapi lebih dari itu, pendapat ini telah memberikan suatu istilah Cak Nur “dilema Wilson”,282 di mana seorang beragama atas dasar klaim kebenaran agamanya,

membenarkan konflik dengan agama lain. Inilah penjelasan paling

me-muaskan mengenai perang-perang antar-agama di masa sebelum zaman industri, bahkan masih bisa dicarikan contohnya di zaman mutakhir se-karang ini, dalam peta bumi konflik dan perang dewasa ini.

Setelah masalah mendasar mengenai saling klaim kebenaran lewat per-soalan “dilema Wilson” ini, menurut Cak Nur, agama-agama dewasa ini dihadapkan pada masalah besar kecenderungan kritis terhadap agama-agama formal (organized religions), dan mereka sebagai gantinya menyua-rakan spiritualitas. Semboyan futurolog John Naisbitt dan Patricia Aburdene, “Spirituality, Yes; Organized Religion, No!” meringkas pemahaman mereka mengenai skeptisisme, kalau tidak malah penolakan terhadap agama-agama formal. Bagi mereka—terutama generasi muda Barat, yang penting “bukannya [menjadi] manusia beragama (religious), melainkan ber-keruhanian (spiritual)”.283

Dua masalah ini—dilema Wilson dan pergeseran dari agama kepada spiritualitas—oleh Cak Nur dianggap merupakan tantangan terbesar agama-agama dewasa ini. Yang pertama, bagaimana agama bisa menjawab “dilema Wilson” itu: bahwa agama bukanlah pendorong kepada kekerasan dan konflik-konflik terhadap agama lain; dan kedua, bagaimana menjawab tantangan dari kalangan penganut spiritualitas, yang menganggap dirinya sebagai “agama zaman baru” (new age), yang menganggap bahwa agama terorganisasi cenderung menjadi formalistis, dan kehilangan apa yang paling penting dari agama itu sendiri: yaitu spirit!—dasar hubungan dengan

Dalam karangan tersebut, Cak Nur sangat bersemangat menjawab tan-tangan kedua, tetapi kurang memberikan jawaban—yang sebenarnya meru-pakan pertanyaan epistemologis—atas pertanyaan pertama. Tetapi implisit sebenarnya, jawaban atas yang kedua sekaligus menjawab pertanyaan yang pertama. Di sinilah ia menganalisis mengapa muncul fenomena kebangkit-an spiritualitas (ykebangkit-ang tkebangkit-anpa agama formal) itu. Dkebangkit-an apakah spiritualitas memang merupakan jalan keluar atas krisis sosial zaman sekarang ini, yang agama rupa-rupanya memang tidak mampu menjawabnya?

Maka ia pun berbicara mengenai alienasi sebagai fenomena yang menye-babkan munculnya gerakan spiritualisme yang disebutnya sebagai “gerakan kultus”. Beberapa nama disebut Cak Nur: Unification Church, Divine Light Mission, Hare Krishna, the Way, People’s Temple, Yahweh ben Yahweh, New Age, Aryan Nation, Christian Identity, the Order, Scientology, Jehovah Witnesses, Children of God, Bhagawan Shri Rajnesh, dan sebagainya.

Lewat analisis Alvin Toffler, ia menegaskan bahwa kultus adalah gejala negatif masyarakat industri—yaitu kesepian: hilangnya struktur kemasya-rakatan yang kukuh, dan ambruknya makna yang berlaku. Cak Nur juga mengutip Erich Fromm, “Alienasi yang kita temukan dalam masyarakat modern adalah hampir total.” Kembali ke Toffler, Cak Nur menjelaskan fenomena orang-orang terasing ini.

“Untuk orang-orang yang kesepian, kultus menawarkan pada permulaan-nya persahabatan yang merata. Kata seorang petugas Unification Church: “Kalau ada orang kesepian, kita bicara kepada mereka. Banyak orang ke-sepian di sekitar kita.” Pendatang baru itu dikelilingi oleh orang-orang yang menawarkan persahabatan dan isyarat dukungan kuat. Banyak kultus yang menghendaki kehidupan komunal. Kehangatan dan perhatian yang tiba-tiba ini sedemikian kuatnya memberi rasa kebaikan, sehingga anggota-anggota kultus sering bersedia untuk memutuskan hubungan dari keluarga dan teman-teman lama mereka, untuk mendermakan penghasilannya kepada kultus, (kadang-kadang) menerima narkotik dan bahkan seks sebagai imbalan.

Tetapi kultus menawarkan lebih banyak daripada sekadar perkumpul-an. Ia juga menawarkan struktur yang banyak dibutuhkperkumpul-an. Kultus-kultus menyodorkan ketentuan-ketentuan yang ketat pada tingkah laku. Mereka menuntun dan menciptakan disiplin yang amat kuat, sehingga tampaknya bertindak begitu jauh sehingga memaksakan disiplin itu melalui penyiksaan,

kerja paksa, dan bentuk-bentuk kurungan dan penjara yang mereka buat sendiri.285

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa pemikiran keislaman Cak Nur yang terefleksi dalam ensiklopedi ini, sebenarnya hendak menjawab tan-tangan Islam dari dua sudut ekstrem, yang sudah dikemukakan di atas, terutama keabsahan dari “dilema Wilson” itu: bahwa agamalah yang se-benarnya menyebabkan kekerasan, dan fenomena kultus dan funda-mentalisme yang mengeksklusifkan agama, sehingga agama pun menjadi bentuk-bentuk respons regresi manusia beragama dengan cara mengisolasi agama dalam kelompok sendiri, dengan berlindung pada keamanan psikologis melalui klaim-klaim sendiri yang self fullfilling prophecy (membenarkan sendiri), apakah itu dari spiritualitas non-agama, maupun dari usaha penyajian agama yang eksklusif.

Bagi Cak Nur, kultus dan fundamentalisme bukanlah masa depan286

disebabkan oleh cara responsnya yang eksklusif. “Sekularisme” Wilson juga tidak bisa dibenarkan, sebab hanya melihat agama sebagai kasus-kasus, bukan dalam failasufinya dan beberapa bukti kesejarahan yang telah menghidupkan pandangan filosofis keagamaan itu. Dari sinilah menarik bagaimana Cak Nur—seperti dipaparkan di dalam bagian-bagian terdahulu, dan juga termuat dalam ensiklopedi ini—mencoba untuk memberikan sebuah solusi Islam yang bisa keluar dari dua “jebakan” ekstrem dalam beragama tersebut.287

Jawaban Cak Nur adalah mencoba mengembalikan pengertian agama ke dalam arti generiknya, beserta seluruh makna primordialnya yang uni-versal sehingga bertemu dengan makna uniuni-versal dari agama-agama lain. Maka seperti kita sudah lihat, pusat dari pemikiran Cak Nur adalah gagasan-gagasannya mengenai Islâm dan Hanîfiyah yang arti literalnya adalah sikap pasrah. Sesungguhnya “al-islâm” ialah “al-dîn”—dari

dâna-yadînu-dîn, yang artinya ialah tunduk patuh—sebagaimana dijelaskan Nabi

Saw., hendaknya seseorang memasrahkan diri dan kalbunya kepada Allah, dan memurnikan sikap tunduk-patuhnya hanya kepada Allah. Itulah

se-bab islâm tersebut adalah jenis amalan kalbu, sedangkan tashdîq adalah jenis pengetahuan kalbu.

Dalam masalah ini, Cak Nur menjelaskan—sesuai dengan pandangan keagamaan, yang juga ada dalam entri ensiklopedi ini—bahwa keagamaan itu mempunyai jenjang: yaitu islâm, îmân, dan ihsân. Ihsân (pengalaman kehadiran Tuhan) sebagai yang tertinggi mencakup kedua di bawahnya, yaitu îmân dan islâm, sementara îmân yang berada di tengah mencakup

islâm yang mendasari sikap keberagamaan.288 Jenjang dalam paham keagamaan ini menjelaskan bahwa dasar dari agama adalah islâm (sikap pasrah) dan bukan îmân.

Adapun pendapat [orang] bahwa Allah menamakan iman dengan nama Islam, dan nama Islam dengan nama iman, maka tidaklah benar. Sebabnya Allah hanya berfirman, “Sesungguhnya dîn bagi Allah ialah al-islâm, dan sama sekali tidak memfirmankan, ‘Sesungguhnya dîn bagi Allah ialah al-îmân. Tetapi dîn [yang adalah al-islâm] ini adalah (bagian) dari îmân, namun tidaklah berarti bahwa jika dîn itu bagian dari îmân, lalu dîn itu sama dengan îmân.’”289

Di sinilah diletakkan dasar-dasar filosofis keislaman Cak Nur, bahwa hakikat sebenarnya dari agama ialah al-islâm, yaitu sikap tunduk dan pasrah kepada Allah dengan tulus, dan tidak ada agama yang bakal diterima oleh Allah, Tuhan Yang Maha Esa, kecuali al-islâm dalam pengertian itu. Me-nurut Cak Nur, “Tunduk dan patuh dengan tulus kepada Allah dalam semangat penuh pasrah dan tawakal serta percaya itulah makna hidup ….”290

Konsekuensi dari paham yang Cak Nur sebut sebagai paham keislaman inklusif 291 ini tentu saja mempunyai implikasi yang cukup jauh, yaitu menyangkut paham keselamatan (soteriologis) yang bagi Cak Nur, berdasarkan Al-Quran, tidak ada masalah. Siapa pun yang pasrah kepada Tuhan, akan selamat. “Orang Yahudi, orang Nasrani, orang Majusi, dan orang Sabean, semuanya itu bisa masuk surga, asalkan mereka beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan berbuat baik.”292

Gagasan-gagasan inklusif ini tentu saja telah mendukung paham ke-majemukan pada tingkat yang paling spiritual dari agama, yaitu

kelapangan dada dalam beragama (istilah Cak Nur sikap hanîfiyah al-samhah), sebagai puncak dari yang Cak Nur sebut “pengalaman kalbu”.

Inilah solusi atas masalah sekularisme yang anti terhadap formalisme agama, maupun kultus dan fundamentalisme yang mengurung agama dalam isolasi yang tidak bergumul dengan persoalan zaman, termasuk “spiritualisme” yang tidak mau mengakarkan diri kepada agama.

Akhirnya, kita bisa mencoba membayangkan, apa yang akan terjadi dalam pandangan seorang Muslim, jika kutipan panjang dari Cak Nur di bawah ini dibaca dalam semangat keterbukaan, dan kelapangan dalam beragama yang merupakan inti dari entri-entri Cak Nur dalam ensiklopedi ini.

Dasar-dasar Al-Qurannya untuk pandangan inklusif itu:

Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan. Mereka menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)-nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.293

Penafsiran Cak Nur atas ayat-ayat tersebut:

Penegasan-penegasan itu merupakan suatu contoh yang bisa dijadikan bekal bagaimana umat Islam seharusnya mentransendensikan diri di atas pengalaman-pengalaman sosial historis. Karena itu saat ini relevan sekali untuk memahami kembali klaim dari Al-Quran sendiri bahwa Al-Quran dan semua Kitab Suci itu, adalah âyât Tuhan. Âyât artinya “tanda” (the sign of God), yang berarti juga adalah metafor atau simbol. Maka sangat diperlukan ilmu tentang bagaimana menafsirkan simbol itu (the science of symbol interpretation). Dan setiap kali kita mau melihat kepada simbol, kita akan didorong untuk kembali ke asalnya, dan itu berarti melawan arus. Ketika terjadi perlawanan-perlawanan arus, maka akan terjadi pula transparansi-transparansi. Jadi setiap kali kita menghadapi simbol itu, kita harus bersedia untuk mendorongnya kembali ke asal. Dan justru karena dorongan kembali ke asal itu, maka terjadi transparansi-transparansi [maksudnya di sini semacam hermeneutika yang bisa membuka “tabir rahasia” dari makna sebuah teks literal, BMR] …

Agama adalah sistem simbol. Kalau kita berhenti pada sistem simbol, kita akan konyol. Tapi kalau kita berusaha untuk kembali ke asal simbol itu, kita akan menemukan [banyak] persamaan [antar-iman]… Sekadar ilustrasi, perhatikan roda sepeda. Jari-jari sepeda itu semakin jauh dari as-nya, semakin rapat, untuk kemudian menyatu di as-nya itu. Maka ada sebuah ungkapan, bahwa barangsiapa memahami the heart of religion [jantung atau hati/kalbu dari agama] dan the religion of the heart [agama “kalbu”, maksudnya hakikat agama], maka semua agama akan menjadi sama kendati tetap berbeda dalam keunikannya masing-masing), tapi barangsiapa masih melihat perbedaan sebagai sesuatu yang sangat penting, maka ibarat orang dalam lingkaran itu berdiri di pinggiran ….

[Jadi betapa pentingnya] memahami mengapa ajaran-ajaran agama itu disebut âyât—the sign of God—yang tak lain adalah simbol. Untuk bisa memahami simbol itu, kita harus menyeberanginya … Karena itu, di antara sekian banyak persoalan yang kita hadapi di kalangan umat beragama … adalah godaan untuk berhenti pada kesalehan-kesalehan formal simbolik, yang kemudian menghalangi kita untuk melakukan transendensi, dengan jalan memahami dan berpegang kepada makna-makna esensial di balik simbol-simbol itu, lalu bertindak sesuai dengan konsekuensi atau tuntutan makna-makna itu.294

Jakarta dan Singapura, 22 Juni 2006 Wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb.

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID (Halaman 190-197)