• Tidak ada hasil yang ditemukan

Umat Islam dan Persoalan Kemodernan

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID (Halaman 176-181)

D. KEISLAMAN DALAM TANTANGAN MODERNITAS 1. Pendahuluan: Tugas Suci sebagai Saksi Tuhan di Bumi

4. Umat Islam dan Persoalan Kemodernan

Dari sekian banyak karakter dan sifat agama Islam yang mendukung kaum Muslim memasuki dan menyertai kehidupan modern ialah—seperti diisyaratkan oleh Ernest Gellner seorang ahli filsafat agama dari Inggris, dalam kutipan Cak Nur—bahwa varian murni Islam selalu bersifat ega-litarian dan bersemangat keilmuan (scholarly), sedangkan varian yang me-ngenal sistem hierarkis, seperti terdapat dalam kalangan kaum sufi, sela-manya dipandang sebagai berada di pinggiran. Karena itu, kata Gellner, berkenaan dengan sejarah Eropa (Barat), keadaan akan jauh lebih memuas-kan seandainya orang-orang Muslim dulu menang terhadap Charlemegne dan berhasil mengislamkan seluruh Eropa.251

Menurut Cak Nur, pemikiran yang lebih substantif daripada Ernest Gellner, adalah kajian kesejarahan dari Marshall Hodgson, seperti ditulis da-lam bukunya, The Venture of Isda-lam. Menurut Hodgson, Abad Teknik lahir karena terjadinya transmutasi hebat di Eropa Barat Laut. Transmutasi itu sendiri terjadi akibat adanya investasi inovatif di Eropa abad ke 16, baik di bidang mental (kemanusiaan) maupun material. Investasi inovatif itu, sekali menemukan momentumnya, berjalan melaju tanpa bisa dikemba-likan lagi.252 Dalam investasi inovatif itu, sikap berperhitungan (kalkulasi)

dan inisiatif pribadi senantiasa didahulukan atas pertimbangan otoritas tradisi.

Cak Nur menegaskan, dengan mengutip Hodgson lagi, sesungguhnya sikap inovatif seperti itu, sekalipun dalam keadaan yang masih agak spo-radis, sudah lama terdapat dalam masyarakat agraria berkota di Dunia Islam. “Dunia Islam—karena di zaman-zaman Islam Abad Pertengahan lebih kosmopolitan daripada Barat—mewujudkan lebih banyak syarat untuk kalkulasi bebas dan inisiatif pribadi dalam pranata-pranatanya. Sung-guh banyak pergeseran dari tradisi sosial kalkulasi pribadi yang di Eropa merupakan bagian ‘modernisme’ akibat transmutasi, mengandung suasana membawa Barat lebih mendekati apa yang sudah sangat mapan dalam tradisi Dunia Islam.”

Hal yang tampaknya tak mungkin dihindari tentang teknikalisme ini, menurut Cak Nur, adalah implikasinya yang materialistik. Maka dalam

menghadapi dan menyertai kemodernan itu,253 kaum Muslim dalam

pan-dangan Cak Nur, dituntut memperhitungkan segi materialisme ini. Kal-kulasi pribadi, inisiatif perseorangan, efisiensi kerja adalah etos yang baik dan bermanfaat besar. Tapi, bagaimanapun menundukkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan ke bawah pemaksimalan efisiensi teknis, betapapun besar hasilnya—seperti dikatakan Hodgson—akan merupakan mimpi buruk yang tak rasional.254

Menurut Cak Nur, aspek kemanusiaan abad modern ini bisa, dan telah menjadi kenyataan yang lebih penting dan lebih menentukan daripada aspek teknikalismenya. Generasi 1789 yang secara garis besar merupakan angkatan dua revolusi, yaitu Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis, dari sudut pandangan kemanusiaan modern Barat adalah peletak dasar segi ke-manusiaan bagi kemodernan. Cita-cita keke-manusiaan yang dirumuskan dalam slogan Revolusi Prancis, “Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan,” itu menurut Cak Nur, memang belum seluruhnya terwujudkan dengan baik. Tapi, lanjutnya, harus diakui dunia belum pernah menyaksikan usaha yang lebih sungguh-sungguh dan lebih sistematis dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan itu, dalam bentuk pelaksanaan yang terlembagakan, daripada yang dilakukan sejak terjadinya dua revolusi tersebut.

Pengejawan-tahan terpenting cita-cita itu ialah sistem politik demokratis, yang sampai saat ini, menurut Cak Nur, dalam kenyataannya baru mantap di kalangan bangsa-bangsa Eropa Barat Laut dan Amerika Utara.255

Karena kesamaan-kesamaan ide itu, menurut Cak Nur, modernitas bagi kaum Muslim seharusnya tidak menimbulkan keganjilan, baik doktrinal maupun psikologis—kalau saja dipahami secara lebih baik warisan kultural umat Islam sendiri. Menurut Cak Nur, hal yang sangat fundamental dalam modernisme ialah keberhasilannya (di Barat), menurut ukuran tertentu, untuk mengatasi dilema moral yang menjadi tantangan umat manusia se-menjak fajar peradaban, yaitu pilihan sulit antara pemenuhan tuntunan-tuntunan individual dan kewajiban-kewajiban sosial. Penyelesaian penting, meskipun terbatas, oleh abad modern atas dilema itu dicerminkan dalam kenyataan masyarakat modern bahwa, “Seorang individu adalah sekaligus secara pribadi terisolasi, tapi juga sangat sopan dan kooperatif.”

Dilema itu, kata Cak Nur, dengan mengutip Hodgson lebih lanjut, menjadi kesadaran manusia terutama melalui tradisi keagamaan Irano-Se-mitik yang dipuncaki oleh Islam, yang juga diikutsertakan Barat. Dilema itu telah menjadi sumber moralitas modern dan—meskipun tidak secara sempurna—yang telah memperkuat kualitas-kualitas pribadi seperti ke-jujuran, etos kerja, loyalitas, kesederhanaan, dan kapasitas untuk mening-katkan diri di atas kemampuan bersaing perseorangan melalui organisasi. Menurut Cak Nur, tekanan kepada kebebasan pribadi dan isolasinya ini telah diimbangi dengan integritas perseorangan dan peningkatan pribadi ini serta penghalusan perangainya, berkembang dalam semangat kerja ber-kelompok (team work) dan kesediaan bekerja sama.256 Inilah nilai-nilai positif dari modernitas—yang sebenarnya juga dimiliki umat Islam dalam sejarahnya dan harus diaktualkan kembali dewasa ini.

Tetapi menerima modernitas (Barat) dalam hal ini juga harus disertai pengertian tentang “kekurangan” dari modernitas Barat tersebut, supaya didapatkan pandangan yang seimbang menyangkut pemahaman mengenai modernitas Barat ini. Maka, menurut Cak Nur, segi kekurangan paling serius dari abad modern ini adalah menyangkut diri kemanusiaan yang paling mendalam, yaitu bidang keruhanian. Dibandingkan dengan

keber-hasilannya di bidang keilmuan (dan teknologi) serta ekonomi, kemajuan yang dibuatnya di bidang keruhanian Barat, tidaklah begitu mengesankan. Berdasarkan kenyataan adanya nilai-nilai keislaman yang relevan dengan modernisme, maka menurut Cak Nur, cukup beralasan mengajukan ha-rapan, seperti yang pernah diadvokasikan oleh failasuf Pakistan, Muhammad Iqbal, umat Islam dapat, tidak saja menyertai abad modern, tapi juga dapat memberi sumbangan positif yang bisa menjadi tanda zaman kemanusiaan abad mutakhir ini. Garis argumen yang telah diajukan ini membawa kesimpulan: respons dan partisipasi umat Islam untuk abad modern dapat, bahkan harus, bersifat genius agama Islam itu sendiri, dan tidak boleh hanya merupakan konsesi ad hoc kepada desakan-desakan dari luar. Respons dan partisipasi itu karenanya, menurut Cak Nur, harus berasal dari dalam dinamika Islam sendiri.257 Persis dalam poin ini, pikiran-pikiran Cak Nur yang tertuang sepanjang ensiklopedi ini adalah pemikiran dan respons Islam atas dunia modern sekarang ini.

Maka dalam argumen Cak Nur, yang diperlukan dalam proses itu ialah adanya dialog terus-menerus dalam umat, juga antar umat dengan go-longan lain. Dialog itu, sebagaimana dapat dilihat melalui suatu gambaran jalan pikiran para tokoh Islam klasik, merupakan unsur amat penting dalam sejarah intelektual Islam. Sehingga dapat dibenarkan adanya harapan bah-wa dialog itu dapat dilakukan dengan lebih cerdas dan lebih debah-wasa pada zaman modern ini.258

Tapi di sini Cak Nur mengingatkan bahwa dalam abad modern ini ada hal penting yang harus diperhatikan, yaitu persoalan keruhanian tadi. Itu sebabnya umat Islam harus membuktikan diri sebagai umat yang tangguh di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Jika hal itu tidak terjadi, maka ke-lak, menurut Cak Nur, akan dirasakan bahwa kerugian yang ditimbulkan akan tidak terkirakan, tidak saja untuk kaum Muslim, tapi juga untuk umat manusia secara keseluruhannya. Sebabnya, seperti diyakini Cak Nur, Islam menggarap juga bidang-bidang sosial, politik, dan ekonomi, tapi masih lebih penting lagi bahwa penggarapan bidang-bidang itu semua di-mulai dengan pembinaan pribadi-pribadi berkenaan dengan “apa yang ada

dalam diri mereka” seperti ungkapan Al-Quran, melalui pendidikan keimanan dan kesalehan.259

Maka menjadi jelas sekali bahwa aspek pembinaan pribadi adalah primer, sedangkan aspek sosial, politik, dan ekonomi adalah lebih banyak merupakan pancaran keluarnya. Kepercayaan kepada adanya tanggung jawab yang mutlak bersifat pribadi di hadapan Tuhan pada Hari Kemu-dian, merupakan sumber tantangan hidup bermoral bagi manusia selama di dunia ini. Di sini dapat dilihat betapa keimanan pribadi mempunyai implikasi dan dampak kepada bidang kehidupan bersama. Tapi sesung-guhnya, menurut Cak Nur, jika adanya Hari Akhirat itu betul-betul me-rupakan suatu kebenaran—bukannya sekadar ciptaan khayal para nabi un-tuk membujuk manusia supaya berkelakuan baik dalam hidupnya—ber-buat sesuatu untuk akhirat adalah masalah kebenaran semata, hampir tanpa peduli apa akibatnya di dunia ini. Persoalan kebenaran itu perlu ditegaskan jika seseorang tidak ingin jatuh kepada pandangan keagamaan yang utilitarianis.

Utilitarianisme dalam beragama, kata Cak Nur, akan merupakan dimensi kepamrihan atau ketidakikhlasan yang serius, yang dapat menghilangkan pahala (ganjaran keruhanian) dari kemurnian beribadat kepada Tuhan.260 Itu sebabnya, dalam pikiran Cak Nur, tidak mungkin terwujud masyarakat Islam (Ummah Muslimah) tanpa pribadi-pribadi yang Muslim, tetapi masih dimungkinkan terdapat pribadi-pribadi Muslim hidup dalam suatu masyarakat bukan-Islam, sebagai perseorangan, atau bahkan sebagai kelompok minoritas kecil. Pentingnya aspek kesalehan pribadi ini, menurut Cak Nur, juga menjadi kesadaran sebagian besar para pemikir Islam. Bahkan para pemikir dengan aspirasi pembaruan yang kuat, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, Al-Afghani, dan Muhammad ‘Abduh dalam satu bentuk, menurut pandangan Cak Nur, mempunyai orientasi pengalaman kesufian mereka sendiri.261

Sehingga akan banyak menolong untuk memahami persoalan ini—se-perti tertulis dalam banyak entri dalam ensiklopedi ini—jika perkataan “Islam” (al-islâm) diteliti lebih mendalam lagi, yang sudah kita lihat dalam tulisan di muka. Persoalan ini, kata Cak Nur, telah menarik perhatian

Marshall Hodgson, yang dalam percobaannya memahami perkataan “islâm” itu, dengan membuat perbedaan antara “Islâm” (dengan inisial huruf besar) dan “islâm” (dengan inisial huruf kecil). Hodgson, kata Cak Nur, memberi kesan: “islâm” sesungguhnya lebih penting daripada “Islâm”. Sebabnya, menurut dia, “Islâm” lebih banyak mengandung konotasi sosial, dalam arti bahwa perkataan “Islâm”—apalagi terutama sekarang ini—lebih menunjuk kepada perwujudan sosial orang-orang yang memeluk, atau mengaku me-meluk agama Islam. Maka “menjadi orang Islam”, dari sudut tinjauan ini, kata Cak Nur, lebih banyak berarti menjadi anggota masyarakat itu betapa-pun nominalnya. Sedangkan “islâm”, kata Hodgson, mengandung

penger-tian yang lebih dinamis, yaitu sikap penyerahan diri kepada Tuhan karena menerima tantangan moral-Nya. Maka “menjadi seorang Islam,” atau

“se-orang Muslim,” adalah berarti menjadi “se-orang yang seluruh hidupnya diliputi

tantangan untuk senantiasa meningkatkan diri menuju pada moralitas yang setinggi-tingginya, dengan jalan selalu mengusahakan pendekatan diri kepada Tuhan. [tekanan dari saya, BMR]262

Nah, dalam pengertian teologis inilah, Cak Nur beranggapan moderni-tas Islam itu bisa dibangun. Menurut Cak Nur, “Cita-cita keislaman yang fitri—seperti digambarkan sepanjang tulisan ini, dan entri-entri dalam ensiklopedi ini—sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya ….”263 Maka pertanyaan selanjutnya, bagaimana proses umat Islam—yang oleh Cak Nur dari segi doktrinnya adalah modern—belajar dari Barat untuk menjadi modern.

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID (Halaman 176-181)